• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF Tinea Kapitis Tipe Gray Patch Yang Diduga Disebabkan Oleh - Unud

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PDF Tinea Kapitis Tipe Gray Patch Yang Diduga Disebabkan Oleh - Unud"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

TINEA KAPITIS TIPE GRAY PATCH YANG DIDUGA DISEBABKAN OLEH

MICROSPORUM DAN TRICHOPHYTON

Oleh Veronica

IGAA Dwi Karmila

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RS SANGLAH DENPASAR

2016

(2)

1 PENDAHULUAN

Tinea kapitis disebut juga tinea tonsurans atau ringworm of the scalp adalah infeksi pada rambut dan kulit kepala oleh dermatofita yang terutama terjadi pada anak-anak usia 3-7 tahun. Tinea kapitis dapat disebabkan oleh semua spesies dermatofita yaitu yang termasuk dalam klasifikasi Microsporum (M) dan Trichophyton (T) kecuali Epidermophyton floccosum dan Trichophyton concentricum. Distribusi dermatofita berbeda tiap negara tergantung beberapa faktor yaitu letak geografi, iklim dan gaya hidup.1,2,3,4,5

Di Amerika Serikat lebih dari 90 % kasus tinea kapitis disebabkan oleh T.

tonsurans dan kurang dari 5 % disebabkan oleh spesies Microsporum. Penyebab terbanyak tinea kapitis di Jepang Cina, Korea dan Afrika Selatan adalah M.

ferregineum. Berdasarkan laporan tahun 1994, penyebab tinea kapitis terbanyak di Medan adalah T. rubrum dan T. mentagrophytes, sementara di Bali paling banyak disebabkan oleh T. mentagrophytes (27,27%), diikuti oleh T. tonsurans (11,36%), dan T. rubrum (4,54%).6,7,8

Insiden tinea kapitis sangat kecil dibandingkan dermatofitosis lainnya. Tinea kapitis tersebar di seluruh dunia dengan insiden yang berbeda-beda tergantung letak geografi serta beberapa faktor yang dapat mempengaruhi tingginya kejadian tinea kapitis yaitu buruknya higiene individu, kepadatan penduduk, kondisi sosial ekonomi, pola adat istiadat dan pelayanan kesehatan. Epidemik dalam keluarga sering terjadi dan adanya karier asimtomatik menyulitkan eradikasi penyakit ini.9,10 Penelitian retrospektif di rumah sakit umum pusat (RSUP) Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari hingga Desember 2012 ditemukan 6 kasus tinea kapitis (9,23 %) dari keseluruhan 65 kasus dermatofitosis. Insiden tinea kapitis di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2007-2010, sebesar 0,21% yang didominasi kelompok umur 5-14 tahun (35,71%) dan paling banyak ditemukan pada jenis kelamin laki-laki (60%).11,12

Gambaran klinis tinea kapitis ditentukan oleh bentuk invasi dermatofita pada rambut berupa endotrik, ektortik dan favus. Gambaran klinis sangat bervariasi dan

(3)

2 meskipun penegakkan diagnosis tinea kapitis cukup mudah namun pada praktek sehari-hari sering ditemukan pola campuran baik dalam gambaran klinis maupun hasil pemeriksaan penunjang KOH sehingga kadang-kadang membingungkan.

Diagnosis banding juga perlu dipertimbangkan karena banyak sekali kelainan rambut dan kulit kepala yang menyebabkan alopesia dengan ataupun tanpa skar.1,9,13 Pengobatan untuk tinea kapitis dapat secara sistemik dan topikal namun yang utama adalah pengobatan sistemik sementara pengobatan topikal hanya sebagai terapi tambahan. Pengobatan yang tidak tepat atau keterlambatan pengobatan dapat menyebabkan penyakit berlangsung kronis dan terjadi komplikasi berupa alopesia permanen dengan atau tanpa skar.3,14

Berikut ini akan dilaporkan kasus tinea kapitis pada anak dengan gambaran klinis tipe gray patch yang diduga disebabkan oleh genus Microsporum dan Trichophyton. Kasus ini dilaporkan untuk menambah pengetahuan kita tentang variasi spesies penyebab tinea kapitis dan interpretasi hasil pemeriksaan penunjang.

KASUS

Seorang anak perempuan, 6 tahun, suku Bali, warga negara Indonesia, dengan nomor RM 16.02.46.80, datang ke poliklinik kulit dan kelamin pada tanggal 8 Juni 2016.

Berdasarkan heteroanamesis dari ibu pasien dan anamnesis dari pasien didapatkan keluhan utama rambut rontok setempat dan berwarna keabuan disertai bercak merah ditutupi sisik putih tipis pada kulit kepala sejak ± 1 minggu yang lalu.

Keluhan tersebut baru disadari oleh ibunya. Menurut ibu pasien sebelum timbul keluhan ini, anaknya sudah lama mengeluh gatal di daerah tersebut sehingga pasien tampak mengaruk-garuk kepalanya. Rambut pasien kemudian rontok, berwarna keabuan dan tampak kusam serta timbul sisik berwarna putih. Keluhan pada daerah tubuh yang lain disangkal. Pasien mengatakan tidak menggunakan handuk, sisir, topi bersamaan dengan anggota keluarga yang lain. Pasien memelihara satu ekor anjing

(4)

3 dan sering bermain bersama dengan anjing peliharaannya, namun keluhan bulu yang tampak botak pada anjing tersebut disangkal.

