• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRILOGY PIERRE FAUCHARD, by Ferizal

N/A
N/A
Ferizal "Sang Pelopor Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia"

Academic year: 2025

Membagikan "TRILOGY PIERRE FAUCHARD, by Ferizal"

Copied!
1436
0
0

Teks penuh

(1)

1

(2)

2 KEPENGARANGAN :

Judul Buku : Novel Tentang Kehidupan Pierre Fauchard, karya Ferizal Sang Pelopor Sastra Kedokteran Gigi Indonesia : A novel about the life of Pierre Fauchard

Penulis / Editor : Ferizal

QRCBN : 62-6418-9288-164

https://www.qrcbn.com/check/62-6418-9288-164 Pembuat Sampul : Ferizal

Jumlah Halaman : 236

Jenis Penerbitan : PT. TV FANA SPM KESEHATAN PUSKESMAS

Edisi : 24-6-2025

https://indonesianhealthpromotionliterature.blogspot.com/

Puskesmas Muara Satu, Desa Padang Sakti, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh 24353

(3)

3

Kata Pengantar

Ferizal “Sang Pelopor Sastra Kedokteran Gigi Indonesia”

Ferizal penganut aliran sastra romantisme aktif.

Romantisme aktif merupakan aliran dalam karya sastra yang mengutamakan ungkapan perasaan, mementingkan penggunaan bahasa yang indah, ada kata-kata yang memabukkan perasaan sebagai perwujudan, menimbulkan semangat untuk berjuang dan mendorong keinginan maju menyongsong Indonesia Emas 2045.

(4)

4 Ferizal “Sang Pelopor Sastra Kedokteran Gigi Indonesia” adalah sastrawan dan PNS Lhokseumawe : penulis buku sastra terkait profesi Dokter Gigi.

Ferizal mengucapkan "Sumpah Amukti Palapa Jilid II" di Bumi Bertuah Malaysia, sumpah untuk menyatukan Nusantara di bawah naungan "Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia" ... Menuju Indonesia Emas tahun 2045

Dengan inspirasi Amukti Palapa, dengan penuh semangat juang..

Tanggal 25 Juni 2013 Ferizal mengumumkan sumpah di bumi bertuah Malaysia, Sebuah sumpah yang kemudian dinamakan Sumpah Amukti Palapa Jilid Dua:

“Saya bersumpah demi Tuhan, demi harga diri bangsa saya, bahwa saya tidak akan menyerah, tidak akan beristirahat, sampai saya mampu menyatukan Nusantara dibawah naungan Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia.”

Ferizal merupakan ‘Sang Pelopor Sastra Kedokteran Gigi Indonesia’. Beliau telah menerbitkan karya tentang Dokter Gigi 1. Pertarungan Maut Di Malaysia.

2. Ninja Malaysia Bidadari Indonesia

(5)

5 3. Superhero Malaysia Indonesia ( Kisah Profesi Dokter Gigi Merangkum Seni, Estetika dan Kesehatan ).

4. Garuda Cinta Harimau Malaya

5. Ayat Ayat Asmara ( Kisah Cinta Ferizal Romeo dan Drg.Diana Juliet ).

6. Dari PDGI Menuju Ka’bah ( Kisah Pakar Laboratorium HIV Di Musim Liberalisasi ).

kemudian di daur ulang menjadi “Inovasi Difa atau Dokter Vivi dan Ferizal Legenda Puskesmas” ( ISBN: 978-602-474-892-0 Penerbit CV. Jejak )

7. Laskar PDGI Bali Pelangi Mentawai ( Kisah Drg.Ferizal Pejuang Kesgilut).

8. Drg.Ferizal Kesatria PDGI ( Kisah Tokoh Fiktif Abdullah Bin Saba’, dan Membantah Novel The Satanic Verses karya Salman Rushdie )

9. “Dokter Gigi PDGI Nomor Satu ( Kisah Keabadian Cinta Segitiga Drg.Ferizal SpBM, Drg Diana dan Dokter Silvi )”...

(6)

6 Buku ini di daur ulang menjadi berjudul : "Warisan Budaya Akreditasi Puskesmas Indonesia : Sastra Novel Dokter Gigi" ( ISBN :: 978-602-5627-37-8 Penerbit :: Yayasan Jatidiri Bandung ) 10. Demi Kehormatan Profesi Dokter Gigi ( Kisah FDI World Dental Federation Seribu Tahun Tak Terganti )

11. Dokter Gigi Bukan Dokter Kelas Dua ( Kisah Superioritas Dokter Gigi Pejuang Kesgilut )

12. “Sastra Novel Dokter Gigi Warisan Budaya Indonesia Modern”

( Kisah “Sastra Novel Dokter Gigi” Membuktikan Profesi Dokter Gigi Tidak Sebatas Gigi Dan Mulut Saja ) … ( ISBN :: 978-602-562- 731-6 Penerbit :: Yayasan Jatidiri Bandung )

13. “Sastra Novel Dokter Gigi Warisan Budaya Akreditasi Puskesmas Nusantara” ( Kisah Drg.Diana dan Ferizal Lambang Cinta PDGI )... ISBN: 978-602-474-495-3 Penerbit CV. Jejak

14. "Indonesia 2030 Menjawab Novel Ghost Fleet"

Fakta hukum bahwa Ferizal merupakan ‘Sang Pelopor Sastra Kedokteran Gigi Indonesia’ tidak terbantahkan, misalnya dapat dilihat melalui 6 buku berikut ini :

(7)

7 a. Buku berjudul : “Ferizal Sang Pelopor Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia”, Penerbit Yayasan Jatidiri, dengan ISBN : 978-602- 5627-08-8.

b. Buku berjudul : “Ferizal Sang Pelopor Sastra Novel Dokter Gigi NKRI”, Penerbit CV. Jejak, ISBN : 978-602-5675-02-7

c. Buku berjudul : “Ferizal Sang Pelopor Sastra Novel Kedokteran Gigi Indonesia”, Penerbit CV. Jejak, ISBN : 978-602-5675-24-9 d. Buku berjudul : "Ferizal Sang Pelopor Sastra Novel Dokter Gigi Republik Indonesia" ( ISBN: 978-602-5769-65-8), Penerbit : CV.

Jejak.

e. Buku berjudul : “SEJARAH KEDOKTERAN GIGI, VAKSINASI COVID-19, PERPUSTAKAAN NASIONAL DAN FERIZAL”

f. Buku berjudul : “FERIZAL PENGGAGAS INOVASI KAMPUNG CYBER PHBS SANDOGI ( Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia )”

Ferizal merupakan ‘Sang Pelopor Sastra Kedokteran Gigi Indonesia’, karya-karya Beliau beraliran Romantisme Aktif, juga beraliran Filsafat Intuisionisme. Beliau telah menerbitkan puluhan karya sastra mempesona tentang Dokter Gigi.

(8)

8

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….………...……… 3

DAFTAR ISI……….…………..21

BAB 1 Riwayat Hidup Pierre Fauchard ………..……… 9

BAB 2 Novel Tentang Pierre Fauchard………20

BAB 3 Dialog Imajiner Pierre Fauchard dan Ferizal………….202

DAFTAR PUSTAKA …………..………231

RIWAYAT PENULIS …………..………232

(9)

9

BAB 1

RIWAYAT HIDUP PIERRE FAUCHARD

Pierre Fauchard dikenal sebagai "Bapak Kedokteran Gigi Modern" karena karyanya yang revolusioner, Le Chirurgien Dentiste; ou, Traité des dents (The Surgeon-Dentist; or Treatise on Teeth), yang diterbitkan pada tahun 1728.

Karya ini merupakan kompilasi ilmiah pertama yang komprehensif tentang praktik kedokteran gigi pada masanya

(10)

10 Apakah Pierre Fauchard pernah kuliah Kedokteran Gigi ?

Tidak, Pierre Fauchard tidak pernah sekolah gigi.

Pada zamannya (akhir abad ke-17 hingga awal abad ke-18), belum ada institusi pendidikan formal khusus kedokteran gigi seperti yang kita kenal sekarang.

Masa itu Ilmu kedokteran gigi masih dianggap sebagai pekerjaan tukang (seperti tukang cukur atau tukang cabut gigi keliling), dan sering dilakukan tanpa dasar ilmu yang memadai.

Pierre Fauchard justru belajar secara mandiri dan melalui pengalaman praktik langsung. Ia memulai kariernya sebagai seorang asisten bedah di Angkatan Laut Prancis di usia remaja, di mana ia banyak berinteraksi dengan kasus-kasus kesehatan gigi para pelaut. Dari situ, ia mulai tertarik mendalami anatomi mulut, teknik perawatan, dan berbagai metode perbaikan gigi.

Fauchard kemudian mengembangkan banyak teknik baru yang jauh melampaui praktik tukang gigi pada zamannya. Ia menulis buku berjudul Le Chirurgien Dentiste (The Surgeon Dentist) pada tahun 1728, yang dianggap sebagai buku kedokteran gigi modern pertama di dunia.

(11)

11 Jadi, Pierre Fauchard tidak pernah mengenyam pendidikan formal di sekolah kedokteran gigi — justru dialah yang meletakkan dasar bagi berdirinya ilmu kedokteran gigi sebagai profesi medis yang terhormat dan terstruktur.

Memang benar, Pierre Fauchard tidak pernah secara formal menempuh pendidikan di sekolah kedokteran gigi, karena pada masa itu (akhir abad ke-17 hingga awal abad ke-18) belum ada pendidikan kedokteran gigi seperti yang kita kenal sekarang.

Profesi dokter gigi pada saat itu lebih dekat dengan tukang gigi atau barber-surgeon (ahli bedah tukang cukur), yang belajar melalui magang dan pengalaman langsung, bukan pendidikan formal universitas.

Namun, Pierre Fauchard dianggap Bapak Kedokteran Gigi Modern bukan karena gelar akademis, melainkan karena kontribusinya yang luar biasa:

1. Ia menulis buku Le Chirurgien Dentiste (The Surgeon Dentist) pada tahun 1728, yang dianggap sebagai buku kedokteran gigi pertama yang sistematis dan ilmiah.

(12)

12 2. Ia mempraktikkan teknik-teknik yang sangat maju pada zamannya, memperkenalkan tambalan gigi, kawat ortodontik, dan perawatan yang tidak hanya mengandalkan pencabutan.

3. Ia mendesak agar kedokteran gigi dipisahkan dari barber-surgeon dan dikembangkan menjadi profesi medis yang independen dan ilmiah.

Jadi, apakah pantas ?

Ya, pantas. Gelar "Bapak Kedokteran Gigi Modern" diberikan kepada Fauchard karena ia meletakkan dasar ilmiah dan etis bagi profesi kedokteran gigi yang modern, bukan karena pendidikan formalnya.

