TINDAK TUTUR DALAM PIDATO PRESIDEN JOKO WIDODO
“VISI INDONESIA”
(SPEECH ACTION IN PRESIDENT JOKO WIDODO'S SPEECH
“VISION OF INDONESIAN”)
Dimas Fajar Ariyanto Putra SMP Tahfizh Terpadu El Qudwah
Handil Bakti, Kecamatan Alalak, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan e-mail: [email protected]
Abstract
Speech Actions in President Joko Widodo's Speech "Vision of Indonesia." Language is an essential factor in human life that functions as a means of communicating and exchanging information in everyday life. This shows that humans have a very close relationship with language, where language is a key for humans in their role as social beings. Humans use language in various lines where there are many variations of language use. It is not only used as a means of exchanging information. Language is also used in a political context. In this case, language is used as a means of invitation or command for a particular interest in the issue discussed in the community. In addition, language in a political context aims to form a person's identity. Therefore, this study examines the use of Ludwig Wittgenstein's second-period language game, complemented by John Langshaw Austin's perspective in President Joko Widodo's speech. The theoretical basis used in this study uses the thoughts of the philosopher Ludwig Wittgenstein II with the addition of understanding through the perspective of the philosopher John Langshaw Austin. The data analysis technique used hermeneutics. The data source was President Joko Widodo's speech taken from the YouTube site KOMPAS TV which was uploaded on July 14, 2019, with the title "Speech of the Elected President Joko Widodo: Visi Indonesia," and the video duration was twenty-three minutes and eleven seconds. In the analysis process, there is a language game in President Joko Widodo's speech with the title Visi Indonesia carried out. It can be concluded that the language game in the delivery of President Joko Widodo's speech entitled "VISION Indonesia" contains locutionary speech acts (phonetics and fatigue), illocutionary (verdicative) speech acts. Exercisive, commissive, behatitive, and expositive), and perlocutionary, the most dominant speech act found in the speech is locutionary speech acts, namely phonetic acts. This is under the subject matter in the book Philosophical Investigations (Kaelan, 2004); Wittgenstein explains that language games are a process of using words and rules for using language.
Key words: Speech Act, Austin Perspective, Jokowi's Speech
Abstrak
Tindak Tutur dalam Pidato Presiden Joko Widodo “Visi Indonesia”. Bahasa merupakan faktor yang penting dalam kehidupan manusia yang memiliki fungsi sebagai sarana berkomunikasi dan bertukar informasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini memperlihatkan bahwa manusia memiliki hubungan yang sangat dekat dengan bahasa, dimana bahasa merupakan suatu kunci manusia atas perannya sebagai makhluk sosial. Bahasa digunakan manusia dalam berbagai lini yang terdapat banyak variasi penggunaan bahasa. Tidak hanya digunakan sebagai sarana bertukar informasi, bahasa salah satunya juga digunakan dalam konteks politik. Dalam hal ini, bahasa digunakan sebagai sarana ajakan atau perintah untuk suatu kepentingan khusus dalam isu yang sedang dibahas di kalangan masyarakat.
Selain itu, bahasa dalam konteks politik bertujuan untuk membentuk suatu identitas seseorang. Oleh karena itu, penelitian ini membahas penggunaan permainan bahasa (language ame) Ludwig Wittgenstein periode kedua yang dilengkapi dengan perspektif John Langshaw Austin dalam pidato presiden Joko Widodo. Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pemikiran dari filsuf Ludwig Wittgenstein II dengan penambahan pemahaman melalui perspektif filsuf John Langshaw Austin. Teknik analisis data menggunakan hermeneutika. Data yang digunakan dalam
penelitian ini pidato presiden Joko Widodo yang diambil melalui sumber situs YouTube KOMPAS TV yang diunggah pada tanggal 14 Juli 2019 dengan judul “Pidato Presiden Terpilih Joko Widodo: Visi Indonesia” dan durasi video dua puluh tiga menit sebelas detik. Pada proses analisis terdapat permainan bahasa pada pidato Presiden Joko Widodo dengan judul Visi Indonesia yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa permainan bahasa dalam penyampaian pidato presiden Joko Widodo yang berjudul
“Visi Indonesia” ini terdapat tindak tutur lokusi (fonetik dan fatik), ilokusi (verdiktif, eksersitif, komisif, behatitif, dan ekspositif), dan perlokusi, tindak tutur yang paling dominan terdapat dalam pidato tersebut adalah tindak tutur lokusi, yaitu tindak fonetik. Hal ini sesuai dengan pokok bahasan dalam buku Philisophical Investigations (Kaelan, 2004), Wittgenstein menjelaskan bahwa permainan bahasa adalah suatu proses pemakaian kata dan aturan penggunaan bahasa.
Kata-kata kunci: tindak tutur, perspektif austin, pidato jokowi
PENDAHULUAN
Bahasa merupakan salah satu faktor yang penting dalam kehidupan manusia yang memiliki fungsi sebagai sarana berkomunikasi dan bertukar informasi dalam kehidupan sehari- hari. Hal ini memperlihatkan bahwa manusia memiliki hubungan yang dekat dengan bahasa, dimana bahasa merupakan salah satu kunci manusia untuk memenuhi perannya sebagai makhluk sosial. Jika dibahas lebih dalam, bahasa tidak hanya sebuah kata dan kalimat yang digunakan atau disampaikan akan tetapi terdapat suatu aturan penggunaan didalamnya. Bahasa yang disampaikan merupakan sebuah kode seseorang untuk mengisyaratkan atau memerintah sesuatu kepada lawan tuturnya, baik disampaikan melalui lisan, tulisan, atau media lainnya.
Ketika berbicara, setiap kata yang diucapkan adalah suatu sistem atau kode (Utaker, 1992).
Kode ini merupakan perantara manusia agar terciptanya suatu sistem komunikasi yang baik antara penutur dan lawan tutur. Hal serupa juga diungkap oleh Chaer (2015) bahwa bahasa merupakan alat untuk mengemukakan pikiran, ide, konsep kepada lawan bicara serta alat baik untuk mengajukan pertanyaan maupun perintah.
Bahasa digunakan manusia dalam berbagai lini yang terdapat banyak variasi penggunaan bahasa. Tidak hanya digunakan sebagai sarana bertukar informasi, bahasa salah satunya juga digunakan dalam konteks politik. Dalam hal ini, bahasa digunakan sebagai sarana ajakan atau perintah untuk suatu kepentingan khusus dalam isu yang sedang dibahas di kalangan masyarakat. Utaker (1992) menjelaskan bahwa bahasa yang dikeluarkan dalam tindak tutur menjelaskan identitas sesuatu sebagai kejadian dari beberapa konstanta umum atau invariant.
Berkaitan dengan pernyataan tersebut, Chaer (2015) juga menyebutkan bahwa bahasa juga digunakan sebagai penanda kenasionalan suatu bangsa, bahasa negara tersebut, serta bahasa pemersatu bangsa. Bahasa yang digunakan dalam berbagai berbagai aspek, termasuk dalam konteks berpidato politik, tidak bisa disebut bahasa yang netral. Hal ini disebutkan dalam perspektif Wittgenstein bahwa bahasa yang digunakan dalam pidato politik mengandung unsur permainan (Wilujeng, 2012). Hal tersebut memperlihatkan bahwa bahasa, khususnya dalam konteks politik, terkandung aturan tersendiri untuk penggunaannya.