Riwayat pengobatan, ibu pasien pernah mengoleskan obat tradisional satu kali sehari dan digunakan selama 5 hari namun keluhan tersebut tidak membaik. Riwayat berobat ke dokter untuk keluhan ini disangkal. Riwayat penyakit dahulu, pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Riwayat penyakit kulit lain sebelumnya disangkal. Riwayat pipi tampak kemerahan apabila terpapar matahari dan nyeri sendi disangkal. Riwayat mata atau kulit pernah tampak kuning disangkal.

Riwayat penyakit hati dan ginjal disangkal, riwayat alergi obat dan makanan disangkal. Riwayat atopi (rhinitis alergika, asma) disangkal.

Riwayat penyakit keluarga, keluhan yang sama pada anggota keluarga penderita yang tinggal serumah disangkal oleh ibu penderita. Riwayat penyakit sistemik seperti diabetes, penyakit ginjal dan hati dalam keluarga disangkal. Riwayat anggota keluarga memiliki alergi obat dan makanan, riwayat atopi (rhinitis alergika, asma) disangkal. Riwayat sosial, pasien anak ke-2 dari 2 bersaudara, saat ini siswi duduk dikelas satu sekolah dasar (SD). Pasien mengatakan teman sekolahnya dulu pernah memiliki keluhan seperti pasien dan pasien pernah meminjam sisir. Namun temannya sudah berobat dan saat ini sudah tidak ada keluhan. Pasien menyangkal pernah ke salon dalam 1 bulan terakhir sebelum timbul keluhan ini.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan berat badan penderita 15 kg, keadaan umum penderita baik dan kesadaran kompos mentis. Frekuensi napas 20 kali permenit, denyut nadi 80 kali permenit, suhu aksila 36˚C dan Visual Analogue Scale (VAS) 0. Pada status generalis didapatkan kepala normosefali. Pada pemeriksaan kedua mata tidak tampak anemis dan tidak ikterus, reflek pupil baik dan simetris.

Pemeriksaan telinga, hidung, tenggorokan didapatkan kesan tenang. Pemeriksaan toraks, pada jantung didapatkan suara jantung (S1 dan S2) tunggal, regular, tidak terdapat murmur dan gallop. Pada paru, suara nafas vesikuler, tidak ditemukan adanya ronki ataupun wheezing. Pada pemeriksaan abdomen, bising usus dalam batas

(5)

4 normal, tidak ditemukan distensi, tidak ada pembesaran hepar dan lien. Ekstremitas atas dan bawah teraba hangat dan tidak ditemukan edema. Pembesaran kelenjar getah bening aurikuler posterior dan servikal posterior tidak ditemukan. Pemeriksaan kuku tidak ditemukan kelainan.

Status dermatologi, lokasi pada bagian parietal sinistra didapatkan efloresensi patch eritema soliter, bentuk bulat, ukuran diameter 2 cm, ditutupi oleh skuama putih halus, disertai rambut berwarna keabuan kusam yang terputus 0,5-1 cm diatas kulit kepala (Gambar 1.A).

Gambar 1.A. Lesi pada bagian parietal sinistra. 1.B. Pemeriksaan lampu Wood menunjukkan fluoresensi kehijauan.

Pasien didiagnosis banding dengan tinea kapitis tipe gray patch dengan diferensial diagnosis dermatitis seboroik dan alopesia areata. Dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan lampu Wood pada lesi menunjukkan fluoresensi kehijauan (Gambar 1.B). Pada pemeriksaan dermoskopi didapatkan “comma” (panah merah),

corkscrew” (panah biru) dan morse code-like hair (panah putih) yang menjadi tanda tinea kapitis (Gambar 1.C). Pada pemeriksaan kalium hidroksida (KOH) 10% dari pencabutan rambut kepala ditemukan artrokonidia di luar batang rambut (ektotriks) (Gambar 1.D). Pemeriksaan hair pull test didapatkan rambut terlepas > 5 helai.

1.A 1.B

(6)

5 Gambar 1.C., 1.D. Tampak “comma” (panah merah), “corkscrew” (panah biru) dan morse code-like hair (panah putih). 1.D. Pemeriksaan KOH menunjukkan artrokonidia di luar batang rambut (ektotriks) (panah hijau).

Pada tanggal 8 Juni 2016 dilakukan pemeriksaan biakan jamur rambut diambil dari lesi dengan menggunakan agar Saboroud’s Dextrose (SDA). Diagnosis kerja berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pada pasien adalah tinea kapitis tipe gray patch. Penatalaksanaan pada pasien adalah griseofulvin microsize tablet 20-15mg/kg berat badan/hari sehingga diberikan 300 mg setiap 24 jam peroral selama 2 minggu yang direncanakan akan diberikan selama 6-8 minggu, ketokonazol sampo 2% 3 kali seminggu selama 2 minggu dan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) agar minum obat teratur, menjaga kebersihan kulit kepala dengan menggunakan sampo sesuai aturan, tidak menggunakan handuk, topi, sisir bersama dengan anggota keluarga dan teman sekolah. Tidak kontak dengan binatang peliharaan selama pengobatan. Pasien disarankan untuk kontrol 2 minggu kemudian.

