• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Hukum Keluarga Pada Masyarakat Sasak Lombok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Tradisi Hukum Keluarga Pada Masyarakat Sasak Lombok"

Copied!
173
0
0

Teks penuh

Misalnya saja yang biasa terjadi pada masyarakat Kabupaten Kediri, Lombok Barat, yang sering melakukan perceraian di luar pengadilan. Anomali pluralisme hukum (perkawinan) ini terlihat pada sebagian masyarakat di Kabupaten Kediri ketika mereka bercerai di luar prosedur yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No.

Cerai Sirri dan Pro-Kontra Dualisme Hukum Cerai Sirri

Muchlis Ibrahim, salah satu pimpinan Pondok Pesantren Ishlahuddini, Kediri, Lombok Barat, menyatakan istilah talak sirri bisa disamakan dengan bedak haram karena termasuk juga perceraian yang terjadi di luar pengadilan agama. Sekalipun perceraian terjadi di luar pengadilan, namun tetap dianggap sah karena tidak melanggar hukum syariah.

Praktik Cerai Sirri di Kecamatan Kediri

Yang telah resmi menikah/terdaftar di KUA dan mempunyai akta nikah, namun kemudian bercerai secara sirri dan kini telah menikah lagi secara sirri, sehingga tidak terdaftar atau tidak mempunyai buku nikah. Mereka yang telah menikah secara resmi/terdaftar di KUA dan mempunyai akta nikah, namun telah berpisah secara hukum dan belum menikah lagi.

Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Terjadinya Cerai Sirri di Kecamatan Kediri

Dengan demikian, kuat dugaan bahwa tingginya angka kejadian perceraian juga disebabkan oleh pengaruh pandangan guru-guru yang ada. Inilah sebabnya mengapa sebagian orang yang bercerai enggan menangani kasus perceraian di tingkat pengadilan.

Pendahuluan

Transformasi hukum keluarga Islam ini kemudian berujung pada positivisasi hukum Islam oleh negara dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hubungan Pembahasan Sejarah Transformasi Hukum Keluarga Islam Menjadi Hukum Nasional dan Analisis Praktik Talak Sirri di Kabupaten Kediri Dalam Perspektif Pluralisme Hukum Progresif Adalah Peran Negara Dalam Menertibkan Warga Negaranya . membawa.

Teori Plurasime Hukum Dalam Praktek Nikah Sirri

Pluralis hukum pada awal tahun 190-an mengusulkan konsep pluralisme hukum, yang meskipun agak bervariasi, pada dasarnya mengacu pada keberadaan hidup berdampingan antara beberapa sistem hukum yang ada dalam wilayah sosial yang sama. Pengertian pluralisme hukum dicirikan dengan adanya hukum negara di satu pihak dan hukum internasional di pihak lain. Pandangan pluralisme hukum dapat menjelaskan bagaimana hukum-hukum yang berbeda secara bersama-sama mengatur suatu bidang kehidupan atau suatu perkara.49.

Pada perkembangan selanjutnya (1990-an), berkembang konsep pluralisme hukum yang tidak lagi menekankan pada dikotomi antara sistem hukum negara di satu pihak dan sistem hukum rakyat di pihak lain. Lebih lanjut Sulistiyowati menegaskan, ciri pluralisme hukum dalam perspektif global/kontemporer adalah menyadari akan terjadinya saling ketergantungan, adopsi atau saling mempengaruhi (interdependence, interface) antar sistem hukum yang berbeda. Namun nyatanya bobot pluralisme hukum dalam perspektif global sebagaimana dikemukakan Sulistiyowati di atas terletak pada terjadinya komunikasi dan saling ketergantungan, saling adopsi, saling mempengaruhi (yang bersifat konstruktif) antar berbagai sistem hukum yang ada.

Dari wacana yang berpendapat bahwa terdapat perbedaan dan kesenjangan nyata antara hukum nasional dan hukum kerakyatan, hingga paradigma pluralisme hukum global yang mengutamakan hubungan simbiosis timbal balik antara berbagai sistem hukum yang ada dalam masyarakat Indonesia.

Praktik Cerai Sirri dan Faktor yang Melatarbelakangi

Sebaiknya peneliti menjelaskan analisis ini sebagai “cuci otak” dalam konteks serangan balik terhadap tindakan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan tentang kewajiban mencatat/melaporkan peristiwa perkawinan atau perceraian. Kegagalan dalam menjelaskan analisa ini akan berdampak semakin berkembangnya pemahaman yang salah tersebut, yang sayangnya telah disalahgunakan oleh sebagian orang sebagai pembenaran atas tindakan perkawinan dibawah tangan atau perceraian. Jelasnya, salah satu bentuk perkawinan atau perceraian yang menjadi model modern dan muncul serta berkembang secara sembunyi-sembunyi di sebagian komunitas Islam di Indonesia adalah perkawinan.