Berbicara lebih lanjut masalah pidato politik, bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam proses berkomunikasi yang memperhatikan bahwa bahasa merupakan sebuah media dalam komunikasi politik. Secara sederhana, politik dapat diartikan suatu bidang yang berkaitan dengan kekuasaan dan kepentingan bersama yang melahirkan sebuah sistem. Hal tersebut seperti yang disampaikan Wilujeng (2012) bahwa secara alamiah muncul suatu sistem yang mengatur kepetingan bersama dalam kehidupan sehari-hari. Cara berkomunikasi dalam politik juga dituntut untuk menggunakan bahasa yang baik agar tersampaikannya sebuah maksud dan tujuan. Pengunaan bahasa dalam berpolitik membutuhkan aturan tersendiri agar dapat bermain lincah (Wilujeng, 2012). Dapat diartikan bahwa ujaran serta ungkapan yang
terkandung harus memiliki pola yang baik untuk dapat meraih kepercayaan masyarakat masyarakat. Sehingga, dapat dipastikan bahwa bahasa yang muncul dalam konteks politik mempunyai struktur dalam penempatan bahasanya sesuai dengan situasinya baik latar sosial ataupun latar kultural.
Dalam proses penyampaian bahasa, penggunaan bahasa mempunyai aturan-aturan yang tidak bisa dicampur satu sama lain. Pemikiran Wittgenstein mencetuskan bahwa bahasa memiliki bentuk logis dan tata bahasa logis dimana memiliki suatu permainan bahasa dan aturan-aturannya tersendiri (Utaker, 1992). Seperti contohnya, bahasa dalam pidato formal kebangsaan dengan bahasa dalam kehidupan sehari-hari memiliki perbedaan diksi yang digunakan bahkan pola yang berbeda. Sama halnya dengan bahasa dalam konteks ilmiah tidak bisa disamakan dengan ragam bahasa sastra karena keduanya memiliki aturan sendiri-sendiri (Chaer, 2015). Tidak menutup kemungkinan, terdapat pula permainan dalam penggunaan bahasa tersebut dalam konteks politik. Permainan tersebut sering dinamakan permainan bahasa atau yang biasa disebut language game.
Permainan bahasa yang digunakan wittgenstein dimaksudkan bahwa penggunaan bahasa dalam berbagai bidang kehidupan itu dibandingkan atau dianalogikan dengan berbagai macam permainan yang tentu saja memiliki peraturan yang berbeda. Lalu, peraturan setiap permainan itu harus dipatuhi dan jangan dicampuradukkan kalau ingin permainan itu berlangsung dengan baik. Jadi, peraturan penggunaan bahasa, yang menyangkut susunan kalimat, kosakata, dan sebagainya. Dalam penelitian ini, membahas aturan berbahasa Ludwig Wittgenstein periode kedua yang dilengkapi dengan perspektif John Langshaw Austin dalam pidato presiden Joko Widodo. Guna mengetahui ujaran apa saja yang digunakan dalam pidato tersebut dan tindak tutur apa saja yang dipakai dalam pidato tersebut.
Penelitian mengenai pidato sebelumnya pernah dilakukan oleh I Wayan Pasek Widiantara I Wayan Wendra, Sang Ayu Putu Sriasih (2014) berjudul Kajian Retorika Dalam Naskah Pidato Pada Siswa Kelas X.1 Sma Negeri 1 Pupuan. Selanjutnya, ada peneltian yang dilakukan oleh Yucha Febria Kusumaningrum (2014) dengan judul Analisis Kritis Teks Pidato Susilo Bambang Yudhoyono Terkait Kenaikan BBM Tahun 2012-2013. Penelitian mengenai pidato juga pernah dilakukan oleh Diah Ikawati Ayuningtias dan Erika Citra Sari Hartanto (2014) yang berjudul Pidato Politik Di Indonesia: Sebuah Kajian Wacana Kritis. Veni Nurpadillah (2017) berjudul Wacana Kepemimpinan: Analisis Makna Konotasi Dalam Teks Pidato Perdana Presiden Joko Widodo. Selain dari keempat penelitian di atas juga terdapat penelitian yang dilakukan Septi Nur Azizah dan Rustono (2020) berjudul Tuturan Ilokusi dalam Wacana Pidato Kampanye Prabowo Subianto pada Pemilu 2019. Perbedaan kelima penelitian di atas dengan penelitian ini ialah objek yang diteliti dan juga cara menganalisis objeknya.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas penelitian ini akan membahas Tindak Tutur dalam Pidato Presiden Joko Widodo “Visi Indonesia”. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini, yaitu bagaimanakah bentuk tindak tutur yang terdapat dalam pidato presiden Joko Widodo “Visi Indonesia”?
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bentuk tindak tutur yang terdapat dalam pidato presiden Joko Widodo “Visi Indonesia”.
TINJAUAN PUSTAKA
Bahasa sebagai Alat Komunikasi
Bahasa merupakan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap berupa bentuk dan makna, sistem tanda atau sistem lambang, sebagai alat komunikasi, dan digunakan oleh kelompok manusia atau masyarakat untuk mengindenfikasi diri dalam makna yang berkaitan dengan penggunaan bahasa yang terdapat dalam kata yang diucapkan.
Istilah komunikasi secara etimologis berasal dari bahasa Latin communicatus, dan perkataan ini bersumber pada kata communis Dalam kata communis ini memiliki makna
“berbagi‟ atau “menjadi milik bersama‟ yaitu suatu usaha yang memiliki tujuan untuk kebersamaan atau kesamaan makna. Untuk memahami pengertian komunikasi tersebut sehingga dapat dilancarkan secara efektif dalam Effendy(1994:10) bahwa para peminat komunikasi sering kali mengutip paradigma yang dikemukakan oleh Harold Lasswell dalam karyanya, The Structure and Function of Communication in Society. Lasswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk untuk menjelaskan komunikasi ialah dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect? Jadi berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, secara sederhana proses komunikasi adalah pihak komunikator membentuk (encode) makna dan menyampaikannya melalui suatu saluran tertentu kepada pihak penerima yang menimbulkan efek tertentu. Menurut Karlfried Knapp (dalam Tommy,2009 : 6) komunikasi merupakan interaksi antar pribadi yang menggunakan sistem simbol linguistik, seperti simbol verbal dan non verbal. Sistem ini dapat disosialisakan secara langsung atau melalui media lain. Makna komunikasi terdiri dari dua aspek, isi makna dan lambang (symbol).
Fungsi Bahasa
Fungsi dari bahasa pada dasarnya adalah tujuan yang kita capai dengan berbahasa, misalnya menyatakan, meminta, menanggapi, memberi salam, mengucapkan kata perpisahan dan sebagainya. Fungsi tentu saja tidak dapat dipenuhi tanpa bentuk-bentuk bahasa: morfem, kata, kaidah, tata bahasa, wacana, dan kompetensi-kompetensi organisasi lainnya. Komunikasi dapat dipandang sebagai sebuah kombinasi tindakan, serangkaian elemen dengan maksud dan tujuan. Komunikasi bukan sekadar peristiwa, sesuatu yang terjadi, namun komunikasi merupakan fungsional, bertujuan dan dirancang untuk mendatangkan efek suatu perubahan.