Sebutan ini mirip dengan bagaimana kita menyebut orang seperti:

Louis Pasteur Bapak Mikrobiologi, meskipun dia bukan dokter.

Gregor Mendel Bapak Genetika, meskipun dia adalah seorang biarawan, bukan ilmuwan profesional dalam pengertian modern.

(13)

13 Kesimpulan:

✔️ Layak disebut Bapak Kedokteran Gigi Modern

*************

Formal pendidikan kedokteran gigi di Prancis baru mulai terbentuk pada paruh akhir abad ke-19. Berikut garis waktunya:

1880: Cercle des dentistes de Paris mendirikan École et hôpital dentaires libres de Paris, sekolah dan rumah sakit gigi swasta pertama

nap.nationalacademies.org+5fr.wikipedia.org+5biusante.

parisdescartes.fr+5.

1884: Fédération des Employeurs Dentaires membuka Institut Odontotechnique de Paris ecole-dentaire.

fr+13fr.wikipedia.org+13biusante.parisdescartes.fr+13.

Akhir 1880-an: Lahirnya lebih banyak sekolah gigi, termasuk Dental School of Lyon pada 1889 studylib.net.

30 November 1892: Undang-undang Chevandier meresmikan gelar chirurgien-dentiste (dokter bedah gigi), mensyaratkan pendidikan melalui institusi medis negara en.wikipedia.org+2fr.wikipedia.org+2pubmed.ncb i.nlm.nih.gov+2.

(14)

14

1909: Ditetapkan kurikulum lima tahun untuk pendidikan kedokteran gigi .

1965: Didirikan Écoles Nationales de Chirurgie Dentaire sebagai bagian dari sistem

universitas studylib.net+1fr.wikipedia.org+1.

Jadi, meskipun Pierre Fauchard (1679–1761) menulis buku kedokteran gigi pada 1728, pendidikan formal di sekolah atau fakultas kedokteran gigi baru mulai berkembang signifikan sejak sekitar 1880–1892

(15)

15 Pierre Fauchard : Bapak Kedokteran Gigi Modern

Nama : Pierre Fauchard

Lahir : 1679, Saint-Denis-de-Gastines, Prancis Wafat : 21 Maret 1761, Paris, Prancis

Dikenal Sebagai : Bapak Kedokteran Gigi Modern

Kehidupan Awal

Pierre Fauchard lahir pada tahun 1679 di sebuah kota kecil di Prancis bernama Saint-Denis-de-Gastines. Informasi mengenai masa kecilnya sangat terbatas, namun diketahui bahwa ia bergabung dengan Kapal Angkatan Laut Prancis saat usia muda.

Pengalaman di dunia maritim inilah yang memperkenalkannya pada berbagai macam penyakit gigi yang diderita para pelaut, terutama yang disebabkan oleh kurangnya nutrisi dan kebersihan gigi.

Pengalaman tersebut membangkitkan ketertarikannya pada kesehatan mulut, yang pada masa itu merupakan bidang yang kurang diperhatikan dan belum terorganisasi secara medis.

(16)

16 Kontribusi dan Karya Besar

Pierre Fauchard mengabdikan hidupnya untuk mempelajari dan mengembangkan ilmu kedokteran gigi. Puncak dari dedikasinya adalah penerbitan buku berjudul Le Chirurgien Dentiste, ou Traité des Dents (The Surgeon Dentist, or Treatise on the Teeth) pada tahun 1728. Buku ini menjadi karya monumental yang menandai kelahiran kedokteran gigi modern.

Dalam buku tersebut, Fauchard membahas anatomi gigi, berbagai penyakit gigi, metode perawatan gigi, teknik pembuatan gigi tiruan, serta pentingnya kebersihan mulut. Ia juga mengembangkan dan memperkenalkan berbagai alat kedokteran gigi, beberapa di antaranya menjadi cikal bakal instrumen yang digunakan hingga saat ini.

Inovasi Fauchard:

 Memperkenalkan tambalan gigi sebagai pengobatan untuk gigi berlubang.

 Menggunakan kawat untuk meratakan dan meluruskan gigi, konsep awal dari ortodonti.

(17)

17

 Mengembangkan teknik pembersihan dan perawatan gigi yang sistematis.

 Menekankan pentingnya pencegahan dalam kesehatan gigi.

Warisan

Pierre Fauchard dianggap sebagai pelopor dalam memisahkan profesi kedokteran gigi dari praktik barber-surgeon (tukang cukur yang dulu juga berperan sebagai 'dokter gigi'). Ia mengangkat martabat kedokteran gigi menjadi profesi medis yang berdiri sendiri, berbasis ilmu pengetahuan.

Warisannya sangat terasa hingga saat ini, di mana kedokteran gigi modern masih banyak merujuk pada prinsip-prinsip yang ia letakkan hampir tiga abad yang lalu. Ia dihormati sebagai Bapak Kedokteran Gigi Modern di seluruh dunia.

Pierre Fauchard wafat pada 21 Maret 1761 di Paris. Meskipun hidup pada masa di mana pengetahuan tentang kesehatan masih terbatas, Fauchard berhasil membentuk fondasi kuat bagi ilmu kedokteran gigi. Melalui dedikasinya, jutaan orang di seluruh dunia kini menikmati manfaat dari ilmu yang ia pelopori.

(18)

18 Pierre Fauchard tidak hanya dikenal sebagai Bapak Kedokteran Gigi Modern. Di balik meja praktiknya, tersimpan kisah perjuangan, keraguan, dan harapan yang mengubah wajah dunia medis selamanya.

Pierre Fauchard, yang dikenal sebagai Bapak Kedokteran Gigi Modern, memang memberikan kontribusi besar yang mengubah praktik kedokteran gigi dari tradisi empiris menjadi ilmu yang lebih terstruktur dan berbasis pengetahuan medis. Namun, pengakuan penuh terhadap jasanya justru lebih banyak datang setelah kematiannya.

Pengakuan Semasa Hidup:

Dalam lingkup lokal dan profesinya sendiri, Fauchard dihormati sebagai dokter gigi yang inovatif dan seorang guru yang berdedikasi. Ia dikenal oleh rekan-rekan sejawat dan murid-muridnya karena keahlian dan metodenya yang revolusioner.

 Bukunya, Le Chirurgien Dentiste (1728), menjadi karya monumental, tetapi butuh waktu bagi gagasan- gagasanya tersebar luas karena pada masa itu sistem komunikasi dan penerbitan masih terbatas.

(19)

19

 Dia diakui oleh komunitas medis di Prancis, tetapi belum menjadi tokoh global.

Pengakuan Setelah Meninggal:

Setelah kematiannya, pengaruh Fauchard semakin diakui luas, terutama setelah bukunya diterjemahkan dan menjadi rujukan utama dalam perkembangan kedokteran gigi di Eropa dan kemudian dunia.

 Hari ini, ia dianggap sebagai pionir yang membentuk dasar kedokteran gigi modern, dan namanya sering disebut dalam buku-buku sejarah kedokteran gigi.

Kesimpulan:

 Diakui semasa hidup ? Ya, tapi dalam lingkup terbatas.

 Diakui secara global? Lebih banyak setelah kematiannya.

Melalui novel ini, Ferizal membawa kita menyusuri lorong waktu abad ke-18, mengenal Pierre sebagai manusia yang berani melawan tradisi, menembus batasan ilmu, dan memperjuangkan kesehatan dengan pena dan keyakinan.

Sebuah kisah yang bukan hanya tentang gigi, tetapi tentang keberanian, cinta, dan pengabdian yang menginspirasi generasi.

(20)

20

BAB 2

NOVEL TENTANG PIERRE FAUCHARD

Pierre Fauchard: Penakluk Sunyi, Penjaga Senyum

Di antara gemuruh zaman yang membisu,

Lahir kau, Pierre Fauchard, pelopor yang syahdu.

Bukan ksatria dengan pedang berkilau, Namun pena dan bor menjadi senjatamu.

Kala rasa sakit menjadi takdir yang diterima, Kala mulut hanya lorong derita,

Kau datang, mengusik dogma lama,

Menggenggam harapan, membelah gelapnya.

Bukan sekadar menarik dan membuang, Kau ajarkan seni merawat yang gemilang.

Dari anatomi hingga penataan gigi, Kau ukir ilmu yang abadi.

Le Chirurgien Dentiste—buku pembebasan, Menyinari abad dengan pengetahuan,

(21)

21 Kau bukan sekadar dokter,

Kau arsitek senyum masa depan.

Bor kecil di tanganmu,

Adalah palu bagi tembok kebodohan.

Kau tidak takut pada hinaan,

Kau lebih takut pada keabadian yang hampa.

Pierre Fauchard, engkau membuka jalan, Bagi dokter-dokter gigi di segala zaman.

Kini, setiap senyum yang lahir di dunia, Adalah bisikan terima kasih untukmu adanya.

Tak gentar hadapi batasan zaman,

Buku kau tulis, pengetahuan kau hamparkan, Le Chirurgien Dentiste, warisan peradaban, Membuka gerbang ilmu yang tak berkesudahan.

Di tanganmu, bor menjadi sahabat, Plak dan nyeri tak lagi menggigit kuat, Kau ajarkan bahwa mulut adalah martabat, Yang harus dijaga, yang layak dirawat.

Pierre Fauchard, pelita yang menyala, Di dunia gigi yang dulu gelap gulita,

(22)

22 Kini senyum bersemi di setiap penjuru kota,

Berkat jejakmu, sang guru, sang cahaya.

Di abad yang redup tanpa cahaya, Di kala sakit mulut menjadi nestapa,

Lahir engkau, Pierre Fauchard, sang pembuka mata, Mengusik diam, mengurai derita.

Bukan prajurit dengan pedang terhunus, Bukan raja di singgasana mewah,

Kau hanyalah lelaki dengan bor dan pena, Namun jejakmu menembus zaman dan sejarah.

Kau lihat lebih dari sekadar gigi yang retak, Kau dengar jerit yang tersembunyi di balik bisu, Kau susun ilmu, kau tulis petunjuk,

Hingga luka yang dahulu abadi, Menjadi sembuh, menjadi cerita baru.

Dalam lembaran Le Chirurgien Dentiste, Kau ukir pondasi, kau tebarkan kunci, Bahwa kesehatan bukan sekadar tubuh, Tapi juga mulut yang patut dirawat, dihormati.

(23)

23 Kini, setiap senyum yang berpendar,

Setiap tawa yang lahir tanpa getir, Adalah warisanmu yang tetap berputar, Adalah bisikan:

“Terima kasih, Pierre Fauchard.”

