KARAKTERISTIKORGANOLEPTIKDANFISIKO-KIMIASE’IIKANTUNA DENGANPEWARNAALAMIANGKAK
ORGANOLEPTIC AND PHYSICO-CHEMICAL CHARACTERISTICS OF TUNA FISH WITH NATURAL DYEING ANGKAK
Hardoko Hardokoa,*, Eddy Suprayitnoa, Jeny Ernawati Tambunana, Santi Dwi Lestaria
aProdi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Brawijaya, Jl. Veteran No. 1 Malang, Indonesia
*Koresponden penulis (Alamat email) : [email protected]
Abstrak
Se’i merupakan produk olahan daging asap khas NTT yang berbentuk irisan memanjang, beraroma asap cukup kuat, dan berwarna coklat sehingga terkadang kurang menarik konsumen. Dilain hal terdapat angkak sebagai pewarna alami yang aman dan sudah diterapkan berbagai produk pangan sehingga warna atau penampilan produk menjadi lebih menarik. Oleh karena itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk memperbaiki performa se’i ikan tuna dengan mengaplikasikan pewarna alami angkak. Metode penelitian yang digunakan metode eksperimen dengan perlakuan perendaman (marinasi) daging ikan tuna dalam larutan angkak dan bumbu selama 0, 6, 12, 24 jam, dan dilanjutkan dengan proses pengasapan sehingga dihasilkan se’i tuna-angkak.
Hasilnya menunjukkan bahwa se’i tuna memunyai skoring intensitas warna merah sampai merah kecoklatan, skoring intensitas aroma asap sedikit berasa dan beraroma asap, bertekstur agak empuk, dan berkadar air 38,67 – 55,33%. Se’i tuna-angkak yang paling disukai adalah hasil hasil marinasi selama 6 jam. Se’i tuna hasil marinasi 6 jam mempunyai nilai hedonik keseluruhan 6,6 (suka-sangat suka), nilai skoring intensitas warna 4,4 (merah), aroma asap 3,5 (agak beraroma asap), skoring intensitas tekstur 4,2 (agak empuk), kadar air 38,67%, dan kadar peroksida 0,22 meq/Kg, serta nilai warna oHue 36,46 dengan L (lightnes) 68,47 (merah cerah).
Kata kunci: Angkak, Hedonik, Marinasi, Merah, Se’i Tuna
Abstract
Se'i is a processed smoked meat product typical of NTT which has the shape of long slices, has quite a strong smell of smoke, and is brown in color so that it is sometimes less attractive to consumers. On the other hand, Angkak is a natural dye that is safe and has been used in various food products so that the color or appearance of the product becomes more attractive. Therefore, a research was carried out with the aim of improving the performance of tuna se'i by applying the natural Angkak dye. The research method used was the experimental method by immersing (marinating) tuna meat in a solution of Angkak and seasonings for 0, 6, 12, 24 hours, and followed by the smoking process to produce se’i tuna Angkak. The results show that se'i tuna has a red to brownish red color intensity score, a smoke aroma intensity score with a slight taste and smell of smoke, a slightly soft texture, and a water content of 38.67 - 55.33%. The most preferred se'i tuna Angkak is the result of marination for 6 hours. Se'i tuna marinated for 6 hours has an overall hedonic value of 6.6 (likes to very much), color intensity scoring value is 4.4 (red), smoke aroma is 3.5 (slightly smells of smoke), texture intensity score is 4.2 (a bit soft), 38.67% water content, and 0.22 meq/Kg peroxide content, and oHue color value 36.46 with L (lightness) 68.47 (bright red).
Keywords: Angkak, Hedonic, Marinating, Red, Se’i Tuna
PENDAHULUAN
Ikan tuna merupakan jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan termasuk dalam jenis ikan yang paling banyak dicari di laut Indonesia. Ikan tuna berkadar protein
tinggi dan mempunyai rasa yang cukup lezat.
Secara nutrisi ikan tuna mengandung asam amino essensial khususnya lisin, metionin dan triptofan yang jauh lebih tinggi daripada protein nabati. Selain itu, ikan tuna juga mengandung vitamin dan mineral yang baik
bagi tubuh [1]. Ikan tuna memiliki kandungan protein 22,6-26,2 g/100g daging serta kandungan lemak sebesar 0,2-2,7 g/100g daging [2] .
Indonesia termasuk negara dengan potensi ikan tuna tertinggi di dunia. Tercatat total produksi tuna mencapai 613.575 ton per tahunnya [3]. Namun ikan termasuk bahan pangan yang memiliki sifat mudah membusuk (perishable food). Oleh karena itu, diperlukan proses pengolahan dan pengawetan yang bertujuan untuk menghambat aktivitas mikroorganisme perusak atau enzim-enzim yang dapat menyebabkan kemunduran mutu atau kerusakan pada ikan, sehingga nilai gizi ikan tidak hilang. Pengawetan ikan dapat dilakukan dengan cara pembekuan, perebusan, pengasinan, pengeringan dan pengasapan [4].
Di beberapa daerah di Indonesia, ikan tuna sering diawetkan dengan cara pengasapan [5].
Namun, ikan asap yang dibuat umumnya dalam bentuk ikan utuh atau dibelah sehingga konsumen terganggu dengan adanya duri dan bentuk ikan yang masih utuh menyulitkan dalam proses pengemasan [6]. Masalah lain terkait dengan ikan asap adalah aroma asap yang kuat yang kadang kurang disukai konsumen sebagai akibat proses pengasapan yang lama.
Dilain pihak terdapat makanan khas Indonesia yang diolah dan diawetkan dengan pengasapan tetapi tanpa tulang dan berbentuk irisan tipis memanjang, yaitu se’i. Produk se’i cukup disukai oleh masyarakat Indonesia dan barangkali dapat dijadikan solusi untuk mengatasi permasalahan ikan asap. Pada awalnya Se'i popular di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan banyak terbuat dari dari daging babi, sapi, kerbau, kuda, atau rusa [7] dan kemudian berkembang diluar NTT.
