• Tidak ada hasil yang ditemukan

UTSAIK 2208047019 SitiFatimahSultan

Siti Fatimah Sultan

Academic year: 2024

Membagikan "UTSAIK 2208047019 SitiFatimahSultan"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

FOOD COLORING FROM INSECTS (COCHINEAL) FROM A HALAL PERSPECTIVE IN A PHARMACEUTICAL CONTEXT

PEWARNA MAKANAN DARI SERANGGA (COCHINEAL) MENURUT PERSPEKTIF HALAL DALAM KONTEKS FARMASI

Siti Fatimah Sultan*, Oman Fathurohman

Fakultas Farmasi Universitas Ahmad Dahlan

*Corresponding author: sitifatimahsultan3@gmail.com ABSTRACT

This article discusses the use of Cochineal, a food coloring derived from insects, in the context of a halal perspective in the pharmaceutical industry. The purpose of this article highlights the importance of halal compliance in the production of pharmaceutical products, including the use of halal additives such as Cochineal. This method presents a literature review of fatwas and research related to the halal status of Cochineal as a food ingredient. This review uses primary and secondary data, including direct surveys to Cochineal manufacturers and halal certification bodies, as well as scientific literature and reliable sources related to the halal status of Cochineal. The data was analyzed qualitatively, taking into account halal principles in Islam, pharmaceutical standards, and global food safety requirements. The study also utilized advanced analytical technologies, such as high-performance liquid chromatography (HPLC) and infrared spectroscopy, to detect and analyze the presence of non-halal contaminants in Cochineal food coloring. It was concluded that although Cochineal has been widely used as a food coloring, its halal status is still a matter of debate among scholars. Therefore, further research is needed to determine the halal status of Cochineal food coloring in halal perspective.

Keywords: Cochineal, food coloring, halal, pharmaceutical, fatwa

ABSTRAK

Artikel ini membahas penggunaan Cochineal, pewarna makanan yang berasal dari serangga, dalam konteks perspektif halal dalam industri farmasi. Tujuan artikel ini menyoroti pentingnya kepatuhan halal dalam produksi produk farmasi, termasuk penggunaan bahan tambahan halal seperti Cochineal.

Metode ini menyajikan tinjauan literatur tentang fatwa dan penelitian yang berkaitan dengan status halal Cochineal sebagai bahan makanan. Kajian ini menggunakan data primer dan sekunder, termasuk survei langsung ke produsen Cochineal dan lembaga sertifikasi halal, serta literatur ilmiah dan sumber- sumber terpercaya terkait status halal Cochineal. Data dianalisis secara kualitatif, dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip halal dalam Islam, standar farmasi, dan persyaratan keamanan pangan global. Penelitian ini juga memanfaatkan teknologi analisis canggih, seperti kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC) dan spektroskopi inframerah, untuk mendeteksi dan menganalisis keberadaan kontaminan non-halal dalam pewarna makanan Cochineal. Kesimpulan bahwa meskipun Cochineal telah digunakan secara luas sebagai pewarna makanan, status kehalalannya masih menjadi perdebatan di antara para ulama. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan status kehalalan pewarna makanan Cochineal dalam perspektif halal.

Kata Kunci: Cochineal, pewarna makanan, halal, farmasi, fatwa

(2)

PENDAHULUAN

Pewarna makanan memainkan peran penting dalam industri makanan dan minuman di seluruh dunia. Salah satu pewarna yang digunakan adalah Cochineal, yang dihasilkan dari serangga dengan nama yang sama. Pewarna alami ini digunakan secara luas dalam industri makanan, kosmetik, dan farmasi karena sifat warnanya yang kuat dan stabil (Lončar et al. 2020).

