• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of ANALISIS PENDEKATAN TEOSUFISTIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM MENURUT AL GHAZALI

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "View of ANALISIS PENDEKATAN TEOSUFISTIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM MENURUT AL GHAZALI"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

VOL 1 NO 1(Desember, 2022)

e-ISSN: 27441044X

55 Anik Faridah

Institut Agama Islam Ngawi anikfaridah@iaingawi.ac.id

ABSTRACT

Imam al-Ghazali is very popular among Muslims. A number of books by Imam al-Ghazali have become the object of study in various Islamic educational institutions, ranging from Islamic boarding schools to Islamic universities, both at home and abroad. The purpose of this research is to analyze Imam al-Ghazali's Theosufistic Approach on Islamic education. The findings of this study are that Imam al-Ghazali was born in a small village of Ghazalah, Thus City, Khurasan Province, Persian region (Iran) in 450 H/1058 AD. We can see al-Ghazali's educational thoughts from his life journey which is thick with scientific traditions and also on the fruits of his work which are contained in books written such as Iya' Ulumuddin which are full of educational content, faith and morals as well as Sufism. Also the book Ayyuha al-walad (containing morals) as well as the books Mizanul 'amal and Mi'yar al-ilmi which describe knowledge and charity with the nuances of Sufism. It can be said that al-Ghazali's educational thinking is Islamic education with a Sufism style. Some of the main doctrines of Imam al-Ghazali's Sufism, namely monotheism, makhafah, mahabbah, and ma'rifat. From these basic teachings the concepts of taubah, shabr, asceticism, tawakkal, and ridla were born.

Keywords: Theosufistic al-Ghazali, Islamic education

ABSTRAK

Imam al-Ghazali sangat populer di lingkungan umat Islam. Sejumlah kitab karya Imam al- Ghazali menjadi obyek kajian di berbagai lembaga pendidikan Islam, mulai dari pesantren hingga perguruan tinggi Islam, baik di dalam maupun di luar negeri. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa Pendekatan Teosufistik Imam al-Ghazali tentang pendidikan Islam.

Temuan penelitian ini adalah Imam al-Ghazali dilahirkan di suatu kampung kecil Ghazalah, Kota Thus Propinsi Khurasan wilayah Persi (Iran) pada tahun 450 H/1058 M. Pemikiran pendidikan al-Ghazali dapat kita lihat dari perjalanan hidupnya yang kental dengan tradisi keilmuan dan juga pada buah karyanya yang tertuan dalam buku-buku yang ditulis seperti Iya’ Ulumuddin yang sarat dengan muatan pendidikan, akidah dan akhlak serta tasawuf. Juga kitab Ayyuha al- walad (berisi akhlak) serta kitab Mizanul ‘amal dan Mi’yar al-ilmi yang menguraikan tentang ilmu dan amal dengan nuansa tasawuf. Dapat dikatakan bahwa pemikiran pendidikan al-Ghazali adalah pendidikan Islam yang bercorak tasawuf. Beberapa doktrin pokok tasawuf Imam al-Ghazali, yaitu tauhid, makhafah, mahabbah, dan ma’rifat. Dari ajaran-ajaran pokok ini lahir konsep taubah, shabr, zuhud, tawakkal, dan ridla.

Kata Kunci: Teosufistik al-Ghazali, pendidikan Islam

(2)

VOL 1 NO 1(Desember, 2022)

e-ISSN: 27441044X

56 PENDAHULUAN

Teosofi berasal dari bahasa Yunani Theosophia yang berarti kebijaksanaan illahi. Teosofi merupakan sistem filsafat yang bertopang kepada pengalaman batiniah dan mistik secara lebih terperinci. Teosofi tidak tidak saja berhubungan dengan ketuhanan, tapi juga kearifan, kehidupan alam roh dan juga alam gaib. Paham ini menganggap bahwa semua agama itu sama telah ada sejak lama. Setiap agama diposisikan memiliki kebenaran yang sama, semua menjanjikan kebaikan, membawa keselamatan, mengajarkan kehidupan penuh kasih sayang, dan sebagainya.

Pemahaman ini pada giliran selanjutnya menafikan kebenaran absolut dari sebuah agama demi mencapai kehidupan bersama yang toleran.

Teosofi adalah filsafat keagamaan[1] yang dibentuk di Amerika Serikat pada tahun 1875 oleh pendatang Rusia Helena Blavatsky. Teosofi merupakan pandangan bahwa semua agama merupakan upaya Occult Brotherhood agar manusia dapat mencapai kesempurnaan, sehingga setiap agama mempunyai kepingan kebenaran.

Ajaran teosofi dituangkan ke dalam tulisan-tulisan Blavatsky. Kepercayaan ini dianggap sebagai salah satu bentuk Esoterisme Barat oleh para ahli agama.

Filsafatnya terinspirasi dari filsuf-filsuf kuno Eropa dan agama-agama Asia seperti Hindu dan Buddha1.

Gerakan Teosofi didirikan pertama kali di New York, Amerika Serikat pada 1875 oleh seorang perempuan bangsawan keturunan Rusia, Helena Petrovna Blavatsky (1831–1891), yang dibantu oleh dua orang Amerika bernama Henry Steel Olcott (1832–1907) dan William Quan Judge (1851–1896). Segera setelah organisasi tersebut berdiri, H.S Olcott diangkat menjadi presiden perkumpulan yang kemudian diberi nama Theosophical Society (TS). Gerakan ini mewajibkan anggotanya membuat pikiran merdeka dan berkerja demi perubahan rakyat yakni lewat cara batin untuk melawan hawa nafsu. Menurut mereka agama konvensional tidak lagi memiliki pengaruh.2

Melihat sifat gerakannya, TS merupakan suatu gerakan Neo-Hindu movement yang terinspirasi mistisme-esosteris Yahudi bernama Kabbala dan Gnosticism, suatu ilmu rahasia keselamatan serta bentuk-bentuk okultisme barat. Karena sifat dan cakupan Teosofi yang condong pada pemikiran mistik timur, maka pada 1879 pusat TS dipindahkan dari New York ke Adyar di Madras, India. Di bawah pimpinan Annie Besant, TS mulai melebarkan sayap organisasinya ke dalam berbagai bidang seperti agama, pendidikan, sosial dan kemudian juga politik, di samping bidang utamanya adalah kebatinan. Pada tahun 1896 tercatat sebagai tahun penting gerakan Teosofi

1 Teosofi - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

2 Sejarah Teosofi di Indonesia - Wawasan Sejarah

(3)

VOL 1 NO 1(Desember, 2022)

e-ISSN: 27441044X

57 internasional, yaitu tercapainya rumusan pasti tujuan utama dan landasan Gerakan Teosofi. Tujuan tersebut berbunyi :

1. Membentuk suatu inti dari persaudaraan Universal kemanuasian, tanpa membedaan ras, kepercayaan, jenis kelamisn, kasta ataupun warna kulit.