Komunikasi adalah proses pertukaran informasi antar individu melalui sistem simbol, tanda, atau tingkah laku yang umum. Pengertian komunikasi itupaling tidak melibatkan dua orang atau lebih, dan proses pemindahan pesannya dapat dilakukan dengan menggunakan cara- cara komunikasi yang dilakukan oleh seseorang. Komunikasi adalah proses pertukaran informasi antar individu melalui sistem simbol, tanda, atau tingkah laku yang umum.
Pengertian komunikasi itu paling tidak melibatkan dua orang atau lebih, dan proses pemindahan pesannya dapat dilakukan dengan menggunakan cara-cara komunikasi yang dilakukan oleh seseorang.
Perspektif Austin
Berdasarkan buku filsafat bahasa Abdul Chaer, Austin selalu menekankan bahwa penggunaan bahasa tidak dapat dilepaskan dari situasi konkret tempat kita menemukan ungkapan-ungkapan, dan dari fenomena-fenomena yang berkaitan dengan penggunaan bahasa tersebut. Austin sering melontarkan ucapan what to say an when, yang berarti ada di dalamnya unsur bahasa (what), yang dianggap sama pentingnya dengan dunia fenomena (when). Karena itu, Austin menamakan konsepnya Linguistic Phenomenology. Mengapa? Karena nama itu merupakan percobaannya untuk menjelaskan fenomena-fenomena dengan melalui penyelidikan bahasa. Dua hal yang dibicarakan secara luas berkenaan dengan filsafat analitika bahasa biasanya adalah, pertama mengenai adanya perbedaan antara ujaran konstantif dengan ujaran performatif. kedua mengenai tindak tutur (speech acts).
Ujaran Konstatif dan Performatif
Perbedaan adanya ujaran konstatif dan ujaran performatif ini Merupakan kontribusi yang sangat mahsyur dari Austin. sebelum Austin kebanyakan filsuf hanya menaruh perhatian terhadap ungkapan yang bermakna dan tidak bermakna; dan yang hanya ditentukan atas dasar formulasi bahasa tertentu seperti menurut atomisme logis atau filsafat bahasa wittgenstein.
Kedua ujaran tersebut, konstatif dan performatif, tidak hanya berbeda dalam ujaran saja, tetapi juga berbeda dalam hal situasi penggunaannya serta prasyarat yang harus dipenuhi. Perbedaan tersebut tidak bersifat mutlak membawa konsekuensi bagi penutur maupun lawan tutur.
Namun, perbedaan tersebut tidak bersifat mutlak karena pada situasi tertentu kedua macam ujaran itu mempunyai kesamaan dan menimbulkan keraguan pada kita untuk membedakannya.
Lalu, Austin juga memberi jalan untuk mengatasi keraguan itu. pemikiran Austin mengenai perbedaan dua macam ujaran itu memberi kontribusi besar bagi pengembangan aspek pragmatik pada studi bahasa yang banyak mendapat perhatian linguis dewasa ini. Kedua macam ujaran itu akan dibicarakan perbedaannya, keraguan, dan cara mengatasi keraguan tersebut. Ujaran konstatif adalah ujaran yang mengungkapkan atau mengatakan sesuatu itu seperti pernyataan dan deskripsi sedangkan ujaran performatif adalah ujaran yang melakukan perbuatan atau tindakan seperti perjanjian, peringatan, dan permintaan. Jadi, Perbedaan keduanya adalah kalo ujaran konstatif hanya menyatakan pernyataan seperti memberi informasi. Sedangkan, ujaran performatif adalah ujaran yang menyatakan perbuatan atau tindakan. Contoh dari ujaran performatif adalah Saya berjanji akan membayar hutang itu besok, saya mengucapkan selamat menempuh hidup baru, saya berharap agar kalian belajar baik-baik, dan saya menunjuk saudara menjadi ketua rombongan. Sedangkan contoh dari ujaran konstatif adalah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, banyak pejabat negara yang mendekam di tahanan KPK, Camat dan Lurah DKI Jakarta diangkat melalui mekanisme lelang, dan contoh yang terakhir adalah kali Bengawan Solo bermuara di laut Jawa.
Berdasarkan dari contoh ujaran konstatif tersebut yaitu ujaran konstatif adalah ujaran yang melukiskan suatu fakta atau kejadian pada waktu yang lalu. benar atau tidaknya isi ujaran tersebut dapat dibuktikan berdasarkan fakta atau kejadian itu sendiri. Artinya, Apakah fakta yang dilukiskan itu benar-benar terjadi pada waktu yang lalu. Untuk membuktikan kebenarannya dapat dilakukan beberapa tahap misalnya dengan menyelidikinya, dengan cara bertanya pada narasumber atau dengan mengamati sendiri. Oleh karena itu, menurut Austin isi ujaran konstatif itu adalah acuan kejadian atau fakta historis yang benar-benar ada di waktu yang lalu. Sedangkan contoh dari ujaran performatif itu adalah ujaran-ujaran yang merupakan realisasi dari tindakan atau perlakuan dan bukan merupakan laporan atau pemberian informasi tentang suatu perbuatan atau tindakan. Dalam hal ini sulit untuk mengkaji Apakah ujaran- ujaran tersebut benar atau salah. Berdasarkan contoh yang sudah disebutkan bahwa ujaran performatif hanya mungkin apabila kalimatnya menggunakan personal pertama (saya, aku, kami) bentuk indikatif aktif dan waktu sekarang (Austin, dalam Searle, 1971: 15).
Setiap ujaran performatif maupun ujaran konstatif sama-sama terikat dengan situasi dan konteksnya kapan dan dimana ujaran itu dilakukan. Karena hal itu, maka kemudian Austin memutuskan untuk menghapus perbedaan ujaran konstatif dan ujaran performatif itu, lalu mengenalkan teori dan jenis-jenis tindak tutur. Hal ini dimaksudkan untuk mengatasi perbedaan dan keraguan antara kedua jenis ujaran itu yaitu konstatif dan performatif.
Tindak Tutur (Speech Act)
Dalam upayanya untuk menjelaskan teori tentang tindak tutur Austin membedakan adanya tiga macam tindak tutur yang dapat memainkan peranannya bila seseorang mengucapkan suatu ujaran atau kalimat. Ketiga tindak tutur itu adalah (1) tindak tutur lokusi yaitu tindak tutur yang dilakukan bila ingin menyampaikan suatu makna tertentu; (2) tindak tutur ilokusi yakni tindak tutur yang merupakan suatu tindakan dan dalam mengatakan sesuatu dengan menggunakan suatu daya yang khas yang membuat si penutur bertindak maupun berlaku karena yang diucapkan atau dikatakannya; dan (3) tindak tutur perlokusi yakni tindak tutur yang karena ucapan si penutur menimbulkan efek bagi si pendengar atau lawan tutur baik aktif maupun pasif.
Tindak Tutur Lokusi
Sudah disebutkan di atas bahwa tindak tutur lokusi terjadi apabila kita ingin menyampaikan suatu makna tertentu. Oleh Austin tindak tutur lokusi digolongkan menjadi tiga, yaitu tindak fonetik, tindak fatik, dan tindak retik. Tindak fonetik adalah tindak tutur (tindak bahasa) dengan mengucapkan bunyi tertentu. Misalnya, ( bAs ), ( bAt ), dan ( kaet ).
