• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of STUDI TIPOLOGI RUMAH MASYARAKAT KALANGAN MENENGAH KE BAWAH DI SEMARANG: STUDI KASUS KAMPUNG JURNATAN, WONOSARI, DAN PATEMON

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "View of STUDI TIPOLOGI RUMAH MASYARAKAT KALANGAN MENENGAH KE BAWAH DI SEMARANG: STUDI KASUS KAMPUNG JURNATAN, WONOSARI, DAN PATEMON"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI TIPOLOGI RUMAH MASYARAKAT KALANGAN MENENGAH KE BAWAH DI SEMARANG:

STUDI KASUS KAMPUNG JURNATAN, WONOSARI, DAN PATEMON

Ardia Novitasari1*, Ana Hardiana2, Ofita Purwani3

Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret 1, 2, 3 E-mail: *1ardianovitasari@student.uns.ac.id, 2anahardiana@staff.uns.ac.id,

3o.purwani@staff.uns.ac.id

Diajukan: 30 Desember 2022 Ditinjau: 6 Februari 2023 Diterima: 25 Mei 2023 Diterbitkan: 6 Juni 2023

Abstrak_ Permukiman masyarakat menengah ke bawah sudah lama menjadi persoalan di berbagai kota, termasuk Kota Semarang. Hal ini dikarenakan permukiman tersebut umumnya terbentuk secara organik di area-area yang tidak diizinkan. Namun, keberadaan masyarakat golongan menengah ke bawah sangat penting bagi kehidupan di kota dan semestinya diberi hak atas ruang kota melalui hunian yang layak. Artikel ini bertujuan untuk mencari tipologi fungsional (applied typology) dengan memahami temuan berupa tipe spesifik yang bertahan atau berulang dari rumah kalangan menengah ke bawah yang dapat dimanfaatkan untuk perancangan hunian untuk kalangan menengah ke bawah di Kota Semarang. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan metode purposive sampling untuk pemilihan beberapa sampel. Sampel penelitian ini diambil dari tiga permukiman dengan topografi yang berbeda, yakni pada Kampung Jurnatan (kemiringan 0-2%), Kampung Wonosari (kemiringan 15-40% dan

>40%), serta Kampung Patemon (kemiringan 2-15%). Hasil studi tipologi ini menunjukkan adanya beberapa karakter utama dari rumah yaitu: ruang multifungsi, keberadaan ruang atau area penyimpanan di dalam setiap rumah serta fasilitas umum, dan ruang sirkulasi linier yang juga multifungsi untuk sosialisasi masyarakat pada area kampung. Temuan tersebut dapat diimplikasikan dalam kriteria desain perancangan hunian menengah ke bawah pada permukiman horizontal maupun vertikal.

Kata kunci: Tipologi; Permukiman; Rumah; Menengah ke Bawah; Semarang.

Abstract_ Low-income settlements in Semarang City have become an issue in many cities, including Semarang City.

This issue is caused by settlements that are formed organically in prohibited areas. This paper aims to find the applied typology by finding specific types that persist or recur in low-income settlements in Semarang. The typology can be used to design low-income mass housing in the city. This study used a qualitative and purposive sampling methods for the selected samples. A field study was conducted in three kampongs in Semarang with varying topographical conditions, specifically in Kampong Jurnatan (0-2% land slope), Kampong Wonosari (15-40% and>40% land slope), and Kampong Patemon (2-15% land slope). The results show several main characteristics of low-income housing in Semarang, including multifunctional rooms, rooms or areas for storage in every hsouse and communal spaces, and linear circulatory spaces that are also multifunctional for socializing in the Kampong area. These findings can be implied in the design criteria for horizontal and vertical low-income settlements.

Keywords: Typology; Settlements; House Low-Income; Semarang.

1Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret

2Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret

3Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret

(2)

28

PENDAHULUAN

Permukiman menengah ke bawah berdasarkan teori inti ganda (multiple nuclei) merupakan permukiman yang ditinggali oleh penduduk dengan penghasilan menengah ke bawah, berlokasi dekat dengan daerah pusat kota dan industri. Pada umumnya, permukiman di zona ini memiliki kondisi yang kurang baik dan seringkali terdapat masalah sosial dan kesehatan yang buruk(Harris and Ullman 1945). Permukiman bagi penduduk berpenghasilan menengah ke bawah sudah lama dianggap sebagai permasalahan bagi kota-kota di wilayah Global South (Hansen et al., 2014).

Berdasarkan data dari UN-Habitat, Jumlah populasi yang bermukim pada permukiman ini mencapai lebih dari 1 miliar yang mana mayoritas terletak di wilayah Global South, seperti Asia Timur dan Tenggara (370 juta), Afrika sub-Sahara (238 juta), dan Asia Tengah dan Selatan (227 juta).

Permukiman ini biasanya tumbuh secara organik di area-area yang tidak diizinkan untuk permukiman seperti di bantaran sungai, bawah jembatan, atau di sepanjang tepi rel kereta api karena tidak adanya akses pada kepemilikan tanah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (Desai

& Loftus, 2013). Area tersebut menjadi pilihan karena biasanya kosong walaupun berbahaya dan tidak diperbolehkan sebagai tempat bermukim. Keberadaan permukiman di lahan yang bukan miliknya dan tidak diperbolehkan untuk bermukim ini menjadi dasar pertimbangan untuk memberikan label bagi permukiman ini sebagai ‘informal’. Istilah “informal” merujuk pada kondisi hunian tidak memiliki hak atas tanah, kekurangan layanan infrastruktur kota, tidak sesuai regulasi perencanaan, serta seringkali terletak pada area yang berbahaya (UN-Habitat, 2015). Namun demikian, keberadaan masyarakat penghuni hunian ‘informal’ ini sangat penting bagi kehidupan kota (McFarlane, 2012). Kebanyakan dari mereka bekerja di sektor primer sehingga keberadaannya dibutuhkan. Oleh karena itu, masyarakat ini semestinya diberi hak atas ruang kota (King, 2019), dan dibantu agar memiliki hunian yang layak, yaitu hunian yang memenuhi persyaratan keselamatan bangunan, kecukupan minimum luas bangunan, serta kesehatan penghuni (PUPR, 2019).