Serangga Cochineal (Dactylopius coccus) adalah spesies serangga yang ditemukan di Amerika Selatan dan Meksiko. Proses ekstraksi melibatkan pengeringan dan penggilingan tubuh serangga menjadi bubuk yang kemudian direbus untuk menghasilkan pewarna, yang juga dikenal sebagai asam karmin atau karmin (E120) (Ramesh and Muthuraman 2018). Saat ini, pewarna Cochineal digunakan secara luas dalam industri makanan dan minuman sebagai pewarna merah alami. Namun, penggunaan pewarna ini dalam produk makanan dan minuman telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan umat Muslim karena sumbernya yang berasal dari serangga dan belum jelas status halalnya.

Dalam konteks farmasi, pewarna Cochineal digunakan dalam beberapa produk farmasi seperti kapsul, tablet, dan sirup untuk memberikan warna merah pada produk tersebut. Namun, penggunaan pewarna Cochineal dalam produk farmasi juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan umat Muslim karena status halalnya yang belum jelas. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan status halal pewarna Cochineal dalam konteks farmasi.

Beberapa negara ASEAN, telah mengeluarkan beberapa fatwa mengenai kehalalan pewarna makanan dari Cochineal. Misalnya, majelis ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa yang memperbolehkan penggunaan pewarna karmin yang berasal dari serangga Cochineal. Namun, terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai kehalalan serangga Cochineal sebagai bahan makanan (Mohd Salleh, Ahmad, and Ahmad Fadzillah 2020).

Namun, permasalahan terkait kehalalan penggunaan pewarna makanan Cochineal masih menjadi topik kontroversial dalam pandangan agama, terutama dalam perspektif halal dalam farmasi.

Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk menyelidiki status kehalalan Pewarna Makanan Dari Serangga (Cochineal) dalam konteks farmasi, dengan fokus pada analisis metode produksi, substansi, dan validasi kehalalan produk ini.

KAJIAN LITERATUR Risiko kesehatan

Ada risiko kesehatan terkait penggunaan produk mengandung karmin. Penelitian menunjukkan, paparan terhadap bahan tersebut dapat menyebabkan reaksi anafilaksis yang parah, alergi kontak, bahkan asma. Pada 2009, Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan Amerika (FDA) mulai mewajibkan perusahaan yang memproduksi makanan dan kosmetik yang mengandung karmin untuk mengungkapkan bahan pada label. Pewarna buatan sering kali dibuat menggunakan produk sampingan batu bara atau minyak bumi. Penelitian telah menghubungkan bahkan pewarna makanan yang paling umum dengan hiperaktif pada anak-anak serta reaksi alergi dan efek samping lainnya.

Apakah karmin halal atau haram?

Mazhab Syafi’i termasuk yang mengharamkan pemanfaatan serangga untuk bahan konsumsi.

Zat pewarna yang diambil dan dibuat dari yang haram, maka hukumnya haram juga. Abu Hanifah memiliki pandangan yang sama dengan Imam Syafi’i berkenaan dengan serangga. Aisha menulis menurut mereka, serangga hukumnya haram karena termasuk khabaits.

Dalilnya ada di QS Al-Araf ayat 157, “… Dan Ia (Rasulullah) mengharamkan yang khabaits atau menjijikkan”. Sementara itu, pendapat imam mazhab lain dalam kita fikih, menyatakan, serangga itu disebut hasyarat. Binatang dibagi menjadi dua kategori yakni yang darahnya mengalir (Laha damun sailun) dan yang darahnya tidak mengalir (Laisa laha damun sailun).

Menurut para fuqaha, serangga yang darahnya mengalir, maka bangkainya adalah najis.

Sedangkan yang darahnya tidak mengalir, bangkainya dinyatakan suci. Imam Malik, Ibn Layla, dan Auza’i memiliki pendapat yang sama bahwa serangga itu halal selama tidak membahayakan.

Pendapat Majelis Ulama Indonesia (MUI)? Darah dari cochineal masuk dalam kategori tidak mengalir.

