• Tidak ada hasil yang ditemukan

Univesality of Islamic Fintech: Surely or Fantasy?

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Univesality of Islamic Fintech: Surely or Fantasy?"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Available at http://jurnal.stie-aas.ac.id/index.php/jie Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 7(03), 2021, 1505-1510

Univesality of Islamic Fintech: Surely or Fantasy?

Mardiana1*), Indri Yovita2), Supriani Sidabalok3), Dahlan Tampubolon4)

1,2,3 Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomika & Bisnis, Universitas Riau

4 Pusat Studi Sosial Ekonomi LPPM, Universitas Riau

*Email korespondensi: [email protected]

Abstract

This study moves on from the question of whether the Islamic financial system will be able to detect the conventional economic system? Of course, with various data on transaction volume that continues to increase over time from financial industry products that have been labeled sharia such as Sharia stocks, Islamic bonds or sukuk, and Islamic mutual funds the question will easily find the answer. And when the latest industrial revolution also changed the map of the financial industry with the development of technology and information to give birth to financial technology that is so phenomenal. So can sharia fintech a marriage between technology and islamic moral concepts become an instrument of global financing in the future? With qualitative methodology and descriptive approaches to various references to financial technology as a source of data, and the growth of I slamic fintech in non-Muslim countries that are increasingly boisterous in developing Sharia fintech, then the richness of Sharia fintech in this world, surely or just a fantasy?

Keywords: technology, economic system, sharia fintech

Saran sitasi: Mardiana., Yovita, I., Sidabalok, S., & Tampubolon, D. (2021). Univesality of Islamic Fintech:

Surely or Fantasy?. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 7(03), 1505-1510.doi:http://dx.doi.org/10.29040/jiei.v7i3.3170

DOI: http://dx.doi.org/10.29040/jiei.v7i3.3170

1. PENDAHULUAN

Peradapan ini tidak bisa menghindar dari perubahan dan pembaruan (renewal), kini Revolusi Industri 4.0 membawa kita pada kemajuan seluruh lini kehidupan. Hal ini memang kenyataan yang harus dihadapi karena memang dari satu revolusi industri satu ke revolusi industri berikutnya menghasilkan lompatan atau temuan baru. Jika pada revolusi industri 1.0, mesin uap yang ditemukan oleh James Watt menjadi puncak pencapaiannya ketika abad ke-18 di benua biru). Episode berikutnya revolusi industri 2.0 oleh Russel (2014) dicirikan mulai terjadi produksi massal pada barang-barang kebutuhan hidup(Russel, 2014). Berlanjut pada revolusi berikutnya, beberapa peralatan ditemukan dengan sistem otomatisasi menjadi gerbang revolusi industri 3.0. Roda revolusi semakin cepat melaju peralatan elektronik dan dominasi komputer kian meninggalkan sistem lama dan digitalisasi adalah babak awal dalam revolusi industri 4.0 ini. Sedikit melacak kebelakang istilah Revolusi industri 4.0 diperkenalkan oleh Klaus Schwab sekitar empat tahun berselang atau tahun

2017. Schwab (2017) menguraikan cukup detail mengenai revolusi industri 4.0 ini, secara garis besar yang dia uraikan berbagai pencapaian dari revolusi industri sebelumnya disempurnakan pada revolusi ini, yakni tidak diperlukannya manusia sebagai tenaga penggerak. Dan internet adalah sistem yang tidak bisa ditawar , virtual menjadikan seluruh kebutuhan manusia menjadi lebih cepat dan efisien. Salah satunya adalah kebutuhan terhadap aspek keuangan, maka perubahan besar dan mendasar terjadi pada industri keuangan (Klaus Schwab, 2016).

