• Tidak ada hasil yang ditemukan

TM Laboratorium lingkungan 6 rakun

N/A
N/A
lucifer

Academic year: 2023

Membagikan "TM Laboratorium lingkungan 6 rakun"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PRAKTIKUM LABORATORIUM LINGKUNGAN

MATERI

PEMBUBUHAN KLOR UNTUK DESINFEKSI

NAMA : MUHAMMAD NINDYTHO AL GHOZALI NIM : 225100900111009

KELOMPOK : Y1

ASISTEN :

Ainul Fikri Hartono Fadil Thoriq Ramadhan Anisa Nuraini Rahmalia Yazida Putri Chilyatun Nisa' Santa Gabriel

Chrisna Rachmad Ibrahim Sellya Aldiariza K.

Dian Sari Gladys Tri Fitria Indah Lestari Devela Mulia Putri Y. Yulia Rahma Ihsan

Edel Weys Yosridha Pristiani Farakh Fahildha Zulfa

LABORATORIUM REMEDIASI LINGKUNGAN DAN KUALITAS UDARA DEPARTEMEN TEKNIK BIOSISTEM

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG 2023

COVER

(2)

DAFTAR ISI

COVER... i

DAFTAR ISI... ii

DAFTAR TABEL...iii

DAFTAR GAMBAR...iv

DAFTAR LAMPIRAN...v

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang...1

1.2 Tujuan... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...2

2.1 Definisi Desinfeksi...2

2.2 Definisi dan Jenis-jenis Klorin...2

2.3 Efektivitas Klorin dalam Desinfeksi...3

2.4 Definisi BPC...3

2.5 Karakteristik dan Kegunaan Bahan...4

2.5.1 Kaporit...4

2.5.2 Asam Asetat Glasial...5

2.5.3 Kalium Iodida...5

2.5.4 Natrium Tiosulfat...5

2.5.5 Indikator Amilum...6

BAB III METODOLOGI...7

3.1 Alat dan Bahan beserta Fungsi...7

3.2 Diagram Alir...10

BAB IV PEMBAHASAN...11

4.1 Data Hasil Praktikum...11

4.2 Data Hasil Perhitungan...11

4.3 Analisis Prosedur...12

4.4 Analisis DHP...12

4.5 Analisis Perhitungan...13

4.6 Grafik dan Analisis Grafik...13

4.7 Pembahasan...13

4.7.1 Kondisi Akhir Fisik Sampel Setelah Pembubuhan Kaporit...13

4.7.2 Hubungan Antara Dosis Kaporit dengan Residu Klor...14

4.7.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Pembubuhan Klor pada Desinfeksi...14

4.7.4 Perbandingan Hasil Praktikum dengan Literatur...15

BAB V PENUTUP...17

5.1 Kesimpulan...17

5.2 Saran...17

DAFTAR PUSTAKA...18

DAFTAR PUSTAKA TAMBAHAN...20

LAMPIRAN... 21

LAMPIRAN TAMBAHAN...43

ACC DHP...53

DAFTAR TABE Tabel 4.1 Alat dan Bahan beserta Fungsi...7

(3)

Y

Tabel 4.1 Data Hasil Praktikum...11 Tabel 4.2 Perhitungan mg/L Cl2 yang Dibubuhkan...11 Tabel 4.3 Perhitungan Residu Klor...12

DAFTAR GAMBA

Gambar 3.1 Alumunium Foil...7 Gambar 3.2 Bulb...7 Gambar 3.3 Botol Sampel...7

(4)

Gambar 3.4 Buret dan statif...7

Gambar 3.5 Corong...7

Gambar 3.6 Erlenmeyer 125 mL...8

Gambar 3.7 Gelas arloji...8

Gambar 3.8 Kertas label...8

Gambar 3.9 Mikropipet...8

Gambar 3.10 Pengaduk...8

Gambar 3.11 Pipet tetes...8

Gambar 3.12 Pipet ukur 5 mL...8

Gambar 3.13 Spatula...9

Gambar 3.14 Timbangan analitik...9

Gambar 3.15 Asam asetat glasial...9

Gambar 3.16 Indikator amilum...9

Gambar 3.17 Kalium Iodidat...9

Gambar 3.18 Larutan standar thiosulfat...9

Y Gambar 4.1 Grafik BPC...13

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Sitasi Definisi Desinfeksi...21

Lampiran 2. Sitasi Definisi dan Jenis-jenis Klorin...23

Lampiran 3. Sitasi Efektivitas Klorin dalam Desinfektan...27

Lampiran 4. Sitasi Definisi BPC...29

(5)

Lampiran 5. Sitasi Karakteristik dan Kegunaan Bahan Kaporit...31

Lampiran 6. Sitasi Karakteristik dan Kegunaan Bahan Asam Asetat Glasial...34

Lampiran 7. Sitasi Karakteristik dan Kegunaan Bahan Kalium Iodida...36

Lampiran 8. Sitasi Karakteristik dan Kegunaan Bahan Natrium Tiosulfat...38

Lampiran 9. Sitasi Karakteristik dan Kegunaan Bahan Indikator Amilum...40

Lampiran 10. Sitasi Kondisi Akhir Fisik Sampel Setelah Pembubuhan Kaporit...43

Lampiran 11. Sitasi Hubungan Antara Dosis Kaporit dengan Residu Klor...44

Lampiran 12. Sitasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Pembubuhan Klor pada Desinfeksi... 47

Lampiran 13. Sitasi Perbandingan Hasil Praktikum dengan Literatur...49

Lampiran 14. ACC Data Hasil Praktikum...53

(6)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pembubuhan klor adalah salah satu metode yang umum digunakan untuk melakukan proses disinfeksi air, baik di skala industri, komersial, maupun rumah tangga. Klor merupakan suatu zat kimia yang efektif dalam membunuh atau menghilangkan berbagai jenis mikroorganisme yang ada dalam air, termasuk bakteri, virus, dan protozoa. Pentingnya disinfeksi air tidak dapat diabaikan, mengingat air yang tercemar atau mengandung mikroorganisme patogen dapat menjadi sumber penyebaran penyakit yang serius bagi manusia. Beberapa penyakit yang dapat ditularkan melalui air yang terkontaminasi antara lain kolera, tifus, diare, hepatitis A, dan banyak lagi. Oleh karena itu, tindakan disinfeksi air menjadi penting untuk melindungi kesehatan masyarakat.

Klor digunakan secara luas karena memiliki beberapa keunggulan dalam proses disinfeksi air. Pertama, klor dapat membunuh berbagai jenis mikroorganisme patogen yang ada dalam air dengan cepat dan efektif. Ini termasuk organisme yang menyebabkan penyakit yang sering ditemukan dalam sumber air yang terkontaminasi. Kedua, klor memiliki daya tahan yang relatif lama dalam air. Ini memungkinkan klor untuk tetap efektif dalam membunuh mikroorganisme selama proses distribusi air ke konsumen. Selanjutnya, klor merupakan bahan kimia yang relatif murah dan mudah didapatkan. Karena itu, penggunaan klor dalam disinfeksi air lebih terjangkau dibandingkan dengan metode disinfeksi lainnya.Keunggulan yang terakhir adalah klor dapat diberikan dalam bentuk berbagai senyawa, seperti klorin gas, natrium hipoklorit, atau kalsium hipoklorit. Senyawa-senyawa ini mudah diaplikasikan dalam berbagai sistem pengolahan air, termasuk sistem air minum komunal, instalasi pengolahan air industri, dan kolam renang.