Hewan peliharaan penderita (anjing) juga direncanakan diambil sampel bulunya dan dilakukan pemeriksaan KOH 10% serta skrining infeksi pada anggota keluarga dalam satu rumah.

1.C

(7)

6 PENGAMATAN LANJUTAN I (Hari ke-14: Tanggal 21 Juni 2016)

Pengamatan hari ke-14 kunjungan rumah terhadap penderita, anamnesis dari pasien dan heteroanamnesis dari ibu pasien didapatkan keluhan rambut rontok berkurang, beberapa rambut sudah mulai tumbuh, gatal berkurang dan tidak ditemukan sisik putih pada rambut. Adanya lesi baru disangkal.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik, kesadaran kompos mentis. Frekuensi napas 20 kali permenit, denyut nadi 80 kali permenit, suhu aksila 36˚C. Pemeriksaan status generalis tidak ditemukan kelainan.

Status dermatologi, lokasi pada bagian parietal sinsistra didapatkan efloresensi patch alopesia soliter, bentuk bulat, ukuran diameter 1,5 cm (Gambar 2.A). Pemeriksaan KOH 10% dari kerokan lesi di kulit kepala didapatkan hifa panjang bersepta (Gambar 2.B). Pemeriksaan hair pull test didapatkan rambut terlepas 1 helai.

Gambar 2.A. Lesi pada bagian parietal sinistra. 2.B. Tampak hifa panjang bersepta.

Pada pemeriksaan kalium hidroksida (KOH) 10% dari kerokan kulit kepala pada anggota keluarga dalam satu rumah tidak ditemukan elemen jamur. Pada

2.A 2.B

(8)

7 pemeriksaan kalium hidroksida (KOH) 10% dari pencabutan bulu anjing peliharaan hasil tidak ditemukan elemen jamur.

Hasil pemeriksaan kultur pada tanggal 8 Juni 2016 didapatkan adanya pertumbuhan jamur pada tanggal 14 Juni 2016 (hari ke-7). Berdasarkan gambaran makroskopis koloni pada SDA ditemukan koloni berwarna putih sampai kuning kemerahan, dibagian tengah mirip beludru dan daerah tepi tampak berbulu (Gambar 2.C-D) dan pemeriksaan mikroskopis KOH dari koloni jamur yang ditanam ditemukan mikrokonidia banyak, dengan berbagai bentuk dan makrokonidia jarang, berbentuk cerutu (panah putih) (Gambar 2.E), diidentifikasi spesies jamur sesuai dengan Trichophyton tonsurans.

Gambar 2.C & D. Tampak koloni berwarna putih sampai kuning atau merah tua, dibagian tengah mirip beludru dan daerah tepi tampak berbulu. 2.E. Tampak mikrokonidia berbagai bentuk, makrokonidia berbentuk cerutu (panah putih).

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan diagnosis kerja adalah follow up tinea kapitis tipe gray patch membaik.

Penatalaksanaan yang diberikan adalah griseofulvin microsize tablet 300 mg setiap 24 jam peroral selama 2 minggu dan ketokonazol 2% sampo 3 kali seminggu (dilanjutkan). Pasien diberikan KIE perkembangan penyakit, tidak menggunakan handuk, topi, sisir bersama dengan anggota keluarga dan teman sekolah, minum obat teratur dan menjaga kebersihan kulit kepala dengan menggunakan sampo sesuai aturan serta kontrol 2 minggu kemudian.

2.C 2.D 2.E

(9)

8 PENGAMATAN LANJUTAN II (Hari ke-21: Tanggal 5 Juli 2016)

Pengamatan hari ke-21 saat kunjungan rumah pada heteroanamnesis dari ibu dan anamnesis dari pasien didapatkan rambut tidak rontok, keluhan gatal tidak ada dan tampak rambut sudah tumbuh. Adanya lesi baru disangkal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum penderita baik, kesadaran kompos mentis. Frekuensi napas 20 kali permenit, denyut nadi 80 kali permenit, suhu aksila 36˚C. Pemeriksaan status generalis tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan hair pull test tidak didapatkan rambut terlepas.

Status dermatologi, lokasi pada parietal sinistra didapatkan efloresensi patch alopesia soliter, batas tegas, bentuk geografika, ukuran 0,5x1 cm (Gambar 3.A), beberapa tumbuh sepanjang 1,5 cm - 2,5 cm (Gambar 3.B). Pemeriksaan KOH 10%

dari kerokan kulit kepala tidak didapatkan elemen jamur.

Gambar 3.A. Lesi pada bagian parietal sinistra, 3.B. Rambut tumbuh 2,5 cm.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan diagnosis kerja adalah follow up tinea kapitis tipe gray patch membaik.