Sebagai upaya untuk membantu masyarakat miskin agar mendapatkan akses hunian yang layak, pemerintah kota biasanya melakukan relokasi, yaitu memindahkan masyarakat untuk tinggal di rumah yang disediakan oleh pemerintah dengan fasilitas yang dianggap cukup layak, di area yang aman dan terjangkau. Proses relokasi ini biasanya berupa pengadaan rumah layak huni, seperti rumah susun untuk memangkas harga tanah yang mahal. Namun tidak jarang terjadi rumah susun dari pemerintah dianggap tidak cocok dengan masyarakat penghuninya, seperti dalam kasus rumah susun di Kaligawe, dan Jatinegara Barat dengan faktor desain merupakan salah satu faktor signifikan dalam kegagalannya (Kompas.com, 2016; Mulyadi et al., 2013).

Alternatif lain dalam pengadaan rumah untuk kalangan menengah ke bawah ini adalah dengan melibatkan masyarakat. Pendekatan ini mulai populer dengan kasus Kali Code oleh Romo Mangun yang membantu masyarakat di bantaran Kali Code dalam meningkatkan kualitas hidup termasuk permukimannya (Raharjo, 2010). Hal ini juga biasa dilakukan saat ini oleh beberapa konsultan seperti Arkom di daerah permukiman kumuh (About Us – Arkom Indonesia, n.d.). Pendekatan ini dipandang lebih berhasil daripada pendekatan top down yang tidak melibatkan masyarakat.

Pendekatan ini membutuhkan waktu yang cukup panjang karena perlunya berkomunikasi dengan masyarakat hingga mencapai kesepakatan. Oleh karena itu, biasanya pendekatan ini dilakukan untuk perbaikan permukiman. Sering kali yang dilakukan bukanlah membuat yang informal menjadi formal, tetapi lebih kepada perbaikan fasilitas yang ada agar bisa diakui sebagai formal (Ortiz &

Lipietz, 2020).

Pendekatan lain melibatkan penelitian untuk membuat tipologi permukiman berdasarkan rumah yang telah ada selama ini. Pendekatan ini telah banyak dilakukan di berbagai tempat. Di antaranya adalah People Park Complex di Singapura pada tahun 1973 yang mengambil berbagai

(3)

karakter bangunan rumah dan kedai setempat sebagai dasar dalam desainnya (DP Architects, n.d.).

Pendekatan ini juga dipakai dalam pembuatan prototipe Expandable House yang didesain oleh tim dari ETH Zurich yang telah mendapatkan penghargaan sebagai The Best Living Space dari Inde Awards tahun 2020 dan dinominasikan untuk mendapatkan Aga Khan Awards tahun 2022 (Aga Khan Award 2022 Shortlist Revealed, 2022). Pendekatan yang dipakai dalam perancangan Expandable House adalah berdasarkan pada asumsi bahwa ada kesamaan dalam masyarakat, dalam hal ini adalah masyarakat di kota tropis, yang bisa digeneralisasi. Studi lain terkait dengan pendekatan ini dapat ditemui dalam artikel tentang tipologi hunian Vietnam yang akan dijadikan dasar dalam merancang unit apartemen di Vietnam (Choi et al., 2013). Pendekatan ini berada di tengah-tengah antara kedua pendekatan sebelumnya, yang mana dapat meminimalisir resiko kegagalan yang ada pada pendekatan top-down, tetapi juga meminimalisir waktu dan biaya yang dipakai oleh pendekatan bottom up.

Penelitian ini menggunakan asumsi dasar seperti yang digunakan dalam People’s Park Complex, tapi dalam konteks kota Semarang. Hal ini dilakukan karena mempertimbangkan aspek kultural serta jenis mata pencaharian yang berbeda antar kota di Jawa bagian dalam dan bagian pesisir (Sulistiyono & Rochwulaningsih, 2013) yang dalam sejarahnya telah banyak mendapatkan pengaruh dari interaksi dengan budaya asing melalui perdagangan. Oleh karena itu, fleksibilitas seperti yang ada pada Expandable House akan sangat bermanfaat dalam studi ini.

Penelitian ini berupaya untuk mencari tipologi dari hunian untuk kalangan menengah ke bawah di daerah Semarang. Temuan tipologi pada hunian di Kota Semarang selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar perancangan. Pendekatan tipologi dalam perancangan arsitektur muncul sebagai reaksi terhadap Modernisme yang mengesampingkan bentuk arsitektur sebelumnya dan menggantungkan diri pada analisis ’saintifik’ yang ’objektif’ (Colquhoun, 1969; Grover et al., 2019).

Colquhoun menyatakan bahwa pendekatan saintifik yang objektif itu tidak cukup untuk memformulasikan bentuk sehingga arsitek tetap harus melakukan sesuatu yang non-objektif ketika memutuskan bentuk arsitektur. Maka dari itu, pendekatan tipologi dari bangunan sebelumnya disarankan untuk dijadikan dasar bagi perancangan.

Dikarenakan bentuk arsitektur adalah salah satu bentuk komunikasi sosial, maka perlu ditandai pola-pola yang ada di bangunan-bangunan sebelumnya, mana yang tetap ada dan mana yang berubah dengan konteks yang berbeda. Tipologi dibentuk dari pola-pola yang tidak berubah dan karena itu memiliki makna bagi masyarakat pengguna. Namun demikian, dalam perancangan arsitektur, tipologi ini bukanlah untuk ditiru tetapi untuk diolah menjadi turunan baru (Colquhoun, 1969).