Namun, penggunaan klor untuk disinfeksi air juga memiliki beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan. Misalnya, paparan jangka panjang terhadap klor atau senyawa klorinasi dapat menyebabkan iritasi pada kulit, mata, dan saluran pernapasan manusia. Selain itu, penggunaan klor juga dapat menghasilkan senyawa yang bersifat karsinogenik ketika bereaksi dengan bahan organik dalam air. Oleh karena itu, dalam praktiknya, penting untuk mengendalikan konsentrasi klor yang tepat dalam air yang akan didisinfeksi agar efektif dalam membunuh mikroorganisme tanpa menimbulkan risiko kesehatan yang tidak diinginkan. Sistem pengolahan air yang baik dan pemantauan berkala terhadap kualitas air merupakan langkah penting untuk memastikan efektivitas dan keamanan proses pembubuhan klor dalam disinfeksi air.

1.2 Tujuan

a. Mahasiswa memahami metode pembubuhan klor pada air limbah.

b. Mahasiswa mampu menghitung dosis dan residu klor yang dibutuhkan untuk desinfeksi air.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

(7)

2.1 Definisi Desinfeksi

Proses desinfeksi merupakan langkah yang bertujuan untuk menghilangkan mikroorganisme penyebab penyakit dengan menggunakan bahan kimia tertentu. Tujuannya adalah untuk mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi dengan efektif memusnahkan mikroorganisme patogen yang dapat mengakibatkan berbagai penyakit. Desinfeksi melibatkan penggunaan agen desinfektan, seperti klorin, yang memiliki kemampuan antimikroba yang kuat. Agen desinfektan tersebut bekerja dengan merusak struktur sel mikroorganisme patogen, termasuk virus, bakteri, dan parasit, sehingga menghambat pertumbuhan dan penyebarannya. Dengan mematikan atau menonaktifkan mikroorganisme patogen tersebut, tindakan desinfeksi dapat mengurangi risiko penularan penyakit melalui kontak dengan permukaan yang terkontaminasi atau melalui paparan terhadap air yang tercemar (Melyawati, 2018).

Disinfeksi adalah suatu proses yang bertujuan untuk sepenuhnya menghilangkan mikroorganisme dalam bentuk vegetatif dari objek mati, kecuali spora bakteri. Definisi ini menunjukkan bahwa disinfeksi melibatkan tindakan yang efektif dalam mengurangi jumlah mikroorganisme sebanyak setidaknya 103 kali log CFU (Colony Forming Units) tanpa mempengaruhi spora bakteri yang mungkin ada. Tujuan disinfeksi dalam praktiknya adalah untuk memastikan bahwa objek mati atau permukaan yang terkontaminasi tidak lagi mengandung mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit. Untuk mencapai hal ini, digunakan agen disinfektan yang efektif, seperti bahan kimia atau panas, yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen. Namun, perlu diingat bahwa disinfeksi tidak selalu dapat menghilangkan spora bakteri, karena spora tersebut berada dalam bentuk dorman dan tahan terhadap kondisi yang ekstrem. Meskipun demikian, dengan mengurangi jumlah mikroorganisme secara signifikan, disinfeksi membantu menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan bebas dari risiko penyebaran penyakit.

Metode disinfeksi ini digunakan dalam berbagai konteks, seperti sanitasi rumah tangga, industri makanan dan minuman, serta pengolahan air. Penting untuk diingat bahwa efektivitas disinfeksi dapat bervariasi tergantung pada jenis mikroorganisme yang ditargetkan dan kondisi lingkungan yang terlibat. Oleh karena itu, pemilihan metode disinfeksi yang tepat dan penerapannya dengan benar merupakan faktor penting dalam menjaga kebersihan dan keamanan lingkungan (Mohapatra, 2017).

2.2 Definisi dan Jenis-jenis Klorin

Klorin merupakan unsur kedua dalam keluarga halogen dan termasuk dalam golongan VII A serta periode III dalam tabel periodik. Sifat kimia klorin sangat dipengaruhi oleh konfigurasi elektron di kulit terluarnya, yang menyebabkannya menjadi unsur yang tidak stabil dan sangat reaktif. Keadaan ini disebabkan oleh struktur elektron yang hampir mirip dengan konfigurasi gas mulia. Selain itu, klorin juga memiliki sifat sebagai oksidator. Seperti halnya oksigen, klorin juga terlibat dalam reaksi pembakaran yang menghasilkan panas dan cahaya. Biasanya, klorin digunakan sebagai zat kimia untuk membunuh kuman. Ketika klorin bereaksi dengan air, ia membentuk asam hipoklorus yang mampu merusak sel-sel dalam tubuh. Klorin berwujud gas dengan warna kuning kehijauan dan memiliki aroma yang khas dan menyengat. Penggunaan klorin dalam industri pangan bukanlah hal yang asing atau tidak biasa (Rosita et al., 2016).

Kaporit merupakan salah satu bentuk klorin yang digunakan dalam proses disinfeksi.

Secara ilmiah, kaporit dikenal sebagai kalsium hipoklorit dengan rumus kimia CaOCl2. Kaporit adalah jenis desinfektan yang umum digunakan dalam berbagai bentuk, baik dalam bentuk serbuk, butiran, tablet, atau pil, maupun dalam bentuk larutan yang terbentuk dengan melarutkan kristal kaporit ke dalam air sesuai kebutuhan desinfeksi. Berdasarkan hasil

(8)

pengujian laboratorium, lebih dari 70% komposisi kaporit terdiri dari klorin (Herawati dan Yuntarso, 2017).

Sodium hipoklorit adalah salah satu bentuk klorin yang digunakan dalam proses disinfeksi. Kandungan garam dan klor aktif dalam sodium hipoklorit adalah sebanyak 15%.

Secara ilmiah, sodium hipoklorit ditulis sebagai NaOCl, tetapi dalam masyarakat umum dikenal sebagai pemutih atau chlorox. Sodium hipoklorit adalah senyawa kimia yang memiliki sifat desinfektan yang kuat dan efektif dalam membunuh mikroorganisme berbahaya seperti bakteri, virus, dan jamur. Umumnya, sodium hipoklorit digunakan dalam bentuk larutan air natrium hipoklorit untuk melakukan disinfeksi permukaan dan sistem pengolahan air guna menghilangkan kontaminan. Senyawa ini bekerja dengan melepaskan ion hipoklorit yang bersifat oksidatif, merusak struktur sel mikroorganisme, serta menghambat pertumbuhan dan reproduksinya. Ketersediaan yang melimpah dan efektivitas yang terbukti membuat sodium hipoklorit menjadi pilihan umum dalam proses disinfeksi (Widiastuti et al., 2019).

2.3 Efektivitas Klorin dalam Desinfeksi

Klorin termasuk dalam kelompok bahan pelepas halogen yang digunakan sebagai bahan biosida. Bahan biosida merupakan zat fisik atau kimia yang berfungsi untuk menonaktifkan mikroorganisme. Mekanisme kerja klorin terjadi ketika bereaksi dengan air dan membentuk asam hipoklorus. Asam hipoklorus ini berperan sebagai agen oksidasi yang merusak protein dalam sel mikroorganisme. Proses oksidasi terutama terjadi pada grup sulfhidril (SH) dan ikatan disulfida (S-H) dalam protein enzimatik, yang mengakibatkan denaturasi protein. Penggunaan klorin dengan konsentrasi yang sesuai dan waktu kontak yang cukup dapat efektif membunuh mikroorganisme. Mekanisme oksidasi klorin terhadap protein dalam sel mikroorganisme menyebabkan kerusakan yang signifikan, menghambat fungsi enzimatik, dan akhirnya menyebabkan kematian mikroorganisme. Dalam praktiknya, penting untuk memilih konsentrasi klorin yang tepat dan melakukan pemantauan yang baik terhadap efek sampingnya untuk menjaga efektivitas dan keamanan penggunaan klorin sebagai disinfektan. Perlu diperhatikan bahwa konsentrasi yang direkomendasikan harus diikuti dan konsentrasi yang dapat menyebabkan dampak negatif pada jaringan atau iritasi harus dihindari. Dengan demikian, penggunaan klorin sebagai bahan disinfektan harus dilakukan dengan penuh perhatian terhadap konsentrasi yang tepat guna memastikan efektivitasnya dan mencegah efek negatif pada jaringan atau iritasi (Suryaputra et al., 2021).