Di antara debu-debu abad tua,

Pierre Fauchard berdiri, menantang luka.

Bukan dengan pedang, bukan dengan mahkota, Tapi dengan bor kecil di genggamannya.

Dulu, mulut adalah tempat duka, Sakit gigi menjadi takdir manusia.

Namun Fauchard melihat cahaya,

Bahwa senyum pantas diperjuangkan juga.

Ia menulis, ia merintis,

Le Chirurgien Dentiste jadi warisan abadi.

Ia ajarkan bahwa mulut bukan sekadar lubang, Tapi gerbang kesehatan yang harus dijunjung.

Fauchard bukan pencabut, Ia penyelamat.

Untuk meringkas novel ini, berikut Sinopsis

(24)

24 Melalui novel ini, Ferizal membawa kita menyusuri lorong waktu abad ke-18, mengenal Pierre sebagai manusia yang berani melawan tradisi, menembus batasan ilmu, dan memperjuangkan kesehatan dengan pena dan keyakinan.

Sebuah kisah yang bukan hanya tentang gigi, tetapi tentang keberanian, cinta, dan pengabdian yang menginspirasi generasi.

Pierre memulai perjalanan sunyi untuk menemukan cara baru. Tanpa gelar megah dan tanpa dukungan akademi, ia menulis Le Chirurgien Dentiste—sebuah buku yang menantang tradisi dan membuka babak baru dalam kedokteran gigi.

Perjalanan Pierre dipenuhi cemooh, ancaman, dan pengkhianatan. Ia menghadapi bukan hanya musuh yang terlihat, tetapi juga rasa takut dan kesendirian yang menghantui langkahnya. Namun dalam setiap luka, Pierre menemukan cahaya kecil: senyum orang-orang kecil yang diselamatkannya.

Bersama muridnya, Louis Gervais, Pierre membuktikan bahwa ilmu bukan milik segelintir orang berkuasa. Ilmu adalah hak setiap manusia yang ingin hidup tanpa rasa sakit. Meski ia berjalan dalam sunyi, warisan Pierre perlahan menembus batas negara dan zaman.

Novel ini berlatar kisah nyata yang dibalut dengan narasi fiksi historis yang emosional. Pierre Fauchard Bapak Kedokteran Gigi Modern, beliau berjuang dari nol hingga mengubah sejarah Kedokteran Gigi.

(25)

25 Saint-Denis dan Warisan Luka

Saint-Denis, tahun 1680. Sebuah kota kecil di utara Paris, di mana lorong-lorong sempit beraroma roti hangat dan debu bercampur lumpur menjadi pemandangan sehari-hari. Asal-Usul Sang Penjaga Senyum

Saint-Denis, Paris, 1678. Kota kecil di pinggiran Paris itu dipenuhi jalanan sempit yang becek, rumah-rumah reyot yang berdempetan, dan udara yang selalu berbau amis dari pasar ikan.

Di sanalah Pierre Fauchard dilahirkan. Ia bukan siapa-siapa, hanya anak tukang jahit miskin yang hidup dari upah harian yang tak pernah cukup.

Di rumah kayu yang nyaris rubuh itu, Pierre hidup bersama ayah, ibu, dan adik perempuannya, Madeleine. Ibunya sering sakit- sakitan, dan ayahnya bekerja dari pagi hingga larut malam tanpa pernah mengeluh, hanya untuk membeli sepotong roti dan sedikit keju untuk keluarganya.

Di kota itulah, seorang anak lelaki kecil bernama Pierre Fauchard berlari menyusuri jalanan dengan kaki telanjang, menembus hembusan angin musim gugur yang menggigit kulit.

(26)

26 Ayahnya sedang terbaring lemah di atas ranjang reyot yang sudah mulai retak. Bukan karena usia yang menua, bukan pula karena luka perang seperti kebanyakan pria di kota pelabuhan.

Ayah Pierre, seorang tukang pembuat peralatan kayu, perlahan kehilangan kekuatannya karena sakit yang sederhana namun mematikan: infeksi gigi.

"Pierre... ambilkan air untuk ayahmu," bisik ibunya, suara yang lelah namun tetap tegar seperti batu yang dipahat angin selama puluhan tahun.

Pierre menunduk, menahan isakan yang menggelegak di dadanya. Ia tahu air takkan menyembuhkan ayahnya. Ia tahu semua doa dan ramuan dukun kota takkan mampu menahan racun yang kini merambat di aliran darah ayahnya. Tapi apa daya, bocah berusia delapan tahun hanya tahu menurut.

Setiap malam, Pierre duduk di sisi ranjang ayahnya, mengamati dengan mata lebar bagaimana pipi ayahnya membengkak dan warna keunguan merayap dari gusi ke leher. Bau busuk yang menyengat perlahan mengisi rumah mereka, mengusir pengharapan yang tersisa.

"Ayah... kenapa tidak ke tabib?" tanya Pierre suatu malam.

(27)

27

"Ayahmu sudah ke sana. Tapi mereka hanya tahu mencabut paksa, nak. Mereka lebih sering membunuh daripada menyembuhkan," gumam ibunya dengan getir.

Pierre tidak mengerti. Mengapa sesuatu yang tampak kecil seperti gigi bisa mengalahkan laki-laki sekuat ayahnya? Mengapa tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana menyembuhkan penyakit itu? Mengapa semua orang hanya menerima rasa sakit seolah itu adalah takdir?

Hari itu, saat embun belum sepenuhnya menguap dari rerumputan dan lonceng gereja belum berdentang, ayah Pierre mengembuskan napas terakhir. Tubuhnya dingin, tangannya tak lagi menggenggam jari kecil Pierre yang selalu menemaninya.

Tidak ada tangisan histeris. Tidak ada pekikan. Hanya keheningan panjang yang merayap ke dinding-dinding rumah sederhana itu.

Pierre berdiri di sisi ranjang, menatap wajah ayahnya yang membiru. Di matanya yang muda, rasa sakit itu mengukir sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya: luka yang dalam dan janji yang diam-diam mulai tumbuh di hatinya.

(28)

28 Beberapa minggu berlalu. Kota Saint-Denis kembali bergerak.

Orang-orang kembali tertawa di pasar, mencemooh pertunjukan badut jalanan, dan menawar ikan segar dari pelabuhan. Hidup berjalan, seolah kematian hanyalah butiran pasir di aliran waktu.

Namun bagi Pierre, hidupnya telah berhenti. Ia berjalan ke mana-mana dengan bayangan ayahnya membuntuti. Ia menatap mulut setiap orang yang ia temui—senyuman yang berkilau, gigi yang ompong, bibir yang membengkak. Ia mulai memperhatikan sesuatu yang sebelumnya diabaikan orang-orang: mulut adalah pintu kehidupan. Dan di balik pintu itu, banyak orang perlahan sekarat tanpa pernah disadari.

Suatu hari, di pelabuhan Saint-Denis, Pierre melihat seorang pelaut yang duduk lemah, giginya rontok hampir semua.

Wajahnya pucat, gusinya berdarah.

"Apa yang terjadi padamu, Tuan?" tanya Pierre dengan polos.

"Skorbut, bocah. Penyakit para pelaut. Gigi-gigi kami rontok seperti dedaunan di musim gugur," gumam pelaut itu sambil tersenyum getir, meski senyumnya sudah tak lagi utuh.

Pierre tidak mengerti apa itu skorbut. Namun rasa ingin tahunya meletup seperti percikan api.

(29)

29 Pierre mulai mengajukan banyak pertanyaan kepada siapa saja.

Tabib, dukun, pendeta, bahkan pedagang rempah yang pernah berlayar jauh. Ia haus akan jawaban.

Namun semua yang ia dengar hanyalah mitos dan ketidaktahuan.

Ada yang mengatakan gigi rontok karena kutukan, ada yang percaya itu hukuman Tuhan. Tak seorang pun memberi jawaban yang memuaskan.

"Kenapa tak ada yang mempelajari ini?" tanya Pierre pada ibunya, suatu malam.

"Karena gigi bukan perkara penting, nak. Yang penting bagi mereka adalah jantung, kepala, perut. Gigi? Hanya dianggap tulang kecil yang bisa dibuang kapan saja."

Kata-kata itu menancap dalam di benak Pierre. Ia tahu ia berbeda. Ia tahu ia ingin menjadi seseorang yang akan mengubah cara orang memandang mulut manusia.

Sejak kecil, Pierre sudah terbiasa melihat penderitaan. Ia menyaksikan bagaimana orang-orang di sekitarnya kehilangan gigi satu per satu tanpa pernah ada yang bisa menolong. Ia menyaksikan tetangga-tetangganya menahan sakit dengan menggigit kain basah, mengerang dalam diam karena takut

(30)

30 mendatangi tukang gigi keliling yang lebih mirip penjagal daripada penyembuh.

Namun penderitaan terbesar yang membentuk hidup Pierre adalah kehilangan Madeleine.

Madeleine, adiknya yang ceria, yang selalu memanggilnya

"kakakku yang pintar", jatuh sakit karena infeksi gigi yang sederhana. Tapi di lingkungan miskin seperti itu, gigi berlubang adalah awal dari bencana. Tak ada yang mengobatinya. Tukang gigi keliling hanya mencabut, dan terkadang mencabut dengan paksa hingga berdarah-darah. Orang miskin seperti mereka dianggap tak layak mendapatkan perawatan yang layak.

Suatu malam, Madeleine mengerang dalam pelukan Pierre.

Pipinya membengkak, napasnya memburu, matanya setengah tertutup. Pierre, yang saat itu baru berusia sepuluh tahun, hanya bisa menangis sambil memegang tangan adiknya.

"Kakak... sakit sekali..." bisik Madeleine lemah.

"Tahan ya, Madeleine... besok ayah akan membawamu ke tukang gigi..."

"Aku takut mereka mencabut gigiku, Kak... Aku tak mau..."

(31)

31 Pierre hanya bisa memeluknya erat. Malam itu, Madeleine meninggal di pelukannya.

Sejak hari itu, Pierre bersumpah dalam hati: Ia akan mencari cara agar tak ada lagi anak kecil yang harus kehilangan senyumnya hanya karena ketidaktahuan dan kemiskinan.

Hidup terus berjalan. Pierre tumbuh dalam kerasnya jalanan Saint-Denis. Ia membantu ayahnya di bengkel jahit, mengangkut kain, menyapu lantai, dan sesekali ikut berdagang di pasar.

Namun diam-diam, ia sering mengamati tukang gigi keliling yang datang ke pasar. Ia memperhatikan bagaimana mereka mencabut gigi orang-orang dengan brutal, sering kali tanpa membersihkan luka, tanpa peduli jika gusi pasien berdarah Ia melihat orang-orang berteriak kesakitan, namun tidak berani melawan.

