• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PONOROGO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PONOROGO "

Copied!
63
0
0

Teks penuh

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penulis menemukan motif yang mendasari prosesi Bangun Nikah di Kecamatan Sambit. Apa saja permasalahan hukum bina perkawinan kaitannya dengan motif yang melatarbelakangi terjadinya bina perkawinan di Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo.

Metode Penelitian

Berdasarkan penjelasan di atas, sepanjang pengetahuan penulis belum ada penelitian yang mempunyai persamaan umum dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Latar belakang keluarga penulis pun tidak luput dari pengamatan yang akan kami lakukan.

SistematikaPembahasan

Di sini juga akan disampaikan berbagai saran mengenai topik yang dibahas dalam penelitian ini untuk perbaikan pada penelitian selanjutnya dan diakhiri dengan suatu kesimpulan.

Pengertian Pernikahan

اج َهجَ ْعجم

Yang dimaksud dengan “akad yang sangat kuat atau “Mi>thaqan Ghali>z}a” yang dalam undang-undangnya dijelaskan dalam frasa “ikatan dalam dan luar” yang terdapat dalam rumusan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berarti suatu Akad nikah bukan sekedar perjanjian yang bersifat hukum perdata. Sedangkan ungkapan “menaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya adalah ibadah” merupakan penjelasan dari ungkapan tersebut.

Menurut Abdurrah}man Al-Ja>ziri, perkawinan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia. Pengertian perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan adalah : Ikatan lahiriah dan batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk suatu rumah tangga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.18 Dalam Kumpulan Hukum Islam (KHI) di Indonesia disebutkan bahwa: Pernikahan menurut hukum Islam adalah “Akad yang sangat kuat atau Mi>thaqan Ghali>z}a untuk menaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya adalah ibadah. 19. Hal ini menjelaskan bahwa bagi umat Islam, perkawinan merupakan suatu peristiwa keagamaan dan oleh karena itu, yang melaksanakannya telah menyelesaikan ibadahnya.

Oleh karena itu perkawinan merupakan suatu ibadah, sehingga perempuan yang telah menjadi istri merupakan orang kepercayaan Allah SWT yang harus dijaga dan diperlakukan dengan baik, karena dalam akad nikah digiring melalui prosesi keagamaan. Hal ini sesuai dengan Hadist Nabi Ibnu Abbas yang dikutip oleh Amir Syarifuddin berikut ini.

Dasar Hukum Pernikahan

Dalam pandangan Islam, selain sebagai ibadah, perkahwinan juga merupakan Sunnah Allah SWT dan Sunnah Rasul-Nya. Sebagai sunnah Allah SWT, perkahwinan adalah kuasa dan kehendak Allah SWT dalam mencipta alam.

مو ِلَ

Maksudnya: Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kamu yang telah menciptakan kamu daripada seorang lelaki dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah mengeluarkan lelaki dan perempuan yang ramai. Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (apabila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Artinya: “Dan nikahkanlah orang-orang yang membujang di antara kamu dan orang-orang yang berhak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan perempuan.

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu wanita dari jenismu, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.

جرج ْعجم جاي ِااج َ لا

جمجو ْ ِطجتْ جي ْج

وَصلاِبهَ ِ ج

Hal ini didasari oleh pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga dirinya dan tidak melakukan sesuatu yang haram, selain wajib menjaga diri, maka hukum perkawinan juga wajib menurut aturannya.

اجم ُ ِتَيا

هِب جوَهجَ

اجو

Syarat dan Rukun Pernikahan

Seperti mencuci muka untuk berwudhu dan takbirotul ih}rom untuk shalat, atau kehadiran calon pengantin di sebuah pesta pernikahan. Syarat adalah sesuatu yang harus ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), namun ada sesuatu yang tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut, misalnya menutup aurat untuk shalat, atau menurut Islam calon mempelai laki-laki harus /perempuan. melakukan itu. menjadi Muslim. Imam Malik mengatakan, rukun perkawinan itu ada lima macam, yaitu: wali istri, mahar (mahar), calon mempelai laki-laki, calon mempelai, dan Sighat akad nikah.

Sedangkan menurut kelompok ulama yang lain, rukun perkawinan ada empat, yaitu: Sighat (ijab dan qobul), calon mempelai, calon mempelai pria, dan wali calon mempelai wanita.34 . Ada calon suami istri yang melangsungkan perkawinan, dan ada wali bagi calon mempelai.