Tindak fatik adalah mengucapkan kosakata tertentu, misalnya jenis-jenis bunyi tertentu, termasuk kosakata tertentu. Contohnya, Dia bertaka, “Polisi itu ada di sana”, “Saya tidak dipanggil KPK”, “Pergilah!”, dan “Apakah dosenmu galak?”. Tindak retik adalah penampilan suatu tindakan bahasa dengan menggunakan kosakata yang ada pada tindak fatik dengan pengertian dan acuan yang kurang lebih sudah pasti. Contohnya, Dia berkata polisii itu ada di sana, Dia berkata bahwa dia tidak dipanggil KPK, Dia menyuruhku pergi, dan Dia bertanya, apakah dosen saya galak.
Berdasarkan contoh-contoh di atas dapat disimpulkan bahwa tindak fatik merupakan kalimat langsung; sedangkan tindak retik merupakan kalimat tidak langsung. Selanjutnya, Austin memberi penjelasan lebih detail sebagai berikut:
Pertama, untuk menampilkan sebuah tindak fatik diperlukan adanyan tindak fonetik, tetapi tidak sebaliknya. Mengapa? Karena bila seekor kera mengeluarkan suara, maka suara tersebut bukanlah suatu tindak fatik.
Kedua, tindak fatik harus menggunakan dan memperhatikan dua hal, yaitu kosakata dan tata bahasa. Tindak mungkin menampilkan kata-kata tanpa memperhatikan tata bahasa; dan makna kata-kata yang ditampilkan itu harus memberi pengertian. Dalam hal ini intonasi juga perlu diperhatikan.
Ketiga, tindak fatik seperti tindak fonetik pada dasarnya dapat ditirukan dan dapat didengar (termasuk intonasi, gerak tangan, dan isyarat).
Austin juga menjelaskan bahwa tindak fonetik, tindak fatik, dan tindak retik merupakan subkelas dari lokusi, yang fungsi dan kedudukannya saling bergantung satu sama lain. Maka kita tidak dapat dapat mengucapkan kata-kata tanpa mengeluarkan suara, tetapi kita dapat membuat bunyi suara tanpa harus mengucapkan kata-kata. Kata dapat diucapkan tanpa mempunyai arti; sedangkan arti dapat diberitahukan dalam bahasa tanpa harus diucapkan.
Semua tindak tutur itu (tindak bahasa) harus menyatu jika suatu tindak tutur lokusi itu ingin tercapai, yang jelas bila ingin menampilkan suatu tindak tutur lokusi kita menggunakan bahasa.
Banyaknya fungsi atau cara dalam berbahasa menyebabkan banyaknya perbedaan yang besar diantara tindak tutur yang kita lakukan dalam berbahasa. Tindak tutur yang kita gunakan itu dapat membuat perbedaan yang besar apabila kita menggunakan bahasa. Misalnya, apakah kita akan menasehati, memberi saran, memerintah, atau lainnya lagi, tergantung dari tindak tutur yang ditampilkan.
Tindak Tutur Ilokusi
Menurut Austin tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang menampakkan tindak bahasa dalam mengatakan sesuatu yang dioposisikan dengan penampilan sesuatu tindak tutur dengan menyatakan sesuatu. Kemudian Austin membagi tindak tutur ilokusi atas lima macam tindak tutur dengan menggunakan jenis verba tertentu. Kelimanya adalah verdiktif, eksertif, komisif, behatitif, dan ekspositif.
Verdiktif
Verdiktif merupakan tindak tutur yang ditandai dengan adanya suatu keputusan, seperti yang dilakukan oleh seorang hakim, wasit, atau juri. namun, perlu diperhatikan verdiktif adalah suatu tindakan yang berdasarkan hukum, berbeda dengan tindakan yang menetapkan undang- undang atau tindakan yang menjalankan undang-undang. kedua tindakan terakhir ini merupakan tindakan aktif. tindak tutur direktif mempunyai kaitan dengan kebenaran dan
kesalahan. Namun, keputusan itu tidak harus menjadi keputusan akhir, keputusan itu bisa menjadi suatu perkiraan, estimasi, perhitungan, atau tafsiran. tindak tutur verdictive merupakan salah satu upaya untuk mengetahui apakah sesuatu itu benar atau sesuatu itu sesuai dengan kenyataan atau tidak.
Eksersitif
Eksersitif adalah tindak tutur yang merupakan akibat adanya kekuasaan, hak atau pengaruh.
Komisif
Tindak tutur ini ditandai dengan adanya perjanjian atau perbuatan. Tindak tutur ini membuat si penutur melakukan sesuatu. Tindak tutur komisif sebenarnya mempunyai hubungan dengan tindak tutur verdiktif dan tindak tutur eksersitif.
Behatitif
Tindak tutur ini merupakan sekelompok campuran dan harus dilaksanakan dengan sifat (attitude) dan tingkah laku sosial (social behavior).
Ekspositif
Tindak tutur ekspositif adalah tindak tutur yang memberi keterangan atau penjelasan atau argumen.
Tindak Tutur Perlokusi
Makna sebuah ungkapan adalah fungsi yang dilakukan oleh si penutur ungkapan itu. Jadi, suatu ungkapan adalah fungsi bagaimana ungkapan itu digunakan oleh si penutur bahasa itu.
Untuk memahami ungkapan tersebut harus dilakukan analisis atau uraian mengenai arti suatu kata, suatu kalimat, sehingga dapat dipahami perbedaan antara penggunaan sebuah kalimat dengan kalimat lain. Akhirnya, bisa dikatakan tindak tutur ilokusi selalu terikat oleh adanya efek-efek; sedangkan tindak tutur perlokusi pada dasarnya ditandai dengan timbulnya efek atau pengaruh pada si pendengar atau lawan tutur.
Konsep Pidato
Pidato bisa dikatakan sebagai alat penyalur aspirasi penutur kepada pendengar yang disusun menggunakan kaidah bahasa yang disesuaikan dengan konteks dan situasinya.
Jupriono (2010) mengemukakan bahwa pidato yang berbentuk sebuah teks merupakan satu sistem tanda tergorganisasi yang merefleksikan sikap, keyakinan, dan nilai-nilai tertentu. Pada hal ini, pidato merupakan salah satu bentuk penggalangan kekuasaan yang sangat lekat dengan kajian linguistik. Melalui penyampaian pidato, publik figur berusaha untuk menyalurkan aspirasi kepada khalayak umum. Pada konteks politik, pidato dapat digunakan untuk membujuk masyarakat dengan kalimat-kalimat persuasinya guna mendapat atensi dari masyarakat. Selain itu, pidato juga digunakan sebagai salah satu metode yang sangat sering digunakan untuk menegakkan ideologi yang bertajuk pidato politik atau pidato kenegaraan.