"Kau tertarik pada mereka?" tanya seorang pedagang tua pada Pierre saat itu.

"Aku ingin tahu kenapa mereka selalu mencabut gigi. Apa tak ada cara lain?"

(32)

32 Pedagang itu tertawa getir. "Anak muda, di dunia ini hanya dua hal yang pasti: orang miskin tak pernah punya pilihan, dan sakit gigi selalu berakhir dengan pencabutan."

Pierre menggenggam erat ujung baju lusuhnya. Ia tidak percaya pada itu. Ia yakin pasti ada pilihan lain. Ia hanya belum tahu bagaimana.

Angin laut dari pelabuhan Lorient menerpa wajah muda Pierre Fauchard yang kala itu baru berusia lima belas tahun. Suara gemuruh kapal dan tawa para pelaut menjadi musik harian yang mengiringi langkahnya menuju satu keputusan penting dalam hidupnya: bergabung sebagai asisten bedah di kapal perang.

Ia tidak tahu, langkah itu akan membawanya menjelajahi lautan ilmu, melampaui batasan yang dianggap tak tergoyahkan oleh para tabib masa itu. Ia pun belum tahu, di balik luka para pelaut, ia akan menemukan panggilan sejatinya: menyembuhkan bukan hanya tubuh, tapi juga martabat manusia lewat gigi yang sehat.

“Aku tidak ingin menjadi pelaut,” gumam Pierre pelan, “Aku ingin menjadi seseorang yang dikenang… di atas daratan.”

Dan dari sana, kisahnya dimulai.

(33)

33 Tak lama setelah ia menginjak usia enam belas tahun, ayahnya meninggal karena penyakit yang lama ia derita. Ibunya, yang kesehatannya semakin rapuh, akhirnya menitipkan Pierre kepada seorang kenalan lama yang bekerja di pelabuhan.

"Kau harus pergi, Pierre," kata ibunya. "Di sini, kau hanya akan mati perlahan seperti ayahmu."

Pelabuhan Saint-Denis, Perancis, 1699.

Ombak menampar tiang kapal, beriringan dengan teriakan nelayan dan desauan buruh pelabuhan. Di tengah hiruk pikuk itu, seorang anak laki-laki berdiri memeluk erat sebuah bungkusan kain lusuh. Matanya menatap kosong, bibirnya bergetar menahan tangis.

"Pierre!" panggil ibunya dari kejauhan. "Kamu harus kuat.

Ayahmu sudah tidak ada. Tidak ada lagi yang bisa menafkahi kehidupan kita."

Pierre menunduk. "Apa aku harus bekerja di kapal itu, Ibu?"

Perempuan paruh baya itu menggenggam bahu putranya. "Kapal perang itu mungkin keras, Nak. Tapi di sana ada dokter. Kau bisa

(34)

34 belajar. Mungkin… mungkin kau tak harus menjadi buruh seumur hidup."

"Karena di dunia ini, Nak, orang lebih peduli pada luka yang terlihat. Sakit gigi dianggap sepele."

"Tapi mereka menangis…" sajut Pierre

"Benar. Itulah sebabnya, kau harus belajar. Dunia butuh orang seperti kau, Pierre. Yang berani mempelajari yang dianggap remeh."

Mata Pierre berbinar. Untuk pertama kalinya, ia merasa menemukan jalannya. Bukan di pedang, bukan di meriam, tapi di dalam mulut manusia—tempat kecil yang ternyata mampu membuat seorang prajurit terkuat sekalipun bersimpuh kesakitan.

Hidup di atas kapal perang bukan perkara mudah. Udara asin yang menusuk, ombak yang tak pernah berhenti mengguncang, dan suara keras para perwira yang sering memaki.

Namun, bagi Pierre, semua itu terasa lebih mudah dibandingkan rasa hampa yang ditinggalkan oleh kepergian ayahnya.

(35)

35 Pierre mengangguk pelan. Dalam dadanya, ada rasa takut, tapi juga ada nyala kecil yang belum ia mengerti.

Dengan berat hati, Pierre meninggalkan rumah kecil yang penuh kenangan bersama Madeleine.

Ia pergi untuk mencari hidup, tanpa tahu bahwa perjalanannya sebagai pelaut kelak akan membawanya menemukan takdirnya.

Beberapa tahun berlalu. Pierre bertumbuh menjadi pemuda dengan pandangan tajam dan pikiran yang gelisah. Ia tak punya cukup uang untuk belajar di akademi medis di Paris, tetapi ia punya tekad yang lebih besar dari apa pun yang bisa dibeli dengan uang.

Pierre Fauchard menginjakkan kakinya di pelabuhan Brest, kota pelabuhan yang sibuk di pesisir barat Prancis.

Udara pelabuhan Brest pagi itu lembap, dibalut kabut tipis yang menari pelan di atas lautan.

Seorang pemuda bertubuh kurus, Pierre Fauchard, berdiri memandangi kapal angkatan laut yang tengah bersandar.

(36)

36 Usianya baru tujuh belas tahun, namun garis kelelahan sudah tergambar di wajahnya. Ia bukan anak bangsawan, bukan pula anak tabib terkemuka. Ia hanya anak seorang pekerja biasa, yang terdampar di pangkuan dunia yang keras.

Ayahnya telah tiada, meninggalkan keluarganya dalam pusaran kemiskinan. Ibu Pierre berharap anaknya kelak menjadi seorang pastor, tapi Pierre memilih jalan yang berbeda—jalan yang membawanya ke laut, ke medan peperangan, dan ke lorong- lorong gelap di mana penyakit dan penderitaan merajalela.

Kabut pelabuhan Brest masih menggantung rendah ketika Pierre Fauchard berdiri memandangi kapal yang baru saja bersandar.

Usianya baru tujuh belas tahun, tetapi dunia telah memaksanya tumbuh lebih cepat dari waktu.

Ia bukan keturunan bangsawan, bukan pula anak seorang dokter ternama. Ia hanyalah anak dari keluarga sederhana, tumbuh dalam kota kecil di Prancis, di mana harapan seringkali dikalahkan oleh kenyataan.

Ayah Pierre meninggal. Ibunya, seorang perempuan tabah, menghidupi keluarga dengan menjahit pakaian. Dalam benaknya, Pierre kecil harus menjadi seorang pastor—satu-satunya jalan

(37)

37 baginya untuk memperbaiki nasib. Tetapi Pierre memilih jalan yang berbeda. Ia ingin mengarungi lautan, menemukan dunia yang lebih besar dari sekadar dinding gereja yang dingin.

Di kapal angkatan laut Prancis tempat ia bertugas, Pierre menemukan kenyataan yang brutal. Para pelaut, meski gagah dan kuat, seringkali takluk bukan oleh musuh, melainkan oleh penyakit yang merayap diam-diam di mulut mereka.

Gigi yang membusuk, gusi yang berdarah, bau busuk yang tak tertahankan—semua itu menjadi pemandangan sehari-hari.

Tidak ada yang peduli. Bagi para dokter, luka perang lebih penting daripada luka di dalam mulut.

Ia melihat teman-temannya sekarat perlahan, hanya karena infeksi gigi yang dianggap remeh. Ia melihat lelaki-lelaki kuat merintih kesakitan karena gigi yang tanggal dan gusi yang membengkak. Dan Pierre bertanya dalam hatinya, Mengapa mereka harus menderita seperti ini? Mengapa tak ada yang mencari jawabannya?

Di malam-malam yang sepi di atas kapal, ketika angin laut menggigit kulit dan langit dipenuhi bintang, Pierre merenung. Ia mulai mencatat gejala yang ia lihat, mengingat pola-pola yang

(38)

38 berulang. Ia mulai bertanya pada dokter kapal, tapi seringkali jawaban yang ia terima hanyalah:

“Sudah takdirnya. Itu penyakit kotor. Tak ada yang bisa dilakukan selain mencabutnya.”

Jawaban itu tak memuaskan Pierre.

Baginya, selalu ada sesuatu yang bisa diperjuangkan. Ia belum tahu ilmunya, tapi ia yakin bahwa kunci untuk menyelamatkan para pelaut itu ada—hanya saja belum ditemukan.

Di atas kapal, Pierre melihat begitu banyak pelaut yang kehilangan gigi, menderita sakit mulut, dan sekarat karena infeksi yang tak diketahui namanya.

Tak ada yang mampu menolong mereka. Para dokter lebih sibuk mengurus luka perang daripada urusan mulut yang bau dan berdarah.

Di sanalah benih pertanyaan tumbuh dalam dirinya.

Mengapa tidak ada yang peduli pada penyakit ini ? Mengapa gigi yang rusak dibiarkan mencabut nyawa ?

(39)

39 Bau asin laut bercampur dengan aroma ikan yang membusuk dan teriakan para pelaut yang berlomba memuat barang ke kapal.

Dengan wajah yang masih lugu, Pierre memulai hidup barunya sebagai pelaut magang di kapal milik Angkatan Laut Prancis.

Hidup di kapal jauh lebih keras daripada di Saint-Denis. Ia harus bangun sebelum fajar, membersihkan dek, mengangkat barel berat, dan menahan muntah ketika badai menerjang.

Di atas kapal Royal Louis, Pierre Fauchard menyadari bahwa laut bukan hanya tempat para pelaut berlayar, tetapi juga medan perang bagi penyakit dan luka yang menggerogoti tubuh manusia. Saat itu, dokter kapal lebih banyak berurusan dengan amputasi dan demam berdarah, namun perhatian Pierre justru tertarik pada satu keluhan yang sering diabaikan: sakit gigi.

Hari itu, di ruang kecil beraroma alkohol dan garam, ia menyaksikan penderitaan seorang pelaut tua yang giginya membusuk, rahangnya bengkak, dan tubuhnya melemah.

“Cabut saja, cepat!” perintah sang dokter dengan nada dingin.

Tanpa bius, tanpa pertimbangan, sang pelaut menjerit di antara hempasan ombak.

(40)

40 Pierre tertegun. Ada sesuatu yang tidak benar.

Ia mulai bertanya-tanya:

Mengapa pengobatan gigi selalu diperlakukan dengan kasar?

Mengapa rasa sakit dianggap hal biasa?

Mengapa tidak ada metode yang lebih manusiawi?

Pierre mulai membaca buku medis langka yang tersimpan di lemari kapal. Ia menghafal anatomi kepala, mencatat kasus-kasus infeksi mulut, dan memperhatikan setiap prosedur dengan mata kritis. Ia bukan hanya membantu operasi, ia belajar dalam diam.

Suatu malam, saat kapal terombang di tengah badai, Pierre berdiri di dek, memandang lautan tak berbatas.

