• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tugas Ekologi Hutan Niechi

N/A
N/A
Himihimi

Academic year: 2024

Membagikan " Tugas Ekologi Hutan Niechi"

Copied!
2
0
0

Teks penuh

(1)

Kegagalan penerapan Sistem Silvikultur diawali oleh adanya aktivitas pengusahaan hutan yang diawali dengan UU. No. 1 Tahun 1967 tentang PMA (Penanaman Modal Asing) dan UU no. 6 Tahun 1968 (Penanamana Modal Dalam Negeri) yang memebri hak pengusahaan hutan selama jangka waktu 20-35 tahun. Akibatnya telah terjadi penurunan areal dan produktivitas hutan tropis Indonesia yang berakibat jumlah kayu untuk siklus tebang kedua mengalami penurunan dari apa yang diharapkan. Hal ini disebabkan karena ketidakakuratan perhitungan AAC (jatah tebangan tahunan) dilakukan dengan menghitung volume kayu komersial hasil inventarisasi x factor eksploitasi (0.7,0.8) x factor keamanan (0.8) dibagi dengan panjang rotasi, sehingga terjadi overcutting pemanenan terutama pada jenis komersial dan ukuran diameter pohon besar, tentunya tidak didasarkan pada karakterisitik areal setempat yang sangat berkaitan pada daya dukung (carrying capacity) dan kelenturan ekotipe hutan tersebut untuk kembali.

Selain itu, asumsi bahwa pertumbuhan kembali hutan setelah pemanenan sebesar 1 m3 Ha/tahun, sehingga memberi hasil sebesar 35 m3/ha pada akhir siklus. Namun demikian, ini merupakan taksiran tingkat pertumbuhan yang berlebihan, dan tidak memperhatikan aspek kematian (mortalitas) alami. Hutan tidak tumbuh secepat seperti yang diasumsikan. Selanjutnya, Perhitungan taksiran hasil untuk siklus kedua tidak memperhatikan kerusakan berarti yang terjadi pada tegakan sisa akibat penebangan. Praktek pemanenan yang kurang baik mengakibatkan pembukaan tajuk dan meningkatkan persaingan antara jenis kayu komersial dengan jenis yang senang dengan cahaya. Belum banyak upaya dilakukan untuk mengurangi kerusakan akibat penebangan, sehingga mengakibatkan penurunan kualitas dan areal hutan.

Selain itu penyebab kemunduran produktivitas hutan disebabkan karena adanya ketidakseimbangan ekosistem terjadi (homeostatis ekosistem) melalui penggantian unsure hara natural dan factor penyeimbangnya digantikan dengan pupuk kimia, tanpa disadari inilah yang menyebabkan adanya penurunan regenerasi genetik dan kaidah ekosistem hilang baik kelenturan dan kelentingan ekosistem tersebut. Tentunya akan berdampak pada kemunduran adaptability dan toleransi jenis tanaman komersial. Karena harus dipahami bahwa hutan tropis memiliki kerentanan siklus hara tertutup yang harus dijaga.

Aspek yang sulit dikendalikan lainnya adalah upaya pembinaan terhadap tegakan tinggal (pohon binaan). Masalahnya terletak pada kontrol yang sulit dilakukan yang menyebabkan hasil pekerjaannya tidak mudah dilacak, sehinnga HPH(IUPHHK) tidak melaksanakan kewajibannya dengan sepenuh hati. Pelaksanaan pembinaan hutan sejujurnya tidak berkembang lebih baik

(2)

daripada TPI. Seringkali pembuatan persemaian hanya merupakan pajangan agar penilai yakin bila HPH yang bersangkutan juga melakukan tanaman pengayaan.

Dengan pendekatan batas limit diameter, mungkin saja pohon yang ditebang adalah pohon yang memiliki mutu genetik unggul dan yang dibiarkan justru yang memiliki mutu genetik jelek. Misalkan pohon A pada saat ini memiliki diameter (dbh) 49 cm, sedangkan pohon B memiliki diameter 50 cm, maka menurut sistem TPTI pohon yang ditebang adalah pohon B.

Pohon A menjadi status pohon binaan, dengan asumsi riap diameter 1 cm/th maka pada tahun yang akan datang pohon A ini akan mencapai ukuran diameter 50 cm. Namun bisa saja pohon A ini umurnya sudah lebih tua dari pohob B, sehingga pohon A sudah stagnan dan tidak mampu mencapai ukuran diameter 50 cm. Dengan kata lain pohon A bisa memiliki mutu genetik jelek karena tidak mampu mencapai ukuran diameter ideal. Semakin banyak kasus-kasus tersebut di atas terjadi maka generasi yang ditinggalkan adalah individu-individu yang berfenotif (genetik) jelek sehingga terjadilah penyempitan genetik (the bottle neck generation) di hutan alam.

Setidaknya harus dipahami bahwa pendekatan ekologi harus memperhatikan ragam ekotipe hutan yang terpengaruhi oleh tipe zonal akibat iklim dan tipe azonal akibat habitat.

Dalam mekanisme pengelolaan hutan berbasis system SVK ini selalu disamaratakan dalam implementasinya, tentu saja tidak kondusif bagi pertumbuhan dan pelestarian hutan. Apalagi dengan intensitas penebangan hanya diperhatikan dari batas diameter minimum, tanpa memperhatikan batasan maksimum dalam jumlah kayu atau jumlah batang yang dapat ditebang per satuan areal. Penebangan terlalu banyak pohon di setiap unit dapat meciptakan kondisi terganggu bagi kayu komersial. Apalagi sering terjadi adanya tebangan sebelum waktunya (tebangan cuci mangkok).

Referensi

Dokumen terkait