Penatalaksanaan yang diberikan adalah griseofulvin microsize tablet 300 mg setiap 24

3.A 3.B

(10)

9 jam peroral selama 2 minggu dan ketokonazol 2% sampo 3 kali seminggu dilanjutkan selama 2 minggu. Pasien diberikan edukasi agar minum obat teratur, menjaga kebersihan kulit kepala dengan menggunakan sampo sesuai aturan, tidak menggunakan handuk, topi, sisir bersama dengan anggota keluarga dan teman sekolah. Pasien disarankan untuk kontrol 2 minggu kemudian dan diberikan KIE untuk melakukan pemeriksaan biakan jamur ulang.

PEMBAHASAN

Tinea kapitis adalah infeksi dermatofita pada rambut dan kulit kepala yang ditandai dengan alopesia setempat disertai skuama. Prevalensi tinea kapitis tertinggi pada anak usia 3 tahun hingga 7 tahun, meskipun kadang-kadang dapat mengenai bayi dan dewasa.14,15 Tinea kapitis jarang terjadi setelah pubertas karena adanya perubahan pH pada kulit kepala dan meningkatnya kandungan asam lemak pada sebum yang memiliki efek fungistatik.2,9 Tinea kapitis terutama disebabkan oleh dermatofita spesies dari genus Trichophyton dan Microsporum. Penyebab tinea kapitis berbeda- beda berdasarkan letak geografis.14,16 Sumber penularan tinea kapitis bisa berasal dari manusia ke manusia / antropofilik dengan tersering adalah M. audouinii, T. tonsurans dan dari binatang ke manusia / zoofilik dengan penyebab tersering adalah M. canis.2,7 Studi pada daerah endemik Microsporum audoinii rasio anak laki-laki dibanding perempuan adalah 5:1 sedangkan pada daerah endemik Trichopyton tonsurans menunjukkan frekuensi tinea kapitis sama pada kedua jenis kelamin. 4,13 Pada kasus, pasien adalah seorang anak perempuan yang berusia 6 tahun.

Penularan didapat dari kontak secara langsung dengan manusia yang terinfeksi dan tidak langsung melalui pemakaian bersama sisir, topi, bantal, handuk, serta kursi bioskop dalam jangka lama atau kontak dengan hewan yang terinfeksi.

Kontak di sekolah dan tempat lainnya dimana anak-anak berkumpul serta kontak dengan binatang peliharaan merupakan faktor penting pada penyebaran tinea kapitis.

Saat ini dilaporkan bahwa karier asimtomatik juga dapat menjadi sumber untuk

(11)

10 infeksi yang berulang pada anak-anak.9,10,14 Transmisi tinea kapitis meningkat seiring menurunnya higienitas individu, kepadatan pemukiman penduduk, status sosial ekonomi yang rendah dan kurangnya pelayanan kesehatan yang tersedia.2,10

Pada kasus, berdasarkan anamnesis didapatkan keluhan seperti ini baru pertama kali dialami pasien. Orang serumah menyangkal memiliki gejala dan keluhan serupa dengan pasien namun ada teman pasien yang memiliki keluhan serupa dan riwayat pemakaian sisir bersama. Pasien memiliki anjing peliharaan dan setiap hari sering bermain bersama, namun riwayat adanya bulu yang tampak botak pada peliharaan tidak diketahui. Sumber penularan diduga dapat berasal dari teman sekolah pasien serta binatang peliharaan.

Masa inkubasi tinea kapitis sangat bervariasi, pada antropofilik berlangsung selama 2 hingga 4 hari. Awal infeksi terjadi dimulai dengan invasi dermatofita melalui stratum korneum perifolikuler. Hifa tumbuh ke dalam folikel dan berhenti pada pertemuan antara sel yang telah berkeratin tebal dan tidak berinti dengan yang masih berinti, kemudian membentuk Adamson fringe yaitu lingkaran ujung-ujung hifa di area ini dalam waktu sekitar 12 hari. Selanjutnya beberapa spesies dermatofita membentuk spora besar di dalam rambut disebut spora endotrik. Pada infeksi endotrik, pertumbuhan hifa terjadi seluruhnya di dalam selubung rambut, hifa berubah menjadi artrokonidia (spora) di dalam rambut sementara permukaan kutikel rambut tetap intak. 3,4,7

Sementara beberapa spesies lainnya membentuk spora bulat kecil atau besar di sisi luar rambut disebut spora ektotrik. Pada infeksi ektotrik, hifa berkembang di dalam rambut namun juga menghancurkan kutikel rambut dan berkembang di sekitar selubung rambut bagian luar. Artrokonidia dapat bertumbuh didalam maupun diluar selubung rambut. Selama pertumbuhan rambut, jamur ikut tumbuh kearah batang rambut yang menyebabkan rambut patah dan terjadi alopesia. Rambut dapat patah tepat di muara folikel atau beberapa millimeter (1-3 mm) diatas permukaan kulit sekitar 3 minggu. Lama perluasan lesi mulai dari lesi yang baru timbul hingga lesi

(12)

11 semakin melebar berlangsung selama 4 hari hingga 4 bulan. Infeksi jamur zoofilik biasanya mengalami fase evolusi yang sama namun sangat inflamasi.1,3,7

Gambaran klinis bervariasi mulai bentuk inflamasi yaitu folikulitis pustular tampak pustul yang menyebar di kulit kepala sampai kerion kerion yaitu pembengkakan yang dipenuhi dengan rambut patah-patah dan lubang-lubang folikuler yang dipenuhi pus. Inflamasi seperti ini sering menimbulkan alopesia sikatriks. Lesi biasanya gatal dan dapat nyeri, disertai limfadenopati servikal dan panas badan. Penyebab tersering adalah M. canis dan M. gypseum. Favus merupakan manifestasi klinis yang parah dan bersifat kronis yang disebabkan oleh T.

schoenleinii, menyebabkan lapisan tebal berwarna kuning menyelimuti rambut.17 Bentuk non inflamasi antara lain diffuse scaling, gray patch dan black dot.