“Suatu hari,” bisiknya pada diri sendiri, “akan ada ilmu kedokteran yang memperlakukan kesehatan gigi dengan hormat, bukan sebagai pekerjaan kelas dua.”

Angin laut menerpa wajahnya. Ia tahu, jalannya masih panjang.

Tapi tekadnya sudah tertanam, sekuat karang yang diterpa gelombang.

(41)

41 Namun di antara kesulitan itu, Pierre menemukan sesuatu yang mengubah hidupnya: Seorang dokter kapal bernama Monsieur Gervais.

Gervais bukan tabib kerajaan. Ia bukan orang terhormat di mata bangsawan, namun ia memiliki ilmu kedokteran yang luas, dan lebih penting lagi—ia punya belas kasihan.

Pierre sering diam-diam mengamati Gervais ketika merawat para pelaut yang terluka.

Suatu hari, Gervais memanggil Pierre. "Kau selalu memperhatikanku, anak muda. Apa kau ingin belajar?"

Pierre mengangguk cepat. "Ya, Tuan. Aku ingin tahu bagaimana cara menyelamatkan orang."

"Termasuk gigi?"

"Terutama gigi, Tuan."

Gervais tersenyum. Ia mulai mengajari Pierre dasar-dasar anatomi, perawatan luka, dan yang paling penting, bagaimana mengobati sakit gigi tanpa mencabutnya langsung.

(42)

42 Dalam perjalanan panjang berkeliling Samudera Atlantik, Pierre menjadi asisten Gervais. Ia memegang alat, membersihkan luka, bahkan kadang harus melakukan perawatan sederhana ketika Gervais jatuh sakit.

Suatu malam, badai besar menghantam kapal mereka. Salah satu pelaut mengalami infeksi gusi akut dan tidak ada waktu untuk menunggu pelabuhan berikutnya. Gervais yang sedang lemah memerintahkan Pierre untuk melakukan prosedur pembersihan abses.

"Ini tugasmu, Pierre. Aku percaya padamu."

Tangan Pierre gemetar, tapi ia mengingat setiap langkah yang pernah diajarkan Gervais. Dengan hati-hati, ia membuka abses, membersihkannya, dan menenangkan pelaut yang kesakitan.

Beberapa hari kemudian, pelaut itu sembuh.

"Kau menyelamatkanku, anak muda," kata pelaut itu sambil tersenyum lemah.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Pierre merasakan apa arti menyelamatkan senyum.

(43)

43 Tahun-tahun di kapal membentuk Pierre menjadi pemuda yang tangguh dan cerdas. Namun ia tahu, ia tidak bisa selamanya menjadi pelaut. Ada panggilan yang lebih besar.

Setelah kembali dari pelayaran terakhirnya, Gervais memanggil Pierre.

"Kau punya bakat, Pierre. Pergilah ke Paris. Di sana kau akan menemukan lebih banyak ilmu, tapi juga lebih banyak perlawanan."

"Aku tidak takut perlawanan, Tuan. Aku takut jika aku tidak pernah mencoba."

Dengan restu Gervais dan tekad yang tak tergoyahkan, Pierre meninggalkan kehidupan pelautnya dan memulai babak baru di kota yang akan menjadi medan perjuangannya: Paris.

Ia bergabung dengan Angkatan Laut Prancis sebagai asisten medis—pekerjaan yang tidak memerlukan pendidikan formal tinggi, tetapi memberinya akses kepada dunia yang lebih luas:

penderitaan para pelaut yang hampir seluruhnya kehilangan gigi dalam pelayaran panjang.

(44)

44 Di atas geladak kapal yang basah oleh ombak dan asin laut, Pierre bertemu dengan Jean Baptiste, seorang dokter angkatan laut yang tidak seperti tabib kebanyakan. Jean Baptiste tidak percaya pada takhayul. Ia percaya pada pengamatan, pada ilmu, pada keberanian untuk bertanya.

"Kenapa kau tertarik pada gigi, Pierre? Semua orang membencinya. Tak ada yang mau menyentuh mulut yang busuk,"

tanya Jean Baptiste pada suatu malam di dek kapal, di bawah cahaya rembulan yang redup.

Pierre menatap lautan luas, seakan mencari jawaban pada gemuruh ombak. "Karena aku kehilangan Ayah dan Adik ku oleh sesuatu yang dianggap sepele. Karena aku ingin tahu kenapa gigi bisa membunuh. Karena aku ingin... menyelamatkan orang-orang yang senyumnya sedang dicuri perlahan."

Pierre menatap keluar jendela kecil. Lautan terbentang luas, ombak tak pernah berhenti. Dan di sana, di hatinya, sebuah ombak kecil mulai bergulung, membawa harapan dan keyakinan:

ia akan menjadi pelopor di jalan yang sepi ini.

Jean Baptiste tertawa kecil, lalu menepuk bahu Pierre. "Kau gila.

Tapi mungkin dunia butuh kegilaanmu."

(45)

45 Malam itu, Pierre menemukan jalannya. Di lautan yang dingin, di antara jeritan pelaut yang sakit, ia menemukan panggilannya. Ia akan mempelajari gigi. Ia akan melawan ketidaktahuan.

Ia akan menjadi sesuatu yang bahkan belum memiliki nama:

seorang dokter gigi.

Apa yang ia mulai di Saint-Denis akan menjadi bara yang membakar sisa hidupnya.

Apa yang ia mulai dari luka akan menjadi warisan bagi dunia.

Pierre Fauchard mungkin belum tahu bahwa suatu hari namanya akan dikenang, bukan hanya sebagai seorang penyelamat senyum, tetapi sebagai Bapak Kedokteran Gigi Modern.

Dan semuanya berawal dari rasa sakit yang tak pernah disembuhkan.

Lautan Penyakit dan Ilmu

Langit di atas laut lepas selalu menyimpan dua wajah: satu wajah yang membentang damai biru keperakan, dan satu lagi yang menyimpan amarah badai di balik tenangnya.

(46)

46 Pierre Fauchard belajar menerima keduanya saat ia menginjakkan kaki di dek kapal angkatan laut Prancis, La Providence.

Kapal kayu itu bukan sekadar kendaraan yang membawanya ke negeri asing. Bagi Pierre, kapal itu adalah universitas terapung, laboratorium di tengah ombak, tempat ia pertama kali melihat penderitaan yang tak tertulis dalam buku-buku yang terbatas di Saint-Denis.

Di setiap sudut kapal, ia menemukan pasien yang sama: pelaut- pelaut dengan gusi berdarah, gigi rontok, bau busuk dari mulut yang membusuk. Mereka batuk darah, mengerang sepanjang malam, memohon agar gigi mereka dicabut agar sakitnya hilang.

Namun pencabutan itu seringkali bukan solusi. Mereka tetap lemah, tetap mati perlahan.

Jean Baptiste, dokter yang menjadi mentornya, memandang semua itu dengan getir.

"Kita seperti berperang melawan musuh tak kasat mata, Pierre.

Kita tahu cara menyembuhkan luka di kaki, kita tahu cara membalut dada yang robek. Tapi mulut… mulut adalah wilayah tak bertuan."

(47)

47 Pierre memandang satu demi satu pelaut yang sekarat. Gusi bengkak, wajah mengerikan, tubuh yang mengurus dan membusuk dari dalam.

Mereka seperti mayat yang menunggu giliran dilempar ke laut.

"Apa ini… skorbut?" tanya Pierre, mencoba menautkan antara luka yang ia lihat di Saint-Denis dengan penderitaan di atas kapal.

"Sebagian besar. Tapi bukan hanya skorbut. Infeksi. Penyakit mulut. Mereka makan asin kering berbulan-bulan, tak ada buah, tak ada sayur. Tapi lebih dari itu, Pierre, mereka tak tahu bagaimana menjaga mulut mereka. Mereka bahkan tak mengerti mulut bisa membunuh mereka."

Kata-kata itu terpatri di benak Pierre. Ia mulai mencatat, mengamati, dan bertanya lebih banyak. Setiap luka, setiap bau busuk, setiap jeritan pelaut ia tulis dalam buku kecilnya.

Ia menyadari: tidak ada satu pun teori resmi yang benar-benar memedulikan gigi. Semua tabib agung hanya peduli pada jantung, paru-paru, dan organ yang mereka anggap lebih mulia.

Gigi? Hanya dianggap remah-remah tulang tak berarti.

(48)

48 Namun Pierre melihat sebaliknya. Ia melihat mulut sebagai pintu masuk kematian. Ia melihat gigi yang rontok sebagai awal kehancuran tubuh.

Suatu sore, ketika kapal berlabuh di Brest, Jean Baptiste mengajak Pierre mengunjungi klinik angkatan laut setempat. Di sana, Pierre diperlihatkan ruang gelap tempat tukang gigi keliling beroperasi.

Mereka mencabut gigi dengan tang, menancapkan alat logam besar ke mulut pasien, tanpa anestesi, tanpa teknik. Hanya kekerasan dan darah.

Pelaut-pelaut itu menjerit, berguling, menangis seperti anak kecil. Malam-malam panjang di atas kapal menjadi ruang belajar rahasia bagi Pierre. Ia menghafal susunan gigi, mempelajari berbagai penyakit mulut, dan perlahan mulai memahami bahwa apa yang dianggap sepele bisa menghancurkan kehidupan seseorang.

Beberapa prajurit mulai memanggilnya "bocah dokter gigi", kadang dengan tawa mengejek, kadang dengan rasa hormat yang

(49)

49 tersembunyi. Tapi Pierre tak peduli. Baginya, pengetahuan yang ia dapatkan jauh lebih berharga dari semua celaan itu.

Suatu hari, setelah membantu mencabut gigi seorang perwira, Pierre berkata, "Aku tak ingin hidup hanya untuk mencabut. Aku ingin menemukan cara agar orang-orang tidak perlu kehilangan giginya."

Pierre menggigil, bukan karena jijik, melainkan karena marah.

"Mengapa mereka memperlakukan mulut seperti ini? Seolah- olah bukan bagian dari manusia?"

Jean Baptiste menatapnya lama. "Karena gigi dianggap sampah.

Mereka pikir, yang penting sakitnya hilang. Tak ada yang mau tahu cara memperbaiki, mereka hanya ingin mencabut dan membuang."

Pierre mengepalkan tinjunya. Ia tahu saat itu bahwa mencabut bukan jawaban. Sesuatu di dalam dirinya menuntut lebih: bukan sekadar menghilangkan rasa sakit, tetapi mencari cara untuk menyelamatkan gigi. Sesuatu yang belum pernah diimpikan orang lain.

Setiap pelabuhan yang disinggahi La Providence menjadi halaman baru bagi Pierre.