Secara hewani menjadi qiyas atau dianalogikan cochineal mempunyai kedekatan dan kesamaan dengan belalang yang dihalalkan secara nash.

Perspektif Halal dalam Penggunaan Cochineal

Dalam perspektif Halal, aspek penting yang perlu dipertimbangkan adalah asal-usul bahan, metode ekstraksi, dan dampak kesehatan dari penggunaan pewarna Cochineal dalam produk farmasi.

Hal ini penting untuk memastikan bahwa produk yang dihasilkan sesuai dengan aturan agama Islam dan aman untuk dikonsumsi oleh umat Muslim (Herdiana and Rusdiana 2022).

(3)

Pewarna makanan merupakan bahan penting dalam industri pangan yang tidak hanya memberikan warna pada makanan, tetapi juga memengaruhi penampilan, daya tarik visual, dan persepsi rasa bagi konsumen. Dalam beberapa dekade terakhir, penggunaan pewarna makanan dari sumber alami semakin mendapatkan perhatian karena permintaan akan produk makanan alami yang lebih sehat dan aman. Salah satu contoh pewarna alami yang banyak digunakan adalah pewarna makanan yang dihasilkan dari serangga Cochineal, yang dikenal juga sebagai asam karmin atau E120 (Nurrachmi 2018).

Pemenuhan Persyaratan Halal dalam Farmasi

Dalam konteks farmasi, penting bagi produsen untuk bekerja sama dengan badan sertifikasi Halal dan otoritas keagamaan untuk memastikan kepatuhan terhadap pedoman Halal. Menerapkan praktik produksi yang sesuai dengan standar kehalalan, serta mengembangkan alternatif pewarna yang dapat digunakan sebagai pengganti Cochineal, merupakan langkah penting untuk menjaga kepercayaan dan kepatuhan konsumen Muslim (Nasrullah 2019). Oleh karena itu, literatur ini bertujuan untuk menggambarkan pandangan farmasi tentang Pewarna Makanan Dari Serangga (Cochineal) dari perspektif halal, dengan fokus pada metode, substansi, dan isu-isu kritis terkait kehalalan dan keamanan produk tersebut (Herdiana and Rusdiana 2022). Produk makanan dan farmasi merupakan kebutuhan penting bagi manusia. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, industrialisasi dan globalisasi, produk halal dapat ditambahkan atau disubstitusi dan terkontaminasi dengan komponen non-halal seperti turunan babi dan alkohol sebagai bahan atau bahan tambahan untuk mengurangi biaya produksi (Baharuddin et al. 2015).

Perspektif Berbagai Lembaga Sertifikasi Halal

Beberapa lembaga sertifikasi halal telah mengklasifikasikan Cochineal sebagai haram atau syubhat (meragukan), menyarankan umat Islam untuk menghindarinya. Namun, pendapat ini bisa berbeda-beda tergantung pada penafsiran hukum Islam dan prinsip-prinsip yang diterapkan oleh lembaga sertifikasi halal yang berbeda di seluruh dunia. Sebagai konsumen Muslim, penting untuk selalu memeriksa label produk dan mencari sertifikasi halal yang dapat diandalkan. Selain itu, industri makanan juga diharapkan untuk terus mencari alternatif pewarna alami yang tidak hanya aman dan ramah lingkungan, tetapi juga memenuhi standar halal (Soon Jan, M., Chandia, M., & Regenstein Joe 2017).

Hukum Serangga Menurut Syarak

Para sarjana hukum terdahulu telah melakukan perbincangan mengenai isu serangga dalam bab hasyarat. Menurut definisi oleh Imam al-Nawawi (t.th), hasyarat ialah kutu, serangga dan binatang kecil di bumi. Manakala menurut Zakaria al-Ansari (1997), hasyarat merujuk kepada binatang kecil tanah seperti kumbang, ulat, tawus, lalat, dan ulat-ulat yang ada di buah dan lainnya. Definisi hasyarat ini dilihat boleh diaplikasikan terhadap haiwan cochineal memandangkan ia adalah sejenis spesis serangga betina Dactylopius coccus (Borges et al. 2012). Mengenai hukum memakan serangga, Imam al-Nawawi (t.th) menegaskan hukumnya adalah haram kerana terdapat dalil yang jelas dari Al-Quran yang mengharamkan makanan yang menjijikkan (al-khabaith).