Karakteristik dari olahan se’i yaitu memiliki warna yang bervariasi mulai dari cokelat muda, coklat tua, sampai coklat kemerahan merupakan hasil penggunaan salpeter atau sendawa atau potassium nitrat (KNO3). Akan tetapi, penggunaan saltpeter dalam jumlah tinggi sebagai nitrat akan meninggalkan residu berbentuk nitrosamin yang dapat bersifat karsinogenik pada se’i. Oleh karena itu, diperlukan pewarna alami yang aman dalam pembuatan se’i.
Salah satu bahan alami yang dapat digunakan sebagai pewarna dalam pengolahan
daging se’i yaitu angkak yang merupakan hasil fermentasi beras dengan ragi Monascus [8].
Penggunaan angkak sebagai pewarna alami telah diterapkan pada berbagai produk seperti margarine [9-10], sosis ikan kembung [11], sosis ayam [12], cookies dan roti [13], pewarna terasi [14], pewarna kornet [15]. Selain sebagai pewarna, angkak juga bersifat antioksidan [16]
dan juga bersifat antimikroba sehingga dapat bertindak sebagai pengawet [17-18].
Dengan melihat potensi ikan tuna, permasalahan ikan asap, permasalahan penggunaan salpeter, maka perlu dilakukan penelitian pembuatan se’i tuna menggunakan pewarna alami angkak. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi produk se’i tuna yang diberi pewarna alami angkak. Diversifikasi produk dari ikan tuna menjadi se’i berpewarna angkak diharapkan dapat meningkatkan penampilan se’i tuna, meningkatkan tingkat konsumsi masyarakat pada ikan, serta meningkatkan nilai tambah ikan tuna.
METODE
Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan dalam adalah ikan tuna sirip biru (Thunnus maccoyii), bumbu, dan bubuk angkak. Ikan tuna sirip biru diperoleh dari pasar Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur memiliki panjang 40-50 cm dan berat 640-875 gram/ekor. Angkak yang digunakan berbentuk bubuk merk “Top-Ho”
dan diperoleh melalui e-commerce Shopee.
Bumbu yang digunakan berupa garam, bawang putih, bawang merah, merica, gula, ketumbar, jahe diperoleh dari Pasar Bunul, Malang.
Bahan untuk proses pengasapan meliputi serabut kelapa kering, batok kelapa dan arang kayu. Adapun bahan kimia unuk analisis meliputi larutan asam asetat (CH3COOH) (merk Emsure), kloroform (CHCl3) (merk Emsure), natrium thiosulfate (Na2S2O3) (merk Emsure), kalium iodida (KI) (merk Emsure), tepung tapioka (Cap Swan 480 g). Bahan untuk uji organoleptik bahan-bahan yang dibutuhkan antara lain sampel se’i tuna, bubuk kopi dan air mineral.
Pembuatan Larutan Angkak dan Bumbu Proses pembautan larutan angkak mengacu pada [8]. Proses pembuatan larutan angkak dilakukan dengan cara menimbang bubuk
angkak 25 gram dan ditambah air sebanyak 200 mL (rasio 1:8), diaduk dan kemudian direbus hingga mendidih selama sekitar 2 menit. Air rebusan angkak didinginkan selama 1 hari (24 jam) dalam kondisi tertutup.
Selanjutnya larutan diambil 120 gram dan di encerkan dalam 250 ml air sehingga terbentuk larutan angkak yang siap digunakan. Setelah larutan angkak siap, maka dilakukan proses penghalusan bumbu-bumbu yang terdiri dari garam, bawang putih, bawang merah, merica, gula, ketumbar dan jahe. Bumbu yang telah halus dilarutakan dan larutan angkak sehingga siap digunakan untuk merendam daging ikan tuna.
Proses Pembuatan Se’i Tuna
Pembuatan se’i tuna mengacu pada [19].
Ikan tuna dicuci menggunakan air mengalir dan dilanjutkan dengan proses penyiangan dan pemfiletan. Penyiangan dilakukan untuk membuang insang dan isi perut ikan.
Pemfiletan dilakukan untuk memisahkan daging ikan dari tulang dan kepala ikan sehingga dihasilkan dua lembaran daging ikan beserta kulitnya. Selanjutnya kulit ikan dipisahkan dari dagingnya dan lembaran filet tanpa kulit diperoleh dipotong memanjang dengan lebar sekitar 3 cm mebentuk irisan silindris. Selanjutnya, irisan daging ikan tuna direndam dalam larutan campuran angkak dan bumbu selama 0 jam, 6 jam, 12 jam, dan 24 jam dan ditaruh didalam kulkas. Tahap selanjutnya yaitu menyiapkan alat pengasap yaitu dengan membakar arang kayu, batok kelapa dan serabut kelapa hingga mengeluarkan asapnya saja. Ketika menunggu alat pengasapan siap digunakan, daging diletakan pada rak pengasapan yang telah dikeluarkan terlebih dahulu dari lemari asap guna meniriskan dan setelah tiris irisan daging ikan tuna diasap sampai cukup matang dengan lama pengasapna sekitar 1 jam. Setelah matang, se’i tuna diangkat dan diangin- anginkan pada suhu ruang dan dikemas dengan plastik untuk pengujian parameter.
Analisis Parameter dan data
Parameter se’i tuna yang dianalisis meliputi organoleptik hedonik [20], organoleptik skoring [21], bilangan peroksida [22], dan kadar air [23]. Data parameter dianalisis menggunakan program SPSS 16.0.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Organoleptik Hedonik Se’i Tuna-Angkak Organoleptik hedonik digunakan untuk mengukur tingkat kesukaan terhadap suatu produk [24]. Karakteristik hedonik se’i tuna yang diberi pewarna alami angkak berdasar kenampakan, aroma, rasa, tekstur, dan keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik hedonik se’i tuna dengan pewarna alami angkak
Atribut Hedonik
Lama perendaman
0 Jam 6 Jam 12 Jam 24 Jam Kenampakan 5,7b 6,4b 6,2ab 5,9b
Aroma 5,7a 5,8a 5,6a 5,5a
Rasa 6,1a 6,6b 6,4b 5,8a
Tekstur 5,8a 6,4b 5,9a 5,7a
Keseluruhan 5,8a 6,6b 6,5b 5,8a Keterangan:
- notasi huruf superscript pada lajur yang sama menyatakan beda nyata p<0.05
- Skala: 1 = sangat tidak suka; 2 = tidak suka; 3= agak tidak suka;
4= netral; 5= agak suka; 6= suka; 7= sangat suka
Kenampakan didefinisikan sebagai sifat- sifat visual suatu produk yang meliputi ukuran, bentuk, warna dan kesesuaian produk, serta merupakan sifat yang sangat penting dalam menunjang kualitas atau mutu produk [24].