METODE
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif, yaitu metode dimana pencarian data tidak dimaksudkan untuk membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan sebelum penelitian dilakukan. Peneliti menggunakan data pidato presiden Joko Widodo yang diambil melalui sumber situs YouTube KOMPAS TV yang diunggah pada tanggal 14 Juli 2019 dengan judul “Pidato Presiden Terpilih Joko Widodo: Visi Indonesia”
dan durasi video dua puluh tiga menit sebelas detik. Dalam penelitian ini, analisis menggunakan pemikiran gabungan dari Ludwig Wittgenstein dan Austin untuk mendapatkan hasil permainan bahasa berupa wujud tindak tutur. Analisis data dilakukan melalui tahapan berikut, yaitu:Mereduksi data, reduksi data merupakan proses pengumpulan data penelitian yang relevan dengan penelitian. Peneliti dalam tahap ini harus mencatat dan mengumpulkan data-data mengenai yang berkaitan dengan pidato Presiden Joko Widodo. Proses reduksi data
berlangsung selama dalam proses observasi awal. Data yang diperoleh kemudian dipilih untuk dijadikan sebagai data yang selanjutnya akan digunakan dalam membuat kesimpulan dan verifikasi data. Tahap selanjutnya yaitu proses penyajian data, yaitu keseluruhan data yang dikumpulkan tidak dapat digunakan secara langsung. Proses yang harus dilakukan dalam tahap ini adalah menyusun terlebih dahulu data pidato yang diperoleh dengan memisahkan naskah keseluruhan pidato menjadi kalimat sehingga akan lebih mudah untuk diolah kemudian. Pada tahap selanjutnya, dilakukan kegiatan lanjutan dari reduksi data dan display data. Dalam menentukan kesimpulan, dihasilkan data mengenai naskah pidato. Selanjutnya dilakukan proses implementasi berupa permainan bahasa dengan perspektif Austin yang terdapat dalam pidato tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
No.
Kalim at
Analisis Permainan Bahasa Tindak Tutur
Lokusi Ilokusi
Perlok Fonet usi
ik
Fati k
Reti k
Verdik tif
Eksersi tif
Komi sif
Behati tif
Eksposi tif
1. - - - - - - - -
2. - - - - - - - -
3. - - - - - - - -
4. - - - - - - - -
5. - - - -
6. - - - - -
7. - - - - - - -
8. - - - - - - -
9. - - - - - - -
10. - - - - - - - -
11. - - -
12. - - - - - - -
13. - - - - - - -
14. - - - -
15. - - - - - - -
16. - - - - - -
17. - - - - - -
18. - - - - - -
19. - - - - - -
20. - - - - - -
21. - - - - - -
22. - - - - -
23. - - - - - -
24. - - - - - -
25. - - - - -
26. - - - - --
27. - - - - - -
28. - - - - - -
29. - - - - - -
30. - - - - - -
31. - - - - - -
32. - - - - - -
33. - - - - - -
34. - - - - - -
35. - - - - - -
36. - - - - - -
37. - - - - - -
38. - - - - - -
39. - - - - - -
40. - - - - - -
41. - - - - - -
42. - - - - - -
43. - - - - - -
44. - - - - - -
45. - - - - -
46. - - - - - -
47. - - - - -
48. - - - - - - - -
Berdasarkan hasil analisis, dapat dilihat pula bahwa permainan bahasa dalam penyampaian pidato Presiden Joko Widodo yang berjudul “Visi Indonesia” ini terdapat tindak tutur lokusi (fonetik dan fatik), ilokusi (verdiktif, eksersitif, komisif, behatitif, dan ekspositif), dan perlokusi. Hal ini sesuai dengan pokok bahasan dalam buku Philisophical Investigations (Kaelan, 2004), Wittgenstein menjelaskan bahwa permainan bahasa adalah suatu proses pemakaian kata, termasuk pula pemakaian bahasa yang sederhana. Penggunaan bahasa sederhana digunakan karena sasaran penyampaian pidato Presiden Joko Widodo adalah seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Bahasa sederhana digunakan agar mereka dapat memahami maksud dan tujuan dilangsungkannya pidato tersebut. Sehingga, tindakan yang dihasilkan dalam penggunaan bahasa bisa dilakukan sebagai hasil dari sebuah permainan. Hal ini sesuai dengan pendapat Utaker (1992) bahwa permainan bahasa ini dapat menimbulkan suatu tindakan peruasif dan juga hanya bisa menjelaskan informasi secara deskriptif saja. Melihat pentingnya peran masyarakat dalam kontribusinya pada rencana Indonesia maju, pidato ini dibuat dengan tujuan tertentu seperti meraih kepercayaan serta meyakinkan masyarakat untuk saling bahu membahu dalam mewujudkan visi Indonesia yang dicanangkan oleh presiden Joko Widodo.
Proses analisis permainan bahasa yang terdapat pada pidato Presiden Joko Widodo “Visi Indonesia”.
Pada kalimat pertama terdapat tindak fonetik, yaitu dwihuruf ll, ss, dan ll melambangkan konsonan pasca-alveolar nirsuara. Sedangkan pada huruf s dan l melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara. Saat presiden Joko Widodo melakukan pidato, pidato tersebut dihadiri oleh banyak orang dengan keyakinan berbeda-beda. Maka dari itu, salam tersebut disampaikan untuk audiens yang beragama Islam.
Pada kalimat kedua terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara. Selamat malam, itu diucapkan karena saat presiden Joko Widodo melakukan pidato pada waktu malam hari. Salam sejahtera bagi kita semuanya, kata tersebut diucapkan untuk memperlihatkan rasa perhatian presiden Joko Widodo karena yang menghadiri pada saat pidato tersebut ialah pendukung Presiden Joko Widodo.
Pada kalimat ketiga, terdapat tindak fonetik, yaitu dwihuruf sh, sw, dan dh melambangkan konsonan pasca-alveolar nirsuara. Dikarenakan diawal pembukaan pidato presiden Joko Widodo menyampaikan salam dalam agama Islam, yang dimana beliau juga beragama Islam.
Sebagai orang yang mengepalai sebuah negara maka beliau juga menyampaikan salam dalam wujud agama lainnya, seperti Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Pada kalimat keempat terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca- alveolar bersuara. Dikarenakannya presiden Joko Widodo sudah sah menjadi presiden lagi, maka beliau menyampaikan kalimat tersebut untuk kembali merangkul masyarakat secara menyeluruh karena sebelumnya masyarakat itu terbagi menjadi dua kubu, yaitu kubu yang mendukung beliau dan yang tidak mendukung beliau.
Pada kalimat kelima terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca- alveolar bersuara. Selain itu, terdapat juga tindak fatik yaitu pada kata kita harus menyadari, kita harus sadar semuanya. Dalam kalimat kelima juga terdapat tindak tutur verdiktif yang dimana dalam kalimat ini terdapat suatu pernyataan perkiraan atau tafsiran bahwa seluruh masyarakat Indonesia harus siap akan perubahan karena negara Indonesia sedang dalam masa transisi dari negara berkembang menuju negara maju berdasarkan hal tersebut juga dalam kalimat ini juga terdapat tindak tutur perlokusi. Kalimat kelima ini juga menjabarkan sebuah pernyataan dari presiden Joko Widodo yang dimana hal tersebut menjadikan kalimat kelima ini juga mengandung tindak tutur ekspositif.
