• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN FIKIH EKONOMI TERHADAP PRAKTIK GADAI ANAK DI NAGARI SIMAWANG KECAMATAN RAMBATAN KABUPATEN TANAH DATAR SUMATERA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "TINJAUAN FIKIH EKONOMI TERHADAP PRAKTIK GADAI ANAK DI NAGARI SIMAWANG KECAMATAN RAMBATAN KABUPATEN TANAH DATAR SUMATERA BARAT"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Tamwil: Jurnal Ekonomi Islam

http://ecampus.iainbatusangkar.ac.id/ojs/index.php/tamwil/index

E- ISSN : 2775-8125 P- ISSN : 2476-9452

TINJAUAN HUKUM EKONOMI SYARIAH TERHADAP PRAKTIK GADAI ANAK DI SIMAWANG KABUPATEN TANAH DATAR SUMATERA BARAT

Rani Raranta1, Zainuddin2

1,2Universitas Islam Negeri Mahmud Yunus Batusangkar, Indonesia

Korespondensi: Jl. Sudirman No.137 Kuburajo, Limakaum, Batusangkar, Sumataera Barat

Email: raniraranta96@gmail.com

Abstrak: Permasalahan dalam artikel ini adalah bagaimana padangan Hukum Ekonomi Syariah terhadap praktek gadai anak yang terjadi di Nagari Simawang Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat. Jenis penelitian dalam penelitian ini yaitu penelitian lapangan dengan menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

Dalam penelitian ini, penulis melakukan analisis data yang diperoleh menggunakan kajian- kajian fiqh. Metode kajian fiqh berlandaskan kepada Al-Qur`an, Hadis serta pendapat ulama fikih. Hasil dari penelitian menemukan bahwa menurut keyakinan masyarakat Nagari Simawang Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar apabila anak yang baru lahir laki- laki maupun perempuan yang wajahnya mirip dengan orang tuanya harus digadaikan. Kalau tidak digadaikan maka salah satu dari mereka (orang tua atau anak), akan mengalami sakit- sakitan atau bahkan dapat meninggal dunia. Tradisi gadai anak yang dilakukan oleh masyarakat Simawang ini tidak sah karena tidak terpenuhinya syarat dalam transaksi gadai.

Barang jaminan /objek gadai tidak berada di saat transaksi terjadi dan objek gadai juga tidak bisa diperjual belikan karena objek gadai manusia. Menurut kajian fikih ekonomi tradisi gadai ini mengandung unsur keterpaksaan karena masyarakat tidak mau mengambil risiko apabila benar terjadi sesuatu terhadap anggota keluarganya jika tidak digadaikan, dan unsur garar (ketidakjelasan/samar-samar).

Kata Kunci: Gadai, Anak, Fiqih Ekonomi

Abstract: The problem in this article is how to view Sharia Economic Law towards the practice of pawning children that occurred in Nagari Simawang, Rbatan District, Tanah Datar Regency, West Sumatra Province. The type of research in this study is field research using descriptive methods with a qualitative approach. In this study, the authors analyzed the data obtained using fiqh studies. The fiqh study method is based on the Al-Qur`an, Hadith and the opinions of fiqh scholars. The results of the study found that according to the beliefs of the people of Nagari Simawang, Rbatan Subdistrict, Tanah Datar Regency, if a newborn boy or girl whose face is similar to their parents must be mortgaged. If it is not mortgaged then one of them (parent or child), will experience sickness or may even die.

The tradition of pawning children carried out by the Simawang community is invalid because the conditions for pawning transactions are not fulfilled. Collateral items / pawn objects are not in place when the transaction occurs and pawned objects also cannot be traded because the object of pawning is human. According to economic jurisprudence studies, the pawning tradition contains an element of compulsion because the community

(2)

does not want to take risks if something really happens to their family members if they are not mortgaged, and an element of violence (vague/vague).

