PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Surat An Nisa ayat 29 menjelaskan larangan memakan harta orang lain dengan sia-sia, seperti mencuri, mengambil harta dan riba. Orang Islam kemudiannya boleh mencari kekayaan daripada keuntungan yang diperolehi, asalkan kedua-dua pihak ikhlas dan rela. Surat An Nisa ayat 29 juga menjelaskan larangan orang Islam mencari harta dengan cara yang batil.
Cara yang salah yang dimaksud adalah perbuatan yang merugikan orang lain, seperti pencurian, perampasan dan riba.
Identifikasi Dan Batasan Masalah
Berdasarkan permasalahan di atas, terdapat ketidaksesuaian dengan hukum Islam karena salah satu pihak yaitu Shahibul Maal (pemilik usaha) tidak melaksanakan kesepakatan yang dibuat di awal akad dimana pemilik usaha tidak memberikan keuntungan dari penjualan tersebut. berupa 30% kepada Mudharib (pengelola usaha) sesuai kesepakatan di awal pekerjaan. Sehingga akan dilakukan penelitian dengan judul “Review Hukum Islam Tentang Kenaikan Gaji Pokok Menggunakan Sistem Sasaran (Studi Kasus di Gudang Garam D’Radja Kota Bandar Lampung). sejumlah garam dan akan diberikan tambahan gaji pokok sebagai kesepakatan di awal kerja.
Penelitian ini memiliki titik fokus yang akan membahas tinjauan hukum Islam tentang penambahan gaji pokok dengan sistem target di Gudang Garam D'Radja Kota Bandar Lampung, hal ini dimaksudkan agar pembahasan penelitian tidak meluas dari judul tersebut.
Rumusan Masalah
Dalam hal ini, Khadijah berperan sebagai pemilik modal (Shahib Al-Maal), sedangkan Nabi Muhammad SAW berperan sebagai pengusaha (Mudharib). Pihak pertama adalah pemilik modal (Shahibul Mal) sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaksana usaha (Mudharib). Dalam akad Mudharabah Muqayyadah (Investasi Terbatas), pemilik modal (Shahibul Mal) telah menentukan usaha yang akan dijalankan oleh pengelola modal (Mudharib).
Akad kerjasama permodalan (Mudharabah) juga akan batal ketika pemilik modal (Shahibul Maal) murtad, begitu juga dengan pengelola modal (Mudharib).
Tujan Penelitian
Manfaat Penelitian
Setelah mengetahui beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Mudharabe adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih dimana pihak pertama adalah pemilik modal dan pihak lainnya adalah pengelola. Apabila terjadi kerugian, maka ditanggung oleh pemilik modal sepanjang bukan karena kelalaian pengelola usaha. Jenis usaha, lokasi, jangka waktu dan tujuan usaha harus sesuai dengan kesepakatan dan yang telah ditentukan oleh pemilik modal (Shahibul Mal).
Pemilik modal (Shahibul Mal) menginvestasikan dananya pada pengelola (Mudharib) dan membatasi penggunaan dana yang diinvestasikan.
Kajian Penelitian Terdahulu Yang Relevan
Metode Penelitian
- Sistematika Pembahasan
Keuntungan usaha mudharabe dibagi sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal sepanjang kerugian tersebut bukan akibat kelalaian pengelola. Oleh karena itu, dalam bentuk kerjasama ini, pengusaha dituntut memiliki kebebasan untuk berusaha sesuai dengan keinginan pemilik modal. Dalam bentuk kerjasama mudharabi, pemilik modal dan pengelola modal mendapatkan keuntungan yang besar, di satu sisi pemilik modal mendapatkan keuntungan dari investasi yang diberikannya.
Pemilik modal memanfaatkan keahlian Mudharaib (pengelola) dan Mudharib menyebarkan aset, menciptakan kemitraan aset dan amal.
LANDASAN TEORI
Landasan Hukum Mudharabah
Beberapa orang terkadang memiliki aset, tetapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk menjadikan aset tersebut lebih produktif. Jangan makan (mengambil) harta satu sama lain dengan cara yang sia-sia, kecuali dalam bentuk perdagangan yang bersifat sukarela antara kamu…”.ladang-ladang di daerah Khaibar, sehingga yang menggarapnya atas tanggungan sendiri-sendiri, dengan kesepakatan , Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendapat setengah dari hasil panen.
34; Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang-orang yang mampu membenarkan harga diri dan pengenaan sanksi atasnya.” 52. Dalam hadits ini jelas disebutkan bahwa perkebunan dan ladang kurma di daerah Khaybar telah menjadi milik umat Islam dan telah dipercayakan kepada penduduk Yahudi setempat untuk merawat dan menanam, dengan kesepakatan bagi hasil 50% sampai 50. Selain Al-Qur'an dan Hadits Rasulullah SAW yang dijadikan dasar hukum untuk Mudharaba Ijma para ulama juga bisa dijadikan acuan hukum Mudharabi.