Secara umum se’i tuna dengan pewarna angkak lebih disukai daripada yang tanpa pewarna (kontrol atau lama perendaman 0 jam), namun se’i yang paling disukai adalah hasil perendaman daging tuna selama 6 jam dalam larutan angkak. Hal ini menunjukkan bahwa angkak dapat meningkatkan kesukaan kenampakan se’i tuna. Tingkat kesukaan terhadap kenampakan se’i bisa terkait dengan warna merah cerah yang diberikan oleh angkak. Hal ini terkait dengan pernyataan [25]
bahwa angkak memiliki pigmen merah yang berasal dari Monascus. Terdapat 2 jenis pigmen merah yang terbentuk selama proses fermentasi oleh Monascus, yaitu:
rubropunctamin (C21H23NO4) dan monascorubramin (C23H27NO4). Dibandingkan dengan kesukaan se’i sapi dan cakalang asap se’i tuna dengan pewarna alami angkak masih lebih disukai, dimana tingkat kesukaan kenampakan se’i daging sapi bernilai 4 (suka) [26] dan kesukaan kenampakan ikan cakalang asap bernilai 5 (cukup suka) [27].
Aroma menurut [28], merupakan sesuatu yang dapat diamati dengan indera pembau
(hidung), untuk dapat menghasilkan bau atau aroma maka zat-zat aroma harus dapat menguap. Namun pemberian pewarna angkak terlihat tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan pada aroma se’i tuna (Tabel 1). Hal ini sejalan dengan [29] pada terasi yang ditambah angkak, tingkat kesukaan terhadap aroma aroma terasi juga tidak beda.
Dibanding dengan se’i lain, tingkat kesukaan aroma se’i daging sapi [26] memiliki nilai sebesar 4 (cukup suka). Pada penelitian [27], tingkat kesukaan aroma ikan cakalang asap memiliki nilai sebesar 5 (suka). Tinggi rendahnya nilai aroma dipengaruhi oleh jenis kayu yang digunakan dalam proses pengasapan. Kurangnya nilai bau tersebut diduga sebagai akibat dari pelepasan senyawa- senyawa lain yang tidak dikehendaki yang ikut bersama-sama di dalam asap. Jenis kayu yang baik untuk pengasapan adalah banyak mengandung senyawa-senyawa yang mudah terbakar, kayu yang lambat terbakar, dan menghasilkan asap. Jenis dan kondisi kayu juga menentukan jumlah asap yang akan dihasilkan [30].
Rasa berhubungan dengan komponen bahan yang dapat ditangkap oleh indera perasa (lidah). Rasa merupakan salah satu variabel penentu dalam tingkat penerimaan panelis terhadap suatu produk. [24]. Tingkat kesukaan terhadap rasa Se’i tuna yang diberi pewarna angkak yang paling disukai adalah hasil prendaman daging tuna selama 6 jam, meskipun secara statistik tidak beda dengan yang direndam 12 jam. Tingkat kesukaan terhadap rasa se’i tuna-angkak barangkali terkait dengan rasa angkak yang sedikit pahit oleh adanya senyawa alkaloid [25]. Jadi, jika terlalu lama daging tuna terendam dalam larutan angkak maka akan mempengaruhi rasa dari se’i yaitu menjadi pahit. Hal yang mirip juga dilaporkan oleh [31] pada saos tomat yang ditambahkan angkak. dapat berasal dari angkak. Angkak selain berfungsi sebagai pewarna dapat juga sebagai pengawet dan pembangkit rasa pada makanan karena mengandung oligopeptida. Dibandingkan dengan produk se’i lain, tingkat kesukaan terhadap rasa se’i tuna-angkak lebih tinggi, dimana tingkat kesukaan rasa se’i daging sapi [26] memiliki nilai 4 (cukup suka) ikan cakalang asap memiliki nilai 5 (suka) [27].
Tingkat kesukaan terhadap rasa dipengaruhi
oleh lemak bahan [32], komponen asap seperti fenol, karbonil dan asam-asam organic [27], dan kebiasaan mengkonsumsi makanan dengan rasa tertentu, serta tradisi di suatu daerah [33].
Tekstur adalah penginderaan yang dihubungkan dengan rabaan atau sentuhan.
Tekstur juga dianggap sama pentingnya dengan aroma, rasa dan kenampakan karena mempengaruhi citra makanan [34]. Tabel 1 menunjukkan bahwa tekstur se’i tuna yang paling disukai adalah yang dagingnya direndam dalam larutan angkak 6 jam, sedang perlakuan perendaman yang lain tidak beda nyata. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan [25] panelis cenderung menyukai sosis ikan kembung dengan penambahan angkak. Hal tersebut diduga karena angkak terbuat dari beras yang memiliki kandungan pati 85-90% dan mampu meningkatkan daya ikat air, serta berpengaruh terhadap tekstur dari produk sosis. Selain itu, tingkat kesegaran bahan baku sebelum diolah juga dapat mempengaruhi tekstur yang dihasilkan, juga kandungan airnya[35.
Penerimaan keseluruhan merupakan penilaian hedonik gabungan dari seluruh atribut penilaian sensori yaitu aroma, warna, rasa dan tekstur. Sejalan dengan hedonik atribut se’i tuna yang lain, se’i tuna yang paling disukai secara keseluruhan adalah yang dagingnya direndam dalam larutan angkak selama 6 jam, meskipun secara statistik tidak beda dengan yang direndam 12 jam, namun mempunyai nilai lebih tinggi. Menurut [36], pemanfaatan angkak dalam makanan berperan sebagai pewarna alami dan berpengaruh terhadap peningkatan cita rasa makanan dan kesukaan secara keseluruhan. Dibandingkan dengan ikan tongkol asap [37], memiliki nilai sebesar 5,2 (agak suka) yang masih lebih rendah dibanding se’i tuna dengan pewarna angkak. Asap berperan penting dalam pembentukan aroma, rasa dan tekstur.