اجُُجا ج جرْمِا

Keduanya mempunyai pengertian yang berbeda dalam artian keselarasan adalah sesuatu yang terletak di dalam hakikatnya dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan keadaan adalah sesuatu yang berada di luarnya dan bukan merupakan suatu unsur. Imam Syafi’i juga menyebutkan lima orang, yaitu calon mempelai pria, calon mempelai wanita, wali, dua orang saksi, dan Sighat akad nikah. Sedangkan menurut ulama Madzhab Hanafiyah, rukun perkawinan hanya ada satu, yaitu ijab dan qobul (akad yang dilakukan oleh wali istri dan calon mempelai pria).

نْ ِا اجهَِ ِلجو

جِوَزت ا ج ْرمْا

ج ْرج ْلا اجهج جف

جحاج ِ ا يجوِب اِا

Pengertian Bangun Nikah

Dasar Hukum Bangun Nikah

Pembaharuan perkawinan jika dimaksudkan semata-mata karena rasa malu (kecantikan atau kepura-puraan), misalnya seseorang yang menikah secara sah menurut agama Islam, lengkap dengan syarat dan ketentuannya, tetapi tidak terdaftar di KUA, setelah terdaftar di KUA. telah menikah lagi karena permohonannya harus disaksikan oleh petugas KUA, maka dalam hal ini menurut Syaikh Ibnu Hajar dan sebagian besar ulama, perkawinan pertama tidak batal, selama calon mempelai laki-laki tetap meyakini bahwa perkawinan pertama belum dilakukan. rusak. Dengan latar belakang adanya perdebatan dan hari akad nikah di KUA dikaitkan dengan hari sial dalam melaksanakan akad nikah berdasarkan weton jawa, maka akad nikah dilakukan sebanyak dua kali bersama kijai. , dan karena perselisihan hubungan jarak jauh. Artinya: “Sesungguhnya diterimanya akad nikah yang kedua oleh suami (pembaruan perkawinan) bukanlah suatu pengakuan atas berakhirnya tanggung jawab perkawinan yang pertama, dan juga bukan merupakan kinayah dari riwayat tersebut di atas.

Dalam Bangun Nikah terdapat dua pendapat mengenai mahar, yaitu yang pertama adalah pada akad nikah kedua tidak perlu memberikan mahar lagi seperti pada aqad pertama karena aqad kedua tidak merusak akad pertama. Artinya: “Ibnu Munir berkata: “Yang sah menurut para ulama syafi’ah adalah mengulangi akad nikah atau aqad lainnya tidak mengarah pada fasakh akad pertama, sebagaimana pendapat jumhur ‘ulama tidak.

اجي

Karena akad kedua tidak membatalkan akad nikah pertama, maka akad kedua tidak mengurangi jatah talak laki-laki. Bila sebelumnya ia belum mengabulkan talak, maka jatah talaknya tetap 3, dan jika ia sudah mengabulkan talak satu kali, maka jatah talaknya tetap 2, dan seterusnya. Namun ada sebagian ulama lain yang berpendapat bahwa pada Aqad nikah kedua wajib membayar mahar seperti pada Aqad nikah pertama, karena Aqad nikah kedua membatalkan Aqad nikah pertama. Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa Bangun Nikah diancam dengan janji bi al t}alaq (pengakuan talak), wajib membayar mahar lebih banyak dan mengurangi jumlah adad al t}alaq (jumlah t}alaq).

Karena pada dasarnya ketika menikah untuk ketiga kalinya, istrinya sudah tidak layak lagi dinikahi pada pernikahan berikutnya. Oleh karena itu, dengan mengambil pendapat para ulama jamaah yang ahli di bidangnya dan berkaitan dengan penelitian ini, maka peneliti setuju jika peneliti menggunakan pendapat para ulama jamaah bahwa Bangun Nikah tidak merusak akad pertama dan tidak mengurangi porsi t}alaq suami agar tidak perlu memberikan mahar pada akad nikah yang kedua.

BANGUN NIKAH

Keadaan Sosiologi di Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo

Kecamatan Sambit terdiri dari 16 desa diantaranya Gajah, Wringin Anom, Ngadisanan, Maguan, Nglewan, Bebisnis, Bancangan, Campurejo, Campursari, Bulu, Sambit, Besuki, Wilangan, Bangsalan, Kemuning, Jrakah. Jumlah penduduk laki-laki di Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo sebanyak 21.013 jiwa, jumlah perempuan sebanyak 21.201 jiwa, dan jumlah kepala keluarga di Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo sebanyak 13.143 kepala keluarga.49. Mengenai keadaan keagamaan masyarakat di Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo, dari data yang diambil peneliti dapat disimpulkan bahwa mayoritas penduduk di Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo semuanya beragama Islam.