Bandini (1984) mengelaborasikan berbagai teori tipologi yang ada dalam teori arsitektur mulai dari Quartremere De Quincy, Durand, Colquhoun, Rafael Moneo, Rossi, Argan dan banyak teori dari Italia. Kebanyakan dari teori tersebut menggunakan tipologi sebagai alat untuk memahami arsitektur dan kota, bukan sebagai dasar dari merancang (Bandini, 1984). Salah satu teori yang dikutip oleh Bandini adalah Aymonimo yang melihat tipologi sebagai instrumen, bukan sebagai kategori. Dalam teorinya, Aymonimo menyebutkan bahwa terdapat dua level dalam tipologi yaitu formal dan functional. Tipologi formal atau independent typology adalah instrumen untuk melakukan klasifikasi terhadap perbedaan-perbedaan bentuk. Tipologi fungsional atau applied typology adalah instrumen untuk memahami bertahannya satu tipe spesifik dari sesuatu (Bandini, 1984). Penelitian ini menggunakan pada hunian masyarakat menengah ke bawah. Untuk itu perlu dilihat aspek-aspek yang perlu diperhatikan dari hunian tersebut.

Berdasarkan beberapa teori yang disebutkan oleh Bandini, beberapa skala yang bisa dilihat dalam studi tipologi adalah skala urban, skala bangunan dan skala dekorasi/ornamen yang mana relevan bagi kajian tipologi hunian. Namun demikian, skala ornamen cenderung berkaitan dengan status sosial tinggi (Coulangeon & Duval, 2015). Oleh karena itu, skala ornamen tidak relevan pada penelitian ini karena penelitian ini berkaitan dengan kelas sosial menengah ke bawah sehingga

(4)

30

aspek yang dibahas dalam penelitian ini hanya dalam skala urban atau lingkungan serta skala bangunan yang berupa struktur besar serta layout ruang. Untuk bisa memahami layout ruang perlu diketahui juga aktivitas sehari-hari dari masyarakat dalam ruang tersebut. Dikarenakan penelitian ini bertujuan untuk membuat tipologi hunian masyarakat menengah ke bawah, maka akan diambil sampel yang representatif terhadap variasi yang mungkin ada, di antaranya adalah variasi kondisi ekonomi dan variasi topografi.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data menggunakan metode purposive sampling yang dilakukan dengan wawancara dan dokumentasi. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang mengeksplorasi dan memahami sejumlah individu maupun kelompok yang dianggap berasal dari masalah sosial (Cresswell, 2018). Penelitian kualitatif melibatkan beberapa proses, seperti pengumpulan data dari partisipan yang spesifik, analisis secara induktif, serta interpretasi data. Data yang telah terkumpul akan disusun melalui tabel dan dianalisis secara deskriptif berdasarkan hasil observasi lapangan. Dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian kulitatif, maka Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah human instrumen atau peneliti itu sendiri, alat tulis untuk mencatat hasil wawancara, serta alat untuk dokumentasi berupa smartphone. Peneliti menggunakan dasar teori tipologi dan masyarakat menengah ke bawah dalam proses pengumpulan data, serta data kemiringan Kota Semarang untuk pemilihan sampel

Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dengan wawancara dan melakukan dokumentasi yang digunakan untuk penggambaran ulang denah rumah. Wawancara dilakukan langsung oleh peneliti dengan penghuni hunian untuk mendapatkan data mengenai kegiatan, perilaku, dan kebiasaan penghuni baik di dalam hunian maupun di area permukiman kampung. Kemudian dilakukan proses penyuntingan dan pemilihan data yang sesuai untuk ditampilkan pada penelitian.

Data tersebut disusun melalui tabel maupun penggambaran ulang dan dianalisis secara deskriptif sehingga disajikan data berupa teks naratif yang dijadikan dasar untuk studi tipologi pada rumah masyarakat menengah ke bawah di Kota Semarang.

Tabel 1. Pertanyaan yang diajukan dalam wawancara kepada penghuni hunian

Cakupan Pertanyaan

Ruangan pada hunian

Berapa orang yang tinggal di dalam rumah?

Siapa saja yang tinggal di dalam rumah?

Ruangan apa saja yang ada di dalam rumah?

Kegiatan apa saja yang dilakukan pada tiap ruangan di dalam rumah?

Area Permukiman

Apakah ada kegiatan yang dilakukan bersama masyarakat sekitar?

Apakah ada fasilitas bersama pada permukiman ini?

Fasilitas bersama apa yang ada pada permukiman ini?

Kegiatan apa saja yang dilakukan bersama masyarakat sekitar?

Dimana lokasi/area yang digunakan untuk kegiatan bersama tersebut?

Sumber: Penulis, 2022

Dalam proses pengambilan data pada sampel rumah di ketiga kampung, peneliti telah memperoleh izin untuk melakukan penelitian dari pihak RT setempat serta pemilik rumah melalui surat pengantar mengenai izin penelitian dari pihak universitas. Privasi dan kerahasiaan data penghuni dilindungi oleh peneliti melalui anonimitas dengan tidak menyebut nama penghuni, alamat rumah, serta tidak melampirkan foto ruangan yang sudah disepakati antara pihak peneliti maupun penghuni rumah. Oleh karena itu, data yang ditampilkan pada hasil dan pembahasan berupa hasil wawancara dan penggambaran ulang denah rumah yang telah dianalisis secara deskriptif.

Lokus penelitian ini berada di Kota Semarang dengan topografi yang meliputi kawasan pesisir, dataran rendah, hingga dataran tinggi. Dengan topografi yang bermacam-macam, kondisi tanah Kota

(5)

Semarang dibagi menjadi 4 jenis kemiringan tanah, antara lain: Lereng I (0-2%), Lereng II (2-15%), Lereng III (15-40%), dan Lereng IV (>40%). Dikarenakan lokus penelitian terletak pada kota dengan 4 jenis kemiringan, ketiga kampung dipilih berdasarkan 4 jenis kemiringan yang berbeda serta beberapa kondisi lingkungan seperti kedekatan dengan sungai maupun jarak dengan pusat kota sehingga dapat merepresentasikan seluruh hunian pada Kota Semarang.

Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Semarang tahun 2021, jumlah penduduk di Kota Semarang mencapai 1.687.222 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 563.444.

Menurut data BPS Kota Semarang mengenai mata pencaharian penduduk Kota Semarang (Kota Semarang, 2020), sekitar 50% dari penduduk merupakan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dengan komposisi terdiri dari buruh bangunan, buruh industri, buruh tani, nelayan, petani dan angkutan. Jumlah populasi dengan pendapatan di bawah garis kemiskinan adalah 84.450 jiwa.

Studi kawasan permukiman dilakukan untuk mengetahui aspek fisik (bentuk dan peruangan hunian) serta aspek non fisik (interaksi dan kebiasaan warga) di permukiman landed house di Kota Semarang. Kampung Jurnatan, Kampung Patemon, dan Kampung Wonosari menjadi lokus pengamatan dengan 3 hunian pada tiap kampung yang menjadi sampel penelitian. Kriteria pemilihan 3 sampel mengacu pada fasad atau tampilan hunian, seperti: hunian paling kecil, sedang, dan besar sehingga dapat merepresentasikan pola ruang, interaksi, serta kebiasaan penduduk dalam satu permukiman tersebut.

Gambar 1. Lokasi Pengamatan.

Sumber: Mandamaruta, 2015, diolah

Untuk mendapatkan tipologi dari rumah masyarakat menengah ke bawah di Semarang, akan dilakukan survei lapangan terhadap beberapa sampel. Teknik pengumpulan data berupa sampel hunian dilakukan dengan purposive sampling. Dikarenakan topografi kota Semarang bervariasi, maka sampel diambil dari permukiman dengan topografi yang berbeda dalam hal kemiringan. Selain itu, kondisi lingkungan seperti kedekatan dengan sungai atau di tengah kota sehingga dapat merepresentasikan hunian di Kota Semarang. Untuk itu kami mengambil tiga kampung di kota Semarang yaitu Kampung Jurnatan, Kampung Wonosari dan Kampung Patemon.

(6)

32

(a) (b) (c) Gambar 2. Situasi pada ketiga sampel permukiman

(a) Kampung Jurnatan; (b) Kampung Wonosari; (c) Kampung Patemon Sumber: Dokumentasi pribadi penulis, 2022

(a) (b) (c) Gambar 3. Mapping ketiga sampel permukiman

(a) Kampung Jurnatan; (b) Kampung Wonosari; (c) Kampung Patemon Sumber: Mapbox, 2022; Uluputty, 2021, diolah kembali oleh penulis, 2022

Dari tiap kampung tersebut kami mengambil sampel dari tipe hunian terkecil hingga terbesar untuk melihat variasi kompleksitasnya. Data-data yang didapatkan dari studi lapangan akan digunakan untuk melihat karakter yang paling utama dalam rumah masyarakat menengah ke bawah ini. Karakter ini akan dapat dipakai sebagai pertimbangan desain hunian, terutama pada hunian vertikal seperti rumah susun bagi masyarakat menengah ke bawah di Semarang untuk ke depannya.

Penerapan tipologi pada perancangan hunian tersebut diharapkan dapat membantu masyarakat menengah ke bawah untuk beradaptasi pada hunian vertikal serta menjawab permasalahan seperti faktor kegagalan desain yang umum ditemukan pada relokasi ke rumah susun (Mulyadi et.al., 2013)

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Keterkaitan Tipologi Fungsional Rumah dengan Tipe Kemiringan

Ketiga sampel permukiman memiliki tipe kemiringan dan kondisi lingkungan yang berbeda, seperti Kampung Jurnatan yang memiliki tipe kemiringan I (0-2%) dan berdekatan dengan bantaran sungai, Kampung Wonosari dengan 2 tipe kemiringan III (15-40%) dan IV (>40%), serta Kampung Patemon dengan tipe kemiringan II (2-15%). Dari ketiga kampung tersebut, dipilih masing-masing 3 hunian berdasarkan fasadnya (hunian kecil, sedang dan besar).

Pengumpulan data dari beberapa sampel tersebut dilakukan dengan wawancara dengan penghuni, dokumentasi, serta penggambaran ulang denah. Temuan data tersebut dapat diperhatikan sebagai berikut.

1. Kampung Jurnatan

Tiga hunian pada Kampung Jurnatan yang dijadikan sampel penelitian, 1a (hunian besar); 1 b (hunian sedang); 1c (hunian kecil).

(7)

(1a) (1b) (1c) Gambar 4. Denah ketiga sampel hunian di Kampung Jurnatan

Sumber: Dokumentasi pribadi penulis, 2022

2. Kampung Wonosari

Tiga hunian pada Kampung Wonosari yang dijadikan sampel penelitian, 2a (hunian besar); 2 b (hunian sedang); 2c (hunian kecil).

(2a) (2b) (2c) Gambar 5. Denah ketiga sampel hunian di Kampung Wonosari

Sumber: Dokumentasi pribadi penulis, 2022

3. Kampung Patemon

Tiga hunian pada Kampung Patemon yang dijadikan sampel penelitian, 1a (hunian besar); 1 b (hunian sedang); 1c (hunian kecil).

(3a) (3b) (3c) Gambar 6. Denah ketiga sampel hunian di Kampung Patemon

Sumber: Dokumentasi pribadi penulis, 2022

Penelitian ini menggunakan tipologi fungsional (applied typology), yakni memahami tipe spesifik yang ditemukan berulang pada 9 sampel hunian di tiga kampung yang berbeda.

Temuan tipe spesifik yang bertahan tersebut ditemukan pada jenis ruang serta kegunaan atau fungsinya. Beberapa jenis ruang yang ditemukan berulang pada beberapa sampel antara lain: ruang tamu, kamar tidur, ruang keluarga, dapur, kamar mandi, serta area/ruang khusus untuk penyimpanan barang. Namun, ada beberapa sampel yang tidak terdapat salah satu/beberapa jenis ruang yang disebutkan, seperti dapur, ruang tamu dan kamar mandi.