Keywords: Pawn, Children, Economic Fiqh

PENDAHULUAN:

Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari transaksi, karena Allah telah menjadikan manusia untuk saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya, agar mereka saling tolong-menolong, baik dengan jalan tukar-menukar, sewa-menyewa, bercocok tanam atau dengan cara lainnya, karena sejatinya manusia merupakan makluk sosial.

Bentuk dari tolong menolong ini bisa berupa pemberian dan bisa berupa pinjaman (gadai) (Shalikul, 2003: 2).

Bagi masyarakat kata gadai bukan merupakan hal yang baru, mereka mengetahui bahwa gadai merupakan salah satu cara untuk bertransaksi dalam agama Islam. Khususnya masyarakat di Nagari Simawang Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar sudah menjadi suatu kebiasaan bagi mereka. Praktek gadai yang mereka lakukan dengan cara sangat sederhana dilakukan antar kerabat dekat, tetangga maupun kerabat jauh. Selain menggadai barang masyarakat Simawang memiliki kebiasaan menggadaikan anak, yang digadaikan adalah anak yang wajahnya mirip dengan orang tuanya. Apabila anak yang baru lahir baik itu anak laki-laki maupun perempuan yang wajahnya mirip dengan orang tuanya, maka mereka akan digadaikan ke keluarga dari ayah (Bako). Karena, mereka menganggap apabila anak tersebut tidak digadaikan maka salah satu dari mereka yang wajahnya mirip orang tua mereka, akan mengalami sakit- sakitan atau bahkan dapat meninggal dunia (Kasmawati, 2022).

Selain objek gadai manusia, dalam pratiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang memberatkan salah satu pihak yakni murtahin selain objek gadainya tetap berada pada pemilik aslinya yaitu orang tua dari anak atau rahin juga dapat mengarahkan kepada suatu persoalan riba. Hal ini dapat dilihat dari pratiknya pelaksanaan gadai itu sendiri yang mengharuskan penerima barang gadai (murtahin) untuk membebankan bunga

kepada penggadai (rahin) pada saat penggadai mengembalikan uang pinjamannya kepada penerima barang gadai (murtahin).

Melihat penelitian yang dilakukan Ade Tri Cahyani, yang berjudul tinjauan Hukum Islam terhadap praktik gadai pada masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok. Di mana masyarakat melakukan gadai yang dalam prateknya dipandang memberatkan dan dapat mengarah kepada riba, karena pelaksanaan gadai itu secara ketat harus menambahkan bunga gadai (rahn) atau ia harus menambahkan sejumlah uang tertentu dalam melunasi utangnnya. Sehingga penelitian ini menyimpulkan praktek gadai yang diterapkan masyarakat Tapos Kota Depok ini tidak sah menurut hukum Islam, Akad gadai dan mekanisme gadai tidak sempurna atau belum sesuai syariat Islam. Karena seluruh praktik gadai yang penulis temukan terdapat unsur riba dan pemamfaatan atas barang kredit sebagai jaminan yang digadaikan juga tidak sesuai syariat Islam (Cahyani, 2014)

Dalam sistem ekonomi Islam tidak mengajarkan kepada umat muslim untuk menjadi hamba yang hanya mengejar materi saja tanpa melihat kehalalannya, melainkan mengajarkan dan memberitahukan tata cara bagaimana dapat menghasilkan harta dengan halal (Fitra, 2022: 182).

Persamaan yang terlihat dengan peneliti sebelumnya adalah persoalan gadai yang dalam prateknya dipandang memberatkan dan dapat mengarah kepada riba, selain dari persoalan pembayaran harga yang tinggi perbedaan artikel peniliti dengan peneliti terdahulu adalah objek gadainya penelitian terdahulu yaitu barang sedangkan dalam penelitian ini objek gadainya manusia, apakah dalam Islam boleh menjadikan manusia sebagai objek gadai?

Berdasarkan latar belakang masalah di atas yaitu menurut keyakinan masyarakat Nagari Simawang Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar apabila anak yang baru lahir laki-laki maupun perempuan yang wajahnya mirip dengan orang tuanya harus

(3)

digadaikan. Kalau tidak digadaikan maka salah satu dari mereka (orang tua atau anak), akan mengalami sakit-sakitan atau bahkan dapat meninggal dunia yang menjadi focus penelitian adalah bagaimana tinjauan hukum ekonomi syariah terhadap praktik gadai anak di Nagari Simawang Kabupaten Tanah Datar Suatera Barat.