2. Mengajak mempelajari perbandingan agama-agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan 3. Menyelidiki hukum-hukum alam yang belum dapa diterangkan dan menyelidiki

tenaga-tenaga yang masih tersembunyi dalam manusia

Memasuki 1895 terjadi babak baru dalam tubuh TS ketika tokoh baru, Dr.

Annie Besant muncul. Karena tokoh inilah gerakan gerakan Teosofi perlahan mulai memperlihatkan pengaruhnya tidak saja di India, tetapi juga di dunia, termasuk di Hindia Belanda. Berkat kepemimpinan Annie Besant gerakan Teosofi melebarkan sayap ke seluruh dunia. Satu yang menjadi daya tarik utama adalah kapandaian Annie Besant dalam memadukan prinsip kebatinan Tiur dengan corak pemikiran esoteris Barat.

Seperti yang telah diajarkan oleh Blavatsky, teosofi memandang bahwa terdapat para ahli spiritual kuno dan rahasia yang berpusat di Tibet (walaupun mereka dapat ditemui di berbagai belahan dunia). Para ahli ini dianggap telah memupuk kebijaksanaan dan kekuatan paranormal, dan para penganut teosofi percaya bahwa merekalah yang memulai pergerakan teosofi modern dengan memberikan pengajaran kepada Blavatsky. Mereka mencoba memulihkan kembali pengetahuan agama-agama kuno. Namun, para penganut teosofi tidak menganggap kepercayaan mereka sebagai "agama". Mereka berkhotbah mengenai keberadaan sesuatu yang absolut yang tunggal dan ilahi. Alam semesta dianggap sebagai refleksi Absolut dari luar. Teosofi mengajarkan bahwa tujuan kehidupan manusia adalah pembebasan secara spiritual dan manusia akan mengalami reinkarnasi setelah meninggal sesuai dengan karma mereka.

Theosofi adalah kelompok yang secara halus menyingkirkan agama, meskipun banyak memanfaatkan dalil dan ritual agama. Namun, pada akhirnya agama dianggap tidak penting untuk menjadi titik pertemuan dalam persaudaraan manusia. Babad Theo sofie, misalnya, menggambarkan proses ini secara nyata dalam proses pendidikan anak sejak dini sesuai dengan salah satu cita-cita Theosofi yaitu ambudi pamredining lare, boten mawi gepokan agami, (mengusahakan pendidikan anak-anak dengan mengabaikan persentuhan dengan agama). Agama dalam pandangan ini ditempatkan bukan sebagai kebenaran absolut sehingga dalam mempelajari agama masing-masing, anggota Theosofi diharapkan tidak menganggap ajaran agamanya paling benar. Kebenaran juga ada pada agama lain yang bisa dihayati.

Theosofi mengklaim bahwa ia berada di atas kebenaran semua agama tersebut. Di satu sisi ajaran theosofi berusaha mengembangkan paham kesamaan dari

(4)

VOL 1 NO 1(Desember, 2022)

e-ISSN: 27441044X

58 semua agama dan menjalankan persaudaraan dengan mengabaikan perbedaan agama. Theosofi memiliki kesa maan paham dengan paham Pluralisme Agama yang memandang bahwa "setiap agama merupakan jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan." Theosofi juga menganggap ajarannya lebih tinggi dari agama.

Di Jawa Theosofi berusaha merekrut anggotanya dari kalangan terpelajar, bangsawan keraton, orang-orang berpengaruh, dan juga bangsa asing yang ada di Indonesia. Sejumlah buku berbahasa Jawa diterbitkan guna mempublikasikan ajaran Theosofi. Umumnya buku Theosofi di era penjajahan menggunakan carakan Jawa (aksara Jawa), Serat Weddasatmaka (4 jilid), Kitab Makrifat (2 Jilid), dan Babad Theosofie. Serat Weddasatmaka dan Kitab Makrifat banyak berbicara tentang masalah

"ketuhanan" dan pencapaian "keutamaan" sejati. Sedangkan Babad Theosofies mengisahkan tentang awal mula berdirinya Perhimpunan Theosofie di Amerika Serikat sampai menjadi ajaran yang menyebar ke seluruh penjuru dunia.

Ada juga publikasi Theosofi yang menggunakan Bahasa Melayu, Inggris dan Belanda. Selain berbahasa Jawa, Kitab Makrifat juga diterbitkan dalam Bahasa Melayu. Ada juga majalah "Pewarta Theosofie", Majalah "Theosofie di Hindia Belanda", dan sebagainya. Di era penjajahan itu, marak pula masuknya media Theosofi berbahasa asing, seperti Theosofische Maandblad, De Pio ner, The Theosophist, Theoso phia, The Adyar Bulletin, The Herald of Star, dan Zeithchrift fur Parapsychologie. Ketika itu, Theosofi mencoba menarik perhatian sejumlah kalangan, baik warga bumi-putera maupun bangsa asing. (Lihat Majalah "Theosofie di Hindia Belanda". Tahun ke– 32 No.

4/ April 1939. (NITV, Batavia Centrum).

Adapun Babad Theosofie ditulis pada 1815. Buku beraksara Jawa ini diterbitkan dalam rangka peringatan 40 tahun berdirinya Perhimpunan Theosofi.

Buku ini pun memberikan sanjungan pada dua tokoh yang aktif mengembangkan ajaran Theosofi yaitu Kolonel Henry Steel Olcott dan Helena Petrovna Blavatsky (biasa disingkat HPB). Kolonel Henry Steel Olcott (1832-1907) adalah mantan tentara Amerika yang kemudian bekerja sebagai lawyer. Ia adalah presiden pertama Theosofi yang menjabat selama 32 tahun. Olcott merupakan anggota Freema sonry. Se dangkan Helena Petrovna Blavatsky (1831-1891) adalah wanita berdarah Ya hudi dan aristokrat Rusia yang berkecimpung dalam dunia occultisme sejak masih remaja.