(50)

50 Ia mempelajari kebiasaan pelaut di Portugal, mengamati pengobatan lokal di Inggris, mencatat perbedaan cara masyarakat Arab menjaga kesehatan mulut mereka.

Ia mulai membuat sketsa alat-alat sederhana: kawat, tang modifikasi, bahkan konsep tambalan dari bahan logam lunak yang ia temukan bersama Louis, tukang besi muda yang menjadi sahabatnya di Brest.

"Pierre, kau mau apa dengan kawat ini? Ini alat untuk memperbaiki roda kapal, bukan mulut manusia," tanya Louis sambil tertawa.

Pierre menggeleng. "Tidak, Louis. Aku rasa kita bisa menahan gigi yang goyah, kita bisa memperbaikinya tanpa harus mencabutnya. Aku ingin mencoba."

Mereka mulai bereksperimen, diam-diam, karena di dunia itu, siapa yang peduli pada kesehatan gigi? Tukang gigi jalanan, tukang cukur, bahkan pedagang keliling—merekalah yang dianggap cukup layak mengurusi gigi.

Sementara Pierre bermimpi menempatkan gigi dalam ranah ilmu yang lebih tinggi: ranah kedokteran.

(51)

51 Namun setiap ide baru, setiap alat yang ia ciptakan, selalu mendapat ejekan dari para senior. Mereka menganggap Pierre terlalu ambisius, terlalu berani mengutak-atik sesuatu yang sudah dianggap tak penting.

"Kau ini siapa, Pierre? Bocah miskin dari Saint-Denis, bukan dokter dari universitas Paris!" hardik seorang perwira medis senior saat Pierre mengajukan usulan perawatan non- pencabutan dalam rapat medis kapal.

Namun Pierre tidak gentar.

"Justru karena aku bocah miskin dari Saint-Denis, aku tahu betapa mahalnya kehilangan. Karena aku kehilangan ayahku oleh sesuatu yang kalian anggap remeh."

Ruangan hening. Tak ada yang menjawab. Mereka menganggap Pierre hanya angin lalu. Namun di dalam dirinya, bara sudah menyala.

Suatu malam, ketika kapal bersandar lama di Brest, Jean Baptiste memanggil Pierre ke kabinnya.

(52)

52 Di atas meja, terhampar beberapa buku tua tentang anatomi yang langka, dan beberapa catatan pribadi.

"Kau sudah tak bisa tinggal di sini, Pierre. Ilmumu tak akan berkembang di atas kapal. Kau harus kembali ke darat, ke Paris, ke tempat di mana kau bisa menulis, menciptakan, dan melawan."

"Mereka membenciku, Jean. Mereka menganggap aku melampaui batas."

Jean Baptiste tersenyum kecil. "Itu artinya kau sedang di jalur yang tepat. Orang-orang takut pada apa yang belum mereka pahami."

Ia menyerahkan satu buku catatan lusuh pada Pierre. "Ini catatanku tentang kesehatan mulut yang kukumpulkan selama pelayaranku. Gunakanlah. Teruskan apa yang aku mulai. Aku sudah terlalu tua, Pierre. Tapi kau masih punya waktu untuk menyalakan obor di tengah kegelapan."

Pierre menerima buku itu dengan tangan bergetar. Ia memeluk mentornya dalam diam. Malam itu, ia memutuskan: ia akan kembali ke daratan, membangun ilmunya, dan menulis buku yang kelak akan mengguncang dunia medis.

(53)

53 Namun ia juga tahu, jalan yang terbentang di hadapannya tidak mudah. Ia harus melawan generasi tabib yang konservatif, menghadapi tawa merendahkan dari para akademisi, dan bertarung melawan sistem yang sudah ratusan tahun meminggirkan kesehatan mulut.

Tapi Pierre Fauchard bukan lagi bocah Saint-Denis yang takut pada dunia. Ia kini adalah bara kecil yang siap menjadi api.

Dan ia tahu satu hal pasti: perjuangan ini belum dimulai.

Perjalanan panjangnya baru saja membuka halaman pertama.

Jean Baptiste: Mentor Lautan

Angin pelabuhan Brest masih terasa asin saat Pierre Fauchard mengemasi barang-barangnya. Setelah bertahun-tahun mengarungi lautan, ia memutuskan turun dari La Providence untuk mengikuti pesan terakhir mentornya: kembalilah ke daratan, dan mulailah menulis sejarah.

Namun sebelum kapal itu berangkat meninggalkannya, Jean Baptiste memanggil Pierre ke geladak, di tengah hiruk-pikuk

(54)

54 pelaut yang bersiap. Di tangan Jean Baptiste, ada sebuah kotak kecil berbalut kulit cokelat tua.

"Ini bukan warisan besar, Pierre," katanya sambil menyerahkan kotak itu. "Hanya alat-alat sederhana yang kubuat sendiri. Tapi siapa tahu, mungkin kau bisa memperbaikinya."

Pierre membukanya dengan hati bergetar. Di dalamnya ada tang gigi, pengait logam, silet kecil, dan kawat tipis. Semuanya usang, tapi Pierre melihat sesuatu yang lebih dari sekadar alat. Ia melihat permulaan.

"Kenapa kau percaya aku bisa melanjutkan ini, Jean? Kau lebih berpengalaman, lebih dihormati."

Jean Baptiste memandang Pierre dalam-dalam. "Karena aku sudah cukup melihat. Tapi kau… kau masih cukup muda untuk mengubah sesuatu. Kau punya kegigihan yang aku dulu miliki, tapi sudah hilang."

Sejenak mereka terdiam. Deburan ombak, teriakan pelaut, dan decit tali layar menjadi musik latar yang sendu.

"Jangan takut pada tawa mereka, Pierre. Ilmu selalu lahir dari ejekan," tambah Jean.

(55)

55

"Suatu hari, mereka akan memanggilmu orang gila. Biarkan saja.

Itu tanda bahwa kau berada di jalur yang benar."

Pierre menunduk, menahan gejolak yang memenuhi dadanya.

"Aku akan membuatmu bangga, Jean."

"Kau tak perlu membuatku bangga. Buatlah mereka tersenyum kembali. Itu cukup."

Kapal pun berlayar, perlahan menghilang di cakrawala, meninggalkan Pierre sendirian di pelabuhan Brest. Ia memeluk kotak kecil itu seolah memeluk seluruh warisan gurunya.

Meninggalkan Kapal, Kembali Ke Daratan

Beberapa tahun berlalu sejak Pierre Fauchard meninggalkan kapal Royal Louis. Beberapa tahun berlalu. Pierre Fauchard kini berusia dua puluh dua tahun. Ia kembali menginjakkan kaki di daratan Perancis dengan satu tekad: mengubah pandangan dunia tentang kesehatan gigi.

Di dermaga, ia disambut pelukan ibunya yang mulai menua.

Matanya berkaca-kaca melihat anaknya yang kini bukan lagi bocah lemah, melainkan pria muda dengan tatapan penuh keyakinan.

(56)

56 Ia kembali ke daratan dengan bekal pengalaman, tetapi masih haus akan ilmu. Ia tahu, menjadi seorang tabib sejati membutuhkan lebih dari sekadar melihat luka—ia harus memahami manusia.

Setelah beberapa tahun, Pierre meninggalkan angkatan laut. Tapi ia tidak pulang untuk beristirahat. Ia membawa pulang satu hal yang tak pernah ia dapatkan sebelumnya: rasa ingin tahu yang menyala-nyala.

Pierre mulai mencari. Ia belajar dari siapa saja yang bersedia mengajarinya: tukang cukur, ahli bedah jalanan, bahkan tukang gigi keliling yang sering dipandang sebelah mata. Ia membaca buku-buku tua yang penuh debu, mencoba memahami anatomi manusia yang saat itu masih misterius bagi banyak orang.

Dunia medis saat itu memegang teguh satu keyakinan: sakit gigi disebabkan oleh cacing gigi. Mereka percaya bahwa makhluk kecil itu hidup di dalam rongga gigi dan menyebabkan rasa sakit.

Keyakinan yang sudah ratusan tahun dipercaya turun-temurun.

Tapi Pierre Fauchard mulai curiga. Ia tak menemukan bukti cacing itu, meski ia sudah memeriksa dengan seksama. Ia mulai meragukan ilmu yang selama ini diterima begitu saja.

(57)

57

“Bagaimana mungkin manusia yang cerdas menelan keyakinan seperti itu tanpa bertanya lebih jauh?” pikirnya. Pierre mulai menulis catatan, mencoba merumuskan teori yang masuk akal.

Namun jalan yang ia pilih bukanlah jalan yang mulus. Ia menghadapi cibiran, ejekan, dan tatapan sinis dari para dokter senior.

“Siapa kau, Fauchard? Bukan dari universitas. Kau hanyalah mantan pelaut,” kata mereka dengan nada merendahkan.

Pierre tahu, mereka tidak benar-benar menolak gagasannya.

Mereka menolak dirinya—seseorang yang bukan bagian dari kalangan mereka. Dunia tidak selalu adil bagi orang kecil, tapi Pierre tidak menyerah.

Ia terus bekerja, meneliti, dan menulis. Ia yakin, pena yang ia genggam mampu menembus tembok keangkuhan.

Di tengah kesepiannya, Pierre mengenang masa kecilnya. Ia teringat ibunya yang selalu berkata,

“Pierre, orang kecil seperti kita mungkin tak akan diingat dunia.

Tapi jika kau bisa menyembuhkan satu orang saja, hidupmu sudah cukup berarti.”

(58)

58 Dan Pierre tahu, ia tidak sedang menulis untuk kemasyhuran. Ia menulis untuk para pelaut yang kesakitan. Ia menulis untuk anak-anak yang menangis karena gigi mereka busuk. Ia menulis untuk orang-orang kecil yang suaranya selama ini tak terdengar.

Pada malam itu, di bawah cahaya lilin yang redup, ia menulis satu kalimat pembuka di bukunya:

"Tidak ada penyakit yang terlalu kecil untuk diabaikan. Tidak ada penderitaan yang layak dianggap sepele."

Tanpa ia sadari, malam itu ia memulai perjalanan yang akan mengubah dunia.

Melawan Arus

Setelah meninggalkan kapal militer, Pierre tidak berdiam diri. Ia berguru pada siapa saja yang bersedia mengajarinya. Ia membaca naskah-naskah lama, belajar dari para tukang gigi jalanan, bahkan mengamati ahli bedah dan tukang cukur yang kala itu juga bertindak sebagai “dokter gigi.”

Dunia medis saat itu menganggap gigi hanyalah urusan sepele.

Banyak yang percaya bahwa sakit gigi disebabkan oleh “cacing gigi”—mitos yang tak terbantahkan pada masa itu.