KAJIAN PUSTAKA Pengertian Gadai (Rahn)

Gadai dalam Islam disebut juga dengan Rahn, secara etimologi berarti ats-Tsubuut dan ad-Dawaam (tetap), dikatakan “maa‟un rahinun (air yang diam, menggenang, tidak mengalir),”

haalatun raahinatun al-Habsu dan al-Luzuum (menahan). Sedangkan menurut syariat, Rahn menanam sesuatu disebabkan adanya hak itu bisa dipenuhi dari sesuatu tersebut.

Maksudnya, menjadikan barang yang wujud kongkrit yang memiliki nilai menurut syara‟

sebagai jaminan utang, sekiranya barang tersebut memungkinkan untuk digunakan membayar seluruh atau sebagian utang yang ada (az-Zuhaili, 2011: 106-107)

Secara istilah, al-rahn menurut al- Qurthubi adalah sebagai berikut:

هيف هنيدب دوعي نيدلا بحاص نيد نم ةقيثو ءيشلا نوكي نا نهرلا نىعم هيدفي نهارلا نكي لم نا Artinya: “Barang yang ditahan oleh pihak yang memberi utang sebagai bentuk jaminan dari orang yang berutang, sampai pihak yang berhutang melunasi utang tersebut” (Abdullah,1980: 812)

Menurut Ibn Qudamah rahn adalah sebagai berikut:

رذعت نإ هنثم نم فىوتسيل نيدلبا ةقيثو لعيج يذلا لالما : عرشلا في نهرلاو هيلع وه نمهمؤافيتسا Artinya: “Harta yang dijadikan jaminan dalam utang, agar pemberi utang dapat menjual barang tersebut apabila pihak yang berutang tidak mampu membaya utangnya”. (Abdullah,1980: 812)

Menurut ulama Syafi’iyah rahn adalah sebagai berikut:

فىوتسي نيدب ةقيثو لام ينع لعج اعرشو توبثلا ةغل نهرلاو هئافو رذعت دنع اهنم

Artinya: “Menjadikan suatu barang yang dapat dijual sebagai bentuk jaminan utang dipenuhi dari

harganya, apabila yang berutang tidak mampu membayar utangnya” (Muhammad, 2014: 48)

Menurut Wahbah al-Zuhaili, akad rahn secara syara’ adalah:

هنم هؤافيتسا نكيم قبح ءيش سبح : اعرش نهرلا دقعو

Artinya: “Menahan sesuatu yang disertai hak untuk memamfaatkannya” (al-Zuhaili, 2012: 23).

Dengan pengertian tersebut, rahn menjadikan suatu barang sebagai pengikat utang yang dimungkinkan baginya untuk mengambil utang dengan cara menafaatkan barang jaminan tersebut. Bagi Wahbah, jenis barang yang dijaminkan harus berupa barang berharga yang memiliki nilai manfaat. Ukuran berharganya suatu barang, diukur dari kemungkinan diperolehnya nilai manfaat dari barang tersebut.

Berdasarkan definisi yang dipaparkan oleh para ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan rahn adalah perjanjian penyerahan barang sebagai bentuk jaminan atas utang sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil utang. Dengan demikian, tampak bahwa fungsi dari barang jaminan adalah untuk memberikan keyakinan, ketenangan, dan keamanan atas utang yang dipinjamkannya.