Pada kalimat keenam terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca- alveolar bersuara. Selain itu, juga terdapat tindak tutur verdiktif yang dimana dalam kalimat ini terdapat suatu pernyataan perkiraan atau tafsiran bahwa penentuan sikap atau mengambil keputusan negara Indonesia terhadap fenomena global masih kurang tepat, sehingga menjadikan negara Indonesia masih inkonsisten. Dalam kalimat ini juga menjabarkan sebuah pernyataan dari presiden Joko Widodo yang dimana hal tersebut menjadikan kalimat keenam ini juga mengandung tindak tutur ekspositif. Selanjutnya, terdapat juga tindak tutur perlokusi yang dimana dalam konteks tersebut presiden Joko Widodo meyakinkan masyarakat Indonesia baahwa fenomena global ini bisa menjadi hambatan untuk negara Indonesia yang ingin maju karena penanganannya yang kurang tepat.
Pada kalimat ketujuh terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca- alveolar bersuara. Pada kalimat ini juga terdapat tindak tutur ekspositif, presiden Joko Widodo memberikan pernyataan dikarenakan masih belum tepatnya penanganan masalah terkait dengan fenomena global maka presiden Joko Widodo memberitahukan bahwa Indonesia harus mencari solusi baru, baik itu dari pemerintahan dan juga masyarakat.
Pada kalimat kedelapan terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca- alveolar bersuara. Pada kalimat ini juga terdapat tindak tutur ekspositif, presiden Joko Widodo memberikan pernyataan dikarenakan masih belum tepatnya penanganan masalah terkait dengan fenomena global maka presiden Joko Widodo memberitahukan bahwa cara kerja lembaga dan pemerintahan harus dibuat lebih efisien karena cara kerja yang dulu itu berbelit- belit yang menjadikan penanganan masalah menjadi memerlukan waktu yang lebih lama.
Pada kalimat kesembilan terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca- alveolar bersuara. Pada kalimat ini juga terdapat tindak tutur ekspositif, presiden Joko Widodo memberikan pernyataan dikarenakan masih belum tepatnya penanganan masalah terkait dengan fenomena global maka presiden Joko Widodo memberitahukan bahwa apabila cara penanganan tepat maka negara Indonesia bisa menjadi negara maju.
Pada kalimat kesepuluh terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca- alveolar bersuara.
Pada kalimat kesebelas terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca- alveolar bersuara. Dalam kalimat ini juga terdapat tindak fatik, yaitu pada saat pengucapan Pertama terdapat gerakan tangan juga melambangkan nomor satu. Selanjutnya, tindak tutur verdiktif juga terdapat dalam kalimat kesebelas ini karena beliau melakukan perhitungan bahwa apabila negara Indonesia ingin bersaing dengan negara lain maka pembangunan infrastruktur harus lebih digencarkan lagi, sebab pembangunan di Indonesia masih belum merata. Kalimat tersebut juga menunjukan adanya tindak tutur ekspositif dan tindak tutur perlokusi terdapat sebagai efek bahwa pemerintahan segera membangun infrastruktur secara merata.
Pada kalimat kedua belas terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca- alveolar bersuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif karena beliau menegaskan bahwa pembangunan itu harus saling terhubung.
Pada kalimat ketiga belas terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca- alveolar bersuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif karena beliau kembali menegaskan bahwa pembangunan itu harus saling terhubung agar tidak ada yang tertinggal.
Pada kalimat keempat belas terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca- alveolar bersuara. Dalam kalimat ini juga terdapat tindak fatik, yaitu pada saat pengucapan yang kedua terdapat gerakan tangan juga melambangkan jumlah dua. Selanjutnya, tindak tutur verdiktif juga terdapat dalam kalimat keempatbelas ini karena beliau melakukan perhitungan bahwa apabila negara Indonesia ingin bersaing dengan negara lain maka SDMnya juga harus ditingkatkan, sebab sampai sekarang SDM masih belum maksimal. Kalimat tersebut juga menunjukan adanya tindak tutur ekspositif dan tindak tutur perlokusi terdapat sebagai efek bahwa SDM negara indonesia harus mempunyai kompetensi yang unggul.
Pada kalimat kelima belas terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca- alveolar bersuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif karena beliau kembali menegaskan bahwa pembangunan SDM menjadi cara awal agar pembangunan di Indonesia bisa dijalankan sesuai rencana demi mewujudkan Indonesia sebagai negara maju.
Pada kalimat keenam belas terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca- alveolar bersuara dan juga terdapat dwihuruf sc yang melambangkan konsonan paca-alveolar nirsuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif karena beliau kembali menegaskan bahwa pembangunan SDM itu menjadi titik awal terjadinya perubahan. Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan cara kementerian pendidikan melakukan strategi baru yaitu merdeka belajar.
Pada kalimat ketujuh belas terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca- alveolar bersuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif karena beliau kembali menegaskan bahwa pembangunan SDM itu menjadi titik awal terjadinya perubahan.
Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan cara kementerian pendidikan melakukan strategi baru yaitu merdeka belajar.
Pada kalimat keedelapan belas terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif karena beliau kembali menegaskan bahwa pembangunan SDM itu menjadi titik awal terjadinya perubahan. Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan cara kementerian pemuda dan olahraga memberikan wadah agar SDM negara Indonesia bisa mengembangkan skill.
Pada kalimat kesembilan belas terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara. Selain itu, tindak tutur ekspositif juga terdapat dalam kalimat tersebut karena presiden Joko Widodo menegaskan bagaimana pentingnya investasi itu dalam membuka lapangan pekerjaan bagi SDM. Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh,
dengan cara pemerintah pusat bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk meyakinkan masyarakat bahwa investasi itu mempunyai dampak positif.
Pada kalimat kedua puluh terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca- alveolar bersuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif karena beliau kembali menegaskan bahwa dari investasi ini akan menciptakan banyak peluang pekerjaan bagi masyarakat Indonesia. Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan cara masyarakat mendukung rencana dari pemerintah.
Pada kalimat kedua puluh satu terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif karena beliau kembali menegaskan bahwa harus menghentikan hal-hal yang bisa menghambat investesi. Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan cara pemerintah membuat perizinan yang lebih efektif dibanding perizinan yang sebelumnya karena dianggap berbelit- belit dan juga akan mengilangkan budaya pungli yang biasa terjadi di Indonesia.
Pada kalimat kedua puluh dua terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur komisif dan behatitif karena beliau mengumumkan dan mengutuk bahwa hal-hal yang bisa menghambat investasi akan dihilangkan. Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan cara presiden Joko Widodo berkordinasi dengan menterinya agar semua berjalan sesuai rencana.
Pada kalimat kedua puluh tiga terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif karena beliau kembali menegaskan betapa pentingnya investasi itu. Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan cara pemerintah pusat berkoordinasi dengan pemerintah daerah agar tidak ada hal-hal yang bisa menghambat investasi.
Pada kalimat kedua puluh empat terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara dan juga terdapat dwihuruf nd yang melambangkan konsonan paca- alveolar nirsuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif karena beliau kembali menjelaskan betapa pentingnya untuk mereformasi birokrasi. Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan cara melakukan reformasi struktural agar semakin sederhana dan dapat meningkatkan kecepatan pelayanan.
Pada kalimat kedua puluh lima terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif dan behatitif karena beliau kembali menegaskan dan mengutuk oknum-oknum yang dalam pekerjaannya tidak berkompeten. Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan cara presiden Joko Widodo berkoordinasi dengan masing-masing kepala daerah untuk selalu mengecek pekerjaan pemerintah daerahnya.