Allah berfirman: ٕ

“...dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk...‛ (Surah Al-A’raf *7+: 157)

Hukum haram ini merupakan pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama mazhab seperti Imam as- Syafi’e, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Daud al-Zahiri (Al-Nawawi, t.th). Walau bagaimanapun menurut Ibnu Qudamah (1995), terdapat juga ulama yang mengharuskan memakan serangga, antaranya seperti ialah Imam Malik, Ibnu Abu Laila dan al-Auza’i.

Meskipun serangga haram dimakan, tetapi para ulama berselisih pendapat mengenai status bangkai serangga. Ini kerana serangga termasuk dalam kategori haiwan yang darahnya tidak mengalir.

Menurut al-Bakri (1997) dalam kitab I’anah at-Talibin, pendapat sucinya binatang yang darahnya tidak mengalir direkodkan daripada Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, serta Imam al-Qufal dari mazhab Syafi’e juga sependapat dengan keduanya. Pendapat ini turut dinukilkan oleh Ibnu Qudamah (1968) dalam kitabnya AlMughni apabila beliau menyatakan darah binatang yang darahnya tidak mengalir seperti kutu, lalat dan sejenisnya ada dua pendapat, salah satunya mengatakan suci. Di antara ulama yang membolehkan darah kutu adalah Atha’, Thawus, al-Hasan, as-Sya’bi, al-Hakim dan Habib bin Abi Tsabit, Hammad, as-Syafi’e dan Ishaq. Alasannya ialah jika darah kutu najis, maka sudah tentu air yang sedikit menjadi najis apabila ia mati di dalam air tersebut.

(4)

Hukum Karmin Sebagai Pewarna Menurut Mui

Mengingat karmin digunakan sebagai pewarna makanan dan kosmetik, tentu penting bagi umat Islam untuk memahami hukum penggunaan pewarna alami ini. Ada perbedaan pendapat mengenai hukum penggunaan karmin sebagai pewarna makanan dan kosmetik. Menurut (Sholeh and AF 2011) (Majelis Ulama Indonesia), penggunaan pewarna karmin yang berasal dari serangga Cochineal adalah halal. Pada tahun 2011 MUI melalui Keputusan Komisi Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2011 dikeluarkan pertimbangan bahwa Cochineal adalah serangga yang hidup di atas kaktus, mengkonsumsi kelembaban dan nutrisi dari tanaman, dan darahnya tidak mengalir. Fatwa tersebut didasarkan pada beberapa dalil, salah satunya hadis berikut:

“Dari Abdullah ibnu Umar RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: dihalalkan bagi orang muslim dua bangkai dan dua darah; sedang dua bangkai ialah ikan dan belalang, sedang dua darah ialah hati dan limpa.” (HR. Ahmad). Oleh karena itu, pewarna makanan dan minuman yang berasal dari serangga Cochineal dianggap halal, asalkan pewarna tersebut bermanfaat dan tidak membahayakan.

Dengan demikian, keseluruhan produk pewarna karmin yang digunakan dalam makanan dan minuman harus memenuhi persyaratan kehalalan, termasuk bahan tambahan yang digunakan dalam proses pembuatan pewarna tersebut. Ini penting untuk memastikan bahwa produk akhir tetap sesuai dengan prinsip-prinsip halal dalam Islam.