Komponen utama dalam asap yang berperan penting yaitu fenol [38].
Organoleptik Skoring Se’i Tuna-Angkak Organoleptik skoring menggambarkan intensitas atribut organoleptik dari produk.
Intensitas atribut organoleptik se’i tuna dengan pewarna almi angkak disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik organoleptik skoring se’i tuna dengan pewarna angkak
Skoring Atribut
Lama perendaman
0 Jam 6 Jam 12 Jam 24 Jam
Warna 5,8b 4,4a 4,7ab 4,9ab
Rasa ikan 3,9ab 3,6b 3,5b 4,1a Rasa asap 3,7a 3,8a 3,6a 3,6a Aroma asap 3,7a 3,5a 3,4a 3,5a
Tekstur 4,4a 4,2a 4,1a 4,4a
Keterangan:
- Notasi huruf superscript pada lajur yang sama menunjukkan beda nyata p<0,05
- Warna : 1= merah sangat cerah; 2= merah cerah; 3= merah agak cerah; 4= merah; 5= merah kecoklatan; 6= merah sangat kecoklatan
- Rasa ikan : 1= sangat tidak gurih; 2= tidak gurih; 3= agak gurih; (4) cukup gurih; (5) gurih; (6) sangat gurih
- Rasa asap: (1) sangat tidak terasa asap; (2) tidak terasa asap;
(3) agak terasa asap; (4) cukup terasa asap; (5) terasa asap; (6) sangat terasa asap
- Aroma asap : (1) tidak beraroma khas; (2) kurang beraroma;
(3) agak beraroma; (4) cukup beraroma; (5) beraroma kuat; (6) aroma sangat kuat
- Tekstur : (1) keras; (2) agak keras; (3) cukup keras; (4) agak empuk; (5) cukup empuk; (6) sangat empuk
Penambahan zat pewarna pada makanan bertujuan agar makanan menjadi lebih menarik. Penampilan makanan, terutama warna merah dan kuning, sangat berpengaruh untuk menggugah selera makan. Identik dengan gairah dan energi, makanan dengan warna merah selalu sukses menggugah selera [25]. Tabel 2 memperlihatkan bahwa makin lama perendaman daging cenderung memberikan intensitas warna merah lebih coklat, terlebih yang tidak direndam larutan angkak. Hal ini mengindikasikan bahwa makin lama perendaman akan meningkatkan warna yang terserap. Lama perendaman 6 jam menghasilkan warna merah. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan [39], bahwa ekstrak angkak berpengaruh nyata terhadap warna yoghurt, makin tinggi konsentrasi angkak menghasilkan intensitas warna merah yang lebih pekat. Selain itu, pada proses pengasapan terjadi proses maillard.
Pada reaksi maillard, gugus karbonil dari gula pereduksi (aldosa) bereaksi dengan gugus amina primer dari bahan pangan berwarna cokelat yang disebut melanoidin (pigmen berwarna coklat). Pada penelitian [40], skor yang diperoleh pada warna ikan cakalang asap memiliki nilai sebesar 6.4 (coklat gelap). Skor warna se’i daging sapi pada penelitian [41]
memiliki nilai sebesar 3 (merah gelap). Faktor- faktor yang dapat memperngaruhi warna produk yaitu perbedaan bahan baku,
penggunaan asap cair, lama pengasapan dan suhu pengasapan. Lama pengasapan dan suhu selama proses pengasapan yang berbeda dapat mempengaruhi jumlah asap dan senyawa fenol yang melekat pada daging sei sehingga memberikan kenampakan warna yang berbeda [33].
Rasa merupakan sesuatu yang diterima oleh indera pengecap yaitu lidah. Menurut [34], rasamerupakan salah satu faktor yang dapat menentukan suatu produk dapat diterima atau tidak oleh panelis ataupun konsumen. Rasa ikan pada se’i yang diberi pewarna angkak (Tabel 2) berkisar agak gurih samapi cukup gurih. Pemberian angkak bisa dikatakan cenderung mengurangi rasa gurih dari se’i tuna. Hal ini diduga terkait dengan proses pembuatan angkak. Menurut [42], bahwa angkak mengandung enzim amilase dan selulase dari Monascus sp. Enzim amilase berperan dalam mengubah pati menjadi glukosa. Pengubahan pati menjadi glukosa, akan menghasilkan rasa yang agak manis dan gurih. Selain itu, rasa gurih pada ikan asap dihubungkan dengan adanya senyawa seperti asam glutamat atau garamnya. Asam glutamat bebas terkandung pada seluruh spesies ikan dan merupakan kontributor rasa gurih atau umami [43]. Faktot perlakuan sebelum pengasapan seperti penggaraman dan kuring juga akan berpengaruh terhadap rasa ikan asap [44].
Perlakuan perendaman daging tuna pada larutan angkak dan bumbu ternyata tidak berpengaruh terhadap rasa asap dan aroma asap se’i tuna (Tabel 2), dimana se’i tuna agak terasa asap dan agak beraroma asap. Dengan demikian rasa dan aroma asap lebih terkait dengan lama proses pengasapan dan jenis kayu yang digunakan. Rasa asap yang ditimbulkan pada produk asap yaitu karena adanya kandungan senyawa fenol. Senyawa fenol merupakan konstituen mayor yang berperan dalam pembentukan rasa pada produk asap.
Senyawa fenol yang berperan dalam pembentukan rasa asap adalah guaikol, 4-metil guaikol, dan 2,6-dimetoksi fenol [43].
Sementara itu, aroma pada produk asap juga disebabkan oleh kandungan fenol pada asap.