Keefektifan klorin dalam membunuh bakteri tergantung pada interaksi antara klorin dan komponen sel bakteri, seperti enzim dan asam nukleat, yang menyebabkan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan. Selain itu, klorin juga memiliki kemampuan untuk menghancurkan dinding sel bakteri, sehingga mencegah reproduksi dan pertumbuhan bakteri baru. Sifat oksidasi kuat dari klorin memungkinkannya merusak protein penting yang diperlukan untuk kelangsungan hidup bakteri. Klorin, baik dalam bentuk gas maupun larutan, dapat dengan cepat menembus sel bakteri dan menghancurkan mikroorganisme penyebab penyakit. Itulah sebabnya klorin banyak digunakan dalam industri air, pemurnian air, pengolahan limbah, serta dalam proses disinfeksi permukaan dan alat-alat medis. Klorin berperan sebagai agen yang efektif dalam memusnahkan bakteri dan mencegah penyebaran penyakit (Li et al., 2023).

2.4 Definisi BPC

BPC (Breakpoint Chlorination) merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan parameter yang mengukur jumlah klor aktif yang diperlukan dalam proses oksidasi bahan organik dan anorganik yang terlarut dalam limbah. Klor aktif, seperti ion ClO- dan OHCl, memainkan peran penting dalam mengoksidasi komponen-komponen tersebut, sehingga mengubahnya menjadi bentuk yang kurang berbahaya atau bahkan tidak

(9)

berbahaya secara kimia. Dalam proses ini, klor aktif bereaksi dengan senyawa organik dan anorganik yang terdapat dalam limbah, mengubahnya menjadi bentuk yang lebih stabil dan mudah dihilangkan. Setelah limbah mengalami oksidasi, sisa klor aktif yang masih terdapat dalam limbah berfungsi sebagai agen disinfektan. Hal ini membantu memastikan bahwa limbah tersebut tidak mengandung mikroorganisme patogen yang dapat menyebabkan penyakit. Dengan menggunakan konsep BPC, kita dapat melakukan perhitungan dan pengendalian jumlah klor yang diperlukan untuk oksidasi limbah. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa limbah yang dihasilkan aman untuk dibuang atau dapat diproses lebih lanjut sesuai dengan standar yang ditetapkan. Dengan menggunakan BPC, kita dapat mengoptimalkan penggunaan klor dalam proses pengolahan limbah, menghindari penggunaan berlebihan yang mungkin merugikan lingkungan, serta memastikan efisiensi dan efektivitas proses oksidasi limbah (Damayanti, 2020).

Titik Retak Klorinasi (Breakpoint Chlorination) merujuk pada jumlah klorin yang diperlukan untuk mengoksidasi semua zat yang dapat teroksidasi, menghilangkan amoniak sebagai gas nitrogen (N2), dan tetap memiliki residu klorin aktif terlarut dengan konsentrasi yang dianggap cukup untuk membunuh kuman-kuman. Dalam proses Titik Retak Klorinasi, tujuan utamanya adalah mencapai titik di mana klorin bereaksi dengan semua zat yang rentan teroksidasi, termasuk senyawa organik dan zat lain yang dapat menyebabkan polusi atau menghambat efektivitas pembunuhan kuman. Selama proses ini, amoniak yang terdapat dalam air diubah menjadi gas nitrogen (N2) yang aman dan dapat dihilangkan dari lingkungan. Selain itu, dalam Titik Retak Klorinasi, penting untuk memastikan bahwa masih ada residu klorin aktif terlarut dengan konsentrasi yang cukup untuk membunuh kuman- kuman yang mungkin masih ada dalam air. Konsentrasi residu klorin ini ditentukan berdasarkan standar atau panduan yang berlaku, untuk memastikan bahwa pembunuhan kuman yang memadai terjadi. Dengan menerapkan Titik Retak Klorinasi, dapat dipastikan bahwa proses klorinasi dilakukan secara efisien dan efektif. Hal ini mencakup pengoksidasi zat-zat yang dapat teroksidasi, penghilangan amoniak, serta memastikan adanya residu klorin yang cukup untuk membunuh kuman-kuman yang mungkin masih ada dalam air.

Melalui implementasi yang tepat dari Titik Retak Klorinasi, dapat memastikan bahwa proses klorinasi berjalan dengan baik, menjaga kualitas air yang aman dan bebas dari kuman- kuman yang berpotensi menyebabkan penyakit (Busyairi et al., 2016).

2.5 Karakteristik dan Kegunaan Bahan 2.5.1 Kaporit

Kaporit merupakan salah satu jenis disinfektan yang mengandung klorin sebagai komponen utamanya. Kaporit memiliki sifat yang stabil dan dapat berinteraksi dengan berbagai unsur, serta memiliki sifat korosif terhadap logam. Selain itu, kaporit juga berfungsi sebagai oksidator yang kuat. Salah satu ciri khas dari kaporit adalah adanya bau yang sangat tajam, sehingga mudah dikenali (Azzahrah dan Susilawaty, 2014).

Penggunaan kaporit sebagai desinfektan dalam limbah cair rumah sakit umum dilakukan. Namun, perlu diperhatikan bahwa penggunaan kaporit dengan dosis yang tidak tepat dapat menyebabkan terbentuknya senyawa Trihalomethane (THMs) yang bersifat beracun dan karsinogenik. Jika dosis kaporit yang digunakan terlalu tinggi atau tidak sesuai, reaksi antara kaporit dan bahan organik dalam limbah cair dapat menghasilkan senyawa THMs. Senyawa THMs termasuk dalam kategori senyawa organohalogen yang terbentuk dari reaksi antara klorin dan senyawa organik, seperti asam humat dan zat lainnya yang terdapat dalam limbah cair. Senyawa THMs ini memiliki efek beracun dan dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker pada manusia.

Oleh karena itu, sangat penting untuk menggunakan dosis kaporit yang tepat dan mengikuti pedoman yang ditetapkan dalam penggunaannya sebagai desinfektan dalam

(10)

limbah cair rumah sakit. Dengan demikian, pembentukan senyawa THMs yang berbahaya dapat diminimalkan, sehingga limbah cair dapat diolah secara efektif dan aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia (Busyairi et al., 2016).

2.5.2 Asam Asetat Glasial

Asam asetat glasial, yang juga dikenal sebagai asam asetat anhidrat, adalah istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan asam asetat dalam bentuk yang tidak mengandung air. Istilah ini digunakan karena asam asetat anhidrat memiliki kemampuan untuk membentuk kristal yang menyerupai es pada suhu sekitar 16,6 °C (61,9 °F), sedikit di bawah suhu normal ruangan. Saat asam asetat anhidrat terpapar pada suhu di bawah 16,6 °C, kristal padat yang mirip dengan es akan terbentuk, menciptakan efek visual yang menarik dan khas (Saptahadi et al., 2021).

Asam asetat memegang peran penting sebagai bahan baku utama dalam produksi beragam produk kimia di berbagai sektor industri. Contohnya, asam asetat digunakan dalam industri tekstil, industri Purified Terephthalic Acid (PTA), industri makanan untuk pembuatan asam cuka sebagai bahan penyedap, dan industri etil asetat (ethyl acetate).