Antonio, Imam Zailai menyatakan bahwa para sahabat sepakat tentang keabsahan pengolahan dana yatim. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa dasar hukum pembiayaan Mudharabah tidak hanya tercantum dalam Al-Qur'an, tetapi juga tertuang dalam hadits Rasulullah SAW sebagai dasar lainnya, juga dalam Ijma' para ulama. Sehingga dapat dikatakan bahwa dasar hukum pembiayaan Mudharabah adalah Al-Quran dan Hadits Nabi Muhammad serta Ijma' ulama.
Mudharabah ditentukan atas dasar ijma. kesepakatan) para sahabat dan berdasarkan kesepakatan para imam yang menyatakan kebolehannya. Dasar hukum kebolehannya adalah bahwa Mudharabah adalah akad yang telah diakui oleh umat Islam sejak zaman Nabi, ketika Nabi Muhammad saw. bekerja sebagai pedagang, dia mengadakan kontrak Mudharaba dengan Khadijah.
Rukun dan Syarat Mudharabah
Sedangkan karya yang diserahkan bisa berupa keahlian, keterampilan, keterampilan penjualan, keterampilan manajemen dan lain-lain. Pemilik dana setuju dengan perannya menyumbangkan dana, sedangkan pelaksana usaha juga setuju dengan perannya menyumbangkan pekerjaan. Faktor ini merupakan rukun yang khas dalam akad Mudharabah, yang tidak ada dalam akad jual beli.
Rasio keuntungan inilah yang akan mencegah perselisihan antara kedua belah pihak tentang cara bagi hasil. 59 Rian Dwi Permana, “Sekilas Konsep Agunan Dalam Pembiayaan Akad Mudharabah Pada Bank Syariah” Vol 12, No Prinsip, Vol. Dalam hal ini dituntut untuk bersikap dewasa, cerdas, mandiri dan memberikan kebebasan kepada orang-orang yang menjalankan modal.
Dalam hal ini, diperlukan nilai tukar dengan harga yang tepat, yang memudahkan perhitungan untung dan rugi. Dalam hal ini tidak diharuskan dibatasi oleh waktu, tempat dan barang, yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Dalam hal ini disyaratkan ditentukan terlebih dahulu pada saat mengadakan perjanjian, misalnya keuntungan dibagi rata, atau orang yang bermodal mendapat sepertiga dari keuntungan dan seterusnya. f) Ijab Qabul (akad).
Dalam hal ini diperlukan kesepakatan bersama atau kesepakatan bersama tentang untung rugi dan hal-hal lain yang perlu terjadi.
Jenis-Jenis Mudharabah
Prinsip-Prinsip Mudharabah
Dalam Mudharabah seseorang harus berpegang pada ketentuan hukum Islam sebagaimana dijelaskan dalam Prinsip Dasar Hukum Mudharabah (Al-Quran dan Sunnah). Mudharabah diperbolehkan karena menguntungkan banyak orang, terutama yang lemah, dan pengusaha tidak dibebani tanggung jawab atas modal yang rusak (kebangkrutan) selama tidak melampaui batas dalam arti kerugian tersebut disebabkan oleh akibat usaha. Prinsip kerja sama dalam akad mudharabah ini mencerminkan kerelaan untuk bekerja sama, sehingga salah satu pihak yang melakukan akad ini tidak dapat dipaksakan.
Selain itu, akad Mudharabah bertujuan untuk membantu kehidupan orang-orang yang lemah, bukan hanya untuk mencari keuntungan, juga bukan cara untuk mencari nafkah. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia hidup memiliki modal tetapi tidak dapat mengelola modal tersebut dan ingin membantu orang lain dengan memberikan modal yang dimilikinya kepada orang lain yang membutuhkan dan mampu mengelola modal tersebut. Berdasarkan fakta tersebut, perlu adanya kerjasama antara pihak yang memiliki modal dengan pihak yang tidak memiliki atau kekurangan modal tetapi memiliki keahlian dalam menjalankan usaha.
Sedangkan di sisi lain, bagi masyarakat yang membutuhkan modal akan sangat terbantu dengan adanya kerjasama ini. Pengusaha bekerja di bidang ekonomi dan menghindari pengangguran serta dapat meningkatkan taraf hidup mereka. Hal ini terlihat melalui kebersamaan dalam menanggung kerugian yang dialami dalam usaha, kerugian ditanggung oleh pemilik modal jika kerugian tersebut merupakan akibat (consequence) dari usaha tersebut, bukan karena rekayasa.