Zat fenol yang terbentuk selama proses pengasapan dapat memberikan cita rasa, warna dan aroma pada produk asap. Komponen zat kimia pada asap akan menempel pada kulit
ikan dan akan masuk ke dalam daging ikan sehingga akan mempengaruhi bau khas pada produk asap. Senyawa fenol yang lebih berperan dalam pembentukan aroma asap adalah siringol [44]. Pada penelitian [40], skor yang diperoleh pada aroma asap ikan cakalang asap memiliki nilai sebesar 6,24 (aroma yang lebih khas dan lebih harum). Sementara itu, skor aroma asap se’i daging sapi pada penelitian [41] bernilai 4 (cukup beraroma).
Organoleptik tekstur menurut [45], merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan rasa, sentuhan, penglihatan dan pendengaran yang meliputi penilaian terhadap kebasahan, kering, keras, halus dan kasar.
Penilaian tekstur makanan dapat dilakukan dengan menggunakan gigi, langit-langit dan jari. Intensitas tekstur se’i yang diberi pewarna angkak ternyata lama perendaman daging dalam larutan angkak tidak mempengaruhi tekstur se’i tuna. Tekstur se’i yang dihasilkan sekitar 4 (agak empuk). Dengan demikian ada faktor lain yang mempengaruhi tekstur se’i tuna angkak. Faktor yang mempengaruhi tekstur dapat berupa kandungan air produk, suhu pemanasan, dan lama pengasapan [46].
Pada penelitian [40], skor yang diperoleh pada tekstur cakalang asap memiliki nilai sebesar 5,92 (kompak). Skor tekstur se’i daging sapi pada penelitian [47] memiliki nilai sebesar 2 (keras). Sedangkan, pada penelitian ini rasa asap yang dihasilkan yaitu agak empuk.
Kadar Air Se’i Tuna
Kadar air yang terkandung dalam suatu bahan pangan sangat berpengaruh terhadap daya simpannya sehingga kadar air juga mempengaruhi kualitas suatu bahan pangan [48-49] Kadar air se’i tuna hasil perendaman daging larutan angkak dan bumbu dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Grafik kadar air se’i tuna hasil perendaman daging dalam larutan angkak
Gambar 1 menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan kadar air seiring dengan lama perendaman sampai suatu titik kesetimbangan kadar air yang sama dengan kadar air daging tuna yang tanpa perendaman larutan angkak. Kadar air terendah didapat pada se’i hasil perendaman daging tuna selama 6 jam. Fenomena ini mengindikasikan adanya pertukaran air dalam daging tuna dengan larutan angkak. Menurut [8], hal ini dikarenakan selama proses perendaman ekstrak angkak akan meresap ke dalam daging bersama pigmen yang terkandung dalam angkak dan akan ditahan di dalam otot daging, meskipun selama proses pengasapan banyak air daging yang berkurang akan tetapi masih banyak air yang terperangkap di dalam otot daging. Berdasarkan SNI 2725:2013 batas maksimum kadar air pada produk ikan asap yaitu 60%. Hasil kadar air pada se’i tuna angkak memiliki nilai yang cukup rendah yaitu pada kisaran 38,67-55,34%. Dengan demikian kadar air se’i tuna yang direndam terlebih dahulu dalam larutan angkak telah memenuhi syarat mutu SNI 2725:2013 dan layak untuk dikonsumsi.
Kandungan air se’i daging sapi pada penelitian [50], memiliki nilai 55,58%, dimana nilai tersebut lebih tinggi dari se’i tuna-angkak.
Tinggi rendahnya kadar air dapat dipengaruhi oleh lama dan suhu pengasapan. Kadar air produk asap juga dipengaruhi oleh kondisi awal bahan baku ikan yang masih segar atau beku sebelum diasapi [51]. Selain itu, menurut [35] bahan yang ditambahkan pada proses pembuatan se’i juga akan mempengaruhi kadar air se’i, salah satunya yaitu penambahan angkak. Semakin tinggi konsentrasi angkak yang ditambahkan maka kadar air akan semakin meningkat, meskipun pada saat proses pengasapan akan berkurang, namun masih banyak air yang terperangkap dalam daging.
Bilangan Peroksida Se’i Tuna
Bilangan peroksida merupakan nilai terpenting untuk menentukan derajat kerusakan pada minyak atau lemak. Asam lemak tidak jenuh dapat mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya sehingga akan membentuk peroksida. Bilangan peroksida menunjukkan
55,33±3.51a
38,67±3.51b
47±5.57ab 55,33±2.89a
0 20 40 60 80
0 6 12 24
Kadar Air (%)
Lama Perendaman Daging Tuna (jam) Keterangan: notasi huruf superscript menunjukkan beda nyata α=0.05
mulai terjadinya oksidasi dari minyak atau lemak [52]. Menurut [53] bilangan peroksida terjadi karena oksidasi dari ikatan rangkap pada asam lemak tidak jenuh dimana peroksida dan hidroperoksida terbentuk akibat oksigen meningkat. Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan asam lemak jenuh, meningkanya jumlah peroksida seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan.
Bilangan peroksida se’i tuna hasil perendaman daging dalam larutan angkak dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Grafik bilangan peroksida se’i tuna hasil perendaman daging dalam larutan angkak
Pada Gambar 2 terlihat adanya kecenderungan penurunan nilai bilangan peroksida seiring dengan naiknya lama perendaman daging dalam larutan angkak.
Penurunan bilangan peroksida tersebut pada se’i tuna diduga terkait dengan sifat angkak sebagai antioksidan, dimana semakin lama perendaman akan semakin banyak angkak yang terserap dalam daging sehingga akan semakin menurunkan atau mencegah terjadinya proses oksidasi. Hal ini mengindikasikan makin banyaknya angkak yang terserap sehingga peran angkak sebagai antioksidan semakin nyata. Salah satu metabolit sekunder yang dihasilkan oleh proses fermentasi oleh kapang Monascus sp. adalah senyawa asam dimerumat yang dapat menghambat ion-ion logam yang menyebabkan peroksidasi lemak jika bereaksi dengan asam lemak. Angkak dari beras memiliki aktivitas antioksidan sebesar 45,61%
[25]. Umumnya, se’i daging sapi yang ada di pasaran dapat bertahan hingga 25 hari [54].