Diffuse scaling tampak pola seperti seboroik atau ketombe yang meliputi seluruh kulit kepala, pengelupasan kadang-kadang tertutup oleh rambut yang berminyak, sehingga sering disertai keluhan pruritus kronik.Pada tipe gray patch tampak bercak eritema berbatas tegas yang disertai skuama, alopesia sirkuler, rambut berwarna keabuan dan kusam, penyebab tersering adalah M. audouinii dan M. ferrugineum, namun dapat juga disebabkan oleh spesies Trichophyton. Artrokonidia membentuk selubung disekitar rambut sehingga rambut menjadi keabuan dan patah diatas kulit kepala. Pada black dot tampak pola rambut rontok yang berbatas tegas dengan rambut patah pada area orifisium folikuler sehingga memberikan gambaran black dot pada kulit kepala di area alopesia.2,17 Pemeriksaan dermoskopi merupakan modalitas terbaru yang dapat membantu menegakkan diagnosis tinea kapitis. Pada pemeriksaan dermoskopi akan tampak “comma”, “corkscrews” dan “morse code-hair” yang menjadi tanda untuk tinea kapitis.9,18,19

Diagnosis banding tinea kapitis adalah semua kondisi yang dapat menyebabkan alopesia setempat dengan perubahan inflamasi pada kulit kepala. Tinea kapitis tipe noninflamasi yang disertai skuama terutama oleh T. tonsurans, mirip dengan dermatitis seboroik (DS) namun DS biasanya tidak terbatas hanya pada kulit

(13)

12 kepala namun dapat ditemukan pada lokasi lain. Alopesia areata mungkin menunjukkan area yang eritema dan meskipun kelainan ini tidak disertai skuama namun dapat terjadi bersamaan dengan dermatitis seboroik.1,3,9

Pada kasus, gambaran klinis pada pasien sesuai tinea kapitis tipe gray patch yaitu bercak eritema berbatas tegas, alopesia setempat yang disertai skuama putih tipis dengan rambut yang berwarna keabuan, kusam dan beberapa rambut tampak patah diatas kulit kepala. Dari anamnesis tidak adanya lesi pada daerah tubuh yang lain dan pemeriksaan fisik ditemukan skuama putih halus, hair pull test rambut terlepas > 5 helai. Pemeriksaan dermoskopi didapatkan “comma”, “corkscrews”, dan

morse code-hair” dan tidak ditemukan exclamation-mark hair sehingga diagnosis banding dermatitis seboroik dan alopesia areata dapat disingkirkan.

Diagnosis pasti tinea kapitis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan lampu wood, pemeriksaan sediaan basah dengan kalium hidroksida (KOH) 10% dan biakan jamur. Pemeriksaan lampu Wood tidak mahal, mudah digunakan dan praktis untuk mengidentifikasi mikroorganisme penyebab tinea karena Microsporum spp. dapat memberikan fluoresensi warna kuning-hijau sedangkan Trichophyton spp. tidak memberikan fluoresensi.Pemeriksaan KOH 10%

pada bahan yang diambil dari pencabutan rambut kepala. Pada ektotriks terlihat artrokonidia yang kecil di sekitar batang rambut dan pada infeksi endotriks terlihat rantai artrokonidia di dalam batang rambut.9,7,14 Spesies yang menyebabkan infeksi endotrik adalah T. tonsurans, T. violaceum, T. soudanense, T. gourvilii, T.

yaoundei.2Spesies yang menyebabkan infeksi ektotrik adalah M. audounii, M. canis, M. ferrugineum, M. distortum, M. fulvum, M. gypseum, T. megninii, T. rubrum, T.

interdigitale, T. verrucosum. Sementara spesies yang menyebabkan favus adalah T.

schoenlenii.2

Tujuan pemeriksaan kultur adalah untuk menentukan spesies dermatofita penyebab tinea kapitis. Spesies penyebab tersering tinea kapitis adalah M. canis dan T. tonsurans. Spesimen bahan diinokulasikan di media agar Sabouroud atau media

(14)

13 kultur yang mengandung antibiotik untuk pemeriksaan kultur jamur. Pertumbuhan koloni jamur diobservasi dalam waktu 1 sampai 6 minggu.9,14 Gambaran makroskopis T. tonsurans yaitu koloni berwarna putih hingga kuning atau merah tua, di bagian tengah mirip beludru sementara daerah tepi tampak berbulu. Gambaran mikroskopis T. tonsurans tampak mikrokonidia dengan berbagai bentuk dalam jumlah yang banyak dan makrokonidia berbentuk cerutu yang jarang.2 Gambaran makroskopis M.

canis yaitu koloni berwarna putih, berbulu halus atau kasar, dengan pigmen kuning pada tepinya dan alur radial berdekatan. Dibalik koloni, berwarna kuning tua sampai coklat. Gambaran mikroskopis M. canis mikrokonidia jarang, hifa bersepta.