Macam-Macam Mudharabah
Kontrak tersebut tidak memiliki batasan atau ketentuan mengenai tempat usaha, jenis usaha, barang yang dijadikan objek usaha, dan ketentuan lainnya. Para ulama Salafus Saleh sering mencontohkan uang dalam pembahasannya ketika If'al Ma Syi'ta (melakukan apa yang diinginkan) dan shahibul mal ke mudharib yang memberikan kekuatan yang sangat besar. Menurut Syafi'I Antonio Mudharabah, Mutlaqah adalah suatu bentuk perjanjian kerjasama antara Shahibul Mal dan Mudharib, yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi mengenai jenis usaha, waktu dan tempat usaha.
Mudharabah Mutlaqah adalah akad kerjasama dalam suatu perjanjian antara dua pihak, yaitu Shahibul Mal dan Mudharib, dimana Shahibul Mal menyerahkan sepenuhnya modal yang diberikan kepada mudharib untuk mengelola usahanya sesuai dengan prinsip syariah. Shahibul Mal tidak membatasi jenis usaha, waktu yang dibutuhkan, strategi pemasaran dan tempat atau area usaha untuk berbisnis. Shahibul mal memberikan kewenangan yang besar kepada Mudharib untuk menjalankan kegiatan usahanya, asalkan sesuai dengan prinsip syariah Islam.
Mudharabah Mutlaqah adalah akad Mudharabah dimana Shahibul Mal memberikan kebebasan kepada pengelola usaha (Mudharib) untuk mengelola investasinya. Mudharabah Muqayyadah adalah sebaliknya yaitu perpindahan modal dengan menentukan jenis dan sifat pekerjaan, tempat usaha, siapa yang akan melakukannya. Mudharabah Muqayyadah memiliki dua bagian yaitu Mudharabah Muqayyadah On Balance Sheet (Eksekutif) yang merupakan akad Mudharabah Muqayyadah dimana pihak pengelola (Mudharib) menanggung resiko kehilangan dana yang ditanamkan oleh Shahibul Mal.
Dalam akad ini, Shahibul Mal memberikan batasan-batasan secara umum, sebagaimana pemodal menetapkan syarat-syarat, kedua belah pihak menyepakati syarat-syarat usaha, keuntungan, batasan jenis usaha, jangka waktu pembiayaan dan bidang usaha. Off-balance sheet Mudharabah Mukayidah (channeling) adalah akad Mudharabah Mukayidah dimana Shahibul Mal memberikan batasan yang jelas, seperti batasan proyek yang diperbolehkan, batas waktu, dan pihak yang melakukan pekerjaan.
Berakhirnya Mudharabah
Adapun pembatasan waktu, ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad membenarkan pemberian batasan waktu dan manusia, tetapi ulama Syafi'iyah dan Maliki melarangnya. Ulama Hanafiyah dan Ahmad juga membenarkan akad apabila dikaitkan dengan masa hadapan. Perkongsian itu diteruskan sekiranya usahawan tidak sedar bahawa mudharabah telah dibatalkan, usahawan (Mufharib) dibenarkan untuk terus mengusahakannya.
Ulama jumhur berpendapat bahwa mudharabah batal jika salah satu aqidah meninggal dunia, baik pemilik maupun pengusaha. Hal ini karena Mudharabah terkait dengan perwakilan yang akan dicabut dengan kematian wakil atau wakil. Pembatalan tersebut dianggap lengkap dan sah, baik diketahui oleh salah satu pihak dalam kontrak maupun tidak.
Ulama Jumhur berpendapat bahwa gila membatalkan mudharabah karena gila atau sejenisnya membatalkan keahlian mudharabah. Jika pemilik modal adalah murtad (Meninggalkan Islam) atau terbunuh dalam keadaan murtad atau bergabung dengan musuh dan hakim memutuskan untuk membelot, menurut Imam Abu Hanifah hal ini membatalkan Mudharabah karena bergabung dengan musuh sama dengan kematian. menghilangkan hak milik, dengan dalih membagi harta orang murtad di antara para ahli warisnya. Jika harta rusak sebelum dikonsumsi, mudharabah menjadi tidak sah, hal ini karena pengusaha harus memiliki modal.
Hikmah Mudharabah
Prinsip-prinsip Hukum Islam: Hukum Islam I: Pengantar Ilmu Hukum dan Sistem Hukum Islam di Indonesia. Review konsep agunan dalam pembiayaan akad mudharab di bank syariah” Vol 12, No Prinsip, Vol. Komitmen Syariah Berdasarkan Mudharabah (Teori dan Praktek)” Vol 6, No. Analisis Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Akad Mudharab." 2019.
DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN
Sejarah Gudang Garam D’radja
Faktor-Faktor Yang Terjadi Dalam Usaha