Pada kalimat kedua puluh enam terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif dan eksersitif karena beliau kembali menegaskan dan memerintahkan bahwa menteri harus mengawasi bahwa lembaga harus efektif. Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan cara menteri kembali melakukan evaluasi untuk menentukan lembaga mana yang perlu dipertahankan dan lembaga mana yang perlu untuk dibubarkan karena kurang efektif.
Pada kalimat kedua puluh tujuh terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif karena beliau kembali menegaskan bahwa demi mewujudkan negara yang maju harus kerja keras.
Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan cara pemerintah pusat dan pemerintah daerah melakukan koordinasi agar selalu bisa berkembang.
Pada kalimat kedua puluh delapan terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif karena
beliau kembali menegaskan bahwa pemerintah harus segera berubah agar dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman. Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan cara pemerintah pusat dan pemerintah daerah melakukan koordinasi agar tidak ada yang tertinggal informasi atau dapat bertindak cepat dengan perubahan zaman.
Pada kalimat kedua puluh sembilan terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif karena beliau memberitahukan bahwa kita harus membangun Indonesia yang adaptif, produktif, inovatif, dan kompetitif. Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan cara pemerintah menjalankan rencana dengan tepat dan juga mesosialisasikan dengan masyarakatnya agar bisa saling bahu-membahu mewujudkan Indonesia menjadi negara maju.
Pada kalimat ketiga puluh terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca- alveolar bersuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif karena beliau kembali menegaskan bahwa penggunaan APBN harus tepat. Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan cara pemerintah harus lebih mengefektifkan penggunaan APBN agaar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat bukan malah sebaliknya.
Pada kalimat ketiga puluh satu terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif karena beliau menyatakan bahwa mimpi-mimpi besar bisa terwujud dengan cara bersatu dan optimis.
Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan cara pemerintah memberikan sosialisasi kepada masyarakat agar pemerintah dan masyarakat bisa saling bekerjasama dalam mewujudkan mimpi besar tersebut.
Pada kalimat ketiga puluh dua terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara dan juga terdapat dwihuruf bh yang melambangkan konsonan paca- alveolar nirsuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif karena beliau menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara besar dengan letak geopolitik yang strategis. Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan cara pemerintah dan masyarakat harus saling bahu-membahu agar dapat memaksimalkan kelebihan negara Indonesia.
Pada kalimat ketiga puluh tiga terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara.Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif karena beliau kembali menegaskan bahwa sebagian besar SDM negara Indonesia berada pada masa produktif dengan begitu dimasa depan Indonesia bisa menghadapi tantangan fenomena global.
Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan cara pemerintah bisa melatih dan memaksimalkan kemampuan SDM tersebut.
Pada kalimat ketiga puluh empat terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif karena beliau kembali menyatakan bahwa persatuan dan persaudaraanlah yang bisa menjadikan Indonesia menjadi negara kuat. Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan cara transparansi rencana dari pemerintah ke masyarakat agar tidak adanya kesalahan persepsi.
Pada kalimat ketiga puluh lima terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif karena beliau menyatakan bahwa ideologi bangsa yaitu Pancasila dengan menyebutkan setiap warga harus menjadi bagian darinya. Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan adanya pernyataan tersebut bahwa sebagai negara Indonesia harus mengacu pada ideologi bangsa bukan hanya berdasarkan prasangka semata.
Pada kalimat ketiga puluh enam terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif karena beliau menyatakan bahwa dalam demokrasi itu boleh mendukung kandidat secara bebas.
Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, bahwa warga Indonesia diberikan kebebasan dalam hal menentukan pilihan.
Pada kalimat ketiga puluh tujuh terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif karena beliau menyatakan bahwa menjadi oposisi itu boleh tapi jangan menjadi oposisi yang menimbulkan hinaan dan kebencian. Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan memberikan pengertian terhadap masyarakat Indonesia apabila mendukung suatu pilihan jangan sampai menjatuhkan pilihan yang lain.
Pada kalimat ketiga puluh delapan terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif karena beliau menyatakan bahwa negara Indonesia mempunyai etika ketimuran dan juga memiliki budaya yang luhur. Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan adanya perubahan setelah pemilihan presiden selesai masyarakat Indonesia menghargai hasil dan tidak membeda- bedakan status antar masyarakat karena sebelumnya mereka berbeda pilihan.
Pada kalimat ketiga puluh sembilan terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif karena beliau menyatakan bahwa pancasila merupakan rumah bersama bagi warga Indonesia.
Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan hadirnya sikap legowo dan kembali bersatunya warga Indonesia demi memajukan bangsa.
Pada kalimat keempat puluh terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca- alveolar bersuara dan juga terdapat dwihuruf bh yang melambangkan konsonan paca-alveolar nirsuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif karena beliau menyatakan bahwa tidak ada orang Indonesia yang tidak berbhineka tunggal ika. Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan munjulnya sikap toleransi.
Pada kalimat keempat puluh satu terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara dan juga terdapat dwihuruf bh yang melambangkan konsonan paca- alveolar nirsuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif karena beliau kembali menegaskan bahwa pancasila menginginkan seluruh warga Indonesia bersama dalam keberagaman. Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan tumbuhnya sikap saling menghargai demi mewujudkan mimpi besar negara Indonesia.
Pada kalimat keempat puluh dua terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif karena beliau kembali menegaskan bahwa bersatu itu indah, rukun itu indah, dan bersaudara itu indah.
Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan kesadaran bahwa sebahai warga negara Indonesia mereka saling bersaudara dan harus bersatu.
Pada kalimat keempat puluh tiga terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif dan komisif karena beliau menyatakan bahwa jika warga negara Indonesia berkomitmen dalam meletakkan demokrasi yang bekeadaban dan menjunjung kepribadian Indonesia maka Indonesia menjadi negara yang maju, adil, dan makmur. Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan adanya perubahan sikap warga negara Indonesia yang kembali bersatu dan bahu-membahu membangun negara Indonesia.
Pada kalimat keempat puluh empat terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif karena beliau menyatakan bahwa tidak ada satu pun warga negara Indonesia yang dibeda-bedakan, semua mempunyai hak yang sama. Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan adanya ketenangan dalam pemikiran warga Indonesia karena mempunyai hak yang sama, akan
tetapi masih ada warga negara yang berpikiran bahwa hukum masih belum adil, maka dari itu biasanya warga memberikan kritik terhadap hukum yang ada di Indonesia.
Pada kalimat keempat puluh lima terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara. Selain tindak fonetik terdapat juga tindak fatik karena lawan tutur pada saat itu melakukan tepuk tangan, juga terdapat tindak tutur ekspositif dan eksersitif karena beliau menyatakan bahwa ini bukan tentang kepentingan individu tapi kepentingan bersana.
Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan terwujudnya rasa bersatu demi memajukan mimpi Indonesia.
Pada kalimat keempat puluh enam terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif karena beliau menyatakan bahwa sekarang saatnya memikirkan bersama tentang bangsa. Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan cara terwujudnya rasa saling bahu-membahu dalam memajukan bangsa.