Makrokonidia kasar berdinding tebal.20

Pada kasus, pemeriksaan dengan lampu Wood menunjukkan fluoresensi warna kehijauan. Pada pemeriksaan rambut yang dicabut kemudian diisi KOH 10%

ditemukan adanya artrokonidia ektotriks. Sehingga pada awalnya tinea kapitis diduga disebabkan oleh microsporum. Pemeriksaan biakan jamur sesuai dengan T. tonsurans berupa makroskopis koloni putih hingga kuning kemerahan, bagian tengah mirip beludru dan tepi tampak berbulu. Pada gambaran mikroskopis tampak makrokonidia berbentuk cerutu yang khas.

Tinea kapitis umumnya disebabkan oleh satu spesies dermatofita, namun pada kasus yang jarang dapat terjadi infeksi oleh lebih dari satu spesies jamur. Penelitian oleh Grover dkk. mendapatkan 10% kasus menunjukkan tipe campuran (gambaran klinis gray patch dan black dot serta gray patch dan pustular). Pemeriksaan KOH positif pada 82,3% pasien dan menujukkan campuran invasi ektotriks dan endotriks secara bersama-sama.13,21 Pemeriksaan biakan jamur umumnya hanya menunjukkan pertumbuhan koloni satu spesies jamur, berbeda dengan gambaran klinis dan pemeriksaan KOH tipe campuran yang didapatkan. Sehingga disimpulkan gambaran klinis dan pemeriksaan KOH bukan merupakan faktor prediksi spesies jamur yang ditemukan pada biakan jamur.13,22 Pada kasus, berdasarkan anamnesis sumber penularan diduga dapat berasal dari teman sekolah pasien serta binatang peliharaan.

(15)

14 Gambaran klinis berupa tipe gray patch yang umumnya disebabkan oleh infeksi ektotrik oleh spesies Microsporum didukung oleh pemeriksaan Wood yang memberikan fluoresensi kehijauan dan pemeriksaan KOH ditemukan adanya artrokonidia ektotriks. Namun hasil pemeriksaan biakan jamur menunjukkan sesuai dengan spesies Trichophyton tonsurans sehingga diduga tinea kapitis pada pasien disebabkan oleh 2 spesies dermatofita.

Tujuan pengobatan tinea kapitis untuk mencapai kesembuhan klinis dan mikologi. Pengobatan tinea kapitis harus menggunakan obat sistemik, pengobatan topikal saja tidak direkomendasikan karena tidak dapat berpenetrasi kedalam selubung rambut dan folikel rambut sehingga hanya digunakan sebagai terapi tambahan untuk pengobatan sistemik. Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan dan efektifitas terapi adalah tolerabilitas, keamanan, kepatuhan pasien, availabilitas dan biaya.9,14

Griseofulvin masih menjadi baku emas untuk pengobatan tinea kapitis karena aman dan dapat ditoleransi baik oleh anak. Griseofulvin bersifat fungistatik dan menghambat mitosis dermatofita dengan cara menganggu pembentukan spindle mikrotubulus.7,23 Absorbsi griseovulvin meningkat bila dikonsumsi bersama dengan makanan terutama makanan berlemak. Dosis griseofulvin dalam bentuk microsize yang direkomendasikan adalah 20-25 mg/kg berat badan dengan dosis tunggal atau terbagi, sedangkan bentuk ultramicrosize diberikan dosis sebanyak 15 mg/kg berat badan dengan dosis tunggal atau terbagi.7,16 Efek samping yang sering berhubungan dengan traktus gastrointestinal seperti nausea dan sistem saraf pusat seperti sakit kepala, mengantuk serta insomnia. Kelemahan griseofulvin adalah lama pengobatan panjang yaitu minimal 6-8 minggu sampai 3-4 bulan, tergantung kesembuhan klinis dan mikologik, serta rasanya yang pahit bila dalam bentuk cair.Terapi alternatif dapat menggunakan ketokonazole, itrakonazole, flukonazole dan terbinafin dengan lama pengobatan yang lebih singkat namun harga lebih mahal.7,14,23

(16)

15 Terapi topikal berupa sampo ketokonazol 2% digunakan 3 kali dalam seminggu dan diamkan selama 5 menit agar sampo kontak dengan kulit kepala sebelum dibilas. Pengobatan topikal biasanya dilanjutkan selama 1 sampai 3 minggu setelah kesembuhan klinis dan mikologik membaik. Alternatif dapat diberikan selenium sulfid 1-2,5%.7,14 Pada kasus, ibu pasien memilih menggunakan griseofulvin karena lebih murah meskipun lama pengobatannya lebih panjang. Berdasarkan hasil pengamatan setelah 4 minggu pengobatan memberikan hasil yang baik, didapatkan perbaikan klinis dan pada pemeriksaan KOH tidak ditemukan elemen jamur. Terapi griseofulvin dan sampo ketokonazol 2% direncanakan dilanjutkan sampai 2 minggu lagi.