(8)

34

Berikut temuan data mengenai jenis ruang yang berulang pada kesembilan sampel hunian dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2. Temuan Jenis Ruang yang Berulang pada Sampel Hunian

No Jenis Ruang Kampung Jurnatan Kampung Wonosari Kampung Patemon

1a 1b 1c 2a 2b 2c 3a 3b 3c

1. Ruang Tamu ada ada tidak

ada ada ada ada ada ada ada

2. Ruang Keluarga tidak ada tidak

ada tidak

ada ada ada tidak

ada ada ada ada

3. Kamar Tidur ada ada ada ada ada ada ada ada ada

4. Dapur ada tidak

ada ada ada ada ada ada ada ada

5. Kamar Mandi ada ada tidak

ada ada ada ada ada ada ada

6. Ruang Penyimpanan ada ada ada tidak

ada ada ada ada tidak

ada tidak ada Sumber: Penulis, 2022

Berdasarkan tabel 2, kamar tidur merupakan jenis ruang yang ditemukan berulang pada semua sampel. Selanjutnya diikuti oleh ruang tamu, dapur, dan kamar mandi dimana tidak ditemukan hanya pada satu sampel rumah saja yang terletak di Kampung Jurnatan.

Sedangkan ruang keluarga dan area penyimpanan hanya ditemukan pada beberapa sampel hunian. Dari semua sampel rumah di ketiga kampung, rumah pada Kampung Jurnatan memiliki jenis ruang yang lebih terbatas. Hal ini tidak lepas dari faktor lokasi kampung yang terletak dekat pusat kota, yang umumnya berada di area dataran rendah dengan tipe kemiringan rendah dan kepadatan penduduk yang tinggi. Hal ini berdampak pada luasan rumah di Kampung Jurnatan yang lebih sempit dan terbatas dibandingkan dua kampung lainnya. Keterbatasan 3 jenis ruang tersebut diatasi oleh penduduk kampung dengan cara menciptakan fasilitas Bersama di Kampung Jurnatan. Beberapa hunian tidak memiliki ruang khusus penyimpanan karena kegiatan penyimpanan barang dapat diletakkan pada tempat penyimpanan seperti lemari dan etalase.

Selain jenis ruang, tipe spesifik pada sampel juga ditemukan pada cara dan kebiasaan penghuni menggunakan ruang tersebut. Dari semua sampel hunian, terdapat satu jenis ruang yang difungsikan sebagai ruang multifungsi (gambar 4, 5, dan 6). Ruang multifungsi tersebut biasanya digunakan penghuni untuk melakukan beberapa kegiatan seperti, makan, tidur, berkumpul, menerima tamu, dsb. Temuan mengenai penggunaan ruang multifungsi ini sering ditemukan pada ruang keluarga, ruang tamu, bahkan kamar tidur pada salah satu sampel.

Berdasarkan tabel 2 di atas, beberapa hunian tidak terdapat ruang keluarga. Hal ini dikarenakan sudah adanya ruang lainnya yang difungsikan sebagai ruang multifungsi untuk beberapa kegiatan, salah satunya kegiatan berkumpul keluarga.

B. Penggunaan Ruang berdasarkan Lantai Bangunan

Temuan data pada survey lapangan terdapat beberapa sampel rumah yang memiliki dua lantai, khususnya pada Kampung Wonosari dan Kampung Jurnatan. Sedangkan pada Kampung Patemon hanya memiliki satu lantai. Sampel rumah dengan dua lantai terdapat susunan ruang yang berbeda fungsi antara kedua lantainya. Mayoritas kegiatan dilakukan setiap waktunya dilakukan di lantai satu sedangkan lantai dua hanya untuk beberapa kegiatan saja, seperti menyimpan barang dan tidur yang hanya dilakukan di waktu-waktu tertentu saja.

(9)

Jumlah ruang yang lebih banyak pada lantai satu yang lebih besar dibandingkan dengan lantai di atasnya tentu berdampak kepada jenis kegiatan dan waktu penggunaan ruang. Selain itu, salah satu temuan tipe spesifik berupa ruang multifungsi ditemukan pada lantai satu pada semua rumah. Berikut perbandingan luas lantai, jumlah ruang, serta letak ruang multifungsi pada sampel rumah dengan dua lantai.

Tabel 3. Perbandingan Luas Lantai, Jumlah Ruang, dan Letak Ruang Multifungsi pada Sampel Rumah 2 Lantai

No Lantai 1 Luas Lantai Lantai 2 Lantai 1 Jumlah Ruangan Lantai 2 Ruang Multifungsi

1a

Luas lantai 1 > lantai 2

Terdapat 6 ruang:

- Ruang tamu - Kamar tidur - Garasi - Kamar mandi - Dapur - Ruang Cuci

Terdapat 4 ruang:

- 2 Kamar tidur - Ruang

Penyimpanan - Balkon

Ruang tamu sebagai ruang multifungsi

(lantai 1)

1b

Luas lantai 1 < lantai 2

Terdapat 4 ruang:

- Ruang tamu - 2 Kamar

tidur

- Kamar mandi

Terdapat 2 ruang:

- 2 Ruang penyimpanan

Ruang tamu sebagai ruang multifungsi

(lantai 1)

1c

Luas lantai 1 = lantai 2

Terdapat 2 ruang:

- Kamar tidur - Dapur

Terdapat 1 ruang:

- Ruang penyimpanan

Kamar tidur sebagai ruang multifungsi

(lantai 1)

2a

Luas lantai 1 > lantai 2

Terdapat 8 ruang:

- Ruang tamu - 4 Kamar

tidur - Ruang

keluarga - Dapur - Kamar mandi

Terdapat 4 ruang:

- Kandang - Kamar mandi - Kamar tidur - Rooftop

Ruang Keluarga sebagai ruang multifungsi (lantai 1)

(10)