Kedua tokoh Theosofi itu ditulis sebagai: "para minulya ingkang darajadipun wonten sanginggiling manungsa" (golongan orang mulia yang derajadnya berada di atas manusia).

Theosofi pun menawarkan "keyakinan baru" kepada anggotanya. Penganut Islam yang bergabung dalam Perhim punan Theosofi kurang bisa menerima ajaran tentang karma dan reinkarnasi. Secara halus, Theosofi menanggapi keberatan orang Islam, bahwa Theosofi tidak memaksa anggotanya untuk menerima ajaran-ajaran

(5)

VOL 1 NO 1(Desember, 2022)

e-ISSN: 27441044X

59 yang Theosofi.3Tetapi, Babad Theosofie juga mengecam secara halus pihak yang menolak ajaran Theosofi. Disebutkan, "... nanging samangke kula pitaken upami boten wonten piwulang, punapa tiyang angraosaken theosofi boten mawi nyangkut bab karma tuwin tumimbal lair, kados boten saged." ("... tetapi sekarang saya bertanya jika tidak ada pelajaran, apakah manusia bisa merasakan Theosofi tanpa melibatkan bab karma dan kelahiran kembali, sepertinya tidak bisa). Kepercayaan yang diadopsi dari Hindhu dan Budha berupa ajaran tentang karma dan reinkarnasi memang menjadi salah satu Theosofi yang khas. Kepercayaan terhadap kedua hal ini tidak dapat ditinggalkan oleh penganut ajaran Theosofi. Padahal ajaran tentang karma dan reinkarnasi, jelas tidak se suai dengan ajaran Islam. HP Blavatsky, penggagas mula- mula Theosofi, juga menyebutkan bahwa terhadap ek sis tensi karma dan reinkarnasi se bagai "jiwa" theosofi. (Lihat selengkapnya karya HP Blavatsky. The Key to Theosophy : Being a Clear Exposition, in the Form of Question and Answer, of the Ethics, Science, and Philosophy for the Study of Which the Theosophical Society has been Founded. (The Theo sophical Publishing Company Limited, London – New York, tth). hal 197-223).Untuk mengelabui kaum Muslim, di Jawa, Theosofi juga mengambil baju tasawuf. Ini bisa dilihat dalam kitabkitab resmi ajaran Theosofi berbahasa Jawa seperti Serat Weddasatmaka dan Serat Makrifat. Kedua kitab ini berusaha mengetengahkan konsepsi Theosofi dengan meminjam sejumlah terminologi dan sistem yang berasal dari ajaran tasawuf. Hasilnya, jelas bukan tasawuf yang mendasarkan pandangannya ke pada sumber-sumber Islam berupa Al quran dan Sunnah, melainkan bersifat kontradiktif dan tidak jarang antinomis terhadap ajaran Islam itu sendiri.

Serat Weddasatmaka sebagai contoh, mengakui eksistensi tujuh langit sebagaimana dalam konsepsi Islam (QS Al- Baqarah :29). Hanya saja serat ini kemudian mendefinisikan ketujuh la ngit tersebut bukan langit dalam makna yang sesungguhnya (harfiah). Langit ketujuh secara alegoris dimaknai se bagai alam yang ada dalam diri manusia dan wujud halusnya (roh). Buku Babad Theosofie mengakui bahwa kaum Theosofi telah melakukan sejumlah upaya untuk mempengaruhi spiritualisme di dunia timur dimana salah satunya dengan memasukkan un sur-unsur ajaran Theosofi dalam kitabkitab primbon. Maka tidak mengherankan bila terdapat kitab-kitab primbon kebatinan di Jawa yang mengedepankan ajaran mistik dan klenik, ternyata kental pula dengan pandangan Theosofi. Contoh primbon yang dimaksud masih dapat dijumpai misalnya dalam buku "Pustaka Radja Mantra yoga"

yang dikarang oleh "Sang Harum djati", yang dimungkinkan sebagai nama samaran.

Tapi, betapa pun, sikap sinis Theosofi terhadap agama sulit disembunyikan.

Dengan jargon urgensi persaudaraan antarmanusia tanpa memandang agama, ras, jenis kelamin, dan perbedaan yang bersifat manusiawi lainnya, Theosofi memandang

3 Theosofi: Warisan Penjajahan | Republika Online

(6)

VOL 1 NO 1(Desember, 2022)

e-ISSN: 27441044X

60 agama sebagai salah satu sumber konflik, bukan hanya konflik antar agama tetapi juga konflik antar umat seagama. Perbedaan ajaran antar agama maupun perbedaan pendapat antar umat seagama seringkali diposisikan sebagai sumber konflik utama.

Babad Theosofie mengungkapkan salah satu tujuan theosofi adalah "Menjaga sejumlah tindakan yang mengkhawatirkan, walaupun satu agama maupun berbeda aga ma, setiap ada konflik de ngan pendapatnya seperti kepercayaan terhadap keajaiban yang berada di luar akal, padahal sudah diperiksa dengan teliti bahwa hal itu keliru. Tetapi, pada akhirnya, tokoh-tokoh Theosofi sendiri terlibat konflik dan perpecahan. Perebutan kedudukan presiden Theosofi antara Dr Annie W. Besant (1847-1933) dari Inggris dan Wil liam Quan Judge (1851-1896) dari Ame rika telah menimbulkan adanya perseteruan antara keduanya dan merembet pada pengikut masing-masing. Pasca Annie Besant menjadi presiden Theo sofi, loge-loge di Amerika tidak mau tunduk lagi kepada kepemimpinan Besant. Ge rakan "perlawanan" ini dimotori oleh to koh theosofi wanita bernama Ka therine Tingley, pengarang buku

"Theosophy : the Path of Mistic".

Sejarawan MC Ricklefs menggambarkan bahwa gerakan-gerakan intelektual yang bersifat anti Islam yang sempat berkembang di Indonesia pasca tahun 1900 umumnya memiliki kaitan dengan gerakan dan paham theosofi.

Ricklefs menggambarkan bahwa paham Theosofi berusaha mengkombinasikan antara budi dan buda. Budi merepresentasikan sifat intelektual dalam pemikir an ilmiah Barat. Sedangkan Buda meru pakan ajaran yang berkembang sebelum masuknya Islam. (M.C. Rick lefs. Sejarah Modern Indonesia. Cetakan II. Diter jemahkan dari "A History of Modern Indonesia. Secara kelembagaan, Presiden Su kar no telah melarang Theosofi tahun 1961. Tetapi, gagasan lintas agama yang berusaha menyingkirkan peran agama dalam penyelesaian masalah manusia, masih terus dikampanyekan di Indonesia. Bahkan, terkadang kampanye itu berwajah simpatik, seperti kampanye di televisi: "Mari Kita Wujudkan Indonesia tanpa Diskriminasi".