Dan jika semesta pembicaraan mengenai perbankan yang berlandaskan moral ajaran Ke- Islaman, maka pada pertengahan tahun 1940 dan tahun 1960-an dapat menjadi tonggak berdirinya lembaga keuangan dengan prinsip-prinsip syariah mulai hadir. Pada pertengahan tahun 1940 tersebut di negeri jiran Malaysia memulai memperkenalkan perbankan bebas riba (bunga) namun dengan sekala kecil, sayangnya keberadaan lembaga tersebut tidak berlangsung lama. Baru dua puluh tahun kemudian atau sekitar tahun 1960 tradisi lembaga keuangan

(2)

berprinsip Islam berdiri. Lembaga keuangan syariah tersebut bernama Muslim Pilgrims Saving Corporation, didirikan tepatnya tahun 1963. Tujuan utama lembaga ini adalah menghimpun dan menyimpan dana masyarakat yang diperuntukkan sebagai biaya menunaikan haji. Lembaga tersebut membantu umat yang ingin menjalankan rukun Islam yang ke lima tersebut. Karena tentu setiap umat Islam mempunyai keinginan minimal satu kali seumur hidup untuk mengunjungi kota suci Mekkah dan Madinah Di Arab Saudi(Perry & Ph, 2011).

Ditahun yang sama, lembaga keuangan Islam modern lainnya didirikan. Pendirinya Ahmad El Najjar membuka tabungan dengan prinsip Islami pada tahun 1963 di negara Mesir. Ketika pertama kali berdiri prinsip-prinsip syariah tidak berani dicantumkan secara tersurat, sebab saat itu kebijakan pemerintah Mesir cukup keras terhadap segala bentuk organisasi yang menyematkan atas nama prinsip- prinsip Islam secara terbuka, sebab gerakan fundamentalis dikuatirkan dapat tumbuh subur. Meski akhirnya kebijakan tersebut berangsur-angsur melunak. Dan mulai terbuka lembaga keuangan dengan sistim syariah, dan lembaga keuangan milik Ahmad El Najar secara terbuka dalam bentuk bank komersial bebas bunga dengan nama Nasir Social Bank. Selanjutnya pada awal tahun 1970-an tepatnya tahun 1973 berdiri Philipina Amanah Bank (PAB) meski prinsip operasional syariah diterapkan namun hal tersebut tidak mereka cantumkan dalam akte pendiriannya. Tentu berbagai hal mengenai bisnis yang bertumpu pada agama terutama Islam di bukan negara mayoritas Muslim menjadi salah satu pertimbangan. Dan akhirnya sepanjang tahun 1970- an, sejumlah bank Islam didirikan, kebanyakan di wilayah Timur Tengah. Seperti tahun 1975 diluncurkan Dubai Islamic Bank , menyusul dua tahun berikutya atau tahu 1977 dibentuk Faisal Islamic Bank of Sudan juga di tahun yang sama 1977 di Mesir dirancang juga Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) dan persis dua tahun berselang atau tahun 1979 terbentuk Bahrain Islamic Bank. Dan berdirinya lembaga keuangan dengan prinsip syariah menemukan momentum dengan berdirinya lembaga keuangan antar negara. Ketika diadakan konfrensi tingkat menteri keuangan anggota OKI di kota Jeddah pada tahun 1974 Islamic Development Bank (IDB) didirikan (Warde, 2010).

Islamic Development Bank (IDB) adalah Bank Pembangunan Multilateral, didirikan untuk

mendorong pembangunan ekonomi dan kemajuan sosial bagi 57 anggotanya. Setelah disepakati terbentuk IDB baru satu tahun kemudian tepatnya bulan Juli 1975 pelantikan seluruh anggota Dewan Gubernur Islamic Development Bank. Dan operasional Bank secara penuh tepat tanggal 15 Syawal 1395H bertepatan dengan 20 Oktober 1975 (Alharbi, 2015).

Selain memberi akses keuangan syariah terhadap negara-negara anggota OKI tujuan IDB adalah untuk mendorong perkembangan ekonomi dan kemajuan sosial negara-negara anggota dan komunitas Muslim.

Dan berdasarkan data terakhir tujuan tersebut semakin mewujud (Daradkah et al., 2020). Sebab besarnya dana yang digelontorkan oleh Islamic Development Bank dari waktu ke waktu semakin besar dan cakupan proyek kemanusian yang dibantu kian beragam.

Bahkan pada awal 2021 ada kesepakatan antara United Nation dengan Islamic Development Bank karena program berkelanjutan dari UN yang dikenal dengan Suistanable Development Goals (SDGs) dimana bertujuan meningkatkan taraf hidup kaum papa yang terjebak, kemiskinan dan kelaparan dianggap harmoni dengan langkah-langkah Islamic Development Bank(Istifadhoh & Mufidhoh, 2021).