Landasan Hukum Gadai (Rahn) 1. Al-Quran

Adapun landasan normatif masalah Gadai berdasarkan firman Allah SWT surat al-Baqarah ayat 283 yang berbunyi:

َع ْمُتْ نُك ْنِإَو ْمُكُضْعَ ب َنِمَأ ْنِإَف ۖ ٌةَضوُبْقَم ٌناَهِرَف اًبِتاَك اوُدَِتَ َْلمَو ٍرَفَس ٰىَل

ِ دَؤُ يْلَ ف اًضْعَ ب ْنَمَو ۚ َةَداَهَّشلا اوُمُتْكَت َلََو ۗ ُهَّبَر ََّللَّا ِقَّتَ يْلَو ُهَتَ ناَمَأ َنُِتُْؤا يِذَّلا

ُبْلَ ق ٌِثِآ ُهَّنِإَف اَهْمُتْكَي ٌميِلَع َنوُلَمْعَ ت اَِبِ َُّللَّاَو ۗ ُه

Artinya: “Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertaqwa kepada Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian karena barang siapa yang menyembunyikannya sungguh, hatinya kotor (berdosa). Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Soenarjo, 2012: 60).

Islam mengajarkan kepada seluruh umat manusia supaya hidup saling tolong menolong diatas tanggung jawab bersama, jamin

(4)

menjamin dan tanggung menanggung dalam hidup bermasyarakat, Islam yang mengajarkan agar hidup dalam masyarakat dapat ditegakkan nilai-nilai keadilan dan dihindarkan praktek- praktek penindasan dan pemerasan, pada dasarnya praktek Gadai (rahn) merupakan kegiatan bermuamalah yang mengandung unsur-unsur sosial yaitu saling tolong menolong antar sesama seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 2 yang berbunyi:

ا ىَلَع اوُنَواَعَ ت َلََو ۖ ٰىَوْقَّ تلاَو ِ ِبْلا ىَلَع اوُنَواَعَ تَو َّنِإ ۖ ََّللَّا اوُقَّ تاَو ۚ ِناَوْدُعْلاَو ِْثِِْلْ

ِباَقِعْلا ُديِدَش ََّللَّا Artinya: “… dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebijakan dan taqwa, dan janganlah kamu tolong menolong dalam berbuat dosa, dan bertaqwalah kamu kepada Allah SWT, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”

(Soenarjo, 2012: 141).

2. As-Sunnah atau Hadits antara lain:

Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW bahwasanya beliau bersabda: Hewan kendaraan dapat ditunggangi sebagai ganti biaya pembelanjaannya jika digadaikan, dan air susunya dapat diminum sebagai ganti biaya pembelanjaannya jika digadaikan, sedangkan yang membayar ongkos pembelanjaannya ialah orang yang menunggangi dan meminum air susunya.”

(Hadits Riwayat Bukhari) (Salim, 2007: 116) 3. Ijma`

Menurut Ulama Fiqih menyepakati kebolehan status hukum Gadai. Hal dimaksud berdasarkan kepada kisah Nabi Muhammad SAW, yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari kaum Yahudi. Para Ulama juga mengambil indikasi dari contoh Nabi SAW tersebut ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang kaya kepada kaum Yahudi bahwa hal itu tidak lebih dari sikap Nabi Muhammad SAW yang tidak mau memberatkan para sahabat yang biasanya enggan mengambil ganti maupun harga yang diberikan oleh Nabi Muhamad SAW kepada mereka.

Dalam istilah fiqih jaminan adalah suatu jenis perjanjian dengan cara memberikan barang yang dijadikan sebagai penguat kepercayaan dalam masalah utang piutang, sedangankan dalam Hukum Positif

disebut dhaman sama dengan penanggungan utang, yaitu suatu perjanjian di mana pihak ketiga menangguh tempo guna kepentingan yang berutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang manakala ia tidak mampu memenuhinya (Imaniyati, 2017: 204).

Adapun hukum gadai sendiri sudah diatur dalam Fatwa DSN MUI Nomor:

25/DSNMUI/III/2002 tentang Rahn dan Pasal 1150 KUHPerdata tentang Gadai.

Dalam buku karangan Ade Sofyan Mulazid yang berjudul Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah, Ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa Rahn adalah ja‟lu ainin yajuzu bay‟uha washiqatan bidaynin yustaufa minha

„inda ta‟adhuri wafaihi “menjadikan suatu barang yang bisa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya” (Mulazid, 2012: 29).