Kampanye itu jelas keliru. Sebab, kaum Muslim selalu berdoa dalam shalatnya, agar ditunjukkan jalan yang lurus (shiratal mustaqim), dan dijauh kan dari jalan orang yang dimurkai Allah atau jalan orang yang sesat.

PEMBAHASAN A. Imam al-Ghazali

Imam Al-Ghozali merupakan tokoh yang sudah terkenal di seluruh penjuru, terutama di kalangan cendekiawan Islam. Beliau juga merupakan ahli tasawuf dan filsafat yang tersohor. Beliau dikenal sebagai hujjatul Islam yang artinya hiasannya Islam. Sebagaimana dikutip dari Abudin Nata nama lengkap Imam Al-Ghozali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali dilahirkan di Thus, sebuah kota di Khurasan, Persia, pada tahun 450 H atau 1058 M. Ayahnya seorang pemintal wool,

(7)

VOL 1 NO 1(Desember, 2022)

e-ISSN: 27441044X

61 yang selalu memintal dan menjualnya sendiri di kota itu. Imam Al-Ghozali mempunyai seorang saudara. Ketika akan meninggal, ayahnya berpesan kepada sahabat setianya agar kedua putranya itu diasuh dan disempurnakan pendidikannya setuntas-tuntasnya. Sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah Al-Ghozali. Kedua anak itu dididik dan disekolahkan, setelah harta pusaka peninggalan ayah mereka habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampu-mampunya.

Kitab pertama yang beliau karang setelah kembali ke Baghdad adalahkitab al- Munqidh min al-Dalal (Penyelamat dari Kesesatan). Kitab ini mengandung keterangan sejarah hidupnya di waktu transisi yang mengubah pandangannya tentang nilai-nilai kehidupan). Karena sebelum pergi ke Syam dengan tujuan melakukan ibadah, tujuan Al-Ghozali menyiarkan ilmu adalah untuk mencari dan mengejar kedudukan, pangkat dan pengaruh. Tetapi setelah dari Syam, niat dan tujuan Al-Ghozali bukan lagi mencari pengaruh, ataupun mengejar kedudukan dan pangkat, tetapi benar-benar ikhlas karena Allah semata. Setelah kembali ke Baghdad sekitar sepuluh tahun, Al-Ghozali pergi ke Nisabur dan bekerja mengajar sebentar, yang kemudian meninggal di kota Thus tempat beliau dilahirkan, pada tahun 505 H/1111 M. Dengan demikian, kehidupan Al-Ghozali dalam lingkaran yang sempurna, berakhir pada permulaannya. Dilahirkan di Thus, kembali lagi setelah perjalanan kelilingnya untuk meninggal di sana. Memulai hidupnya dalam dunia ilmu dan menyudahi hidupnya juga sebagai seorang guru dan petunjuk jalan.4

Ayah Al-Ghozali yakni Muhammad adalah seorang penenun bulu domba.

Meskipun hidup dalam ekonomi yang sederhana, namun ayah Al- Ghozali sangat religius dalam sikapnya. Ia wafat ketika Al-Ghozali diduga berusia 6 tahun. Sedangkan ibunya masih hidup dan sempat menyaksikan ketika ia menjadi terkenal dan namanya mulai populer di mata orang banyak. Keadaan keluarganya serta keluarga bapak asuh tempat ia belajar baca-tulis ini, merupakan pendidikan dasar yang pertama kali membentuk jiwa Al-Ghozali. Ia juga belajar ilmu tasawuf dari Yusuf al- Nassaj, seorang sufi yang terkenal pada masa itu. Selain itu, ia mempelajari fiqh pada Ahmad ibn Muhammad ar-Razakani, di samping ilmu-ilmu nahwu-saraf di Madrasah Nizamiyyah Thus. Beliau adalah seorang yang jenius sejak kecil, sehingga ingin melanjutkan studi ke tingkat yang lebih tinggi

Walupun kemasyhuran telah diraih imam Al-Ghozali beliau tetap setia terhadap gurunya dan tidak meninggalkannya sampai dengan wafatnya pada tahun 478 H. Sebelum al-Juwaini wafat, beliau memperkenalkan imam Al-Ghozali kepada Nidham Al Mulk, perdana mentri sulatan Saljuk Malik Syah, Nidham adalah pendiri madrasah al- nidzamiyah. Di Nashabur ini imam Al-Ghozali sempat belajar tasawuf kepada Abu Ali Al Fadl Ibn Muhammad Ibn Ali Al Farmadi (w. 477 H/1084 M). Selain

4 Imam Anas Hadi; Muhammad Samsudin, “Studi Komparasi Pemikiran Imam Al-Ghozali Dan K . H . Hasyim Asy ’ Ari Tentang Pendidikan Karakter,” Inspirasi 5, no. 2 (2021): 216.

(8)

VOL 1 NO 1(Desember, 2022)

e-ISSN: 27441044X

62 itu, disiplin yang “merampas” Al-Ghozali adalah Sufisme pikiran. Al-Ghozali mempelajari teori dan praktik-Farmazi. Beliau memperlihatkan aktivitas studi yang serius dan prestasi yang mengagumkan dengan kecerdasan dan analisis yang luar biasa serta daya hafal yang kuat. Imam Al-Haramayn pun yang menjulukinya dengan Bahr Mughriq (Lautan yang menenggelamkan), mengangkatnya menjadi asisten guru besar dalam memberi kuliah dan bimbingan kepada para mahasiswa di Nizamiyyah Naisabur yang jumlahnya kurang lebih 400 orang.