Tabel 1. Pendanaan Islamic Develompent Bank dari 2010-2019 (dalam USD Milyar)

Sumber: Development Effectiveness Report, 2019 Gambaran peran dari Islamic development Bank dari tahun ke tahun terus merangkak naik, dapat kita ketahui dari tabel tersebut diatas. Bantuan multilateral untuk kemanusian selama kurun satu dasa warsa kian besar perannya. Jika pada tahun 2010 mengelontorkan USD 2.078 milyar, 5 tahun berikutnya ada kenaikan

(3)

mencapai 15% menjadi USD 2342 milyar. Angka inipun terus merayap naik. Kenaikan cukup signifikan pada tahun 2017, 2018 dan 2019 berturut-turut.

Masing masing USD 2.500 milyar, USD 2.614 milyar dan USD 2.981 milyar (State of the Global Islamic Economy Report, 2019).

2. METODOLOGI PENELITIAN

Analisa pada penelitian kali ini mengunakan metode kualitatif dengan memakai pendekatan deskriptif. Mengunakan metode tersebut karena obyek yang diteliti tidak dapat mengunakan angka atau ukuran sebagai satuan. Dengan metode kualitatif deskriptif maka uraian atau penjelasan dipaparkan guna memberi gambaran yang utuh pada obyek penelitian. Sehingga pada akhirnya fenomena yang dialami oleh obyek penelitian secara holistic dapat dideskripsikan dalam bentuk kata-ka serta bahasa.

Data-data yang telah terkumpul atau data telah telah didokumentasikan meliputi buku-buku, berita atau karya ilmiah dan jurnal penelitian terdahulu yang terkait mengenai keuangan digital atau fintek, khususnya fintek syariah beserta pendapat para pakar fintech syariah menjadi landasan penelitian ini.

Selanjutnya Data-data yang berisi informasi mengenai perkembangan fintech syariah dari waktu ke waktu.

Sehingga mendapatkan gambaran mengenai perkembangan fintech syariah pada beberapa tahun berselang.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem ekonomi telah berhasil melalaui tahapan- tahapan hingga mendapat tempat terhormat dalam sistem ekonomi. Namun tentu proses yang panjang dan berliku telah dilewati sistem yang melekatkan ajaran yang bersumber dari ajaran Islam tersebut menjadi landasan. Salah satu yang dianggap bapak perekonomian Islam memberikan periodesasi dari awal hingga sistem ekonomi Islam tersebut diterima bahkan mampu menyalip sistem ekonomi konvensional yang ternyata beberapa literatur memberi kesimpulan tidak lebih baik dari sistem ekonomi Islam tersebut. Berikut yang disampaikan Ahmad dalam Kholis (2017) disajikan dalam perkembangan dari waktu ke waktu. Tahapan-tahapan tersebut dirangkum sebagai berikut.

Era pertama tahun 1930-1960 pada tahap ini pemahaman ulama terhadap ilmu ekonomi yang didapat dari jalur pendidikan formal masih sangat langka. Namun kepekaan mereka terhadap persoalan

dan permasalahan yang dihadapi umat sangat paham.

Sehingga persoalan bunga perbankan pun, mereka bahas. Hingga merujuk pada satu kesimpulan saat itu bahwa bunga bank termasuk riba, dan segala jalinan urusan dengan pihak perbankan konvesional harus dihindari.

Era kedua tahun 1960-1970 pemikiran-pemikiran mengenai konsep-konsep sistem moneter Islam mulai diwacanakan. Gagasan pemikiran ini dinisbahkan dari para ekonom Muslim yang telah dididik secara formal pada perguruan tinggi di Amerika dan Eropa. Kajian mengenai riba dilanjutkan dalam diskusi-diskusi bahkan hingga pertemuan dalam skala besar seperti seminar dan konfrensi keuangan Islam pun mereka adakan. Tukar gagasan dilakukan tidak hanya dengan saudara sesama Muslim, namun pemikiran dari para pakar ekonomi non-muslimpun turut di dengar.

Hingga alternatif dari pelarangan terhadap riba atau bunga perbankan mereka kemukakan.