Permintaan asam asetat di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Antara tahun 2017 dan 2020, tercatat peningkatan rata-rata permintaan sebesar 2,87% per tahun berdasarkan data impor asam asetat dari Badan Pusat Statistik Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa asam asetat memiliki peran yang krusial dalam berbagai sektor industri di Indonesia dan menjadi komoditas yang sangat diminati (Fitri dan Isnaeni, 2022).

2.5.3 Kalium Iodida

Kalium iodida merupakan sebuah garam kristal berwarna putih yang memiliki rumus kimia KI. Senyawa ini memiliki berbagai aplikasi dalam industri fotografi dan perawatan radiasi. Jika terpapar udara lembab dalam waktu yang lama atau dipanaskan di udara, kalium iodida dapat mengalami oksidasi dan berubah warna menjadi kuning karena ion iodida berubah menjadi yodium. Secara struktur, kalium iodida bersifat ionik dengan ion K+ dan I-. Kristalnya memiliki struktur yang mirip dengan natrium klorida.

Kalium iodida diproduksi secara industri melalui reaksi antara KOH dan iodin. Senyawa ini merupakan salah satu senyawa iodida yang memiliki peran penting dalam perdagangan dan memiliki kelebihan dalam daya serap air yang rendah, sehingga lebih mudah untuk digunakan. Ion iodida juga memiliki sifat sebagai agen pereduksi yang relatif lemah, sehingga I- mudah teroksidasi menjadi I2 oleh agen pengoksidasi yang kuat seperti klorin. Sebagai contoh, reaksi antara KI(aq) dan Cl2(aq) akan menghasilkan KCl(aq)

dan I2(aq) (Sulistiawan, 2018).

Dalam proses disinfeksi, kalium iodida digunakan sebagai larutan standar. Tujuan penambahan kalium iodida padatan adalah untuk meningkatkan kelarutan iodium yang sulit larut dalam air. Hal ini dilakukan agar iodium dapat lebih mudah larut dalam larutan.

Selain itu, kalium iodida juga berperan dalam mereduksi analit, sehingga dapat digunakan sebagai standar. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa larutan yang mengandung kalium dikromat dan kalium iodida berada dalam kondisi netral atau memiliki tingkat keasaman yang rendah (Samsuar et al., 2017).

2.5.4 Natrium Tiosulfat

Natrium tiosulfat adalah senyawa anorganik yang memiliki beberapa karakteristik khas. Secara fisik, senyawa ini berbentuk kristal putih dan mudah larut dalam air, sehingga sering digunakan dalam berbagai larutan. Selain itu, natrium tiosulfat memiliki kemampuan sebagai agen reduktor yang kuat, mampu mengurangi sejumlah senyawa

(11)

oksidator seperti kalium permanganat atau klorin. Sifat ini menjadikannya bahan yang penting dalam berbagai proses redoks (Pangastuti, 2017).

Natrium tiosulfat adalah suatu senyawa anorganik dengan karakteristik yang khas.

Secara fisik, senyawa ini berbentuk kristal putih dan larut dengan mudah dalam air, sehingga sering digunakan dalam berbagai larutan. Selain itu, natrium tiosulfat memiliki kemampuan sebagai agen reduktor yang kuat, sehingga mampu mengurangi sejumlah senyawa oksidator seperti kalium permanganat atau klorin. Sifat ini menjadikan natrium tiosulfat sebagai bahan penting dalam berbagai proses redoks (Rofida, 2018).

2.5.5 Indikator Amilum

Indikator amilum memiliki beberapa karakteristik khas. Biasanya berupa kristal putih atau transparan, namun berubah menjadi warna biru atau ungu ketika terpapar oleh larutan yang mengandung iodium. Perubahan warna ini terjadi karena terbentuknya kompleks antara iodium dan amilum. Selain itu, indikator amilum sangat sensitif terhadap iodium, sehingga digunakan sebagai indikator titik akhir dalam titrasi iodium.

Kelebihan lain dari indikator amilum adalah kemampuannya dalam mendeteksi keberadaan amilase, enzim yang bertanggung jawab dalam memecah amilum menjadi glukosa (Silviana et al., 2019).

Dalam proses titrasi untuk mencapai titik akhir, umumnya digunakan indikator amilum. Penggunaan indikator amilum ini bertujuan untuk memperjelas titik akhir titrasi.

Indikator amilum memiliki kemampuan untuk membentuk kompleks iodin-amilum yang berwarna biru gelap, sehingga indikator ini sangat sensitif terhadap iodin. Penambahan indikator amilum dilakukan saat titrasi mendekati titik ekivalen. Jika indikator ditambahkan terlalu awal, ikatan antara ion dan amilum akan menjadi sangat kuat.

Amilum akan membungkus iodin, sehingga sulit untuk melepaskan iodin. Akibatnya, warna biru akan sulit hilang dan titik akhir titrasi tidak dapat terlihat dengan jelas (Andriani et al., 2022).

(12)

BAB III METODOLOGI 3.1 Alat dan Bahan beserta Fungsi

Tabel 4.1 Alat dan Bahan beserta Fungsi No

. Nama Alat dan Bahan Gambar Fungsi

1. Alumunium foil

Gambar 3.1 Alumunium Foil Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023

Berfungsi untuk menutup bagian mulut

dari erlenmeyer

2. Bulb

Gambar 3.2 Bulb Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023

Sebagai alat bantu menggunakan pipet

ukur

3. Botol sampel

Gambar 3.3 Botol Sampel Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023

Sebagai wadah sampel air yang telah diambil dan akan diuji

dilaboratorium

4. Buret dan statif

Gambar 3.4 Buret dan statif Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023

Sebagai wadah titran dan sebagai tempat

meletakkan buret

(13)

5. Corong

Gambar 3.5 Corong Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023

Untuk memindahkah larutan ke dalam buret

6. Erlenmeyer 125 mL

Gambar 3.6 Erlenmeyer 125 mL Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023

Sebagai wadah saat proses pereaksian

7. Gelas arloji

Gambar 3.7 Gelas arloji Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023

Berfungsi sebagai wadah saat melakukan pengujian

8. Kertas label

Gambar 3.8 Kertas label Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023

Berfungsi sebagai penanda erlenmeyer

yang terdiri atas beberapa volume

yang berbeda

9. Mikropipet

Gambar 3.9 Mikropipet Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023

Berfungsi sebagai alat untuk mengambil

sampel dengan jumlah yang telah

ditentukan

(14)

10. Pengaduk

Gambar 3.10 Pengaduk Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023

Sebagai alat untuk menghomogenkan

sampel

11. Pipet tetes Gambar 3.11 Pipet tetes

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023

Sebagai alat untuk mengambil larutan dengan volume yang

sedikit

12. Pipet ukur 5 mL Gambar 3.12 Pipet ukur 5 mL Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023

Sebagai alat untuk mengambil larutan dengan volume yang

lebih banyak

13. Spatula

Gambar 3.13 Spatula Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023

Berfungsi untuk mengambil bahan dengan jumlah sedikit

14. Timbangan analitik

Gambar 3.14 Timbangan analitik Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023

Sebagai alat ukur massa

15. Asam asetat glasial

Gambar 3.15 Asam asetat glasial Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023

Berfungsi sebagai bahan perlakuan

(15)

16. Indikator amilum

Gambar 3.16 Indikator amilum Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023

Berfungsi sebagai indikator perubahan

warna

17. Kalium Iodidat

Gambar 3.17 Kalium Iodidat Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023