Pada pengamatan lanjutan dilakukan pemeriksaan secara klinis dan mikologik yang harus diulang dengan interval 2 hingga 4 minggu. Setelah dosis terapi tercapai dianjurkan pemeriksaan biakan jamur ulang untuk mengkonfirmasi kesembuhan mikologik. Pengobatan dihentikan bila hasil biakan jamur telah negatif atau ketika rambut telah tumbuh kembali yang merupakan bukti klinis. Apabila hasil pemeriksaan biakan jamur masih positif maka pengobatan dilanjutkan kembali sesuai dosis terapi dan pemeriksaan biakan jamur diulangi kembali 6 minggu kemudian.21,24 Pada kasus pengamatan lanjutan dilakukan setiap 2 minggu. Pada minggu yang ke-4 pemeriksaan secara klinis telah menunjukkan perbaikan dan rambut telah tumbuh, namun konfirmasi kesembuhan secara mikologik belum dilakukan sehingga terapi pada pasien dilanjutkan sesuai dosis anjuran bagi tinea kapitis dan pasien diberikan KIE untuk melakukan pemeriksaan biakan jamur ulang.

Prognosis kasus tinea kapitis tergantung dari berat ringannya inflamasi yang ditimbulkan oleh organisme penyebab, sensitivitas organisme terhadap pengobatan dan adanya kekambuhan. Kekambuhan biasanya tidak terjadi bila telah diberikan terapi yang adekuat serta penemuan dan pengobatan terhadap binatang atau orang lain di sekitarnya yang terinfeksi dan juga karier asimptomatik. Rambut yang terinfeksi biasanya dapat tumbuh kembali, namun jika infeksi tidak diobati dan bertahan lama

(17)

16 maka mungkin dapat terjadi alopesia permanen. Pencegahan dilakukan dengan memberikan KIE agar tidak menggunakan sisir, handuk, topi bersamaan dengan anggota keluarga lain dan teman-teman sekolah untuk mencegah penularan.1,7,14

Pada kasus tinea kapitis yang terjadi merupakan tipe gray patch yang termasuk tipe non inflamatorik. Pasien juga mendapat pengobatan 1 minggu setelah timbul gejala dan rambut tumbuh kembali tanpa alopesia. Pada binatang peliharaan dan orang serumah telah dilakukan skrining untuk menemukan dan mengobati sumber penularan serta diberikan KIE untuk mencegah penularan. Namun mengingat usia pasien yang masih prepubertas dan adanya riwayat teman pasien dengan keluhan serupa, masih mungkin didapatkan sumber penularan dari teman bermain atau di lingkungan sekolah sehingga prognosis pada pasien adalah dubius ad bonam.

SIMPULAN

Telah dilaporkan kasus tinea kapitis tipe gray patch pada seorang anak perempuan usia 6 tahun yang diduga disebabkan oleh Microsporum dan Trichophyton. Diagnosis tinea kapitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan rambut rontok setempat dan berwarna keabuan disertai bercak merah ditutupi sisik putih tipis pada kulit kepala sejak ± 1 minggu yang lalu. Dari pemeriksaan fisik pada lokasi parietal sinistra didapatkan patch eritema soliter, batas tegas, bentuk bulat, ukuran diameter 2 cm, ditutupi oleh skuama putih halus, disertai rambut berwarna keabuan kusam yang terputus 0,5-1 cm diatas kulit kepala.

Pada pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan dermoskopi ditemukan

comma”, “corkscrews”, dan “morse code-hair”. Pemeriksaan lampu Wood pada lesi menunjukkan fluoresensi kehijauan, pemeriksaan KOH 10% ditemukan artrokonidia di luar batang rambut (ektotriks) sehingga diagnosis kerja diduga tinea kapitis tipe gray patch et causa suspek Microsporum spp.. Pemeriksaan biakan jamur menunjukkan makroskopis koloni berwarna putih sampai kuning kemerahan,

(18)

17 dibagian tengah mirip beludru dan daerah tepi tampak berbulu dengan mikroskopis makrokonidia berbentuk cerutu yang khas untuk Trichophyton tonsurans sehingga diduga tinea kapitis pada pasien disebabkan oleh 2 spesies dermatofita. Pasien diberikan pengobatan griseofulvin oral dan ketokonazol sampo 2% selama 4 minggu dan menunjukkan perbaikan klinis. Kekambuhan biasanya tidak terjadi bila ringannya inflamasi yang ditimbulkan oleh organisme penyebab, sensitivitas organisme terhadap pengobatan dan adanya kekambuhan. Kekambuhan biasanya tidak terjadi bila telah diberikan terapi yang adekuat serta penemuan dan pengobatan terhadap binatang atau orang lain dan pasien diberikan KIE untuk mencegah penularan sehingga prognosis pada pasien adalah dubius ad bonam.