Selanjutnya Al-Ghozali hijrah ke kota Mu’aska bersama istri dan ketiga putrinya kurang lebih enam tahun. Kepindahan Al-Ghozali ini atas undangan Perdana Menteri Nizam al-Mulk yang tertarik kepadanya Al-Ghozali diminta memberikan pengajian tetap dua minggu sekali di hadapan para pembesar dan para ahli serta mendapat jabatan sebagai penasihat Perdana Menteri (mufti). Dengan demikian Al- Ghozali juga memiliki andil dalam kancah politik.5 Beliau seorang yang produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali, selama hidup hampir 55 tahun dan sudah memulai menulis buku sejak usia 20 tahun. Buku yang beliau tulis hampir berjumlah 400 judul.6

B. Pendekatan Teosufistik Pendidikan Islam al-Ghazali

Kajian Teosofi merupakan kajian masalah keagamaan yang mendalam perihal kebatinan. Menjelaskan pengetahuan yang tersembuyi berupa kebijaksanaan yang menawarkan pencerahan pada diri sendiri dan orang lain, sehingga dapat memahami misteri alam semesta dan relasi yang menyatukan alam semesta, manusia, dan dunia Ilahiah. Imam al Ghazali, dengan karya dan pemikirannya yang memukau dunia intelektual Islam dan kemampuanya dalam menyelesaikan masalah-masalah keagamaan dalam berbagai bidang dan kajian, yang antara lain; Fiqih, Filsafat, Theologi, Ilmu Kalam, bidang pendidikan. Al Gahzali mempunyai pemikiran dan pandang yang luas mengenai aspek aspek pendidikan, dalam arti bukan hanya memperlihatkan aspek akhlak semata, tetapi juga aspek keimanan (ketauhidan,, keesaan), ssosial, jasmaniah dan sebagainnya. Pada hakikatnya konsep pendidikan yang dikembangkan al Ghazali mulai dari awal kandungan ajaran Islam dan tradisi Islam, berprinsip pada pendidikan manusia seutuhnya.

Jika dilakukan penelaahan secara sistematis dan terstruktur salah satu karya Al Ghazali, kitab Ihya‘ ‘Ulum al-Diin, maka akan ditemukan beberapa doktrin pokok

5 Imam Anas Hadi; Muhammad Samsudin, 217.

6 Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Penidikan Islam (Hadlarah Kelilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern), repository.uinsby.ac.id.

(9)

VOL 1 NO 1(Desember, 2022)

e-ISSN: 27441044X

63 tasawuf Imam al-Ghazali, yaitu tauhid, makhafah, mahabbah, dan ma’rifat7. Dari ajaran-ajaran pokok ini lahir konsep taubah, shabr, zuhud, tawakkal, dan ridla. Tak bisa seseorang mengaku bertauhid sekiranya seseorang masih menduakan Allah dengan yang lain. Misalnya tidak bertawakkal kepada Allah, tidak rela terhadap keputusan Allah, tidak sabar atas ujian yang diberikan Allah, tidak bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah, tidak menjauhkan diri dari apa yang dilarang oleh Allah.

Tidak bisa seseorang mengaku takut kepada Allah, jika yang bersangkutan masih takut kepada selain Allah

Pertama, tauhid. Dalam Ilmu Kalam disebutkan bahwa tauhid berarti ikrar tentang tidak ada tuhan selain Allah. Dalam tasawuf, tauhid tak hanya merupakan ungkapan verbal tentang tidak adanya tuhan selain Allah, melainkan juga ungkapan hati tentang hakekat Tuhan Yang Satu. Dalam kitab al-Rasa’il, al- Junayd menegaskan,

“ketahuilah bahwa permulaan ibadah kepada Allah adalah dengan mengenal-Nya (ma’rifat), sementara pokok dari ma’rifatullah adalah bertauhid kepada-Nya.”8

Imam al-Ghazali menegaskan bahwa tanda bertumbuhnya tauhid di dalam hati adalah munculnya sikap tawakkal kepada Allah, yaitu menyerahkan segala urusan diri sendiri hanya kepada Allah. Imam al-Ghazali membagi tawakkal ke dalam tiga tingkatan:

a) Menyerahkan segala urusan kepada Allah, seperti penyerahan seseorang yang mewakilkan kepada pihak yang mewakili.

b) Menyerahkan segala urusan kepada Allah, seperti kepasrahan seorang anak kecil kepada ibunya. Si anak kecil hanya mengenal dan menyandarkan segala keadaan dirinya hanya pada ibundanya. Ia hanya meminta pada ibundanya. Bahkan, seorang ibu kerap memberikan susu sekalipun si kecil tak memintanya.

c) Menyerahkan segala gerak dan diam kepada Allah seperti gerak dan diam seorang jenazah di depan orang yang memandikan. Orang yang berada pada peringkat yang terakhir ini memandang dirinya sudah mati dan yang menggerakkan adalah Allah.

Menurut Imam al-Ghazali, tawakkal peringkat pertama sangat mungkin terjadi, sementara peringkat kedua dan ketiga amat jarang terjadi 9.

Imam al-Ghazali berpendirian bahwa tauhid adalah pangkal atau dasar dari seluruh doktrin dan ajaran tasawuf. Bagi Imam al-Ghazali, bahasan tauhid adalah lautan yang tak bertepi (bahr la sahila lahu). Untuk memudahkan, Imam al- Ghazali membagi tauhid ke dalam empat peringkat. Yaitu, (1) Orang yang lisannya mengucapkan laa ilaaha illa Allah, tapi hatinya melupakannya bahkan mengingkarinya. Iman yang seperti ini adalah keimanan yang pura-pura karena tak

7 Imam Abi Hamid Muhammad bin muhammad al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, jil. IV, Daar al- Kitab al-Mu’allimah: Beirut Libanon. T.th. 340.

8 Al-Junayd, Rasail, Beirut: Daar al-Ilm. T.th. 38.

9 al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin., 225.

(10)

VOL 1 NO 1(Desember, 2022)

e-ISSN: 27441044X

64 tembus ke dalam hati. Imam al-Ghazali menyebut ini sebagai tauhid orang orang munafik. 2) Kalimat tauhid yang diucapkan lisannya dan dibenarkan oleh hatinya.

Pembenaran di hati ini menyelamatkan yang bersangkutan dari siksa di Akhirat.

Inilah tauhid dan keyakinan orang awam. 3) Melihat Tuhan Yang Satu pada segala sesuatu. Dengan perkataan lain, ia menyaksikan Allah ketika menyaksikan sesuatu.

Inilah maqamal-muqarrabin (kedudukan orang-orang yang dekatkepada Allah). 4) Bahwa wujud ini hanya satu, yaitu Allah (la yarafi al- wujud illa wahidan). Dalam peringkat ini, seseorang sudah takmelihat dirinya, karena yang terlihat hanya Allah.