Era ketiga tahun 1970-1980, pada tahapan ini menjadi perwujudan dari etape sebelumnya. Kolaborasi antara ulama, banker, pengusaha serta dermawan Muslimpun terjadi. Hingga berdirinya berbagai bank non-riba, baik pada sektor swasta maupun sektor pemerintah.

Tahapan yang terjadi di era tahun 1970-an ini juga menjadi tonggak berdirinya bank Islam yang pertama yakni Islamic Development Bank (IDB) , tepatnya pada Konfrensi Menteri Keuangan Negara Islam yang Kedua, yang diadakan di kota Jeddah pada tahun 1974.

Era keempat tahun 1990-sekarang pada tahapan ini pelaksanaan dari teori serta praktek dari sistem ekonomi Islam telah dilaksanakan dengan menyeluruh. Sehingga indikator ekonomi umat menjadi cermin dari lembaga keuangan dan perbankan yang berlandaskan hukum syariah

Tampak disini jejak-jejak sistem ekonomi Islam berangkat dari niat para ekonom Muslim untuk menjadikan tatanan kehidupan khususnya pada industri keuangan dengan aturan yang sesuai dengan ajaran Islam. Dimana moral, keadilan serta transparansi menjadi pondasi. Hal ini yang menjadi pembeda dari sistem konvensional, memang keuntungan adalah hal yang dicari dalam sebuah usaha. Namun tentu saja profit atau laba yang diraih tidak dengan segala cara(Inayati, 2015). Maka hal-hal kebaikan dalam transaksi tersebut yang diatur ketat, rinci serta gamblang dengan hukum Islam demi manfaat bersama, menjadikan sistem syaria bisa diterima.

(4)

Gelombang Teknologi Pada Industri Keuangan Kemajuan teknologi serta informasi pada kehidupan memang bak gelombang, menyapu siapa saja yang tidak bisa berselancar dengannya. Salah satu yang cukup fenomenal menjadi perbincangan global adalah peran teknologi pada bidang keuangan dengan ditemukannya finansial teknologi atau fintech.

Sebagai ilustrasi bagaimana fintech yang merupakan perkawinan bidang keuangan, teknologi dan informasi membuat perubahan besar. Melalui fintech revolusi terjadi pada industri keuangan tentu saja termasuk perbankan didalammnya.

Hal-hal mendasar yang pada waktu sebelumnya adalah syarat utama dalam sebuah transaksi keuangan dapat dikikis bahkan dihilangkan oleh teknologi. Jika sekitar 50 tahun yang lalu dimana nasabah yang membutuhkan Layanan perbankan belum banyak, namun ada aturan mendasar setiap transaksi keuangan wajib dilakukan adalah pada kantor kas bank tersebut.

Klausal traksaksi dianggap sah bila dilakukan pada kantor cabang atau kantor pusat pun jadi aturan yang tertulis, artinya fisik sebuah kantor dari representatif perbankan adalah mutlak. Namun yang terjadi pada saat ini, tahun 2021 beberapa bank besar di Indonesia mengumumkan menutup kantor-kantor kas dan kantor cabang pembantu. Bank Negara Indonesia 1946 (Persero) Tbk atau BNI 46 pada tahun 2021 berencana menutup 96 kantor cabangnya diseluruh Indonesia.

Hal ini disebabkan hampir 80% transaksi telah dilakukan dengan mobile banking(Ulya, 2021).

Bank CIMB Niaga pun tidak berbeda, menutup beberapa kantor cabangnya. Menurut data OJK setidaknya per April 2021 ada sebanyak 1.232 kantor cabang yang ditutup(OJK, 2021). Tentu langkah ini bukan meredupnya industri perbankan, karena penutupan kantor-kantor tersebut tidak dibarengi dengan PHK karyawan. Penyebabnya karena memang transaksi keuangan sudah dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja. Potret lain yang mengubah peta industri keuangan yakni jika pada tahun 2011, penduduk bumi yang saat itu mencapai 7 milyar penduduk hanya 51% yang mempunyai akses pada lembaga-lembaga keuangan. Namun saat ini lebih dari empat milyar manusia punya akses atau terhubung dengan lembaga keuangan (cgap.org, 2019).