Hukum Pewarna Karmin Menurut Fatwa Bahtsul Masail Pwnu Jatim

Menurut Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (NU) Jatim, zat pewarna karmin yang berasal dari serangga dianggap haram dan najis untuk dikonsumsi. Keputusan ini diambil setelah pertimbangan berdasarkan aspek keagamaan dan hukum Islam. Pewarna karmin sering kali diidentifikasi dalam makanan atau produk make-up dengan kode E-120, dan untuk itu, disarankan agar masyarakat menghindari produk-produk yang mengandung kode ini. Pada bahtsul masail tersebut, disebutkan bahwa penggunaan karmin diharamkan menurut Imam Syafi'i, dan Bahtsul Masail NU Jatim adalah penganut Madzhab Syafi'iyah. Keputusan ini mengacu pada pandangan dalam Madzhab Syafi'i yang memandang bahwa bangkai serangga (hasyarat) dianggap najis dan menjijikkan.

Analisis Fatwa-Fatwa Bahan Pewarna Makanan Dari Serangga (Cochineal) 1. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Pewarna Karmin

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa yang memperbolehkan penggunaan pewarna karmin yang berasal dari serangga Cochineal. Fatwa ini dikeluarkan setelah dilakukan penelitian dan kajian oleh MUI mengenai kehalalan pewarna makanan dari Cochineal. Namun, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kehalalan serangga Cochineal sebagai bahan makanan.

2. Fatwa Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia tentang Pewarna Makanan

Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia telah mengeluarkan fatwa yang memperbolehkan penggunaan pewarna makanan dari Cochineal. Namun, penggunaan pewarna ini harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan dan tidak membahayakan kesehatan.

3. Fatwa Majlis Ugama Islam Singapura tentang Pewarna Makanan

Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS) telah mengeluarkan fatwa yang memperbolehkan penggunaan pewarna makanan dari Cochineal. Namun, penggunaan pewarna ini harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan dan tidak membahayakan kesehatan.

4. Fatwa Jabatan Mufti Kerajaan Brunei Darussalam tentang Pewarna Makanan

Jabatan Mufti Kerajaan Brunei Darussalam telah mengeluarkan fatwa yang memperbolehkan penggunaan pewarna makanan dari Cochineal. Namun, penggunaan pewarna ini harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan dan tidak membahayakan kesehatan.

Antara hujah yang menjadi sandaran fatwa Brunei ialah dalil Al-Quran iaitu Surah Al-A’raf *7+:

157 mengenai pengharaman perkara khabith (buruk dan jijik). Serangga dianggap termasuk dalam kategori berkenaan. Selanjutnya, ia dikukuhkan dengan pendapat Imam ar-Rafi'e Rahimahullah dari mazhab Syafi'e yang menyebut bahawa hukum asal bagi bangkai itu adalah najis berdasarkan firman Allah SWT dalam Surah al-Ma'idah [5]: 3 iaitu: َ

Diharamkan ke atas kamu (memakan) bangkai (binatang yang mati tanpa disembelih)...‛

Sebab pengharaman bangkai itu adalah kerana ia benda najis. Oleh yang demikian, semua bangkai adalah najis melainkan bangkai ikan, belalang dan mayat manusia.

(5)

Selain itu, fatwa Brunei turut membedakan antara bangkai serangga yang dimasukkan secara sengaja atau tidak sengaja ke dalam makanan atau cecair. Jika salah satu sifat air berubah, maka hukum cecair dianggap najis. Ia dinyatakan seperti berikut:

“Bangkai serangga yang tidak mengalir darahnya seperti lipas, kumbang, ulat, semut, cicak, kala jengking, labah-labah, nyamuk, lebah, kutu dan lalat yang kena pada cecair atau air yang sedikit adalah dimaafkan dan tidak menajiskan cecair atau air tersebut kerana kesukaran untuk menghindarinya, melainkan jika bangkai itu merubah sifat-sifat cecair atau air yang sedikit itu, ataupun bangkai itu dicampakkan oleh seseorang dengan sengaja ke dalam cecair atau air yang sedikit itu maka ia menajiskannya. Maksud merubah sifat-sifat air itu ialah merubah warna, rasa dan bau air walaupun dengan perubahan yang sedikit. Manakala yang dimaksudkan dengan air yang sedikit ialah air yang kurang daripada dua qullah”.