Disamping itu, bilangan peroksida pada
perlakuan perendaman dalam larutan angkak selama 0 jam dan 6 jam lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan perendaman dalam larutan angkak selama 12 jam dan 24 jam. Hal ini dapat disebabkan proses pengasapan yang dilakukan. Menurut [55], radikal bebas dapat dihasilkan karena pembakaran yang tidak sempurna seperti asap kendaraan dan asap rokok.
Bilangan peroksida ikan asap pada penelitian [55], memiliki nilai sebesar 5,07- 5,20 meq O2/kg. Nilai ini masih lebih tinggi daripada nilai bilangan peroksida se’i tuna- angkak. Hal ini dapat dipengaruhi oleh lama waktu pengasapan dan lama penyimpanan.
Antioksidan dapat berfungsi untuk mengurangi proses oksidasi asam lemak tak jenuh pada produk dengan penghambatan pembentukan hidroperoksida. Senyawa fenol berfungsi sebagai antioksidan dan dapat mengurangi proses oksidasi dengan menghambat pembentukan hidroperoksida [41].
Warna Fisik Se’i Tuna
Warna fisik Sei tuna angkak diukur menggunakan kromameter untuk mendapatkan parameter L, a, b dan karakter warnanya dihitung menggunakan derajad Hue. Hasil pengukuran parameter warna sei tuna angkak dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil pengukuran warna fisik se’i tuna dengan pewarna angkak
Perendaman L a b oHue
O jam 31,98 37,30 15,47 22,61
6 Jam 68,47 12,93 9,62 36,46
12 Jam 52,33 19,74 12,63 32,68
24 jam 45,81 25,03 13,39 25,62
Tabel 3 memperlihatkan nilai warna oHue se’i tuna berkisar 22,61 – 36,46. Berdasar standar warna [56] nilai tersebut berada pada standar warna merah yang mempunyai nilai
oHue 18-54o. Adapun yang membedakan warna merah dari masing-masing se’i adalah nilai L (kecerahan). Nilai L berkisar 1-100, dimana makin besar nilai L maka makin cerah warna produk. Tabel 5 juga menunjukkan bahwa makin lama perendaman dalam larutan angkak warna merah (oHue) dari sei tuna angkak kecerahannya makin menurun atau makin gelap. Se’i tuna angkak yang mempunyai warna merah paling cerah adalah sei tuna hasil perendaman larutan angkak 6
0,24a 0,22a
0,15b
0,11b
0 0,1 0,2 0,3 0,4
0 Jam 6 Jam 12 Jam 24 Jam
Bilangan Peroksida meq O2/Kg
Lama Perendaman Daging Tuna
Keterangan: notasi huruf superscript menunjukkan beda pada p<0.05
jam. Selanjutnya, nilai oHue makin menurun mendekati range warna merah-ungu (340o - 18o), juga berpengaruh pada kecerahan warna yang makin gelap. Keadaan warna fisik tersebut berkorelasi dengan nilai organoleptik skoring warna sei tuna angkak.
Penentuan Se’i Tuna Angkak Terbaik Pemilihan perlakuan terbaik dari lama perendaman daging tuna dalam laruan angkak ditentukan dengan menggunakan metode De Garmo. Parameter yang digunakan adalah kadar air, bilangan peroksida dan organoleptik.
Nilai tertinggi yang diperoleh dari hasil perhitungan De Garmo adalah perlakuan lama perendaman 6 jam daging tuna dalam larutan angkak. Dengan demikain se’i tuna hasil perendaman daging tuna selama 6 jam dalam larutan angkak merupakan perlakuan terpilih dan terbaik. Selanjutnya, karakteristik se’i tuna terbaik tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Komposisi gizi se’i tuna angkak Komposisi Kimia
Se’i Tuna Angkak-
Kontrol
Se’i Tuna Angkak-6 jam
SNI 2725.1- 2009
Hedonik Aroma 5,7 5,9 -
Hedonik
Kenampakan 5,9 6,4 -
Hedonik Rasa 6,1 6,6 -
Hedonik Tekstur 5,8 6,4 -
Hedonik
Keseluruhan 5,8 6,6 -
Skoring Warna 5,8 4,4 -
Skoring Rasa Ikan 3,9 3,6 -
Skoring Rasa
Asap 3,7 3,9 -
Skoring Aroma
Asap 3,8 3,5 -
Skoring Tekstur 4,4 4,1 -
Bilangan Peroksida
(meq/kg) 0,24 0,22 -
Air (%) 55,33 38,67 Maks 60
Protein (%) - 49,67 Min 15
Lemak (%) - 0,81 Maks 20
Abu (%) - 6,93 Maks 15,53
Karbohidrat (%) - 2,92 -
Perlakuan terpilih (Lama perendaman dalam larutan angkak 6 jam) bila dibanding dengan kontrol (tanpa perendaman larutan angkak), terlihat adanya peningkatan performance fisik organoleptik dan kimia.
Peningkatan performance kimia terlihat adanya penurunan kadar bilangan peroksida dan kadar air, peningkatan kecerahan warna merah dan nilai hedonik sei tuna angkak.
KESIMPULAN
Perlakuan perendaman daging tuna dalam larutan angkak selama 6 jam merupakan perlakuan terbaik untuk pembuatan se’i tuna.
Produk se’i tuna ini berkarakteristik hedonik aroma 5,8 (suka), hedonik kenampakan 6,4 (suka), hedonik rasa 6,6 (suka), hedonik tekstur 6,4 (suka), penerimaan keseluruhan 6.6 (suka), skoring warna 4,68 (merah), skoring rasa ikan 3,63 (agak gurih), skoring rasa asap 3,94 (agak terasa asap), skoring aroma asap 3,53 (agak beraroma), skoring tekstur 4,16 (agak empuk), kadar air 38,67%, dan bilangan peroksida 0,22 meq O2/kg.
Komposisi gizi yang terkandung dalam se’i tuna hasil perendaman larutan angkak yaitu kadar karbohidrat sebesar 2,92%, kadar protein 49,67%, kadar lemak 0,81% dan kadar abu 6,93%.