Berfungsi sebagai bahan perlakuan

18. Larutan standar thiosulfat

Gambar 3.18 Larutan standar thiosulfat

Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2023

Berfungsi sebagai bahan perlakuan

3.2 Diagram Alir

Siapkan alat dan bahan praktikum

Masukkan sampel air masing-masing ke dalam 6 erlemeyer sebanyak 25 mL

Tambahkan kaporit ke dalam erlenmeyer: 0,5 ml;

0,8 ml; 1 ml; 1,4 ml; 1,6 ml dan 2 ml

Tutup erlenmeyer tersebut setelah dikocok

Diamkan selama 30 menit di tempat yang gelap

(16)

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Data Hasil Praktikum

Tabel 4.1 Data Hasil Praktikum

Volume Sampel (mL) Volume Kaporit Ditambahkan (mL) Volume Titran (mL)

25 mL

0,5 mL 0,3 mL

0,8 mL 0,5 mL

1 mL 1,7 mL

1,4 mL 0,3 mL

1,6 mL 1,2 mL

2 mL 2,2 mL

4.2 Data Hasil Perhitungan

Tabel 4.2 Perhitungan mg/L Cl2 yang Dibubuhkan

Volume Kaporit Ditambahkan (mL) Kadar Cl2 yang dibubuhkan (mg/L)

0,5 mL 0,701 mg/L

0,8 mL 1,109 mg/L

1 mL 1,376 mg/L

Ambil dan masukkan 2,5 ml larutan asam asetik glasial

Tambahkan 1 gr kristal KI

Tambahkan 3 tetes indikator amilum

Titrasi dengan larutan standar natrium thiosulfate 0.0125 N hingga warna biru hilang

(17)

1,4 mL 1,897 mg/L

1,6 mL 2,152 mg/L

2 mL 2,651 mg/L

Perhitungan mg/L Cl2 yang dibubuhkan:

N1 × V1 = N2 × V2 Keterangan:

V1 = kaporit yang dibubuhkan (mL) N1 = kadar klor aktif (mg/L)

V2 = volume total (volume sampel + volume kaporit yang dibubuhkan) N2 = kadar Cl2 yang dibubuhkan(mg/L)

1. N2 = 35,79 × 0,5

25,5 = 0,701 mg/L 2. N2 = 35,79 × 0,8

25,8 = 1,109 mg/L 3. N2 = 35,79 × 1

26 = 1,376 mg/L 4. N2 = 35,79 × 1,4

26,4 = 1,897 mg/L 5. N2 = 35,79 × 1,6

26,6 = 2,152 mg/L 6. N2 = 35,79 × 2

27 = 2,651 mg/L Tabel 4.3 Perhitungan Residu Klor

Volume Kaporit Ditambahkan (mL) Residu Klor (mg/L)

0,5 mL 5,317 mg/L

0,8 mL 8,862 mg/L

1 mL 30,132 mg/L

1,4 mL 5,317 mg/L

1,6 mL 21,270 mg/L

2 mL 38,995 mg/L

Perhitungan residu klor:

1000

mLsampel x ml titran x N thiosulfat x 35,45 1. 1000

25 x 0,3 x 0,0125 x 35,45 = 5,317 mg/L 2. 1000

25 x 0,5 x 0,0125 x 35,45 = 8,862 mg/L 3. 1000

25 x 1,7 x 0,0125 x 35,45 = 30,132 mg/

(18)

4. 1000

25 x 0,3 x 0,0125 x 35,45 = 5,317 mg/L 5. 1000

25 x 1,2 x 0,0125 x 35,45 = 21,270 mg/L 6. 1000

25 x 2,2 x 0,0125 x 35,45 = 38,995 mg/L 4.3 Analisis Prosedur

Prosedur ini menjelaskan urutan langkah-langkah untuk menganalisis konsentrasi Cl2 dalam sampel air. Langkah pertama adalah menuangkan 25 mL sampel air ke dalam enam erlenmeyer yang berbeda. Setiap erlenmeyer kemudian diberi larutan kaporit dengan volume yang berbeda, yaitu 0,5 mL; 0,8 mL; 1 mL; 1,4 mL; 1,6 mL; dan 2 mL. Setelah itu, erlenmeyer dikocok dan ditutup, dan sampel-sampel tersebut dibiarkan dalam keadaan gelap selama 30 menit. Selanjutnya, 2,5 mL larutan asam asetat glasial ditambahkan ke masing-masing erlenmeyer. Kemudian, 1 gram kristal KI ditambahkan diikuti dengan penambahan 3 tetes indikator amilum. Titrasi dilakukan menggunakan larutan standar natrium tiosulfat 0,0125 N hingga warna biru menghilang. Penting untuk mencatat bahwa langkah 4 hingga 7 dilakukan secara berurutan pada setiap erlenmeyer. Setelah semua langkah selesai, konsentrasi Cl2 yang ditambahkan dan konsentrasi Cl2 yang tersisa dapat dihitung menggunakan rumus yang telah disediakan.

4.4 Analisis DHP

Dalam Tabel 4.1, tercatat bahwa volume sampel yang digunakan adalah 25 mL. Sampel air dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan kaporit dengan volume yang berbeda-beda, yaitu 0,5; 0,8; 1; 1,4; 1,6; dan 2 mL. Kemudian, dilakukan titrasi pada setiap erlenmeyer dengan menggunakan konsentrasi kaporit yang berbeda, dan dicatat volume titran yang digunakan. Hasilnya, volume titran yang digunakan untuk mentitrasi sampel air dengan variasi konsentrasi kaporit masing-masing adalah 0,3; 0,5; 1,7; 0,3; 1,2; dan 2,2 mL.

Selanjutnya, dilakukan perhitungan untuk mencari kadar Cl2 yang dibubuhkan, dengan hasil sebesar 0,7017; 1,109; 1,376; 1,897; 2,152; dan 2,651 mg/L. Selanjutnya, dihitung residu klor dengan menggunakan data volume kaporit yang ditambahkan. Hasil residu klor pada masing-masing konsentrasi kaporit adalah 5,317; 8,862; 30,132; 5,317; 21,270; dan 38,995 mg/L. Setelah mendapatkan residu klor, data tersebut dapat digunakan untuk membuat grafik, dengan volume kaporit yang ditambahkan sebagai sumbu x dan residu klor sebagai sumbu y.

4.5 Analisis Perhitungan

Perhitungan dilakukan untuk menentukan kadar Cl2 yang diperlukan (mg/L) menggunakan persamaan N1 x V1 = N2 x V2, di mana N1 adalah kadar klor aktif (mg/L), V1 adalah volume kaporit yang ditambahkan (mL), V2 adalah volume total (volume sampel + volume kaporit yang ditambahkan), dan N2 adalah kadar Cl2 yang dibubuhkan. N2 merupakan nilai yang ingin dicari. Dengan nilai V2 yang didapatkan dari volume sampel 25 mL dan volume kaporit yang ditambahkan secara berurutan 0,5; 0,8; 1; 1,4; 1,6; dan 2 mL, diperoleh nilai V2 masing-masing sebesar 25,5; 25,8; 26; 26,4; 26,6; dan 27 mL. Data ini kemudian dimasukkan ke dalam persamaan untuk menghitung kadar Cl2 yang dibubuhkan, yaitu 0,701 mg/L; 1,109 mg/L; 1,376 mg/L; 1,897 mg/L; 2,152 mg/L; dan 2,651 mg/L.

Selanjutnya, dilakukan perhitungan untuk mendapatkan nilai residu klor menggunakan persamaan 1000/(mL sampel) x ml titran x N thiosulfat x 35,45. Nilai N thiosulfat dalam hal ini adalah 0,0125 N. Dengan memasukkan nilai volume sampel, volume titran, dan N

(19)

thiosulfat ke dalam persamaan tersebut, diperoleh nilai residu klor sebesar 5,317; 8,862;

30,132; 5,317; 21,270; dan 38,995 mg/L.