Perkawinan tidak sah atau perceraian ini merupakan keadaan dimana mereka berusaha menghindari sistem dan cara pengaturan pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang no. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah makna nikah di bawah tangan atau perceraian yang benar sudah sesuai dengan tujuan hukum Islam yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, yakni terwujudnya kemaslahatan umat manusia. Analisa reinterpretasi terhadap makna pencatatan ini merupakan analisa yang sangat penting untuk diikuti karena analisa ini juga bertujuan untuk menyoroti kedudukan pencatatan perkawinan atau peristiwa perceraian dari sudut pandang Hukum Perkawinan maupun dari sudut pandang hukum Islam. dalam waktu yang bersamaan. .

Namun analisis ini difokuskan pada kajian mendalam mengenai makna kata “dicatat” yang digunakan sebagai unsur kunci dalam suatu perkawinan atau perceraian.

اصع دثق نياصع نمو للها ع اطا دقف ينع اطا نم اصع نمو ينع اطا دقف ىيرمأ عاطا نمو للها

Cerai Sirri dalam Perspektif Pluralisme Hukum Progresif

Pada awalnya, pluralisme hukum diartikan sebagai hidup berdampingan antara berbagai sistem hukum dalam bidang sosial tertentu yang diteliti. Melalui pendekatan teoritis terhadap pluralisme hukum, pertama, yaitu sebagai kebutuhan praktis untuk menjelaskan fenomena keberadaan berbagai hukum yang berlaku di masyarakat. Melalui pandangan pluralisme hukum (model pertama) dapat diamati bagaimana seluruh sistem hukum tersebut “bekerja” secara bersama-sama.

Pengertian pluralisme hukum pada tahap ini menjelaskan keberadaan hukum tata negara di satu sisi dan hukum kerakyatan di sisi lain.84 Di satu sisi, peraturan hukum. Artinya pola pluralisme hukum perceraian sirri di Kabupaten Kediri pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya merupakan fakta hukum yang dimaksudkan hanya untuk menjelaskan adanya pola pluralisme hukum yang masih sangat baku dan tradisional. 1 Tahun 1974 dan penghentian undang-undang perceraian agama yang selama ini menjadi ruh masyarakat secara teoritis dianggap bertentangan dengan konsep pluralisme hukum.

Penentang pluralisme hukum berpendapat bahwa pluralisme hukum sama sekali tidak relevan untuk diterapkan di Indonesia. Dalam konteks seperti itu, pluralisme hukum jelas memberikan ruang bagi nilai-nilai yang justru dapat mengancam demokratisasi di Indonesia. Padahal, penekanan pluralisme hukum dalam perspektif global sebagaimana dikemukakan Sulistiyowati di atas adalah pada terjadinya komunikasi dan saling ketergantungan, saling adopsi dan saling mempengaruhi (yang bersifat konstruktif) antar berbagai sistem hukum yang ada.

Tradisi Bedudus dalam Masyarakat Sasak Pademare Lombok Timur

  • Sejarah Bedudus (Mandi Kembang)
  • Waktu Pelaksanaan Prosesi Adat Bedudus (Mandi Kembang)

Ritual Bedudus dalam prosesinya, baik tata cara pelaksanaannya maupun perlengkapan yang digunakan dalam upacaranya, sarat akan makna. Ritual Bedudus (mandi bunga/mandi pengantin) dapat dilakukan pada pagi, siang, sore atau malam hari sebelum akad nikah dilangsungkan. Namun ritual Bedudus tetap dianjurkan untuk dilakukan bagi yang ingin melangsungkan pernikahan, dengan mengingat tujuan dilakukannya ritual Bedudus ini.

Ritual Bedudus ini tidak hanya dilakukan pada pesta pernikahan saja, namun juga dilakukan setiap tujuh bulan sekali pada ibu hamil dan ibu hamil. Dimana para bangsawan secara rutin atau mewajibkan diri untuk melakukan ritual Bedudus ini meniru nenek moyang mereka, serta menjaga adat istiadat dan tradisi yang telah berlaku selama berabad-abad. Air biasa diisikan ke dalam kuali atau ember yang telah dieja atau didoakan oleh petugas atau tokoh adat yang memimpin proses ritual bedudus.

Selesai acara sorong serah aji krame, upacara bedudus dilakukan untuk pasangan pengantin.

Teori `urf Sebuah Tawaran Analisis

  • Adat/’Urf
  • Teori Antropologi Budaya a. Pengertian Antropologi Budaya

Urf berlaku bagi sebagian besar masyarakat di daerah tertentu dan 'urf bukanlah suatu kebiasaan alamiah seperti yang digunakan dalam adat istiadat, tetapi timbul dalam pemikiran dan pengalaman.136. Berdasarkan pengertian tersebut Mustafa Ahmad al-Zarqa mengatakan bahwa al-'urf merupakan bagian dari adat karena adat lebih bersifat umum dibandingkan al-'urf. Al-'urf harus berlaku pada mayoritas masyarakat di suatu wilayah tertentu, bukan pada individu atau kelompok, melainkan timbul dari pemikiran.138.