Rekening bank mereka miliki atau akses e-money melalui handphone ataupun memiliki keduanya. Hasil survey dari Globalfindex ini dapat ditarik kesimpulan bahwa dibanding 50 tahun yang lalu, berkat layanan finansial teknologi saat ini hanya kurang dari 35%

penduduk bumi yang tidak memiliki akses keuangan.

Tentu ini sebuah lompatan jauh, teknologi finansial memberi percepatan yang luar biasa terhadap industri keuangan (Globalfindex,2017). Bahkan menurut kajian terbaru dari cgap.org hanya 1,7 milyar populasi yang belum berhubungan dengan aktifitas keuangan, baik konvensional maupun digital. Tentu berdasarkan kecepatan dari finansial teknologi beberapa tahun kemarin, jumlah tersebut akan berkurang secara signifikan beberapa saat kedepan.

Data berdirinya lembaga keuangan maupun bank digital seolah juga tidak pernah surut warta yang hadir. Perusahaan-perusahaan raksasa seperti Amazon, Apple, Alibaba, hingga Microsoft dan Facebook telah memiliki layanan keuangan. Bahkan perusahaan yang berbeda bidang seperti Air Asia turut menyelami industri keuangan. Maka kemajuan teknologi pada industri keuangan seolah mengancam kakak kandungnya yang lebih dulu ada yakni perbankan. Bahkan oleh Brett (2021) beberapa tahun kedepan bank-bank yang telah berpengalaman puluhan tahun jika tidak ikut berselancar pada ombak kemajuan teknologi hanya akan menjadi kenangan (King, 2018).

Salah satu ilustrasi lainnya adalah DBS yang berlokasi di Singapura, lebih dari 10 tahun sebelumnya langkah untuk memasuki era digital telah mulai mereka tapaki. Menyadari berkompetisi dengan lembaga keuangan yang lain bukanlah langkah yang tepat. Dalam artian mereka ingin bertransformasi tidak hanya terbaik dibidangnya namun menjadi sebuah bisnis yang jauh lebih dikenal tinimbang hanya sebuah lembaga keuangan. Mimpinya menjadi seperti perudahaan kelas dunia lainnya seperti Apple, Google, Netflix juga Amazon. Maka pilihan untuk berinovasi dalam sistem digital menjadi pilihan. Dan terbukti jika DBS tidak berinovasi mereka hanya akan menjadi lembaga keuangan konvensional dimana orang hanya menitipkan uangnya dan faktanya DBS menjadi Bank Digital terbaik pada tahun 2019 (Dbs.com, 2020). Dan rute yang sama turut diikuti oleh Axos Bank, Green Dot Bank, dan juga Stride Bank di Amerika. Jika mereka tidak turut dalam gelombang teknologi maka mereka hanya dikenang sebagai saluran penyimpanan bagi nasabah. Maka ketika fokus mereka geser pada pengembangan teknologi lahirlah Uber, Chime, Monzo dan Revolut. Semuanya adalah perusahaan fintech yang telah mendunia dengan valuasi yang meningkat sangat pesat(Ichi.pro, 2020).

(5)

Fintech Syariah Di Kancah Global

Lebih efektif serta efisien adalah muara dari munculnya finansial teknologi atau fintech. Maka oleh Varga (2018) secara singkat fintech didifinisikan sebagai inovasi pada layanan keuangan dengan memanfaatkan perangkat lunak serta technologi modern (Varga, 2018).

Lain halnya dengan legitimasi syariah, perkembangan fintech secara umum tumbuh begitu massif dan cepat. Indeks Adopsi Fintech secara global terhitung antara tahun 2015-2017 telah tumbuh sebesar 7%. Selanjutnya, 50% dari total konsumen tersebut menggunakan fintech di sektor layanan transfer uang dan pembayaran. Sedangkan 64%

pengguna fintech lebih memilih saluran digital dalam pengelolaan semua aspek kehidupannya (Istifadhoh &

Mufidhoh, 2021).