4.6 Grafik dan Analisis Grafik

0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 2 2.2

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Grafik BPC

Volume Kaporit yang Ditambahkan (mL)

Residu Klor (mg/L)

Gambar 4.1 Grafik BPC

Data residu klor yang telah dihitung bersama dengan volume kaporit yang ditambahkan pada sampel direpresentasikan dalam sebuah grafik. Pada grafik tersebut, residu klor diplotkan pada sumbu y (vertikal) dan volume kaporit yang ditambahkan diplotkan pada sumbu x (horizontal). Dalam grafik tersebut terlihat bahwa saat volume kaporit yang ditambahkan adalah 0,8 mL, terjadi peningkatan yang signifikan dalam residu klor. Namun, terjadi penurunan residu klor saat kaporit ditambahkan sebanyak 1,4 mL. Selanjutnya, grafik menunjukkan peningkatan residu klor saat kaporit ditambahkan dengan volume 1,6 mL dan 2 mL. Berdasarkan grafik, titik optimum atau breakpoint chlorination adalah pada volume 1,4 mL

4.7 Pembahasan

4.7.1 Kondisi Akhir Fisik Sampel Setelah Pembubuhan Kaporit

Pada awalnya, saat sampel air ditambahkan dengan asam asetat glasial, warna kuning muncul, menunjukkan adanya bahan organik dalam sampel. Warna kuning tersebut memiliki tingkat kecerahan yang berbeda-beda pada setiap erlenmeyer sesuai dengan volume kaporit yang ditambahkan. Erlenmeyer yang berisi sampel air dengan volume kaporit 0,5 mL menghasilkan warna kuning yang paling pucat, sementara erlenmeyer yang berisi sampel air dengan volume kaporit 2 mL menghasilkan warna kuning yang paling pekat. Dari hal ini, dapat disimpulkan bahwa semakin besar volume kaporit yang ditambahkan, semakin banyak bahan organik yang terkandung dalam sampel air, dan warna kuning yang dihasilkan menjadi semakin pekat. Selanjutnya, sampel air dititrasi menggunakan larutan tiosulfat dan mengalami perubahan warna dari kuning menjadi tidak berwarna atau transparan. Penambahan volume kaporit yang lebih besar menyebabkan jumlah larutan tiosulfat yang dibutuhkan untuk titrasi menjadi lebih sedikit (Herawati dan Yuntarso, 2017).

4.7.2 Hubungan Antara Dosis Kaporit dengan Residu Klor

Menurut Busyairi et al. (2016), Ada hubungan antara kadar organik dalam air dan residu klor. Kadar organik yang tinggi dalam air akan mengakibatkan penambahan volume kaporit yang lebih besar. Oleh karena itu, semakin tinggi dosis kaporit yang

(20)

ditambahkan, maka residu klor yang dihasilkan juga akan meningkat. Penentuan dosis kaporit dilakukan berdasarkan tingkat keberadaan bahan organik dalam air. Jika kandungan bahan organik tinggi, dosis kaporit yang ditambahkan akan lebih besar, dan hal ini akan mempengaruhi peningkatan residu klor. Penentuan dosis kaporit yang optimal biasanya dilakukan melalui analisis grafik BPC (Breakpoint Chlorination), yang memungkinkan kita untuk mendapatkan kadar kaporit yang optimal yang perlu ditambahkan ke dalam air guna mencegah peningkatan residu klor.

Residu klor yang terdapat dalam air memiliki hubungan dengan kadar organik, karena residu klor dapat berinteraksi dengan bahan organik tersebut. Ketika residu klor berinteraksi dengan komponen organik, residu klor yang berbentuk bebas akan mengalami penurunan. Jika terdapat jumlah residu klor yang aktif tinggi dalam air, maka akan terjadi lebih banyak reaksi antara residu klor dan komponen organik tersebut. Oleh karena itu, dengan adanya konsentrasi residu klor yang tinggi dalam air, komponen organik juga akan berkurang dengan cepat. Namun, perlu diperhatikan bahwa jika residu klor dalam air terlalu tinggi dan terikat secara kuat dengan komponen organik, hal tersebut dapat menimbulkan efek negatif. Misalnya, dapat menyebabkan korosifitas pada pipa dan membuat air bersifat karsinogenik, yang berarti dapat meningkatkan risiko terhadap kanker. Oleh karena itu, perlu menjaga agar kadar residu klor dalam air tetap berada dalam rentang yang aman dan sesuai standar untuk mencegah efek negatif yang mungkin timbul (Sofia dan Riduan, 2015).

4.7.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Pembubuhan Klor pada Desinfeksi Pemberian klor dalam proses desinfeksi dikenal sebagai klorinasi. Dalam proses klorinasi, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas dalam membunuh mikroorganisme. Faktor-faktor tersebut mencakup konsentrasi desinfektan, jenis desinfektan, waktu kontak, dan faktor lingkungan. Semakin tinggi konsentrasi desinfektan, maka kecepatan desinfeksi akan meningkat, sehingga kemampuan dalam membunuh mikroorganisme patogen menjadi lebih baik dan cepat. Selain itu, jenis desinfektan yang digunakan juga memainkan peran penting dalam efektivitas desinfeksi terhadap mikroorganisme patogen. Terdapat beberapa jenis desinfektan umum yang digunakan dalam proses desinfeksi seperti ozonisasi, iridiasi, sinar UV, klorinasi, dan klorin dioksida. Setiap jenis desinfektan memiliki nilai koefisien pemusnahan yang khas dan tingkat efektivitas yang berbeda. Waktu kontak merupakan durasi yang diperlukan untuk membunuh mikroorganisme patogen. Jika jumlah mikroorganisme patogen dalam air cukup tinggi, maka waktu yang dibutuhkan untuk proses desinfeksi akan lebih lama, dan sebaliknya. Faktor lingkungan juga berperan dalam proses desinfeksi. Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi desinfeksi meliputi pH, suhu, kualitas air baku, dan jarak perjalanan. Secara keseluruhan, dalam proses desinfeksi, faktor-faktor ini saling berinteraksi dan memengaruhi efektivitas pembunuhan mikroorganisme patogen.

Oleh karena itu, pemilihan desinfektan yang tepat, konsentrasi yang sesuai, waktu kontak yang memadai, dan pemahaman terhadap faktor lingkungan menjadi penting untuk mencapai tingkat desinfeksi yang optimal (Damayanti, 2020).

Terdapat beberapa literatur lain yang membahas faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan klor dalam proses desinfeksi. Beberapa faktor yang terkait antara lain adalah konsentrasi desinfektan, jenis desinfektan, waktu kontak, jenis mikroorganisme, dan suhu. Konsentrasi desinfektan memiliki dampak terhadap kecepatan proses desinfeksi, di mana semakin tinggi konsentrasi desinfektan yang digunakan, maka proses desinfeksi akan berlangsung lebih cepat. Pemilihan jenis desinfektan juga memiliki pentingnya karena nilai koefisien pemusnahan spesifik dipengaruhi oleh jenis desinfektan yang digunakan. Waktu kontak merujuk pada durasi yang diperlukan selama

(21)

proses desinfeksi. Jenis mikroorganisme juga berpengaruh terhadap jenis dan konsentrasi desinfektan yang diperlukan. Berbagai jenis mikroorganisme membutuhkan desinfektan yang berbeda, dan jumlah mikroorganisme juga mempengaruhi konsentrasi desinfektan yang diperlukan. Selain itu, suhu juga menjadi faktor yang mempengaruhi efektivitas klor dalam proses desinfeksi. Suhu yang tinggi dapat mempercepat kematian mikroorganisme. Secara keseluruhan, berbagai faktor ini saling berinteraksi dan memainkan peran penting dalam penggunaan klor dalam proses desinfeksi.