4. Undang-undang

Menurut Undang-undang, pada dasarnya hak Gadai baru dianggap lahir paska penyerahan kekuasaan atas benda tersebut dari pemberi gadai (rahin) kepada penerima gadai (murtahin). Mengingat undang-undang mengizinkan pula benda itu dikuasai oleh pihak ketiga atas persetujuan para pihak, maka bisa dikatakan bahwa sejatinya yang dikehendaki oleh undang-undang adalah ditariknya benda itu dari kekuasaan pemberi gadai.

Secara garis besar Rahn memberikan suatu barang untuk ditahan atau dijadikan sebagai jaminan atau pegangan ketika orang yang meminjam uang tidak dapat mengembalikan pinjamannya sesuai dengan waktu yang telah disepakati dan juga sebagai pengikat kepercayaan diantara kedua belah pihak, agar murtahin tidak ragu atas pengembalian barang yang dipinjamnya.

Syarat dan Rukun Gadai 1. Syarat Gadai

Menurut Sayid Sabiq, syarat sahnya perjanjian atau akad gadai itu ada 4 yaitu:

a Berakal b Baligh

(5)

c Barang yang dijadikan borg (jaminan) ada pada saat akad

d Bahwa barang tersebut dipegang oleh orang yang menerima barang gadaian atau wakilnya.

Dari keempat syarat tersebut di atas dapat kita ambil satu kesimpulan bahwa syarat sahnya gadai tersebut meliputi dua hal yaitu:

1) Syarat Gadai Subyektif (Rahn dan Murtahin)

Bahwa dalam perjanjian gadai ini, orang yang melaksaknakan perjanjian gadai adalah harus memenuhi syarat cukup melakukan tukar menukar benda.

Apabila ia berakal sehat (tidak gila) dan mumayiz (mencapai umur) orang yang berada di bawah pengampuan dengan alasan amat dungu (ghafah), hukumnya seperti mumayiz, tetapi tindakan-tindakan hukum sebelum mencapai usia baligh (15 tahun) diperlukan izin pengampuannya. Apabila pengampu mengizinkan maka perjanjian gadai dapat dilakukan. Dan bila wali atau pengampu tidak mengizinkan, maka perjanjian gadai tersebut batal.

2) Syarat Barang Gadai (Marhun)

Bahwa pada dasarnya segala sesuatu yang diperbolehkan untuk dijual, maka boleh untuk dijadikan jaminan (borg) utang. Dan juga barang yang dijadikan jaminan sudah wujud pada waktu perjanjian terjadi. Sehingga memungkinkan bagi barang itu untuk diserahkan seketika itu pada murtahin dan juga barang tersebut mempunyai nilai menurut syara’, maksudnya adalah: Menurut Ibn Rusyd bahwa mengenai syarat-syarat gadai yang disebutkan dalam syarat ada dua macam, yaitu: syarat sah dan syarat kerusakan.

Kemudian mengenai syarat-syarat sah yang disepakati pada garis besarnya, tetapi diperselisihkan segi kesyaratannya yakni penguasaan barang, kedua yang diperlukannya masih diperselisihkan (Sudut Hukum, 2014).

2. Rukun Gadai

Dalam transaksi Gadai terdapat beberapa unsur yang menjadi rukun syahnya Gadai, yaitu sebagai berikut:

a Al-aqidaini yang terdiri dari rahin (orang yang menggadaikan) dan murtahin (orang yang menerima gadai)

b Sight yang terdiri dari ungkapan ijab dan qobul

c Marhun yaitu barang yang digadaikan d Marhun bih utang yang dijaminkan.

(Humaeroh, 2015: 6).

Tetapi dalam KHES menetapkan rukun Gadai ada lima, yaitu sebagai berikut:

a Rahin b Murtahin c Marhun d Marhun bih

e Akad (Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani, 2009: 105).

METODE

Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan yang dilakukan di Nagari Simawang, Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif.