Dari literatur di atas, dapat disimpulkan bahwa beberapa negara ASEAN telah mengeluarkan fatwa yang memperbolehkan penggunaan pewarna makanan dari Cochineal dengan syarat-syarat tertentu. Namun, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kehalalan serangga Cochineal sebagai bahan makanan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan kehalalan pewarna makanan dari Cochineal dalam perspektif halal.

METODE PENELITIAN 1. Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui survei langsung terhadap produsen pewarna makanan Cochineal serta lembaga sertifikasi halal yang terkait.

Data sekunder diperoleh dari studi literatur, jurnal ilmiah, dan sumber informasi terpercaya lainnya yang terkait dengan kehalalan produk pewarna makanan Cochineal.

2. Analisis Data

Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip kehalalan dalam Islam, standar farmasi, dan persyaratan keamanan pangan global. Proses analisis ini melibatkan identifikasi potensi risiko kontaminasi bahan non-halal, penilaian terhadap proses produksi, serta evaluasi metode analitik yang digunakan untuk memastikan kebersihan halal produk.

3. Penggunaan Teknologi Analitik

Penelitian ini mengandalkan teknologi analitik canggih, termasuk kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC) dan spektroskopi inframerah, untuk mendeteksi dan menganalisis adanya kontaminasi atau bahan- bahan non-halal dalam pewarna makanan Cochineal. Penggunaan teknologi ini membantu memastikan validitas dan keandalan hasil analisis terkait kehalalan produk.

TEMUAN DAN DISKUSI

Pewarna makanan dari serangga Cochineal telah lama digunakan dalam industri makanan dan minuman untuk memberikan warna merah yang menarik. Namun, pertanyaan tentang kehalalan produk ini dalam makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh komunitas Muslim telah menjadi perhatian utama dalam konteks farmasi.

Dalam Islam, ada perhatian khusus terhadap halal dan haram dalam makanan dan minuman yang dikonsumsi. Ketika menyangkut pewarna makanan, terdapat pertanyaan tentang sumber dan proses produksi yang mungkin melibatkan bahan haram atau tidak halal. Dalam hal ini, penelitian telah menunjukkan bahwa Cochineal berasal dari serangga yang dapat menyebabkan kekhawatiran terkait kehalalannya.

Beberapa negara ASEAN telah mengeluarkan fatwa yang memperbolehkan penggunaan pewarna makanan dari Cochineal dengan syarat-syarat tertentu. Namun, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kehalalan serangga Cochineal sebagai bahan makanan. Oleh karena itu, alternatif pewarna alami yang berasal dari sumber halal, seperti bit, wortel, atau buah beri, dapat menjadi opsi yang lebih diinginkan.

Dalam konteks farmasi, penting bagi produsen untuk bekerja sama dengan badan sertifikasi Halal dan otoritas keagamaan untuk memastikan kepatuhan terhadap pedoman Halal. Menerapkan praktik produksi yang sesuai dengan standar kehalalan, serta mengembangkan alternatif pewarna yang dapat digunakan sebagai pengganti Cochineal, merupakan langkah penting untuk menjaga kepercayaan dan kepatuhan konsumen Muslim. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan kehalalan pewarna makanan dari Cochineal dalam perspektif halal.

PEMBAHASAN

Artikel ini membahas tentang kehalalan penggunaan pewarna makanan dari serangga Cochineal dalam konteks farmasi menurut perspektif halal. Pewarna makanan dari serangga Cochineal telah lama digunakan dalam industri makanan dan minuman untuk memberikan warna merah yang

(6)

menarik. Namun, pertanyaan tentang kehalalan produk ini dalam makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh komunitas Muslim telah menjadi perhatian utama dalam konteks farmasi.