(59)

59 Tapi Pierre Fauchard tak percaya begitu saja. Ia mengamati, membedah, menulis, dan mencoba mematahkan mitos yang sudah mendarah daging.

“Aku tidak ingin menjadi peniru,” gumamnya suatu malam sambil menulis di atas meja kayu reyot. “Aku ingin menjadi pelopor.”

DI KOTA ANGERS

Pierre menetap di Angers dan memulai praktik kecilnya. Tapi kabar tentang dirinya cepat menyebar.

“Dia bukan dokter sungguhan!” seru seorang tabib senior di alun-alun. “Apa gunanya mempelajari gigi? Itu pekerjaan kasar, cukup bagi tukang cukur atau tukang besi!”

Pierre tetap berdiri tegak. Ia mendatangi para dokter tua yang menertawakannya, membawa catatan dan hasil pengamatannya di atas kapal.

“Apakah kalian tahu,” katanya lantang di pertemuan medis,

“bahwa infeksi gusi bisa menyebar ke jantung? Bahwa sakit gigi yang kalian anggap remeh bisa membunuh seorang prajurit?”

(60)

60 Salah satu dokter mengejek. “Anak muda, kau mengada-ada!

Kami sudah berpraktik sebelum kau lahir. Siapa kau, berani- beraninya mengajari kami?”

Pierre menahan amarahnya. Ia tahu, perang yang sedang ia hadapi bukan melawan penyakit, tapi melawan kebodohan dan kesombongan.

Setiap hari, ia terus menerima pasien. Ia mulai bereksperimen. Ia menambal gigi dengan logam yang lebih halus, membersihkan lubang dengan peralatan sederhana yang ia modifikasi sendiri.

Suatu hari, seorang gadis kecil dibawa ibunya ke ruang praktik Pierre. Wajahnya pucat, tubuhnya lemas.

“Dia sudah tak mau makan, Tuan,” kata sang ibu.

“Setiap kali mengunyah, dia menangis kesakitan.”

Pierre memeriksa gusi gadis itu. Ada infeksi parah yang hampir merusak seluruh rahangnya.

“Kita bisa menyelamatkan giginya,” kata Pierre pelan.

Ibunya terkejut. “Bukankah harus dicabut?”

(61)

61

“Tidak. Aku ingin mencoba sesuatu.”

Dengan tangan gemetar tapi penuh keyakinan, Pierre membersihkan lubang gigi, menambalnya dengan hati-hati, dan memberikan obat kumur racikannya sendiri.

Beberapa hari kemudian, sang ibu datang kembali, meneteskan air mata. “Dia sudah bisa makan, Tuan. Dia tersenyum lagi.”

Pierre menatap gadis kecil itu, yang kini memamerkan senyum cerahnya. Itu adalah kemenangan pertamanya.

Namun, kemenangan kecil itu tak membuat hidupnya mudah.

Suatu sore, Pierre diserbu oleh sekelompok tukang cukur yang merasa tersaingi.

“Kau mencuri pekerjaan kami, bocah sombong!” bentak salah satu dari mereka.

“Aku tidak mencuri pekerjaan. Aku menciptakan ilmu baru,”

jawab Pierre tegas.

Mereka mencemooh, “Kau pikir kau siapa? Dunia tidak butuh dokter gigi! Dunia butuh tangan kuat yang mencabut gigi, bukan buku tebal yang tak berguna!”

(62)

62 Pierre menatap mereka dengan tajam. “Suatu hari nanti, kalian akan tahu bahwa pekerjaan kalian bukanlah mencabut, tapi menyelamatkan. Dan jika kalian tak ingin belajar, maka kalian akan ditinggalkan oleh zaman.”

Pierre mulai menulis. Malam-malamnya dihabiskan dengan pena dan lampu minyak. Ia menuliskan setiap temuannya, menggambar anatomi gigi, merancang alat-alat baru.

Ibunya sering melihatnya begadang, matanya sembab, tangannya gemetar karena kelelahan.

“Pierre, kau butuh istirahat.”

“Tunggu, Ibu… Aku hampir selesai menjelaskan tentang gigi seri.

Ini penting…”

“Mengapa kau begitu keras pada dirimu sendiri, Nak?”

Pierre menatap ibunya dengan lembut. “Karena aku ingin dunia berubah. Karena aku tak ingin ada lagi orang yang harus menangis karena rasa sakit yang seharusnya bisa dicegah.”

(63)

63 Dalam perjalanan pulangnya dari pasar, Pierre berpapasan dengan seorang tabib senior yang dulu pernah menertawakannya.

“Bagaimana kabar prakteknya, anak muda? Masih menulis buku tentang gigi?”

“Masih, Tuan.”

“Apakah kau pikir ada yang mau membacanya?”

Pierre tersenyum kecil. “Kalau bukan untuk mereka yang hidup hari ini, maka untuk mereka yang hidup esok.”

Tabib itu terdiam, lalu melangkah pergi tanpa sepatah kata.

Pierre menggenggam erat naskah buku. Ia tahu, jalannya masih panjang. Tapi ia juga tahu, ia tak lagi berjalan sendirian. Ia telah menemukan rahasia mulut manusia, dan kini ia membawa kunci untuk membukakan mata dunia.

Langit Angers mendung ketika Pierre melangkahkan kaki ke balai medis kota, membawa naskah awal dari buku yang tengah

(64)

64 ia susun. Di tangannya tergenggam puluhan lembar tulisan tangan—skema gigi, penjelasan anatomi mulut, dan metode perawatan baru yang ia temukan.

Di dalam ruangan itu, duduk para dokter, ahli bedah, dan perwakilan serikat tukang cukur. Mereka berkumpul dalam rapat tahunan untuk membahas perkembangan ilmu kedokteran.

Ketika Pierre berdiri di depan mereka, sunyi menyelimuti ruangan.

"Aku datang bukan untuk menantang," ujar Pierre. "Aku datang membawa pengetahuan baru, hasil pengamatan bertahun-tahun.

Mulut manusia, gigi, lidah, dan gusi… semua itu adalah bagian penting dari tubuh kita. Mereka layak dipelajari, dirawat, dan dihormati seperti bagian tubuh lainnya."

Seorang dokter tua berdiri, suara beratnya memecah kesunyian.

"Anak muda… kau ingin memisahkan gigi dari tangan tukang cukur? Siapa kau?"

Pierre menjawab tenang, "Aku bukan siapa-siapa. Tapi aku melihat terlalu banyak penderitaan karena ketidaktahuan. Sakit

(65)

65 gigi membunuh pelan-pelan. Dan tidak ada yang mau mencatatnya."

Sorak sinis terdengar dari sudut ruangan.

"Jangan sok ilmiah!" seru seorang tukang cukur. "Kami sudah mencabut ribuan gigi tanpa teori macam-macam!"

Pierre melangkah ke meja, mengeluarkan alat-alat yang ia rancang sendiri: cermin mulut kecil, tang presisi, kawat tipis untuk pembersih karang gigi.

"Ini bukan tentang siapa lebih lama bekerja. Ini tentang siapa yang ingin menyembuhkan, bukan sekadar mencabut. Aku membuat alat ini bukan untuk menggantikan kalian, tapi untuk meningkatkan kita semua."

Salah satu dokter muda tampak tertarik. "Kau benar. Aku pernah kehilangan pasien karena infeksi gusi. Tak ada yang tahu harus berbuat apa."

Pierre tersenyum kecil, tapi kemudian suara keras datang dari ketua serikat. "Ini berbahaya! Kalau kita izinkan gagasan ini berkembang, maka semua tukang cukur akan kehilangan kuasa

(66)

66 mereka. Dan apa selanjutnya? Bocah-bocah seperti dia akan mencampuri kedokteran!"

Ruangan menjadi panas. Sebagian bergumam setuju, yang lain mulai ragu. Tapi Pierre berdiri tegak.

"Aku tidak ingin merebut kuasa. Aku ingin menyelamatkan nyawa. Ilmu pengetahuan tidak memilih siapa yang boleh tahu.

Ia hanya menuntut keberanian untuk mencari."

Beberapa hari setelah pertemuan itu, Pierre mendapati jendela ruang praktiknya dipecahkan. Seseorang melempar batu dengan pesan yang tertulis kasar:

“Berhenti sebelum kau kehilangan segalanya.”

Ibunya panik. “Pierre, ini sudah terlalu berbahaya. Mungkin…

kau harus berhenti menulis.”

Pierre memungut pecahan kaca.

“Kalau aku berhenti sekarang, maka orang-orang itu menang.

Dan lebih buruk dari mereka—rasa takut menang.”

(67)

67 Ia tetap menulis. Ia memperbaiki jendela. Ia menerima pasien setiap hari, seringkali tanpa dibayar. Kabar tentang keberhasilannya menyembuhkan infeksi mulut tanpa pencabutan mulai menyebar dari mulut ke mulut.

Suatu pagi, seorang pria tua berdiri di depan praktiknya.

Tubuhnya kurus, matanya redup.

“Aku… dengar kau bisa menyelamatkan gigi, bukan mencabutnya?”

Pierre mengangguk. “Saya akan mencoba, Tuan.”

Setelah pemeriksaan, ia menemukan gigi belakang pria itu rusak parah tapi belum perlu dicabut.

Ia membersihkan lubangnya, menambalnya dengan campuran timah yang ia panaskan sendiri. Beberapa hari kemudian, pria itu kembali. Ia tersenyum, memamerkan gigi yang masih utuh.

“Saya… bisa mengunyah lagi. Terima kasih.”

Pierre menatap langit. Di balik semua penolakan dan ancaman, ada satu kebenaran yang ia yakini: bahwa ilmu pengetahuan yang tulus akan selalu menemukan jalannya.

(68)

68 Malam-malam panjang menjadi sahabat Pierre Fauchard.

Sementara kota Angers terlelap, ia duduk di meja kayu yang sudah mulai reyot, dengan sebatang lilin yang perlahan habis dimakan waktu.

Tumpukan kertas, coretan anatomi gigi, dan diagram alat-alat kedokteran gigi memenuhi ruang sempitnya.

Tangannya lelah, matanya perih, tapi pikirannya terus bergolak.

Ia tahu, tulisannya bukan sekadar catatan pribadi—ini adalah perang melawan ketidaktahuan.

Suatu malam, ibunya membawakannya semangkuk sup hangat.

"Pierre, kapan kau terakhir tidur dengan tenang?"

Ia tersenyum, meletakkan pena. "Nanti, Ibu. Aku hampir selesai menjelaskan metode pembersihan karang gigi."

Ibunya duduk di sisi meja, menatap naskah yang mulai tebal.

"Kenapa kau memaksakan dirimu, Nak? Kau bisa saja hidup nyaman jika berhenti di sini."