Sumber data diperoleh dari wawancara dengan informan dalam hal ini yaitu orang yang menerima gadai dan juga orang yang menggadaikan anaknya. Dalam penelitian ini, penulis melakukan analisis data yang diperoleh menggunakan kajian-kajian fiqh. Metode kajian fiqh dalam penelitian ini merujuk berlandaskan kepada Al-Qur`an, Hadis dan pendapat ulama fikih.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Implementasi Gadai Anak di Nagari Simawang

Nagari Simawang yang terletak di kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat, memiliki berbagai tradisi yang salah satunya yaitu gadai anak.

Gadai anak yang di maksudkan adalah salah satu tradisi masyarakat Simawang, ketika seorang anak lahir baik itu anak laki-laki atau anak perempuan yang wajahnya mirip dengan orang tuanya, maka anak yang wajahnya mirip akan digadaikan ke keluarga ayahnya (Bako).

Berdasarkan wawancara penulis dengan

(6)

informan yang dalam hal ini yaitu Kasmawati, sebagai salah satu orang yang menerima gadai dan juga Awi salah satu orang yang menggadaikan anaknya diperoleh informasi tradisi ini terjadi karena mereka meyakini apabila anak tersebut tidak digadaikan maka salah satu dari mereka (orang tua dan anak) yang wajahnya mirip, akan mengalami sakit- sakitan atau bahkan dapat meninggal dunia.

Selain itu barang yang digadaikan (anak) tetap tinggal atau berada bersama orang tuanya (Kasmawati, 2022).

Ketika anak mereka sudah mulai dewasa dan mau menikah orang tua mereka baru menebusnya kembali atau membayarnya dengan harga yang lebih tinggi dari harga awal.

Contohnya harga untuk menggadaikan Rp.

50.000 dan ketika menebusnya kembali saat anak tersebut mau menikah ditebus dengan harga Rp. 100.000 sampai Rp. 200.000 (Kasmawati, 2022).

Pandangan Fikih Ekonomi mengenai Praktek Gadai Anak di Simawang

Pada dasarnya praktek gadai merupakan salah satu solusi untuk kita dapat menolong saudara kita yang tengah membutuhkan sesuatu tetapi tidak bisa digapainya. Mengenai Gadai tersebut tidak ada ulama yang memperdebatkannya, karena dasar kebolehannya terdapat di dalam sumber Hukum yaitu Al-Quran dan Sunnah serta Ijma` ulama. Makanya dengan adanya jaminan terhadap transaksi gadai akan memperkuat akad tersebut.

Berdasarkan dari hasil penelitian yang penulis temukan di lapangan praktik gadai belum memenuhi rukun dan syarat gadai.

Sebagaimana diketahui di dalam akad gadai syarat barang gadai/objek gadai adalah barang/objek gadai harus ada pada saat transaksi terjadi sedangkan anak yang menjadi objek gadai di nagari Simawang kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar tidak ada saat terjadinya transaksi melainkan berada di rumah orang tuanya. Hal ini merupakan salah satu yang menyebabkan tidak terpenuhinya syarat dalam transaksi gadai.

Kemudian yang uniknya pada artikel ini adalah barang gadai/objek gadai adalah manusia (anak), dan di dalam syarat gadai yang

menjadi barang gadai/objek gadai harus yang bisa untuk diperjualbelikan. Hal ini diperkuat oleh Ibn Qudamah rahn adalah sebagai berikut:

نإ هنثم نم فىوتسيل نيدلبا ةقيثو لعيج يذلا لالما : عرشلا في نهرلاو هيلع وه نمهمؤافيتسا رذعت Artinya: “Harta yang dijadikan jaminan dalam

utang, agar pemberi utang dapat menjual barang tersebut apabila pihak yang berutang tidak mampu membayar utangnya” (Abdullah, 2004: 23).

Menurut ulama Syafi’iyah rahn adalah sebagai berikut:

دنع اهنم فىوتسي نيدب ةقيثو لام ينع لعج اعرشو توبثلا ةغل نهرلاو هئافو رذعت Artinya: “Menjadikan suatu barang yang dapat dijual sebagai bentuk jaminan utang dipenuhi dari harganya, apabila yang berutang tidak mampu membayar utangnya”.