36

No Luas Lantai Jumlah Ruangan Ruang Multifungsi

Lantai 1 Lantai 2 Lantai 1 Lantai 2

2b

Luas lantai 1 > lantai 2

Terdapat 7 ruang:

- Ruang tamu - 3 Kamar

tidur - Ruang

keluarga - Dapur - Kamar mandi

Terdapat 3 ruang:

- Kamar tidur - Ruang

penyimpanan

Ruang Keluarga sebagai ruang multifungsi (lantai 1) Sumber: Penulis, 2022

Mengacu tabel perbandingan diatas, jumlah ruang serta letak ruang multifungsi berpengaruh terhadap perbedaan penggunaan ruang berdasarkan lantai bangunan. Meskipun beberapa sampel memiliki luas lantai 1 yang lebih kecil atau sama luas dengan lantai satu, jumlah ruang pada lantai satu yang tetap lebih banyak dibandingkan lantai di atasnya. Selain itu, hasil temuan seperti ruang multifungsi, dimana penghuni melakukan beragam kegiatan, terletak di lantai 1 pada semua sampel rumah. Hal ini tentu berdampak pada waktu penggunaan ruang yang berbeda antara kedua lantai dikarenakan penghuni lebih banyak melakukan aktivitas dan kegiatan pada lantai satu.

C. Fasilitas Bersama Kampung

Dari ketiga sampel kampung yang diamati, hanya dua kampung yang memiliki fasilitas bersama yakni pada Kampung Jurnatan dan Kampung Wonosari. Adanya fasilitas Bersama di dalam kedua kampung tersebut dikarenakan hal yang berbeda. Fasilitas bersama di Kampung Jurnatan digunakan penduduk untuk mewadahi aktivitas dan kegiatan, seperti menerima tamu, memarkir kendaraan, berjualan, memasak, metabolisme, dan sebagainya, yang tidak dapat ditunjang di rumah masing-masing dikarenakan tidak adanya ruang-ruang tertentu. Fasilitas bersama pada Kampung Jurnatan, berupa area komunal (pos, area parkir, warung) di dekat bantaran sungai, dapur dan kamar mandi umum, umumnya terletak di dekat area bantaran sungai (gambar 7). Keberadaan area komunal dan beberapa fasilitas bersama lainnya tersebut sesuai dengan pendapat (Darmiwati 2000), bahwa area komunal memiliki fungsi sebagai ruang untuk mewadahi berbagai aktivitas bersama dalam memenuhi kebutuhan sosial, budaya, maupun ekonomi penduduknya.

(a) (b) (c) Gambar 7. Beberapa fasilitas umum di Kampung Jurnatan

(a) Pos; (b) Area parkir; (c) Warung Sumber: Dokumentasi pribadi penulis, 2022

Fasilitas Bersama pada Kampung Wonosari difungsikan untuk menunjang mobilisasi penduduk di dalam area kampung dikarenakan topografi yang curam. Fasilitas Bersama yang

(11)

umum ditemui pada kampung ini yaitu area parkir bersama pada area yang cenderung datar.

Penduduk di Kampung Wonosari cenderung memilih untuk berjalan kaki sebagai mobilisasi di dalam area kampung dan memarkir kendaraan pada area bersama yang tersedia.

D. Sirkulasi dan Pola Jalan

Data yang dikumpulkan dari pengamatan di ketiga kampung ditemukan bahwa sirkulasi jalan berfungsi sebagai akses yang menghubungkan baik antar hunian, hunian dengan fasilitas umum, serta seluruh area kampung dengan lingkungan sekitarnya. Pemanfaatan sirkulasi jalan pada masing-masing kampung bermacam-macam dikarenakan perbedaan tipe kemiringan. Pada kampung dengan topografi yang datar seperti pada Kampung Jurnatan (kemiringan 0-2%) dan Kampung Patemon (kemiringan 2-15%), Sirkulasi jalan dimanfaatkan penduduk untuk berinteraksi dan melakukan aktivitas sosial melalui bermain, jual-beli, kerja bakti. Kampung Wonosari yang berlokasi di area topografi yang curam (kemiringan 15-40% dan >40%) terdapat perbedaan fungsi sirkulasi jalan dengan dua sampel kampung lainnya. Sirkulasi jalan pada Kampung Wonosari tidak digunakan untuk bersosialisasi dan hanya digunakan untuk mobilitas penduduk. Hal ini dikarenakan kontur jalan kampung yang curam sehingga penduduk lebih memilih berinteraksi di dalam hunian.

(a) (b) (c)

Gambar 8. Kondisi sirkulasi jalan

(a) Kampung Jurnatan; (b) Kampung Wonosari; (c) Kampung Patemon Sumber: Dokumentasi pribadi penulis, 2022

Pola jalan pada ketiga kampung berupa pola linier (gambar 9) yang menyesuaikan dengan lingkungan kampung masing-masing, misalnya pola jalan pada Kampung Jurnatan dimana rumah pada kampung ini cenderung berorientasi ke arah sungai sehingga pola jalannya mengikuti bentuk sungai. Sementara pada Kampung Wonosari dan Kampung Patemon, Rumah penduduk saling berhadapan dan berorientasi ke arah jalan. Oleh karena itu, pola jalannya berbentuk linier mengikuti susunan rumah-rumah di dalam kampung tersebut. Temuan penelitian ini mengacu pada pernyataan (Satriaji 2018) mengenai orientasi bangunan pada permukiman yang ditentukan oleh keberadaan area terbuka (node) dan koridor (path). Pola jalan pada Kampung Jurnatan terbentuk dari hunian yang berorientasi ke arah bantaran sungai sebagai area terbuka (node) dikarenakan dapat mewadahi aktivitas sosial antar penduduk. Hal ini dibuktikan adanya beberapa ruang komunal dan fasilitas bersama di area bantaran sungai (gambar 7). Sementara hunian dengan orientasi ke arah jalan sebagai koridor (path) ditemukan pada Kampung Wonosari dan Kampung Patemon. Koridor jalan sebagai orientasi dapat digunakan sebagai akses dari/ke rumah maupun antar rumah di dalam kampung tersebut.