UCAPANTERIMAKASIH
Ucapan terima kasih dapat diberikan kepada LPDP yang telah mendanai penelitian ini yang bekerjasama dengan BRIN melalui Program RIIM Gelobang 1 tahun 2022 No.
32/IV/KS/06/2022 DAFTARPUSTAKA
[1] M. N. Mailoa, E. Lokollo, D.M. Nendissa, dan P.I. Harsono, “Karakteristik mikrobiologi dan kimiawi ikan tuna asap”. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia, vol. 22 no.1, hal.
89-99, 2019.
[2] F.V. Lombu, A.T. Agustin, dan E.V.
Pandey, ‘Pemberian konsentrasi asam asetat pada mutu gelatin kulit ikan tuna,” Media Teknologi Hasil Perikanan, vol. 3, no. 2, hal. 25-28, 2015.
[3] W.A. Lestari, dan P. Dwiyana,
‘Pemanfaatan limbah tulang ikan tuna (Thunnus sp.) dalam bentuk tepung pada pembuatan stick.” Jurnal Ilmu Kesehatan, Vol. 8, no. 2, hal. 46-53, 2016.
[4] A. Leki, dan M. Mardyaningsih,
“Karateristik mutu se’i tuna yang diproses menggunakan metode liquid smoking, smoking cabinet dan tungku tradisional.” Prosiding Sentrinov (Seminar Nasional Terapan Riset Inovatif), vol. 3, no. 1, hal. 138-149, 2017.
[5] M. Rorano, dan R.M. Nur, “Sanitasi dan
higienie pengolahan ikan tuna dan cakalang asap ditanah tinggi Desa Gotalamo Kabupaten Pulau Morotai.” Jurnal Aksara Publik, vol. 3, no. 2, hal. 134-141, 2019.
[6] H. Hardoko, M.A.P. Panjaitan, E.
Suprayitno, B.B. Sasmito, A. Chamidah, T.D. Sulistiyati, dan J.E. Tambunan
“Pelatihan pengolahan se’i tuna dengan fortifikasi ekstrak daun jati di Desa Gajahrejo Kabupaten Malang.” Prosiding Konferensi Nasional Pengabdian Kepada Masyarakat dan Corporate Social Responsibility (PKM-CSR), vol. 4, no. 1, hal. 642-648, 2021.
[7] A.U. Meko, S. Berhimpon, I.K. Suwetja, dan F.G. Ijong, “Moisture sorption isotherm of Tuna Sei, smoked with liquid smoke.” International Journal of Fisheries and Aquaculture, vol. 8, no. 10, hal. 98-104. 2016.
[8] B. Sabtu, dan N.P.F. Suryatni,. Kualitas kimia daging se’i yang diberi ekstrak angkak dan lama penyimpanan berbeda.
Jurnal Nukleus Peternakan, vol. 2, no. 1, hal. 7-14, 2015
[9] D.P. Putraa, dan R.A. Salihat, “Quality Characteristics of Margarin With the Addition of Angkak Powder as a Natural Dyes),” Jurnal Teknologi Pangan dan Gizi, Vol. 20, no. 2, hal. 111-123, 2021
[10] D. P. Putra, R. A. Salihat, N. R. Yanti,
“Analisis kimia , mikrobiologi dan organoleptik Margarin yang Memanfaatkan Bubuk Angkak sebagai Pewarna Alami. Jurnal Teknologi Pertanian Andalas, Vol. 26, no.2, hal. 239- 247, September 2022 .
[11] Pandiangan, J. F. E., Putra, I. N. K., &
Pratiwi, I. D. P. K. (2019). Pemanfaatan angkak sebagai pewarna alami dan antioksidan pada sosis ikan kembung (Rastrelliger kanagurta L.). Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan (ITEPA), 8(2), 197-206
[12] Sudjatinah dan C.H. Wibowo,
“ Perbedaan pengaruh pemberian angkak dalam pembuatan sosis ayam terhadap sifat fisik dan orlab, Pengembangan Rekayasa dan Teknologi, Vol 13, No. 2, hal. 65-71, Desember 2017.
[13] C. Coritama, F.S. Pranata, Y.R. Swasti,
“Manfaat Bekatul Beras Putih dan Angkak dalam Pembuatan Cookies dan Roti,” MJNF (Muhammadiyah Journal of Nutrition and Food Science), Vol. 2 No. 1, hal. 43-57, 2021.
[14] N. Indriati dan F Andayani, “Utilization of Angkak as a natural dye for shrimp paste product,” JPB Perikanan, Vol. 7, No. 1, hal 11-20, 2012.
[15] M. Afdal, H. Lukman, dan Indriyani,
“Potensi angkak sebagai pewarna alami terhadap karakteristik kornet daging ayam,” Jurnal Ilmiah Ilmu Terapan Universitas Jambi, Vol. 1, no. 2, hal. 154- 161, 2017.
[16] W.K. Sari, C. Astutiningsih, R.
Suharsanti, dan A.A.H. Wulan, “Kajian manajemen roduksi pewarna alami angkak powder yang berpotensi sebagai antioksidan dan antibakteri,” Jurnal Farmasi & Sains Indonesia, Vol. 2 No. 1, hal. 99-105, Oktober 2019
[17] M. Chandra , O. Rachmawan, dan R.L.
Balia, “Pengaruh penggunaan berbagai konsistensi angkak terhadap daya awet sosis sapi,” Students e-Journals, vol. 4, no. 2, hal. 1-9, 2015.
[18] I.S. Pakpahan dan L. Dewi, ”Aktivitas antibakteri tempe angkak terhadap bakteri Bacillus sp dan Escherichia Coli (Antibacterial Activity of Tempeh
Angkak Against Bacillus sp and Escherichia Coli Bacteria), Jurnal Biologi Indonesia, vol. 18, no. 2, hal. 159-167, 2022.
[19] Y. S. Elsa, P.R. Kale, dan G.E. Malelak,
“Quality of beef smoked meat added Averrhoa bilimbi L. in different curing time.” Jurnal Peternakan Lahan Kering, vol. 3, no. 2, hal. 1454-1462, 2021.