Pada tahun 2020 perkiraan volume transaksi fintech syariah di negara-negara anggota OKI telah mencapai USD 49 miliar. Dan nilai ini diproyeksikan akan menjadi USD 128 Milyar pada 5 tahun mendatang atau tumbuh sekitar 21%. Bila berdasarkan volume transaksi negara Saudi Arabia, UEA dan Malaysia menduduki tiga besar. Dari ketiga negara tersebut transaksi fintech syariah mencapai USD 30.8 milyar. Berikut tabel volume transaksi 5 besar dari negara anggota OKI.

Tabel 3. 5 Negara dengan Transaksi syariah Terbesar (Dalam USD Milyar)

(Sumber; Global Fintech )

Dari data tersebut tampak Indonesia menduduki 5 besar, dengan nilai transaksi mencapai. USD 2.9 miliar. Hal tersebut secara tersurat transaksi fintech syariah cukup tinggi di Indonesia. Sehingga tidak mengherankan dalam DinarStandart pada awal tahun ini yang bertajuk” Global Islamic Fintech Report 2021”. Dalam paparannya mereka telah mengadakan riset mengenai sepak terjang fintech pada 64 negara.

Ada 32 indikator yang mereka analisa mengenai perkembangan fintech syariah beserta ekosistemnya.

Dan dari daftar yang mereka buat negara yang paling kondusif untuh pertumbuhan dan perkembangan fintech syariah adalah Malaysia. Disusul dengan Saudi Arabia, Uni Emirates Arab dan Indonesia berada pada posisi ke empat.

Dan yang menarik pada urutan berikutnya setelah Indonesia ada Inggris, dari sini dapat diartikan bahwa negara yang bukan mayoritas Muslim, telah memberi tempat dengan sistem ekonomi syariah. Kemudian pada posisi 12 ada negeri jiran Singapore yang sistem perbankannya lebih dahulu maju, dan peringkat 17 ada negara Swiss. Dari 20 peringkat teratas 12 merupakan anggota OKI sedangkan 8 lainnya non anggota atau bukan negara yang penduduknya Muslim, 8 negara tersebut yang diindikasikan fintech syariah dapat tumbuh dan berkembang dengan pesat adalah Inggris, Singapura, Amerika, Hongkong, Australia, Swiss, Canada dan Luxemberg (Global Islamic Fintech Report, 2021).

Sebenarnya lembaga keuangan barat (Eropa, Amerika dan Australia) telah lama memberi tempat pada sistem keuangan syariah. Sedikit melacak kebelakang sebelum tahun 80-an, tepatnya pada 1978 di Luxemberg, lahir sistem perbankan syariah yang bernama Islamic Finance House), tidak lama berselang juga berdiri Bank Islam Internasional didirikan di Kopenhagen, Denmark. Dan beberapa saat kemudian di Australia tepatnya di kota Melbourne diresmikan Perusahaan Investasi Islam. Bahkan di Amerika Serikat tidak ketinggalan, Syariah Capital yang berbasis di Connecticut, disana obligasi atau dalah hukum syariah disebut Sukuk diperdagangkan pertama kali diluar negara Muslim (Perry & Ph, 2011).

Disini asumsi awal dari kajian ini bahwa instrumen pembiayaan global di masa depan adalah fintech syariah, merangkak dengan pasti mewujudkan hal tersebut.

4. KESIMPULAN

Inovasi dunia keuangan dari teknologi menghasilakan sebuah produk finansial yang disebut fintech. Paradigma baru dunia keuangan serta perbankan disebabkan oleh fintech tersebut.

Perusahaan ataupun pelaku bisnis yang telah kokoh mencengkeram pasar dapat lunglai dan terselip oleh perusahaan-perusahaan startup-startup baru yang menjadikan teknologi serta sistem digital pada jantung bisnis mereka. Kenyataan ini telah datang dan revolusi pada industri keuangan telah terjadi. Dan fintech syariah bak kuda hitam, meski secara fungsi dan

(6)

domain bisnis antara fintech konvensional dan fintech syariah adalah sama, hanya fundamental fintech syariah berlandaskan ajaran ke-Islaman. Maka ketika sebuah produk lembaga keuangan yang mampu melesat menciptakan keuntungan berlipat-lipat namun masih menjadikan moral sebagai alat pengendali guna memberi manfaat terhadap sesama serta berharap nilai keberkahan dari Allah SWT, (kepuasan serta ketenangan bathin) maka sulit konsep tersebut tidak menjadi pilihan. Dan universalitas dari sistem syariah ini, adalah pasti. Karena memang dalam konsep sistem ekonomi syariah, berbagai macam inovasi finansial diperbolehkan, selama pembaruan finansial dengan teknologi tersebut masih dalam koridor maqashid asy-syari’ah (nilai-nilai universalisme syariah).