(12)

38

(a) (b) (c)

Gambar 9. Pola Jalan dan Sirkulasi

(a) Kampung Jurnatan; (b) Kampung Wonosari; (c) Kampung Patemon Sumber: Dokumentasi pribadi penulis, 2022

Dari sampel-sampel yang diambil di ketiga kampung tersebut dapat dilihat beberapa tipe spesifik yang muncul berulang-ulang, baik dari semua maupun beberapa sampel rumah, di antaranya:

 Ruangan yang multifungsi

Sampel hunian pada ketiga kampung memiliki setidaknya satu ruang multifungsi untuk melakukan beberapa kegiatan, seperti, berkumpul, tidur, makan, menonton TV, dsb. Ruang keluarga paling umum dijadikan sebagai ruang multifungsi pada sampel hunian. Sementara beberapa hunian yang tidak memiliki ruang keluarga, menjadikan ruang tamu bahkan kamar tidur sebagai ruang multifungsi di dalam huniannya. Temuan yang berulang tersebut pada sampel hunian menjadikan ruang multifungsi sebagai salah satu tipologi pada rumah menengah ke bawah.

 Adanya ruang khusus untuk penyimpanan

Ruang penyimpanan cukup dipertimbangkan dalam salah satu temuan tipologi rumah masyarakat menengah ke bawah di Kota Semarang. Hal ini diamati pada beberapa sampel rumah dari ketiga kampung memiliki ruang khusus untuk menyimpan barang. Beberapa sampel rumah yang tidak terdapat ruang khusus menggunakan furniture seperti almari, kabinet, laci meja untuk menyimpan barang.

 Pemanfaatan fasilitas Bersama

Dari hasil pengamatan, dijumpai penggunaan fasilitas bersama pada Kampung Jurnatan dan Kampung Wonosari. Penggunaan fasilitas bersama pada Kampung Jurnatan berupa dapur dan kamar mandi umum serta area komunal (area parkir, pos, taman) di tepian sungai, sedangkan pada Kampung Wonosari, area parkir di kemiringan yang cenderung datar difungsikan untuk fasilitas bersama.

 Sirkulasi dan pola jalan

Sirkulasi jalan pada ketiga kampung memiliki fungsi sebagai penghubung baik antar hunian, hunian dengan fasilitas umum, maupun area kampung dengan lingkungan sekitarnya.

Pada Kampung Jurnatan dan Kampung Patemon, sirkulasi jalan juga digunakan penduduk untuk melakukan aktivitas lain, seperti bermain, berjualan, berinteraksi, kerja bakti, dan kegiatan sosial lainnya. Berbeda dengan 2 kampung lainnya, pada Kampung Wonosari kegiatan dan interaksi antar warga tidak dilakukan pada area sirkulasi jalan. Hal ini dikarenakan kontur jalan permukiman yang curam sehingga warga lebih memilih berinteraksi di dalam hunian.

Ketiga kampung memiliki pola jalan berbentuk linier yang menyesuaikan bentuk lingkungan sekitarnya seperti pada Kampung Jurnatan maupun pola huniannya seperti pada Kampung Wonosari dan Kampung Patemon. Pola Jalan pada Kampung Jurnatan mengikuti bentuk sungai terdekat sebagai area terbuka (node). Sementara pola jalan pada Kampung Wonosari dan Kampung Patemon mengikuti susunan rumahnya yang berorientasi ke arah koridor (path).

(13)

Munculnya tipe spesifik dan karakter tersebut secara berulang-ulang dalam semua sampel menunjukkan bahwa karakter ruang tersebut merupakan bagian dari tipologi rumah masyarakat kalangan menengah ke bawah di Semarang. Temuan tipologi tersebut dapat digunakan untuk kriteria desain baik pada perancangan hunian horizontal maupun vertikal bagi masyarakat menengah ke bawah di Kota Semarang. Penerapan tipologi pada perancangan hunian, terutama hunian vertikal diharapkan dapat menjadi solusi permasalahan yang umum ditemukan yakni salah satunya faktor kegagalan desain sehingga masyarakat yang akan menghuni kurang cocok dengan proses relokasi dan adaptasi di hunian vertikal atau rumah susun (Mulyadi, Iskandar, and Haryanto 2013).

Temuan tipologi pada penelitian ini dapat diterapkan dalam skala hunian maupun permukimannya. Sebagai contoh, terdapat temuan seperti ruang multifungsi dan area khusus penyimpanan dapat menjadi kriteria saat merancang unit hunian baik dalam bentuk landed house maupun unit hunian pada rumah susun. Selain dalam skala hunian, penerapan tipologi juga dapat diterapkan pada skala permukiman dengan mempertimbangkan temuan fasilitas umum yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan bersama warga serta sirkulasi jalan yang linier yang menghubungkan tiap unit hunian dan sebagai area untuk bersosialisasi.

KESIMPULAN

Permukiman menengah ke bawah sudah lama dianggap sebagai permasalahan bagi kota. Hal ini dikarenakan permukiman ini tersusun dari hunian informal, dimana kondisi hunian dianggap tidak layak, dan biasa tumbuh di area yang tidak diizinkan untuk bermukim. Sebagai upaya mengatasi permasalahan ini, pemerintah melakukan pengadaan rumah yang layak huni, yang umumnya dilakukan dengan relokasi ke hunian vertikal seperti rumah susun untuk memangkas harga tanah yang mahal. Namun, seringkali rumah susun tersebut tidak sesuai dengan penghuninya karena salah satunya diakibatkan oleh faktor kegagalan desain. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mencari tipologi rumah masyarakat menengah ke bawah sebagai pertimbangan perancangan hunian kedepannya sehingga masyarakat tersebut dapat beradaptasi, terutama pada hunian vertikal.