Pada kalimat keempat puluh tujuh terdapat tindak fonetik, yaitu melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara. Selain tindak fonetik, juga terdapat tindak tutur ekspositif dan komisif karena beliau menyatakan dan melibatkan seluruh komponen masyarakat bahwa kita mampu kalau kita bersatu. Tindak tutur perlokusi muncul sebagai pengaruh, dengan bersatunya seluruh warga negara Indonesia demi mamajukan bangsa.
Pada kalimat keempat puluh delapan terdapat tindak fonetik, yaitu dwihuruf ll, ss, dan ll melambangkan konsonan pasca-alveolar nirsuara. Sedangkan pada huruf s dan l melambangkan konsonan pasca-alveolar bersuara. Saat presiden Joko Widodo melakukan pidato, pidato tersebut dihadiri oleh banyak orang dengan keyakinan berbeda-beda. Maka dari itu, salam tersebut disampaikan untuk audiens yang beragama Islam dan juga terdapat tindak fonetik, yaitu dwihuruf sh, sw, dan dh melambangkan konsonan pasca-alveolar nirsuara.
Dikarenakan diawal pembukaan pidato presiden Joko Widodo menyampaikan salam dalam agama Islam, yang dimana beliau juga beragama Islam. Sebagai orang yang mengepalai sebuah negara maka beliau juga menyampaikan salam dalam wujud agama lainnya, seperti Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis dan pembahasan mengenai permainan bahasa pada pidato Presiden Joko Widodo dengan judul Visi Indonesia yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa permainan bahasa dalam penyampaian pidato presiden Joko Widodo yang berjudul “VISI Indonesia” ini terdapat tindak tutur lokusi (fonetik dan fatik), ilokusi (verdiktif, eksersitif, komisif, behatitif, dan ekspositif), dan perlokusi, tindak tutur yang paling dominan terdapat dalam pidato tersebut adalah tindak tutur lokusi, yaitu tindak fonetik. Hal ini sesuai dengan pokok bahasan dalam buku Philisophical Investigations (Kaelan, 2004), Wittgenstein menjelaskan bahwa permainan bahasa adalah suatu proses pemakaian kata dan aturan penggunaan bahasa. Berdasarkan hasil penelitian peneliti mengajukan saran. Saran tersebut antara lain sebagai berikut, dalam menyampaikan pidato seseorang harus menggunakan bahasa yang sederhana agar mudah dipahami oleh orang yang mendengarkan pidato tersebut dan juga pemahaman konteks orang yang mendengarkan pidato sangat mempengaruhi penerimaan informasi dari pidato yang didengarnya.
DAFTAR RUJUKAN
Agustina, L. (2017). Pemikiran Presiden Joko Widodo dalam Pidato Sambutan. Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya, 7(1), 80-94. http://dx.doi.org/10.20527/jbsp.v7i1.3769.
Astuti, H. Y. (2020). Analis Wacana Kritis Pada Pidato Politik Mantan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie. Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya, 10(2), 167-188.
http://dx.doi.org/10.20527/jbsp.v10i2.9374.
Ayuningtias, D. I. & Hartanto, E. C. S. (2014). Pidato Politik Di Indonesia: Sebuah Kajian Wacana Kritis. Prosodi, 8(1), 25-38.
https://journal.trunojoyo.ac.id/prosodi/article/view/284.
Azizah, S. N. & Rustono (2020). Tuturan Ilokusi dalam Wacana Pidato Kampanye Prabowo Subianto pada Pemilu 2019. Jurnal Sastra Indonesia, 9(2), 144-150.
https://doi.org/10.15294/jsi.v9i2.35604.
Barker, A. (1984). Metode-Metode Filsafat. Ghalia Indonesia.
Chaer, A. (2015). FIlsafat Bahasa. Rineka Cipta.
Eswary, E. & Aman, R. (2014). Permainan Bahasa Wittgenstein: Kajian Leksikal Bahasa
Melayu dan Indonesia. Jurnal Melayu, 13, 52-60.
http://ejournal.ukm.my/jmelayu/issue/view/604.
Humaidi, A. (2016). Struktur Teks, Kognisi Sosial, dan Dimensi Sosial Pidato Susilo Bambang Yudhoyono. Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya, 6(1), 115-127.
http://dx.doi.org/10.20527/jbsp.v6i1.3744.
Jupriono. (2010). Analisis Wacana Kritis Latar Historis dalam Pidato Kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jurnal Parafrase, 10(2), 38-49. https://jurnal.untag- sby.ac.id/index.php/parafrase/article/view/174.
Kaelan. (2004). Filsafat Analitis Menurut Ludwig Wittgenstein: Relevansinya bagi Perkembangan Pragmatik. Humaniora, 16 (2), 133-146.
https://journal.ugm.ac.id/jurnal-humaniora/article/view/813.
Kholidah, U., & Haryadi. (2017). Wujud Pilihan Kode Tutur Mahasiswa Aceh pada Ranah
Pergaulan di Semarang. SELOKA, 6(2), 208-217.
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/seloka/article/view/17288.
Kris, B. (1999). Kosa Semiotika. LKiS.
Kusumaningrum, Y. F. (2014). Analisis Kritis Teks Pidato Susilo Bambang Yudhoyono Terkait Kenaikan BBM Tahun 2012-2013. Tesis. Universitas Diponegoro, Semarang.
Mardikayah & Noortyani, R. (2013). Tindak Tutur Dokter dan Pasien Di Puskesmas Gambut Kabupaten Banjar. Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya, 3(1), 79-92.
http://dx.doi.org/10.20527/jbsp.v3i1.4486.
Noranisa. (2021). Persuasif Pada Tuturan Nadiem Makarim (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) dalam Menyampaikan Kebijakan. Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya, 11(1), 87-98. http://dx.doi.org/10.20527/jbsp.v11i1.10564.
Nurpadillah, V. (2017). Wacana Kepemimpinan: Analisis Makna Konotasi Dalam Teks Pidato Perdana Presiden Joko Widodo. Jalabahasa, 13(1), 83-92.
https://doi.org/10.36567/jalabahasa.v13i1.43.
Sholihatin, A. (2008). Pemilihan Kode pada Masyarakat Keturunan Arab di Noyontaan, Kota Pekalongan: Kajian Sosiolinguistik. Tesis tidak diterbitkan. Universitas Diponegoro, Semarang.
Sugiharto, B. (1996). Postmodernisme: Suatu Tantangan dalam Filsafat. Kanisius.
Utaker, A. (1992). Form in Language: Wittgenstein and Structuralism. Wittgenstein and Contemporary Theories of Language Papers Edited by Paul Henry and Arild Utaker.
Wittgenstein Archives: the University of Bergen.
Wardhani, P., Mulyani, M., & Rokhman, F. (2018). Wujud Pilihan Bahasa dalam Ranah Keluarga pada Masyarakat Perumahan di Kota Purbalingga. Jurnal Kredo, 1(2), 91- 105. https://doi.org/10.24176/kredo.v1i2.2147.
Widiantara, I. W. P., Wendra, I. W. & Sriasih, S. A. P. (2014). Kajian Retorika Dalam Naskah Pidato Pada Siswa Kelas X.1 SMA Negeri 1 Pupuan. e-Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Undiksha, 2(1).
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JJPBS/article/view/3516.
Wilujeng, S. R. (2012). Bahasa Politik dalam Perspektif Filsafat Bahasa Ludwig Wittgenstein.
Humanika, 16 (9), 1-13.
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/humanika/article/view/4608