Menurut Imam al-Ghazali, tauhid keempat ini sebagai tauhid puncak.10

Kedua, makhafah (ketakutan). Takut kepada Allah bisa dialami oleh setiap manusia. Ketakutan itu terjadi, menurut Imam al-Ghazali, bisa karena melihat dan menyaksikan keagungan Allah Swt. dan bisa juga karena banyaknya dosa yang dilakukan seorang hamba pada Tuhannya. Rasulullah Saw. pernah bersabda, “aku adalah orang di antara kalian yang paling takut kepada Allah” (ana akhwafukum lillah). Rasulullah juga bersabda, “pangkal kebijaksanaan itu adalah takut kepada Allah” (ra’s al-hikmah makhafat ilaa Allah). Dhu al-Nun al-Misri pernah ditanya,

“kapan seorang hamba dikatakan takut kepada Allah?” Ia menjawab, ketika hamba merasa seperti orang sakit yang takut akan berlangsung terusnya penyakit yang dideritaoleh yang bersangkutan. Imam al-Ghazali menegaskan bahwa orangyang dilanda ketakutan akut pada Allah akan terlihat pada kondisi tubuh, aktivitas fisik, dan gerak hatinya. Tubuh orang yang hatinya terbakar (ihtiraq al- qalb) karena takut pada Allah akan panas dan matanya menitikkan air mata. Bersamaan dengan itu, seluruh aktivitas fisik yang bersangkutan akan terhindar dari perbuatan dosa. Dosa- dosa yang suka dilakukan serta merta ia benci. Berbeda lagi dengan orang yang mengaku takut kepada Allah tetapi anggota badannya bergelimang maksiat, maka tak bisa disebut khawf (laa yastahiqq an yusamma khawfan).11

Ketiga, ma’rifah. Secara etimologis, ma’rifah kata benda berasal dari kata kerja

‘arafa-ya’rifu yang berarti mengetahui. Dengan demikian, ma’rifah berarti pengetahuan. Dalam ilmu tasawuf, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan yang tak mengenal keraguan, sebab yang menjadi obyeknya adalah Allah. Jika disebut ma’rifatullah, maka itu berarti pengetahuan tentang Allah. Sedangkan orang yang sudah mencapai ma’rifah disebut ‘arif. Kaum genostik dalam tasawuf kerap disebut

al-‘arif billah” (orang yang mengetahui karena Allah). Menurut para sufi, alat untuk memperoleh ma’rifat disebut sirr. Al-Junayd, sebagaimana dikutip Ibrahim Madhkur, membedakan antara ma’rifah dan ‘ilm. Menurut al-Junayd, jika‘ilm diperoleh melalui eksplorasi akal, maka ma’rifah dicapai melalui penyucian hati

10 Ibid, 240.

11 Ibid, 154-155.

(11)

VOL 1 NO 1(Desember, 2022)

e-ISSN: 27441044X

65 (qalb).12

Imam al-Ghazali berkata bahwa ma’rifah adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui soal-soal ketuhanan yang mencakup segala yang ada. Menurut Imam al-Ghazali, setiap ilmu adalah lezat dan kelezatan ilmu yang paling puncak adalah mengetahui Allah. Baginya, kelezatan ma’rifatullah (mengetahui Allah) jauh lebih kuat ketimbang jenis kelezatan lain13. Menurut Imam al-Ghazali, ciri orang yang ma’rifatullah, di antaranya adalah keinginan untuk terus berjumpa dengan-Nya, bukan dengan yang lain. Ia mengenal secara lebih dekat dengan membangun komunikasi yang intens dengan-Nya.

Keempat, mahabbah. Di samping menggunakan kata “mahabbah”, Imam al- Ghazali juga menggunakan kata “’ishq” yang berarticinta dan rindu. Allah pun juga disebut sebagai “al-wadud”(Yang Mencinta dan Yang Dicinta). Imam al- Ghazali mengutip ayat-ayat al-Qur’an yang menjadi dasar metafisikal mahabbah. Misalnya dalam firman Allah dalam Q.S. al-Maidah ayat 54 “Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya”

Cinta adalah benih yang bisa tumbuh pada tanah yang subur. Imam al- Ghazali menyitir pernyataan al-Junayd, “Allah mengharamkan cinta bagi orang yang hatinya terkait erat dengan dunia”14. Orang yang mencintai sesuatu akan khawatir akan hilangnya sesuatu itu. Karena itu, demikian menurut Imam al-Ghazali, para pecinta selalu dilanda kekhawatiran perihal hilangnya yang dicintai 15.Tetapi mencintai Allah beda. Jika seorang mencintai Allah, maka Allah abadi. Dan jika mencintai harta dunia maka itu semua akan sirna. Imam al-Ghazali menjelaskan sebab-sebab terjadinya cinta. Yaitu: 1) Kecintaan seseorang pada dirinya atas kesempurnaannya.

Artinya, jika seseorang tak mencintai Allah atau sesamanya, maka ia pasti akan mencintai dirinya sendiri, 2) Kecintaan seseorang pada orang lain yang berbuat baik pada dirinya, 3) Kecintaan seseorang pada orang lain yang berbuat baik pada seluruh manusia sekalipun tak berbuat baik untuk dirinya, 4) Kecintaan seseorang pada segala sesuatuyang indah, baik keindahan itu secara lahir maupun secara bathin, 5) Cinta yang melanda dua orang yang memiliki hubungan dan keterkaitanbatin. Dari semuanya itu, menurut Imam al-Ghazali, yangpaling pantas dan berhak untuk dicintai adalah Allah Swt.16

12 Ibrahim Madkhur, Fii al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj Wa Tatbiquh, Mesir: Daar al-Maa’arif 1976.72.

13 al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin., 300.

14 Ibid, 349.

15 Ibid, 326

16 Ibid, 292

(12)

VOL 1 NO 1(Desember, 2022)

e-ISSN: 27441044X

66 Persoalannya, bagaimana mengubah cinta ego pada diri sendiri menjadi cinta kepada Allah? Tak ada mekanisme dan tata cara tunggal. Imam al-Ghazali hanya mengutip dialog Sufyan al-Thawri dengan Rabi‘ah al-Adawiyah. Al-Thawri berkata kepada Rabi‘ah,“apa hakekat imanmu?” Ia menjawab, “saya tak menyembah kepadaAllah karena takut pada neraka dan senang pada surga. Sebab, kalau begitu, maka saya akan seperti seorang buruh yang hanya menunggu upah dari majikan. Aku menyembah Allah atas dasar cinta dan rindu kepada-Nya”.17

Selanjutnya, menurut Imam al-Ghazali, cinta kepada Allah itu bisa terjadi dengan dua sebab, yaitu: 1) Memutus diri dari seluruh urusan duniawi dan membuang segala jenis cinta di dalam hati, kecuali cinta kepada Allah. Hati manusia, demikian kata Imam al-Ghazali, ibarat wadah yang tak bisa diisi cuka selama di dalamnya masih penuh air. Ia lalu mengutip firman Allah tentang tak mungkinnya ada dua cinta dalam satu hati. 2) Kekuatan ma’rifat kepada Allah bisa menimbulkan cinta yang membara kepada-Nya.18

Selain itu, Imam al-Ghazali juga membagi manusia menjadi tiga tingkatan.