Studi tipologi dilakukan pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan mencari tipe spesifik yang berulang pada rumah masyarakat menengah ke bawah. Beberapa temuan karakter utama yang berulang tersebut, antara lain: (1) Ruang multifungsi yang digunakan untuk melakukan berbagai kegiatan yang ditemukan pada ruang tamu, ruang keluarga, maupun kamar tidur; (2) Adanya ruang penyimpanan, baik berupa ruangan khusus maupun furniture pada area tertentu; (3) Ruang komunal, sebagai fasilitas umum yang dapat digunakan oleh seluruh pengguna bangunan; (4) Pola sirkulasi lingkungan yang linier serta multifungsi khususnya untuk sirkulasi yang relatif datar.

Temuan tipologi dari karakter yang berulang dari sampel hunian di Kota Semarang tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar perancangan hunian horizontal dan vertikal untuk masyarakat menengah ke bawah. Tipologi tersebut dapat diterapkan baik dalam skala unit hunian melalui pertimbangan adanya ruang multifungsi serta area penyimpanan barang maupun dalam skala permukiman dengan perancangan fasilitas umum untuk menunjang kegiatan bersama dan sirkulasi linier yang menghubungkan tiap unit hunian serta untuk area bersosialisasi antar warga.

DAFTAR REFERENSI

About Us – Arkomindonesia. (n.d.). Retrieved June 1, 2022, from https://www.arkomindonesia.id/about-us/

Aga Khan Award 2022 shortlist revealed. (2022, June 8). Dezeen. https://www.dezeen.com/2022/06/08/aga- khan-award-2022-shortlist/

(14)

40

Bandini, M. 1984. "Typology As A Form Of Convention." AA Files, 6, 73–82.

Choi, J., Kim, Y.-W., & Kang, J.-K. 2013. "Study on the Application of Vernacular Design to High-rise Apartment Planning in Vietnam." Architecture Science, 8, 8.

Colquhoun, A. 1969. "Typology and design method." Perspecta, 71–74.

Coulangeon, P., & Duval, J. 2015. "The Routledge Companion to Bourdieu’s Distinction" (Vol. 1). Routledge Londres/Nova York.

Cresswell, John W, and J. David Cresswell. 2018. "Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches (5th Edition)". 5th ed. Sage Publications.

Darmiwati, Ratna. 2000. “Studi Ruang Bersama Dalam Tumah Susun Bagi Penghuni Berpenghasilan Rendah.”

http://puslit.petra.ac.id/journals/architecture/.

Desai, V., & Loftus, A. 2013. "Speculating on slums: Infrastructural fixes in informal housing in the global South."

Antipode, 45(4), 789–808.

DP Architects. (n.d.). "The opening of People’s Park Complex | DP Architects." Retrieved June 1, 2022, from https://www.dpa.com.sg/insight/theopeningofpeoplesparkcomplex/

Grover, R., Emmitt, S., & Copping, A. 2019. "The language of typology." Arq: Architectural Research Quarterly, 23(2), 149–156.

Hansen, K. T., Little, W. E., Milgram, B. L., Babb, F. E., Bromley, R., & Clark, G. C. 2014. "Street economies in the urban Global South." SAR Press.

Harris, Chauncy D., and Edward L. Ullman. 1945. “The Nature of Cities.” The ANNALS of the American Academy of Political and Social Science 242 (1): 7–17.

King, L. 2019. "Henri Lefebvre and the right to the city." In The Routledge handbook of philosophy of the city (pp.

76–86). Routledge.

Kompas.com. 2016. "Ahok: Desain Rusunawa Jatinegara Barat Tak Sempurna."

https://megapolitan.kompas.com/read/2016/10/19/15375281/ahok.desain.rusunawa.jatinegara.barat.tak.semp urna

Kota Semarang, B. 2020. "Kota Semarang dalam Angka 2020." BPS Semarang.

McFarlane, C. 2012. "Rethinking Informality: Politics, Crisis, and the City." Planning Theory & Practice, 13(1), 89–

108. https://doi.org/10.1080/14649357.2012.649951

Mulyadi, L., Iskandar, T., & Haryanto, D. 2013. "Faktor–Faktor Yang Mempengaruhi Kegagalan Tujuan

Pembangunan Gedung Bertingkat (Studi Kasus: Pembangunan Rumah Susun Kaligawe Di Semarang)." Jurnal Info Manajemen Proyek, 4(1).

Ortiz, C., & Lipietz, B. 2020. "Grounded Learning: People-centred approaches to housing in Yangon and Yogyakarta."

University College London.

PUPR. 2019. “Kriteria Rumah Layak Huni.” May 4. pembiayaan.pu.go.id/faq/p/category/kriteria-rumah-layak- huni.

Raharjo, W. 2010. "Speculative settlements: Built form/tenure ambiguity in kampung development [PhD Thesis]."

University of Melbourne.

Rizki Satriaji, Kukuh. 2018. “Studi Tipologi Dan Orientasi Rumah Pada Kawasan Permukiman Padat Di Astana Anyar, Tegallega, Kota Bandung.” Jurnal Sosioteknologi 17 (3): 355–64.

doi:10.5614/sostek.itbj.2018.17.3.3.

Sulistiyono, S. T., & Rochwulaningsih, Y. 2013. "Contest for hegemony: The dynamics of inland and maritime cultures relations in the history of Java island, Indonesia." Journal of Marine and Island Cultures, 2(2), 115–127.

Uluputty, Arvian Riatmaja, David Cleo Gultom, Faradilla Rizki Rufia, Muh Zaenal Abidin, Rizky. 2021. “Analisis Kesesuaian Lahan Permukiman Di Kota Semarang.” ArcGIS StoryMaps. November 22, 2021.

https://storymaps.arcgis.com/stories/8700af9117b24a6f909104ecf3240156.

UN-Habitat. 2015. “Habitat Iii Issue Papers 22-Informal Settlements.” https://habitat3.org/wp- content/uploads/Habitat-III-Issue-Paper-22_Informal-Settlements-2.0.pdf.

Referensi

Dokumen terkait