Sedangkan manusia itu sendiri tidak boleh dijual belikan, argument ini diperkuat berdasarkan Al-Qur`an surat Al-Isra` ayat 70:

اَنْمَّرَك ْدَقَلَو َزَرَو ِرْحَبْلاَو ِ َبْلا ِفي ْمُهاَنْلََحََو َمَدآ ِنَِب

ْمُهاَنْ ق

ٍيِثَك ٰىَلَع ْمُهاَنْلَّضَفَو ِتاَبِ يَّطلا َنِم ًليِضْفَ ت اَنْقَلَخ ْنَِّمِ

Artinya: Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.

Dari ayat ini dapat dilihat bahwa manusia merupakan mahkluk yang di muliakan oleh Allah SWT. Jika ada yang melakukan transaksi jual beli manusia berarti mereka sama saja tidak mengindahkan ayat tersebut. Dan mereka akan menjadi musuh Allah di hari Akhir sebagaimana sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari:

َﺭ : ِةَماَيِقلﺍ َﻡْوَ ي ْمُهُمْﺼَخ َﻧَ َﺃ ٌةَث َلَث َﻉَبا ٌلُجَﺭَﻭ ، َﺭَدَﻏ َُّثِ ِﺑِ ىَطْع َﺃ ٌلُج

ُهَرْج َﺃ ِﻂْعُ ي َْلم َﻭ ُهْنِم َفىْوَ تْساَف ﺍًيِج َﺃ َرَجْﺄَتْسﺍ ٌلُج َﺭَﻭ ،ُهَنََثم َلَكَﺄَف ﺍًّرُح Artinya: “Tiga orang, saya yang akan menjadi musuhnya pada hari kiamat: Orang yang berjanji dengan menyebut nama-Ku lalu dia melanggar janji, Orang yang menjual orang yang merdeka lalu dia menikmati hasil penjualannya tersebut, dan Orang yang mempekerjakan orang lain, namun setelah orang tersebut bekerja dengan baik upahnya tidak dibayarkan” (HR. Bukhari 2227).

(7)

Dalam hadis ini mengatakan mereka yang menjadi musuh Allah Ta’ala di antaranya adalah orang-orang yang curang dalam bermuamalah. menunjukkan betapa pentingnya bagi setiap diri untuk memperhatikan akhlak yang baik saat berinteraksi dengan sesama. Hal ini yang menyebabkan tidak terpenuhinya syarat dalam transaksi gadai, karena objek gadai tidak bisa dijual belikan.

Bila dikaitkan tradisi gadai anak di Nagari Simawang Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatera Barat dengan pripsip-prinsip bermuamalah yang dikemukakan oleh Zainuddin, dkk. juga belum terpenuhi. Dalam artikel tersebut dikemukakan depalan prinsip bermuamalah, yaitu: 1) Tidak mencari rezeki pada hal-hal yang haram, baik dari segi zatnya maupun cara mendapatkannya serta tidak menggunakannya untuk hal-hal yang haram pula; 2) Tidak menzalimi dan tidak dizalimi; 3) Keadilan pendistribusian kemakmuran; 4) Transaksi dilakukan atas dasar ridha (suka sama suka); 5) Tidak ada unsur riba(tambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil sesuai Sariah; 6) Tidak ada unsur maisyir (perjudian); 7) Tidak ada unsur gharar (ketidakjelasan/samar-samar); 8) Tidak ada unsur mudharat dan mafsadat (sesuatu yang dapat mendatangkan kemudaratan dan kerusakan (Zainuddin, dkk. 2017: 147-161).