Pengetahuan tentang faktor-faktor ini membantu dalam pemilihan dan penggunaan klor dengan efektivitas yang optimal untuk membunuh mikroorganisme yang diinginkan (Sofia dan Riduan, 2015).

4.7.4 Perbandingan Hasil Praktikum dengan Literatur

Beberapa aspek dalam praktikum dapat dibandingkan dengan literatur yang relevan. Dalam praktikum, dilakukan pemberian kaporit dengan volume yang berbeda pada sampel air, serta penambahan KI dan larutan asam asetat glasial. Terdapat hubungan yang sejalan antara konsentrasi volume kaporit yang ditambahkan dan residu klor yang dihasilkan. Ketika volume kaporit yang ditambahkan meningkat, residu klor juga meningkat, namun setelah mencapai titik tertentu, residu klor akan mengalami penurunan. Pada titik ini, terdapat kondisi yang dianggap sebagai kondisi optimal.

Berdasarkan penjelasan tersebut, hasil praktikum menunjukkan bahwa setelah mencapai titik tertentu, residu kaporit mengalami penurunan pada volume 1,4 ml.

Volume kaporit sebesar 1,4 ml tersebut dianggap sebagai dosis optimal dalam proses pembubuhan klor pada desinfeksi. Hal ini menunjukkan kesesuaian hasil praktikum dengan literatur yang ada (Devi dan Dalai, 2021).

Sementara itu, terdapat perbandingan dengan literatur lain. Dalam praktikum, air sampel dicampur dengan kaporit, kemudian ditambahkan bubuk KI dan larutan asam asetat glasial hingga larutan berwarna kuning. Kemudian dilakukan titrasi iodometri menggunakan larutan tiosulfat sebagai titran dan larutan amilum sebagai indikator. Titrasi dihentikan ketika warna kuning larutan air sampel berubah menjadi transparan. Data titrasi tersebut kemudian dihitung menggunakan rumus N1 x V1 = N2 x V2 untuk mendapatkan nilai klor yang dibutuhkan. Sementara itu, dalam literatur juga dilakukan hal yang serupa, yaitu mencampurkan sampel air dengan kaporit, garam KI, dan asam asetat glasial. Kemudian sampel air yang telah diberi klor tersebut dititrasi iodometri dengan tiosulfat sebagai titran dan menggunakan indikator amilum. Namun, perbedaan terletak pada warna larutan sebelum titrasi. Pada praktikum, larutan menghasilkan warna kuning, sedangkan dalam literatur, warna yang dihasilkan adalah biru. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh adanya komponen organik atau mikroorganisme yang berbeda dalam sampel praktikum dan sampel dalam literatur. Komposisi sampel air atau jumlah komponen di dalamnya bisa berbeda. Pada praktikum, warna kuning menunjukkan keberadaan amoniak dalam sampel, sedangkan dalam literatur, warna biru menunjukkan keberadaan koliform. Selain itu, dalam literatur disebutkan bahwa penggunaan kaporit dengan dosis yang semakin tinggi akan menghasilkan residu klor yang semakin tinggi, sehingga keduanya berbanding lurus. Namun, terdapat perbedaan hasil praktikum yang signifikan dengan literatur, seperti yang ditunjukkan dalam grafik. Grafik tidak menunjukkan hubungan yang berbanding lurus, tetapi terdapat kondisi di mana residu klor dan jumlah kaporit berbanding lurus, dan juga ada kondisi di mana hubungannya berbanding terbalik. Perbedaan tersebut disebabkan oleh kesalahan dalam proses titrasi di mana titran tidak diteteskan secara perlahan pada titrat, sehingga konsentrasi asam tiosulfat berlebih di dalam titrat. Hal ini menyebabkan grafik menunjukkan hubungan terbaik antara residu klor dan volume kaporit (Busyairi et al., 2016).

(22)

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

Prosedur untuk analisis sampel air dimulai dengan menuangkan masing-masing 25 ml sampel air ke dalam 6 erlenmeyer. Selanjutnya, tambahkan larutan kaporit ke dalam erlenmeyer dengan volume 0,5 ml, 0,8 ml, 1 ml, 1,4 ml, 1,6 ml, dan 2 ml. Setelah itu, tutup erlenmeyer dan kocok larutan secara merata. Diamkan larutan selama 30 menit di tempat yang gelap. Langkah berikutnya adalah mengambil dan menambahkan 2,5 ml larutan asam asetic glasial ke setiap erlenmeyer. Kemudian tambahkan 1gram kristal KI ke dalam masing- masing erlenmeyer dan teteskan 3 tetes indikator amilum. Langkah terakhir adalah melakukan titrasi dengan menggunakan larutan standar natrium tiosulfat 0,0125 N hingga larutan kehilangan warna kuningnya. Catat volume titran yang diperlukan selama titrasi untuk menentukan kadar Cl2 yang ditambahkan dan residu klor. Perhitungan kadar Cl2 yang ditambahkan dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan V1 x N1 = V2 x N2. Di mana V1 adalah volume kaporit yang ditambahkan, N1 adalah kadar klor aktif yang diketahui sebesar 35,790 mg/L, V2 adalah volume total yang terdiri dari volume sampel ditambah volume kaporit yang ditambahkan, dan N2 adalah kadar Cl2 yang ditambahkan yang masing-masing bernilai 0,701 mg/L; 1,109 mg/L; 1,376 mg/L; 1,897 mg/L; 2,152 mg/L; dan 2,651 mg/L. Selanjutnya, perhitungan dilakukan untuk menghitung residu klor. Residu klor

(23)

dapat dihitung menggunakan persamaan berikut: 1000

mLsampel x ml titran x N thiosulfat x 35,45. Pada percobaan ini, menggunakan sampel dengan volume 25 mL dan normalitas thiosulfat sebesar 0,0125. Volume titran yang digunakan adalah 0,5 mL, 0,8 mL, 1 mL, 1,4 mL, 1,6 mL, dan 2 mL. Data-data ini kemudian dimasukkan ke dalam persamaan yang relevan. Dari perhitungan tersebut, diperoleh hasil residu klor untuk sampel 25 mL dan volume titran masing-masing adalah sebagai berikut: 5,317 mg/L, 8,862 mg/L, 30,132 mg/L, 5,317 mg/L, 21,270 mg/L, dan 38,995 mg/L. Hasil perhitungan residu klor kemudian digunakan untuk membuat grafik breakpoint chlorination. Berdasarkan grafik tersebut, dapat disimpulkan bahwa dosis penambahan kaporit yang optimal adalah 1,4 mL yang menghasilkan residu klor sebesar 5,317 mg/L

5.2 Saran

Sebelum melakukan praktikum diharapkan praktikan telah mempelajari modul materi praktikum terlebiuh dahulu serta telah mengumpulkan tiket masuk praktikum dengan tepat waktu. Pada saat asistensi praktikan turut aktif ketika disuruh untuk menjelaskan dan juga menjawab pertanyaan dari asisten praktikum. Selain itu, praktikan juga diharapkan untuk memperhatikan format penulisan laporan praktikum yang baik benar

DAFTAR PUSTAKA

Andriani A, Fauziah, Ranti SR. 2022. Analisis Kalium Iodat (KIO3) dalam Garam Dapur Produksi Kuala Bau Aceh Selatan. Jurnal Sains dan Kesehatan Darussalam 2(2): 29- 35.