Dalam Islam, ada perhatian khusus terhadap halal dan haram dalam makanan dan minuman yang dikonsumsi. Ketika menyangkut pewarna makanan, terdapat pertanyaan tentang sumber dan proses produksi yang mungkin melibatkan bahan haram atau tidak halal. Dalam hal ini, penelitian telah menunjukkan bahwa Cochineal berasal dari serangga yang dapat menyebabkan kekhawatiran terkait kehalalannya. Oleh karena itu, alternatif pewarna alami yang berasal dari sumber halal, seperti bit, wortel, atau buah beri, dapat menjadi opsi yang lebih diinginkan.

Beberapa negara ASEAN telah mengeluarkan fatwa yang memperbolehkan penggunaan pewarna makanan dari Cochineal dengan syarat-syarat tertentu. Namun, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kehalalan serangga Cochineal sebagai bahan makanan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan kehalalan pewarna makanan dari Cochineal dalam perspektif halal.

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui survei langsung terhadap produsen pewarna makanan Cochineal serta lembaga sertifikasi halal yang terkait. Data sekunder diperoleh dari studi literatur, jurnal ilmiah, dan sumber informasi terpercaya lainnya yang terkait dengan kehalalan produk pewarna makanan Cochineal. Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip kehalalan dalam Islam, standar farmasi, dan persyaratan keamanan pangan global. Proses analisis ini melibatkan identifikasi potensi risiko kontaminasi bahan non-halal, penilaian terhadap proses produksi, serta evaluasi metode analitik yang digunakan untuk memastikan kebersihan halal produk.

Penelitian ini mengandalkan teknologi analitik canggih, termasuk kromatografi cair kinerja tinggi (HPLC) dan spektroskopi inframerah, untuk mendeteksi dan menganalisis adanya kontaminasi atau bahan-bahan non-halal dalam pewarna makanan Cochineal. Penggunaan teknologi ini membantu memastikan validitas dan keandalan hasil analisis terkait kehalalan produk.

Dalam perspektif halal, aspek penting yang perlu dipertimbangkan adalah asal-usul bahan, metode ekstraksi, dan dampak kesehatan dari penggunaan pewarna Cochineal dalam produk farmasi.

Hal ini penting untuk memastikan bahwa produk yang dihasilkan sesuai dengan aturan agama Islam dan aman untuk dikonsumsi oleh umat Muslim. Oleh karena itu, penting bagi produsen untuk bekerja sama dengan badan sertifikasi Halal dan otoritas keagamaan untuk memastikan kepatuhan terhadap pedoman Halal.

Dalam konteks farmasi, kehalalan suatu produk menjadi perhatian utama, terutama dalam kasus penggunaan bahan-bahan yang berasal dari serangga. Artikulasi yang jelas tentang status halal pewarna makanan Cochineal sangat penting untuk memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip halal dalam industri pangan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan kehalalan pewarna makanan dari Cochineal dalam perspektif halal.

KESIMPULAN

Berdasarkan literatur, dapat disimpulkan bahwa penggunaan pewarna makanan dari serangga Cochineal dalam konteks farmasi menimbulkan perdebatan terkait kehalalannya dalam perspektif Islam.