(69)

69 Pierre menatap jauh ke luar jendela.

"Aku sudah melihat terlalu banyak orang menderita karena kebodohan. Kalau aku berhenti, siapa lagi yang akan menulis ini?"

Ibunya terdiam. Dalam hatinya, ia bangga, tapi juga takut—takut pada dunia yang belum siap menerima anaknya.

Kabar tentang tulisan Pierre mulai menyebar.

Sebagian dokter muda diam-diam datang padanya, meminjam naskah, membaca dengan penuh rasa ingin tahu.

Namun, tak semua menyambut hangat.

Tukang cukur kehilangan pasien.

Mereka mulai menuduh Pierre merebut pekerjaan mereka.

Mereka mendatangi para pejabat, meminta Pierre dihentikan.

Suatu siang, seorang pria berjubah rapi—utusan dari serikat tukang cukur—mendatangi praktik Pierre.

Referensi

Dokumen terkait

Ferizal merupakan manusia pertama di sepanjang sejarah yang menjadi PENGGAGAS Inovasi “Kampung Cyber PHBS Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia” (SANDOGI)… Sejarah

Ferizal merupakan “Sang Pelopor Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia”. Telah menerbitkan 14 novel mempesona tentang Dokter Gigi. Total ada 18 buku sastra dan 2 buku ilmiah diterbitkan berkaitan dengan bidang Kedokteran Gigi. Ferizal “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia”, dikenal karena upayanya mengintegrasikan sastra dengan 7 Inovasi Promosi Kesehatan Digital. Keunggulan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia ada pada integrasi dengan Inovasi Promosi Kesehatan

Ferizal merupakan “Sang Pelopor Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia”. Telah menerbitkan 14 novel mempesona tentang Dokter Gigi. Total ada 18 buku sastra dan 2 buku ilmiah diterbitkan berkaitan dengan bidang Kedokteran Gigi. Ferizal “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia”, dikenal karena upayanya mengintegrasikan sastra dengan 7 Inovasi Promosi Kesehatan Digital. Keunggulan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia ada pada integrasi dengan Inovasi Promosi Kesehatan

Ferizal “Sang Pelopor Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia” dan Ferizal “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia” . Sastra Promosi Kesehatan adalah upaya mengintegrasikan sastra dengan inovasi Promosi Kesehatan Digital. Ferizal adalah “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia” . Ferizal merupakan ‘Sang Pelopor Sastra Novel Dokter Gigi Indonesia’, karya-karya Beliau beraliran Romantisme Aktif, juga beraliran Filsafat Intuisionisme. Beliau telah menerbitkan 14 novel mempesona tentang Dokter Gigi. Total ada 18 buku sastra dan 2 buku ilmiah yang pernah diterbitkan oleh ASN Pemerintah Kota Lhokseumawe ini. . Ferizal The Pioneer of Indonesian Health Promotion Literature : FERIZAL SANG PELOPOR SASTRA PROMOSI KESEHATAN INDONESIA . Ferizal “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia”, dikenal karena upayanya dalam mengintegrasikan sastra dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital. Keunggulan Sastra Promosi Kesehatan Indonesia ada pada integrasi dengan Inovasi Promosi Kesehatan Digital atas nama Ferizal. . Ada 7 Inovasi Promosi Kesehatan Digital yang telah terintegrasi dengan Ferizal “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia” : 1. Inovasi TV Saka Bakti Husada : TV Puskesmas Indonesia 2. Inovasi TV Promkes Bergerak Keliling 3. Inovasi Kampung Cyber PHBS Sandogi 4. Inovasi TV Fana SPM Kesehatan Puskesmas 5. Inovasi Layanan Kader Kelas Digital Untuk SPM Kesehatan Puskesmas 6. Inovasi Kampung Gerimis ( Gerakan Intervensi Imunisasi Melalui Inisiasi Serentak ) 7. Inovasi Ana Maryana ( Ajak Anak Merawat Diri Yang Paripurna ) . . Untuk mendukung Pelayanan Publik BANGGA MELAYANI BANGSA berbasis Identitas Personal Branding Unggul Nasional : Sastra Promosi Kesehatan adalah upaya mengintegrasikan sastra dengan inovasi promosi kesehatan digital. Ferizal adalah “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia” . Ferizal “Sang Pelopor Sastra Promosi Kesehatan Indonesia”, dikenal karena upayanya dalam mengintegrasikan sastra dengan Inovasi Promosi Kesehatan

Trilogy Ana Maryana + Ferizal's Love Dwilogy :: Ferizal The Pioneer of Indonesian Health Promotion Literature FERiZAL "THE PIONEER OF INDONESIAN HEALTH PROMOTION LITERATURE" Author of the ANA MARYANA Trilogy FERiZAL “SANG PELOPOR SASTRA PROMOSI KESEHATAN INDONESIA” Penulis Trilogi ANA MARYANA 1. Ana Maryana : A Classic Love Story ( Ferizal Responds to Anna Karenina by Leo Tolstoy ) 2. The Love Story of Ferizal and Ana Maryana in Indonesia 2045 – 2087 3. My love Doctor Ana Maryana on 100 years of Indonesian Independence . . FERiZAL "THE PIONEER OF INDONESIAN HEALTH PROMOTION LITERATURE" Author of the Ferizal's Love Dwilogy FERiZAL “SANG PELOPOR SASTRA PROMOSI KESEHATAN INDONESIA” Penulis Dwilogi Cinta Ferizal 1. Journey of the Soul Towards Love ( Answering the Novel War and Peace by Leo Tolstoy ). Ferizal "THE PIONEER OF INDONESIAN HEALTH PROMOTION LITERATURE" Author of the ANA MARYANA Trilogy 2. The Rain That Holds the Name of Ana Maryana ( Answering Broken Wings by Kahlil Gibran ) : Hujan Yang menyimpan Nama Ana Maryana ( Menjawab Sayap Sayap Patah karya Kahlil Gibran

Ferizal's Love Dwilogy + Trilogy Ana Maryana :: Ferizal The Pioneer of Indonesian Health Promotion Literature Trilogy Ana Maryana + Ferizal's Love Dwilogy :: Ferizal The Pioneer of Indonesian Health Promotion Literature FERiZAL "THE PIONEER OF INDONESIAN HEALTH PROMOTION LITERATURE" Author of the ANA MARYANA Trilogy FERiZAL “SANG PELOPOR SASTRA PROMOSI KESEHATAN INDONESIA” Penulis Trilogi ANA MARYANA 1. Ana Maryana : A Classic Love Story ( Ferizal Responds to Anna Karenina by Leo Tolstoy ) 2. The Love Story of Ferizal and Ana Maryana in Indonesia 2045 – 2087 3. My love Doctor Ana Maryana on 100 years of Indonesian Independence . . FERiZAL "THE PIONEER OF INDONESIAN HEALTH PROMOTION LITERATURE" Author of the Ferizal's Love Dwilogy FERiZAL “SANG PELOPOR SASTRA PROMOSI KESEHATAN INDONESIA” Penulis Dwilogi Cinta Ferizal 1. Journey of the Soul Towards Love ( Answering the Novel War and Peace by Leo Tolstoy ). Ferizal "THE PIONEER OF INDONESIAN HEALTH PROMOTION LITERATURE" Author of the ANA MARYANA Trilogy 2. The Rain That Holds the Name of Ana Maryana ( Answering Broken Wings by Kahlil Gibran ) : Hujan Yang menyimpan Nama Ana Maryana ( Menjawab Sayap Sayap Patah karya Kahlil Gibran

In the Embrace of The Puskesmas : A Love Literature. The Work of Ferizal, Author of the Puskesmas Trilogy ( Dalam Pelukan Puskesmas: Sebuah Sastra Cinta. Karya Ferizal, Penulis Trilogi Puskesmas ) Judul Buku : In the Embrace of The Puskesmas : A Love Literature. The Work of Ferizal, Author of the Puskesmas Trilogy( Dalam Pelukan Puskesmas: Sebuah Sastra Cinta. Karya Ferizal, Penulis Trilogi Puskesmas ) Penulis / Editor : Ferizal QRCBN : 62-6418-7327-144 https://www.qrcbn.com/check/62-6418-7327-144 Pembuat Sampul : Ferizal Jumlah Halaman : 200 Jenis Penerbitan : PT. TV FANA SPM KESEHATAN PUSKESMAS Edisi :

Novel Tentang Kehidupan Pierre Fauchard, karya Ferizal Sang Pelopor Sastra Kedokteran Gigi Indonesia : A novel about the life of Pierre Fauchard Judul Buku : Novel Tentang Kehidupan Pierre Fauchard, karya Ferizal Sang Pelopor Sastra Kedokteran Gigi Indonesia : A novel about the life of Pierre Fauchard Penulis / Editor : Ferizal QRCBN : 62-6418-9288-164 https://www.qrcbn.com/check/62-6418-9288-164 Pembuat Sampul : Ferizal Jumlah Halaman : 236 Jenis Penerbitan : PT. TV FANA SPM KESEHATAN PUSKESMAS Edisi : 24-6-2025 Sinopsis Novel ini : Melalui novel ini, Ferizal membawa kita menyusuri lorong waktu abad ke-18, mengenal Pierre sebagai manusia yang berani melawan tradisi, menembus batasan ilmu, dan memperjuangkan kesehatan dengan pena dan keyakinan. Sebuah kisah yang bukan hanya tentang gigi, tetapi tentang keberanian, cinta, dan pengabdian yang menginspirasi generasi. Pierre memulai perjalanan sunyi untuk menemukan cara baru. Tanpa gelar megah dan tanpa dukungan akademi, ia menulis Le Chirurgien Dentiste—sebuah buku yang menantang tradisi dan membuka babak baru dalam kedokteran gigi. Perjalanan Pierre dipenuhi cemooh, ancaman, dan pengkhianatan. Ia menghadapi bukan hanya musuh yang terlihat, tetapi juga rasa takut dan kesendirian yang menghantui langkahnya. Namun dalam setiap luka, Pierre menemukan cahaya kecil: senyum orang-orang kecil yang diselamatkannya. Bersama muridnya, Louis Gervais, Pierre membuktikan bahwa ilmu bukan milik segelintir orang berkuasa. Ilmu adalah hak setiap manusia yang ingin hidup tanpa rasa sakit. Meski ia berjalan dalam sunyi, warisan Pierre perlahan menembus batas negara dan zaman. Novel ini berlatar kisah nyata yang dibalut dengan narasi fiksi historis yang emosional. Pierre Fauchard Bapak Kedokteran Gigi Modern, beliau berjuang dari nol hingga mengubah sejarah Kedokteran