Azzahrah F dan Susilawaty A. 2014. Efektivitas Pembubuhan Kaporit dalam Menurunkan Kadar Zat Besi (Fe) pada Air Sumur Gali Tahun 2013. Jurnal Kesehatan 7(1): 322-331.

Busyairi M, Dewi YP, Widodo DI. 2016. Efektivitas Kaporit Pada Proses Klorinasi terhadap Penurunan Bakteri Coliform dari Limbah Cair Rumah Sakit X Samarinda. Jurnal Manusia dan Lingkungan 23(2): 156-162.

Damayanti. 2020. Evaluasi Sistem Disinfeksi Pada PDAM Sleman Unit Nogotirto. Skripsi.

Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

Fitri A dan Isnaeni R. 2022. Pra Rancangan Pabrik Asam Asetat dari Etil Asetat dengan Katalis Amberlyst-15 melalui Proses Hidrolisis Kapasitas 33.000 Ton/Tahun. Jurnal Tugas Akhir Teknik Kimia 5(2): 90-95.

(24)

Herawati D dan Yuntarso A. 2017. Penentuan Dosis Kaporit sebagai Desinfektan dalam Menyisihkan Konsentrasi Ammonium pada Air Kolam Renang. Jurnal Sainhealth 1(2):

13-22.

Li J, Zhang Y, Zhang Z, Zhang H, Wang X, Wang F, Wang H, Chen M. 2023. The Effect of Different Concentrations of Chlorine-Containing Disinfectants on High-Frequency Contact Table in Intensive Care Units: A Quasi-Experimental Study. Plos One Journal 18(2): 1-8.

Melyawati KA. 2018. Perbedaan Penggunaan Dosis Disinfektan dalam Penurunan Angka Kuman Usap Lantai Ruang Belibis RSUD Wangaya Denpasar Tahun 2018. Skripsi.

Jurusan Kesehatan Lingkungan, Politeknik Kesehatan Kemenkes Denpasar.

Mohapatra S. 2017. Sterilization and Desinfection. Journal of Essentials of Neuroanesthesia 59: 929-944.

Pangastuti DD. 2017. Perbandingan Kondisi Optimum Pereduksi Natrium Tiosulfat (Na2S2O3) dan Hidroksilamin Hidroklorida (NH2OH.HCl) pada Analisa Kadar Total Besi secara Spektrofotometri Uv-Vis. Skripsi. Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Rofida R. 2018. Pemetaan Kualitas Air Siap Minum di Pelanggan PDAM Kota Malang. Tugas Akhir. Departemen Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil, Lingkungan, dan Kebumian Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Rosita D, Zaenab S, Budiyanto MAK. 2016. Analisis Kandungan Klorin pada Beras yang Beredar di Pasar Besar Kota Malang sebagai Sumber Belajar Biologi. Jurnal Pendidikan Biologi Indonesia 2(1):88-93.

Samsuar, Mariana F, Setyowati M. 2017. Analisis Kadar Klorin (Cl2) Sebagai Pemutih Pada Rumput Laut (Eucheuma cottonii) yang Beredar di Lampung. Jurnal Farmasi Lampung 6(2): 13-22.

Saptahadi W, Anggraeni V, Nazmi PS, Rahmayetty. 2021. Sintesis Blend Film Pla-Pati menggunakan Asam Asetat Glasial sebagai Compatibilizer. Jurnal Integrasi Proses 10(1): 37-41.

Silviana E, Fauziah, Adriani A. The Comarison of Potassium Iodate Concentration in Jangka Salt of Matng Glumpang Dua Production from the Cooking and Natural Drying Process by Iodometri Method. Lantanida Journal 7(2): 101-193.

Sulistiawan AD. 2018. Studi Pengaruh Penambahan Kalium Iodida (KI) Dalam Inhibitor Organik Ekstrak Sarang Semut Terhadap Laju Korosi Baja 5 L Grade B Dalam Larutan HCl 1 M dengan Variasi Temperatur. Tugas Akhir. Jurusan Teknik Material, Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Suryaputra KF, Pasaribu DMR, Dharmawan A. 2021. Efektivitas Daya Hambat Disinfektan Klorin terhadap Bakteri Escherichia Coli Penghasil Extended Spectrum Beta Lactamase. Jurnal Kedokteran Meditek 27(3): 219-222.

Widiastuti D, Karima IF, Setiyani E. 2019. Efek Antibakteri Sodium Hypochlorite terhadap Staphylococcus Aureus. Jurnal Ilmiah Kesehatan Masyarakat 11(4): 302-307.

(25)

DAFTAR PUSTAKA TAMBAHAN

Busyairi M, Dewi YP, Widodo DI. 2016. Efektivitas Kaporit Pada Proses Klorinasi Terhadap Penurunan Bakteri Coliform dari Limbah Cair Rumah Sakit X Samarinda. Jurnal Manusia dan Lingkungan 23(2): 156-162.

Damayanti. 2020. Evaluasi Sistem Disinfeksi Pada PDAM Sleman Unit Nogotirto. Skripsi.

Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

Devi P dan Dalai AK. 2021. Implications of Breakpoint Chlorination On Chloramines Decay and Disinfection By-Products Formation in Brine Solution. Desalination 504: 2-9.

Herawati D dan Yuntarso A. 2017. Penentuan Dosis Kaporit sebagai Desinfektan dalam Menyisihkan Konsentrasi Ammonium pada Air Kolam Renang. Jurnal Sainhealth 1(2):

13-22.

Sofia E dan Riduan R. 2017. Evaluasi dan Analisis Pola Sebaran Sisa Klor Bebas pada Jaringan Distribusi IPA Sungai Lulut PDAM Bandarmasih. Jurnal Teknik Lingkungan 3(2): 11-17.

(26)

LAMPIRAN

(27)

Lampiran 1. Sitasi Definisi Desinfeksi

(28)
(29)

Lampiran 2. Sitasi Definisi dan Jenis-jenis Klorin

(30)
(31)
(32)
(33)

Lampiran 3. Sitasi Efektivitas Klorin dalam Desinfektan

(34)
(35)

Lampiran 4. Sitasi Definisi BPC

(36)
(37)

Lampiran 5. Sitasi Karakteristik dan Kegunaan Bahan Kaporit

(38)
(39)
(40)

Lampiran 6. Sitasi Karakteristik dan Kegunaan Bahan Asam Asetat Glasial

(41)
(42)

Lampiran 7. Sitasi Karakteristik dan Kegunaan Bahan Kalium Iodida

(43)
(44)

Lampiran 8. Sitasi Karakteristik dan Kegunaan Bahan Natrium Tiosulfat

(45)
(46)

Lampiran 9. Sitasi Karakteristik dan Kegunaan Bahan Indikator Amilum

(47)
(48)
(49)

LAMPIRAN TAMBAHAN

Lampiran 10. Sitasi Kondisi Akhir Fisik Sampel Setelah Pembubuhan Kaporit

(50)

Lampiran 11. Sitasi Hubungan Antara Dosis Kaporit dengan Residu Klor

(51)
(52)
(53)

Lampiran 12. Sitasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Pembubuhan Klor pada Desinfeksi

(54)
(55)

Lampiran 13. Sitasi Perbandingan Hasil Praktikum dengan Literatur

(56)
(57)
(58)
(59)

ACC DHP Lampiran 14. ACC Data Hasil Praktikum

(60)
(61)

Gambar

Tabel 4.1 Alat dan Bahan beserta Fungsi No
Gambar 3.5 Corong Sumber: Dokumentasi Pribadi,  2023
Gambar 3.10 Pengaduk Sumber: Dokumentasi Pribadi,  2023
Gambar 3.16 Indikator amilum Sumber: Dokumentasi Pribadi,  2023
+5

Referensi

Dokumen terkait