Jadi kata kebiasaan mempunyai konotasi yang netral, sehingga ada kebiasaan yang baik dan buruk, sedangkan kata al-'urf digunakan dengan melihat kualitas perbuatan yang dilakukan, yaitu diakui, diketahui dan diterima oleh banyak orang. Para ulama sepakat bahwa 'sahih urf dapat dijadikan dasar dalil sepanjang tidak bertentangan dengan shahih'. Urf dilihat dari sudut pandang yang berbeda; ada kalanya 'urf ditinjau dari tema.

Al-Urf al-Fasidah ('Urf yang rusak/salah) yaitu adat istiadat masyarakat yang bertentangan dengan ketentuan dan usulan.

Tinjauan Umum Praktek Tradisi Bedudus

Tanggapannya terhadap tradisi Bedudus sangat baik karena dilihat dari proses dan tujuannya mempunyai makna dan makna yang baik bagi kedua mempelai. Oleh karena itu, dengan menggunakannya diharapkan kedua mempelai memiliki kehidupan rumah tangga yang kuat, tidak cepat terguncang oleh segala macam rintangan dan ujian. Kuali/ember merupakan simbol keberkahan kebahagiaan bagi pasangan pengantin. Makna filosofisnya, kuali/ember merupakan wadah untuk menampung air agar dapat menampung, sehingga tidak cepat tumpah atau berhamburan. Sehingga diharapkan pasangan pengantin mendapat rezeki yang melimpah dan tetap utuh.

Siwur/canting/sendok tempat menampung air bunga yang disiramkan sedikit demi sedikit kepada kedua mempelai merupakan lambang kebulatan tekad para orang tua untuk merelakan putra-putrinya hidup berumah tangga, sekaligus melambangkan sifat kesucian sang mempelai. hidup sederhana, karena airnya ditambah sedikit demi sedikit. Tepuk/nampan merupakan simbol kesetiaan pada pasangan suami istri, sehingga diharapkan kedua mempelai selalu serasi dan rukun dalam kehidupan rumah tangganya. Kain tersebut melambangkan orang tua yang mendandani sang anak dengan kain tersebut untuk menutupi auratnya, dengan harapan kedua mempelai akan saling menjaga kehormatan dan kewibawaan dalam kehidupan rumah tangganya.

Kelapa Gading mempunyai makna membersihkan segala kotoran pada diri calon pengantin agar menjadi bersih kembali seperti bayi yang baru lahir, sebagai perlambang tekad yang kuat, sebagai perlambang kandungan anak yang dikandung atau perlambang keturunan.

Analisis Hukum Islam Tradisi Bedudus

Dilihat dari segi prosesinya, tradisi Bedudus mempunyai makna yang positif bagi pasangan calon pengantin, tidak hanya bagi pasangan pengantin saja namun juga bagi seluruh pihak yang terlibat baik itu anggota keluarga, sahabat, maupun masyarakat umum. Melihat fenomena yang ada, maka tradisi Bedudus berdasarkan revisi syariat Islam merupakan bagian dari 'urf. Sebagaimana dipahami dengan 'urf, hal itu merupakan suatu hal yang biasa dan dilakukan manusia dalam setiap aktivitasnya, dan tidak ada seorangpun yang menyangkalnya. Dia. Dengan melihat berbagai syarat 'urf yang dapat dijadikan struktur hukum, dalil atau argumentasi dalam hukum syariat di atas, maka tradisi bedudus yang berjalan di desa Padamara tergolong 'urf ghoiru shahih' yang mempunyai tujuan dan tindakan yang positif.

Sesuatu yang (diketahui) secara 'urf (umum) dalam suatu masyarakat, kedudukannya (hukumnya) sama dengan syarat yang diwajibkan (dinyatakan dengan jelas), sekalipun hal itu tidak dimaksudkan sebagai akad atau ucapan, agar sesuatu itu terjadi. diposisikan (dikutuk) ada, sebagaimana syarat yang disebutkan dalam suatu kontrak harus ada atau dilaksanakan. Basyir, Ahmad Azhar, “Ciri-ciri Lokal dalam Hukum Islam Positif di Indonesia (Tinjauan Filsafat)”, Mimbar Hukum No.13/Th.IV/1994. Griffiths, John, “Apa itu pluralisme hukum”, dalam Jurnal Pluralisme Hukum dan Hukum Tidak Resmi, nomor 24/1986.

Simartana, Ricardo, “Pluralisme Hukum, Mengapa Perlu?”, i Donny Donardono (red.), Wacana Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: HuMa, 2007.

Referensi

Dokumen terkait