Namun untuk mengetahui tingkat pengetahuannya peneliti menambahkan tingkat pendidikan yang ditempuh masyarakat Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo. Pelaku Bina Nikah di Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo }Dilihat dari jumlah pelaksana pembinaan nikah, pasangan tersebut antara lain:

Pelaksana Bangun Nikah di Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo }Terkait jumlah pelaksana Bangun Nikah pasangan tersebut antara lain

Pemaparan Hasil Penelitian

  • Tradisi Bangun Nikah di Kecamatan Sambit Kabupaten ponorogo Pengertian Bangun Nikah sendiri secara umum adalah melakukan

Jaga aku bojo neng kono bad pora ne, pas wes muleh nuk jak Bangun Nikah aneh.” Oleh karena itu saya laksanakan Bangun Nikah agar keluarga saya kembali rukun, nyaman dan tenteram ya saudara).51. Motivasi Pak Purwaji dan Bu Wirawati karena takut jika bertengkar akan ada perkataan yang berujung pada talak, sehingga Pak. Purwaji menampilkan Bangun Nikah.

Motif ketiga yang mendasari pasangan suami istri di Kecamatan Sambit dalam melakukan prosesi Bangun Nikah adalah untuk menjaga dan memperindah keharmonisan hubungan suami istri. Motif keempat pasangan suami istri di Kecamatan Sambit melakukan prosesi Bangun Nikah adalah karena seringnya bertengkar dan takut berkelahi.

ANALISA PROBLEMATIKA HUKUM BANGUN NIKAH DI KECAMATAN SAMBIT KABUPATEN PONOROGO

Analisa Motif Pelaksana Bangun Nikah di Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo

Hal ini terjadi pada tiga pasangan suami istri di Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo yaitu Bapak. Iwan Mulawan dan Ibu Nur Komariyah,55 Pak Hari dan Ibu Siti,56 Pak Purwaji dan Ibu Wirawati.57 Dari kesaksian ketiga pasangan tersebut, pada dasarnya dalam rumah tangga mereka sering terjadi pertengkaran karena berbagai sebab. Karena pertengkaran tersebut, ketiga pasangan tersebut berinisiatif untuk Bangun Nikah karena takut jika dalam pertengkaran tersebut sang suami akan mengatakan sesuatu yang mengandung metafora makna perceraian, misalnya “Tak ulehne neng wong tuomu” yang artinya Aku akan pulang ke rumah orang tuamu. Meskipun lafadz tergantung pada niat orang yang mengucapkannya, namun selama ia tidak berniat menceraikan istrinya, maka hal itu tidak termasuk t}alaq.

Atau dalam hati ada niat mentalak istrinya, namun tidak terucap, maka sebenarnya tidak dianggap talak, karena jika talaknya hanya dengan niat dalam hati dan tidak diucapkan, maka talaknya akan terjadi. tidak jatuh.

اجم ْ جثَدجح

Analisa Problematika Hukum Bangun Nikah di Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo

Setelah penulis menganalisis secara mendalam motif penyelenggara Bangun Nikah di Kecamatan Sambit Kabupaten Ponorogo. Selain itu, ada beberapa motif yang mendasari dilaksanakannya Bangun Nikah sebagai solusi permasalahan rumah tangga. Pada lima kasus Bangun Nikah yang peneliti temukan di desa berbeda di Kecamatan Sambit, peneliti mengamati dan berinteraksi dengan mereka.

Dilihat dari segi hukum pelaksanaan akad nikah, beberapa ulama berpendapat bahwa hukum perkawinan itu sendiri mubah (boleh). Jadi para pelaksana wasiat boleh saja melakukan Bangun Nikah, namun tanpa mereka sadari telah merusak kesucian aqad nikah.

PENUTUP

KESIMPULAN

SARAN

Al Bukhari Al Imam, Terjemahan Hadits Sahih Bukhari, Penerjemah: Umairul Ahbab Baiquni dan Ahmad Sunarto Bandung: Penerbit "Husaini" Bandung. Kementerian Agama Republik Indonesia, Kompendium Hukum Islam di Indonesia, Jakarta; Direktorat Jenderal Pengembangan Kelembagaan Islam, 1997. Hajar al-Askalani Ahmad bin Ali bin, Fathul al-Bari, Sharah Shahih Bukhari, Dar al-Fikri, Beirut, 1992.

Hajar al-Haitami bin Syhabuddin Ahmad bin, Tuhfatul Muhtaj al-Syarhil Minhaj, Maktabah At-Tijariyah Al-Kubro, Kaïro, Egipte, 1983.

Referensi

Dokumen terkait