Pertama, kaum awwam, yang cara berfikirnya sederhana sekali. Kaum awwam dengan daya akalnya yang sederhana sekali, tidak dapat menangkap hakikat-hakikat.

Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan nurut. Golongan ini harus dihadapi dengan sikap memberi nasihat dan petubjuk (al-mauziah). Kedua, kaum pilihan (khawas; elect) yang akalnya tajam dan berfikir secara mendalam. Kaum ini mempunyai daya akal yang kuat dan mendalam. Harus dihadapi dengan sikap menjelaskan dengan hikmah-hikmah. Sedangkan Ketiga, kaum ahli debat (ahl al-jadl).

Yaitu kaum yag mempunyai daya akal yang tajam dan mendalam. Kaum ahli debat ini dipenuhi dengan sikap mematahkan argumen-argumen (al- mujadalah).19

1. Pemikiran Pendidikan al-Ghazali

Pendidikan abad ke-21 memiliki tantangan yang kompleks, Pembentukan Insan Kamil sebagai salah satu tujuan pendidikan Islam mulai mengalami hambatan.

Pendidikan kekinian kurang menekankan keseimbangan antara aspek spiritual dengan intelektual, antara kebenaran dan kegunaan dalam diri manusia itu sendiri.

Sehingga manusia yang selayaknya menjadi khalifah fil ‘Ardhi menjadi manuasia yang cenderung individualis, materalis dan pragmatis. Hadirnya pemikiran pendidikan Al Ghazali bisa menjadi penengah dan solusi yang dapat menyeimbangkan aspek spiritual dengan intelektual.

17 Ibid, 302

18 Ibid, 328.

19 Maftukin, Filsafat Islam, Jogjakarta: Teras 2012, 137.

(13)

VOL 1 NO 1(Desember, 2022)

e-ISSN: 27441044X

67 Meskipun pemikiran Imam Ghazali banyak bertentangan dengan falsafah, bahkan beliau menkritik falsafah dalam bukunya Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Falsafah), dan sebagai alternatifnya al- Ghazali menawarkan tasawuf untuk menuju kepada kebenaran hakiki. Pemikiran tasawuf beliau ini pada akhirnya juga berpengaruh pada ide-ide pendidikannya. Beliau mengatakan bahwa fungsi pendidikan ini adalah pencapaian ilmu agama dan pembentukan akhlak. Beliau juga mengatakan bahwa akhlak yang baik itu adalah sifat bagi Rasul, dan perbuatan yang terbaik bagi orang-orang yang benar.20

Pemikiran pendidikan al-Ghazali dapat kita lihat dari perjalanan hidupnya yang kental dengan tradisi keilmuan dan juga pada buah karyanya yang tertuang dalam buku-buku yang ditulis seperti Iya’ Ulumuddin yang sarat dengan muatan pendidikan, akidah dan akhlak serta tasawuf. Juga kitab Ayyuha al- walad (berisi akhlak) serta kitab Mizanul ‘amal dan Mi’yar al-ilmi yang menguraikan tentang ilmu dan amal dengan nuansa tasawuf. Dapat dikatakan bahwa pemikiran pendidikan al-Ghazali adalah pendidikan Islam yang bercorak tasawuf.

a. Hakikat pendidikan

Pendidikan menurut al- Ghazali pada hakikatnya adalah menghilangkan akhlak yang buruk dan menanamkan akhlak mulia. Dengan kata lain pendidikan adalah suatu proses melalui usaha sadar menuju perubahan tingkah laku manusia secara progresif Madjidi.21 Pendidikan adalah ikhtiar merubah kondisi yang buruk menjadi lebih baik. Menurut al-Ghazali pengetahuan menjadi motor penggerak amal kebajikan. Hubungan ilmu dengan amal dapat digambarkan sebagi ilmu yang amaliah dan amal yang ilmiah.22

b. Arah pendidikan

Arah pendidikan menurut al-Ghazali adalah pendidikan moral berlandaskan agama tanpa mengabaikan aspek-aspek keduniaan Sulaiman, 1986: 24). Aspek- aspek duniawi dipahami sebagai sarana pencapaian tujuan pendidikan yang mesti ada. Duniawi hanyalah sarana dan tidak perlu larut dengannya.

c. Tujuan pendidikan

Pendidikan harus mencapai keutamaan dan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, bukan untuk mencari kedudukan tinggi atau kemewahan. Manusia akan tersesat dan hidup penuh madharat jika menempuh pendidikan dengan tujuan selain itu.23 Rumusan tujuan pendidikan al-Ghazali tersebut nampak jelas

20 Assegaf, Aliran Pemikiran Penidikan Islam., 87.

21 Busyairi Madjidi, Konsep pendidikan para Filosof Muslim, Al- Amin Press, Yogyakarta, 1997, 81-82.

22 al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin., 7.

23 Ramayulis dan Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh pendidikan Islam, Ciputat Press, Jakarta, 2005, 5.