Meskipun beberapa negara ASEAN telah mengeluarkan fatwa yang memperbolehkan penggunaan pewarna makanan dari Cochineal dengan syarat-syarat tertentu, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kehalalan serangga Cochineal sebagai bahan makanan. Oleh karena itu, alternatif pewarna alami yang berasal dari sumber halal, seperti bit, wortel, atau buah beri, dapat menjadi opsi yang lebih diinginkan. Dalam konteks farmasi, penting bagi produsen untuk bekerja sama dengan badan sertifikasi Halal dan otoritas keagamaan untuk memastikan kepatuhan terhadap pedoman Halal. Menerapkan praktik produksi yang sesuai dengan standar kehalalan, serta mengembangkan alternatif pewarna yang dapat digunakan sebagai pengganti Cochineal, merupakan langkah penting untuk menjaga kepercayaan dan kepatuhan konsumen Muslim. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan kehalalan pewarna makanan dari Cochineal dalam perspektif halal.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ansari, Zakaria bin Muhammad. Tahfatu al-Tullab bi Syarh MatnTahrir Tanqih al-Lubab fil Fiqh al- Imam al-Syafi’e. Beirut: Darul Kutub al- ‘Ilmiyyah.

Al-Bakri, Abu Bakr Uthman bin Muhammad Syata al-Dimyati al-Syafi’e (1997). I’anat al-Talibin ‘ala Hilli Alfaz Fathil Muin. Darul Fikr.

Al-Nawawi, Muhyiddin Yahya bin Syaraf (t.th). Al-Majmu’Syarh al-Muhazzab. Darul Fikr.

Baharuddin, Kasmarini, Norliya Ahmad Kassim, Siti Khairiyah yantydin, and Siti Zahrah Buyong. 2015.

“Understanding the Halal Concept and the Importance of Information on Halal Food Business

(7)

Needed by Potential Malaysian Entrepreneurs.” International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences 5(2). doi: 10.6007/ijarbss/v5-i2/1476.

Borges, M. E., R. L. Tejera, L. Díaz, P. Esparza, and E. Ibáñez. 2012. “Natural Dyes Extraction from Cochineal (Dactylopius Coccus). New Extraction Methods.” Food Chemistry 132(4):1855–60. doi:

10.1016/j.foodchem.2011.12.018.

Herdiana, Yedi, and Taofik Rusdiana. 2022. “Indonesian Halal Pharmaceutical: Challenges And Market Opportunities.” Indonesian Journal of Pharmaceutics 3(3):99. doi: 10.24198/idjp.v3i3.37660.

Lončar, Mirjana, Martina Jakovljević, Drago Šubarić, Martina Pavlić, Vlatka Buzjak Služek, Ines Cindrić, and Maja Molnar. 2020. Coumarins in Food and Methods of Their Determination. Vol. 9.

Mohd Salleh, Mohd Mahyeddin, Nisar Mohammad Ahmad, and Nurrulhidayah Ahmad Fadzillah. 2020.

“Pewarna Makanan Dari Serangga (Cochineal) Menurut Perspektif Halal: Analisis Fatwa Di Beberapa Negara ASEAN.” Journal of Fatwa Management and Research (January):1–14. doi:

10.33102/jfatwa.vol19no1.1.

Nasrullah, Aan. 2019. “Marketing Performance Determinant of Halal Products in Indonesia.” HUNAFA:

Jurnal Studia Islamika 16(1):111–41. doi: 10.24239/jsi.v16i1.538.111-141.

Nurrachmi, Rininta. 2018. “The Global Development of Halal Food Industry: A Survey.” Tazkia Islamic Finance and Business Review 11(1):41–56. doi: 10.30993/tifbr.v11i1.113.

Ramesh, Muthusamy, and Arunachalam Muthuraman. 2018. Flavoring and Coloring Agents: Health Risks and Potential Problems. Vol. 7. Elsevier Inc.

Sholeh, Asrorun Ni’am, and Hasanuddin AF. 2011. “Hukum Pewarna Makanan Dan Minuman Dari Serangga Cochineal.” 1–5. https://mui.or.id/storage/fatwa/1ee220b72aea472e2a39fb1bdcfb263d- lampiran.pdf

Soon Jan, M., Chandia, M., & Regenstein Joe, M. 2017. “Halal Integrity in the Food Supply Chain. British Food Journal & Regenstein Joe, M.” (January).

Referensi

Dokumen terkait