Prinsip yang tidak terpenuhi adalah tidak terhindar dari mencari rezki yang haram, manzalimi, keterpeksaan, mengandung unsur riba serta terdapat unsur gharar (ketidakjelasan/ samar-samar). Karena gadai anak di Simawang, Rambatan, Tanah Datar, Sumatera Barat, hanya asumsi masyarakat di daerah tersebut yang meyakini bahwa apabila anak yang baru lahir baik itu anak laki-laki yang maupun perempuan yang wajahnya mirip dengan orang tua mereka, apabila anak tersebut tidak digadaikan maka salah satu dari mereka (orang tua dan anak) yang wajahnya mirip sekali, akan mengalami sakit-sakitan atau bahkan dapat meninggal dunia. Dengan demikian hukumnya gadai anak tersebut dilarang (haram).

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah penulis jelaskan sebelumnya, maka dapat disimpulkan tradisi gadai anak yang dilakukan oleh masyarakat Nagari Simawang Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar tidak sah karena tidak terpenuhinya syarat dalam transaksi gadai. Barang jaminan /objek gadai tidak berada di saat transaksi terjadi dan objek gadai juga tidak bisa diperjual belikan. Oleh karena itu tradisi gadai anak bagi masyarakat nagari Simawang Rambatan Tanah Datar Sumatera Barat dilarang dan hukumnya haram menurut Hukum Ekonomi Syariah.

KEPUSTAKAAN ACUAN

A. Soenarjo, d. (2012). Al-Qur`an dan Terjemaah. Jakarta: Sinergi Pustaka Indonesia, Departemen Agama RI.

Abdullah Ibn Ahmad, A. I.-M. (2004). al-Mughî wa yalihi al-Syrah al-Kabîr, Dar al-Hadits.

Kairo: Juz VI.

Al Fitra, M. H. (n.d.). Harta Halal Harta Haram. Jombang: Lintas Media.

Al-Sayyid Muhammad Syatha , A. a.-D. (n.d.).

I’ânt al-Thâlibîn ‘alâ hil al-Fâdz Fath al- Mu’în Lisyarh Qurra al-‘Ain, Dar al-Fikr.

Beirut: Juz III.

al-Zuhaili, W. (2012). al-Fiqh al-Islâmî wa Adllatuh, Dar al-Fikr. Beirut: Juz V.

Az-Zuhaili, W. (2011). Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid VI, cetakan Ke-1. Jakarta:

Gema Insani.

Humaeroh. (2015). Sistem Gadai Dalam Perspektif Hukum Islam (Kajian Analisis Terhadap Implementasi Gadai Yang Berlaku Di Masyarakat). Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, Vol.7 No.1, 6.

Kasmawati, A. (Simawang, Rambatan, Tanah Datar, Sumatera Barat). Wawancara 30 Januari 2022. Batusangkar.

Muhammad Ibn Abd , A. a.-B.-N.-Q. (1980).

al-Kafi fi Fiqih ahl al-Madinah al-Maaliki, Maktabah al-Riyadh al-Hadistah. Saudi Arabia: Juz II.

Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani. (2009). Kompilasi

(8)

Hukum Ekonomi Syariah, ke-1. Jakarta:

Kencana.

Salim, A. (2007). Syarah Bulugul Maram, Jilid ke- 2. Bandung: Nuasa Aulia.

Shalikul , M. H. (2003). Pegadaian Syariah.

Jakarta: Salemba Diniyah.

Sofyan, A. M. (2012). Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah. Jakarta: Kementerian Agama RI.

Sri, N. I. (2017). Hukum Perbankan Syariah Konsep dan Regulasi. Jakarta: Sinar Grafika.

Suduthukum.com. (n.d.). Syarat dan Rukun Sah

Gadai .

https://suduthukum.com/2014/09/syar at-dan-rukun-sah-gadai.html.

Tri, A. C. (2014). Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Gadai Pada Masyarakat Kecamatan Tapos Kota Depok. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.

Zainuddin, Safwan, R., & Bustamar. (2017).

Tinjauan Fikih Terhadap Aktivitas Perdagangan di Pasar Bawah Bukittinggi.

Jurnal Al-Risalah, Vol 17. No.2, 147-161.

Referensi

Dokumen terkait

Analysis using SEM (AMOS) shows several findings: compensation fairness affects psychological meaningfulness; fairness compensation has no effect on