(14)

VOL 1 NO 1(Desember, 2022)

e-ISSN: 27441044X

68 diwarnai ilmu tasawuf yang ia kuasai dan dan kepribadian hidupnya yang sangat zuhud terhadap urusan duniawi. Bagi al- Ghazali, orang yang orang berakal sehat adalah orang yang mampu menggunakan dunia untuk tujuan akhirat dengan derajat yang lebih mulia, karena dunia bukanlah tujuan.

d. Kurikulum Pendidikan

Perihal kurikulum pendidikan dapat dilihat dari pandangan al- Ghazali mengenai ilmu pengetahuan. Menurutnya ilmu dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Dari sisi hukumnyailmu terbagi atas fardhu ‘ain seperti ilmu agama dan cabang-cabangnya serta fardhu kifayah seperti ilmu kedokteran, pertanian, pengobatan, dan lain- lain. Sedangkan mnurut objeknya al- Ghazali membagi ilmu kedalam ilmu pengetahuan yang tercela seperti sihir, nujum dan azimat, aseta ilmu yang terpuji seperti yakni ilmu agama dan ibadat. Sedangkan filsafat dapat menjadikan terpuji atau tercela. Jika filsafat dikaji secara mendalam dapat menimbulkan kekacauan pikiran dan keraguan sehingga cenderung kufur.24 Secara terperinci kurikulum pendidikan menurut al- Ghazali meliputi :

1) Ilmu Syari’at sebagai ilmu terpuji, terdiri dari :

a) Ilmu Ushul, meliputi : Qur’an, Sunnah, pendapat sahabat dan ijma’ ulama

b) Ilmu furu’ meliputi fiqih dan akhlak

c) Ilmu pengantar meliputi Bahasa Arab dan gramatika

d) Ilmu pelengkap yakni Qira’at, Tafsir, biografi dan tarikh perjuangan sahabat

2) Ilmu Syari’at, terdiri dari :

a) Ilmu yang terpuji yaitu kedokteran, matematika dan ilmu perusahaan

b) Ilmu yang diperbolehkan yaitu kebudayaan, sastra dan sejarah

2. Metode pendidikan

Karena pemikiran pendidikan al- Ghazali berorientasi pada pendidikan akhlak maka metode pendidikan yang digunakan meliputi uswatun khasanah (memberikan teladan yang baik), riyadhah (olah batin) dan mujahadah (pelatihan/pembiasaan ibadah).25 Ketiganya dikemas dengan baik dan dikomunikasikan pada anak didik berdasarkan kondisi social dan usia perkembangan anak. Ketepatan dalam memberikan perlakuan anak adalah kunci keberhasilan pendidikan.

24 Ibid, 8.

25 al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin., 59.

(15)

VOL 1 NO 1(Desember, 2022)

e-ISSN: 27441044X

69 KESIMPULAN

Imam al-Ghazali tak hanya menjalankan tindakan-tindakan sufi, melainkan juga menulis buku-buku tasawuf. Karyanya yang paling gemilang di bidang ini adalah Ihya’ ‘Ulum al-Diin. Sejauh yangbisa dilihat dari karyanya ini, diketahui bahwa corak tasawuf al-Ghazali lebih dekat kepada tasawwuf khuluqi-‘amali ketimbang tasawwuf falsafi. Tak hanya bersandar kepada al-Qur’an dan Hadits yang menjadi ciri kuat tasawuf khuluqi-‘amali (kerap juga disebut tasawwuf sunni), melainkan juga al- Ghazali menuliskan pengalaman spiritual individualnya dalam buku ini. Dengan demikian, para pembaca kitab Ihya’ ‘Ulum al-Diin tak hanya dibuka wawasan sufistiknya dengan sejumlah perujukan kepada al-Qur’an dan Hadits, melainkan juga akan diperkaya dengan penjelasan-penjelasan spiritual yang bertumpu pada pengalaman batin Imam al-Ghazali. Inilah yang menyebabkan kitab Ihya’ ‘Ulum al- Diin menjadi bedadari yang lain

DAFTAR PUSTAKA

Abi Hamid Muhammad bin muhammad al-Ghazali, Imam. T.th.Ihya’ Ulumuddin, jil. I, Daar al-Kitaab al-Mu’allimah: Beirut Libanon.

---. Ihya’ Ulumuddin, jil. II, T.th. Daar al-Kitaab al-Mu’allimah: Beirut Libanon.

---. Ihya’ Ulumuddin, jil. IV, T.th. Daar al-Kitaab al-Mu’allimah: Beirut Libanon.

Abidin Ahmad, Zainal. 1975.Riwayat hidup Imam al-Ghazali, Surabaya: Bulan Bintang.

Al-Junayd, T.th.Rasail al-Junayd, Beirut: Daar al-Ilm.

Al-Rahman Badawi, Abd. 1977.Muallafat al-Ghazali, Kuwait: wakalah al- Matbu’at.

Al-Wafa al-Ghanimi Al-Taftazani, Abu. 2003. Sufi dari Zaman ke Zaman: Suatu Pengantar tentang Tasawuf. Diterjemahkan oleh Ahmad Rofi’ Utsmani dari Madkhal ilaa al-Tashawwuf al-Islam. Bandung: Pustaka.

Amalia, Euis. 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Depok: Gramata Publishing.

Aziz Dahlan (ed), Abdul. 1996.Ensiklopedi Hukum Islam, jil. 2Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve.

Aziz, Abdul. 2011. Ekonomi Sufistik Model Imam Al Ghazali Telaah Analitik Terhadap Pemikiran al-Ghazali Tentang Moneter dan Bisnis, Bandung: Penerbit Alfabeta.

Azra, Azyumardi. 1995.Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan.

Azwar Karim, Adiwarman. 2012. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Bashuni, Ibrahim. T.th.Nash’at al-Tasawwuf al-Islami, Mesir: Daar al-Maarif. Halim Mahmud, Abdul. 1973. Ustadh al-Saairin al-Harith ibn Asad al-Muhasibi, Kairo:

Daar al-Kutub al-Hadithat.

(16)

VOL 1 NO 1(Desember, 2022)

e-ISSN: 27441044X

70 Hanafi, Ahmad. 1996.Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang.

Isa, Ahmad. 2008. Tokoh-Tokoh Sufi Tauladan Kehidupan yang Saleh. Jakarta: Pustaka.

Madjid, Nurcholis. 1997.Kaki Langit Perbedaan Islam, Jakarta: Paramadina.

---Nurcholish. 1995. Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina.

Madkhur, Ibrahim. 1976. Fii al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj Wa Tatbiquh, Mesir:

Daar al-Maa’arif.

Maftukin, 2012. Filsafat Islam, Jogjakarta: Teras

Musthafa al-Shaybi, Kamil. T.th.Al-Silah bayn al-Tasawuf wa al-Tashayyu’, Mesir: Daar al-Maarif.

Rahman, Fazlur. 2000.Islam, Bandung: Penerbit Pustaka.

Referensi

Dokumen terkait

Nilai amanah, menjelaskan bahwa ilmu pendidikan islam adalah sebuah amanah dari Allah bagi setiap orang yang terlibat dalam dunia pendidikan.. Orang yang mengembangkan