(19)

18 DAFTAR PUSTAKA

1. Elewski BE., Hughey LC., Sobera JO., Hay R. Fungal Diseases. In: Bolognia JL., Jorizzo JL., Schaffer JV., eds. Dermatology. 3th ed. British: Elsevier Saunders. 2012.p. 1251-84.

2. Schieke SM., Garg A. Superficial Fungal Infection. In: Goldsmith LA., Katz SI., Gilchrest BA., Paller AS., Leffell DJ., eds. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 8th ed. New York: McGraw Hill. 2012.p. 2277-97.

3. Hay. R.J., Ashbee. H.R. Mycology. In: Burns. T., Breathnach. S., Cox. N., Griffiths. C., eds. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. United Kingdom:

Willey-Blackwell Ltd; 2010.p.36.25-28.

4. James WD., Berger TG., Elston DM. Disease Resulting from Fungi and Yeasts. In: Andrews Diseases of The Skin: Clinical Dermatology. 11th ed.

London: Elsevier Saunders. 2011.p.287-321.

5. Asticcioli S., Di Silverio A., Sacco L., Fusi I., Vincenti L.,Romero E.

Dermatophyte infections in patients attending a tertiary care hospital in northern Italy. New Microbiology. 2008; 31: 543-48.

6. Andrews MD., Burns M. Common Tinea Infections in Children.Afp.

2008;77(10):1415-20.

7. Nasution MA., Muis K., Rusmawardiana. Tinea Kapitis. In: Bramono. K., Suyoso. S., Indriatmi. W., Ramali. L.M., Widaty. S., Ervianti E., eds.

Dermatomikosis Superfisialis. 2nd ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

2013.p.50-7.

8. Wahyuni LPD, Birawan M, Adiguna MS. Tinea Kapitis di RSUP Sanglah Denpasar. Palembang : Kumpulan Makalah Konas XII Perdoski, 2008.p.67 9. Rebollo N., Lopez-Barcenas AP, Arenas R. Tinea Capitis. Actas

Dermosifiliogr. 2008;99:91-100.

10. Ayanbimpe GM., Taghir H., Diya A., Wapwera S. Tinea Capitis among Primary School Children in Some Parts of Central Nigeria. Journal Compilation Mycosis. 2008;51: 336-40.

11. Bertus NVP., Pandaleke HEJ., Kapantow GM. Profil Dermatofitosis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof Dr. R. D. Kandou Manado Periode Januari-Desember 2012. Jurnal e-Clinic (eCI). 2015;3(2):731-4.

12. Gautama PA, Artana P, Adiguna MS. Profil Tinea Kapitis di RSUP Sanglah Denpasar. Manado: Kumpulan Makalah Konas XIII Perdoski, 2011. p.220.

13. Grover, C., Arora, P., Manchanda, V. Tinea Capitis in the Pediatric Population:A Study from North India. IJVDL. 2010; 76(5): 527-532.

14. Bennassar A, Grimalt R. Management of Tinea Capitis in Childhood.

Clinical, Cosmetic and Investigational Dermatology. 2010: (3);89–98.

(20)

19 15. Paller AS., Mancini AJ. Skin Disorders due to Fungi. In: Hurwits Clinical Pediatric Dermatology. 4th ed. New York: Elsevier Saunders. 2011.p. 390- 415.

16. Grekin RC, Neuhaus IM, Wei ML. Disease Resulting from Fungi and Yeasts.

In: James WD, Berger TG, Elston DM. In: eds. Andrew’s Disease of the Skin, Clinical Dermatology 10th ed. Philadelphia: WB Saunders, 2006; 297-307.

17. Shy R. Tinea Corporis and Tinea Capitis. Pediatric in Review.

2007;28(5):164-73.

18. Hughes R., Chiaverini C., Bahadoran P., Lacour JP. Crokscrew Hair: A New Dermoscopic Sign for Diagnosis of Tinea Capitis in Black Children.

American Medical Association. 2011;147(3):355-6.

19. Lacarruba F., Verzi AE., Micali G. Newly Described Featrures Resulting From High-Magnification Dermoscopy of Tinea Capitis. American Medical Association. 2015;151(3): 308-10.

20. Frey D, Oldfield RJ, Bridger RC. Dermatophytoses. In : Carruthers GB, Ed. A Colour Atlas Pathogenic Fungi, 2nd Ed. London : Wolfe Medical Publications Ltd, 1981. p. 21-22.

21. Thakur, R., Goyal, R. Tinea Capitis: Mixedor Consecutive Infection with White and Violet Strains of Trichophyton violaceum: A Diagnostic or Therapeutic Challenge. J Clin Diang Res. 2015; 9(12):3-4.

22. Puri, N. A Study on Tinea Capitis in The Pre School and School Going Children. Our Dermatol Online. 2013; 4(2): 157-160.

23. Jacob R., Konnikov N. Oral Antifungal Agents. In: Goldsmith LA., Katz SI., Gilchrest BA., Paller AS., Leffell DJ., eds. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 8th ed. New York: McGraw Hill. 2012.p. 2796-2806.

24. Kakourou T., Uksal U. Guidelines for the Management of Tinea Capitis in Children. Pediatric Dermatology. 2010;27(3): 226-8.

Referensi

Dokumen terkait