5. REFERENSI

Alharbi, A. (2015). Development of the Islamic Banking System. Journal of Islamic Banking and

Finance, 3(1), 12–25.

https://doi.org/10.15640/jibf.v3n1a2

Bank, W. (n.d.). The Global Findex Database 2017.

Globalfindex.Org. Retrieved August 28, 2021, from https://globalfindex.worldbank.org/basic- page-overview

cgap.org. (2019). China: A Digital Payments

Revolution. Cgap.Org.

https://www.cgap.org/research/publication/china -digital-payments-revolution

Daradkah, D., Aldaher, A. A., & Shinaq, H. R. (2020).

Islamic financial literacy: Evidence from Jordan.

Transition Studies Review, 27(2), 109–123.

https://doi.org/10.14665/1614-4007-27-2-009 Dbs.com. (2020). Perbankan Dunia Digital Pilihan

Atau Kebutuhan?

https://www.dbs.com/newsroom/Perbankan_di_

dunia_digital_pilihan_atau_kebutuhan

Fitria, T. N. (2016). Kontribusi Ekonomi Islam Dalam Pembangunan Ekonomi Nasional. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 2(03).

Marimin, A., & Romdhoni, A. H. (2015).

Perkembangan bank syariah di Indonesia. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 1(02).

Global Islamic Fintech Report. (2021). Global Islamic Fintech Report. Cdn.Salaamgateway.Com, 56.

https://cdn.salaamgateway.com/special- coverage/islamic-fintech-2021/Global-Islamic- Fintech-Report-2021-Executive-Summary.pdf

Ichi.pro. (2020). Fintech Membangun Bank Of Future.

https://ichi.pro/id/fintech-sedang-membangun- banks-of-the-future-92002231400740

Inayati, A. A. (2015). Pemikiran Ekonomi M. Umer Chapra. Islamic Economics Journal, 2(1), 1–18.

Istifadhoh, N., & Mufidhoh, H. (2021). SHARIA FINTECH AS AN INSTRUMENT OF NATIONAL ECONOMIC RECOVERY AMID THE COVID-19 PANDEMIC. 8(2), 66–77.

King, B. (2018). Bank 4.0: Banking everywhere, never at a bank. MARSHALL CAVENDISH INTNL ASIA.

Klaus Schwab. (2016). The Fourth Industrial Revolution. World Economic Forum.

Nur kholis. (2017). Potret Perkembangan Dan Praktik Keuangan Islam Di Dunia. Jurnal Studi Agama, Universitas Indonesia., Vol. XVII,(1,), hal. 81.

https://doi.org/10.20885/millah.vol17.iss1.art1 OJK. (2021). Daftar Penyelenggara Fintech Lending

Hingga 27 Juli 2021.

Perry, F. V, & Ph, D. (2011). Globalization of Islamic Finance : Myth or Reality ? International Journal of Humanities and Social Science, 1(19), 107–

119.

Russel, B. (2014). James Watt Making The World ANew (1st ed.). Reaktion Books.

State of the Global Islamic Economy Report. (2019).

State of the global islamic economy report:

Driving the islamic economy revolution 4.0.

Dubai International Financial Centre, 1–174.

https://cdn.salaamgateway.com/special- coverage/sgie19-20/full-report.pdf

Ulya, F. N. (2021). Tahun Ini, BNI Berencana Tutup

96 Kantor Cabang.

https://money.kompas.com/read/2021/05/07/080 142326/tahun-ini-bni-berencana-tutup-96- kantor-cabang?page=all

Varga, D. (2018). Fintech , the New Era. Budapest Management Review, December, 22–33.

Warde, I. (2010). Islamic finance in the global economy. Islamic Finance in the Global Economy. https://doi.org/10.5860/choice.48- 7050

Referensi

Dokumen terkait