[20] I.P. Tarwendah, “Studi komparasi atribut sensoris dan kesadaran merek produk pangan.” Jurnal Pangan dan Agroindustri, vol. 6, no. 2, hal. 66-73, 2017.
[21] J.K. Negara,, A. K. Sio, M. Arifin, A. Y.
Oktaviana, R.R.S. Wihansah, dan M.
Yusuf, “Aspek mikrobiologis serta sensori (rasa, warna, tekstur, aroma) pada dua bentuk penyajian keju yang berbeda.”
Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan, vol. 4, no. 2, hal. 286-290, 2016.
[22] Husnah dan N. Nurlela, “Analisa bilangan peroksida terhadap kualitas minyak goreng sebelum dan sesudah dipakai berulang,” Jurnal Redoks, vol. 5, no. 1, hal. 65-71, 2020.
[23]A. Tuyu, H. Onibala, dan D.M.
Makapedua, “Studi lama pengeringan ikan selar (Selaroides sp.) asin dihubungkan dengan kadar air dan nilai organoleptik.” Media Teknologi Hasil Perikanan, vol. 2, no. 1, hal. 20-28, 2014.
[24] N. Ibrahim, R. Sulistijowati, dan L. Mile,
“Uji mutu ikan cakalang asap dari unit pengolahan ikan di Provinsi Gorontalo.” The NIKe Journal, vol. 2, no.
1, hal. 29-32, 2014.
[25] J.F.E. Pandiangan, I.N.K. Putra, dan I.D.P.K. Pratiwi, “Pemanfaatan angkak sebagai pewarna alami dan antioksidan pada sosis ikan kembung (Rastrelliger kanagurta L.),” Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan (ITEPA), vol. 8, no. 2, hal. 197-206, 2019.
[26] H.J.B. Logo, H.J. Lalel, dan D.
Dharmakusuma, “Pengaruh aplikasi asap cair tempurung kelapa terhadap total mikroba dan kualitas organoleptik se’i domba ekor gemuk.” Partner, vol. 26, no.
2, hal. 1630-1638, 2021.
[27] A. Husen, dan R.A. Daeng, “Influence of storage against quality fish skipjack (Katsuwonus pelamis), Agrikan : Jurnal Agribisnis Perikanan, vol. 11, no. 2, hal.
59-64, 2018.
[28] D.R. Suryani, dan S. Mulyani, “Aroma dan warna susu kerbau akibat proses Glikasi D-psikosa, L-psikosa, D-tagatosa, dan L-tagatosa,” Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, vol. 3, no. 3, hal. 94- 97, 2014.
[29] N. Indriati, dan F. Andayani,
“Pemanfaatan angkak sebagai pewarna alami pada terasi udang,” Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, vol. 7, no. 1, hal. 11-20, 2012.
[30] S. Jeujanan, F.G. Ijong, H. Onibala, dan F. Mentang, “Organoleptic quality and TPC of smoked skipjack tuna (Katsuwonus pelamis, L) in Jayapura, Papua.” Aquatic Science & Management, vol. 3, no. 1, hal. 26-31, 2015.
[31] R. Trisnagati, dan C.S. Cucuk, “Effect of additional concentration of angkak (Monascus Purpureus) as a natural dye in tomato sauce products to organoleptik receiving power.” Jurnal Gizi Karya Husada, vol. 1, no. 2, hal. 9-9, 2019.
[32] K.R. Adjam, G.E. Malelak, dan B. Sabtu, Kualitas organoleptik daging se’i yang diolah dari daging sapi bali betina afkir. Jurnal Nukleus Peternakan, vol. 7, no. 2, hal. 103-108, 2020.
[33] Z. Sunaryadi, “Karakteristik mutu sei sapi yang diolah secara tradisional terhadap berbagai kombinasi waktu dan suhu pengasapan,” Jurnal Ilmu Ternak
Universitas Padjadjaran, vol. 21, no. 1, hal. 58-65, 2021.
[34] D. Lamusu, “Uji organoleptik jalangkote ubi jalar ungu (Ipomoea batatas l) sebagai upaya diversifikasi pangan,” Jurnal Pengolahan Pangan, vol. 3, no. 1, hal. 9- 15, 2018.
[35] D. Triasih, A.T. Laksanawati, dan S.
Nurlailatul, “Karakteristik penambahan angkak terhadap sifat fisik dan organoleptik salam,” In Prosiding Seminar Nasional Terapan Riset Inovatif (SENTRINOV), vol. 6, no. 1, hal. 1233- 1240, 2020.
[36] A.I.T. Agustina, “Pengaruh penambahan angkak dan jumlah tapioka terhadap sifat organoleptik sosis udang,” Jurnal Tata Boga, vol. 4, no. 3, hal. 30-38, 2015.
[37] N.H. Riyadi, dan W. Atmaka,
“Diversifikasi dan karakterisasi citarasa bakso ikan tenggiri (Scomberomus commerson) dengan penambahan asap cair tempurung kelapa,” Jurnal teknologi hasil pertanian, vol. 3, no. 1, hal. 1-12, 2010.
[38] R. Hasanah, dan I. Suyatna,
“Karakteristik mutu produk ikan baung (Mystus nemurus) asap industri rumah tangga dari tiga Kecamatan Kutai barat, Kutai Kartanegara,” Jurnal Akuatika, vol.
6, no. 2, hal. 170-176, 2015.
[39] N.R. Hidayati, “Pengaruh jumlah ekstrak angkak dan sukrosa terhadap kualitas yoghurt,” Jurnal Tata Boga, vol. 3, no. 1, hal. 271-282, 2014.
[40] A. Talib, A. Husen, dan S. Gunawan,
“Karakteristik uji organoleptik ikan cakalang asap dengan menggunakan asap cair dari tempurung kelapa, sabut kelapa dan kayu mangrove,” Jurnal Agribisnis Perikanan, vol. 13, no. 1, hal. 69-75, 2020.
[41] T.R. Zainal, P.R. Kale, dan G.E.M.
Malelak, “Kualitas daging se’i sapi yang diproses menggunakan buah belimbing
wuluh (Averrhoa bilimbi Linn) kering matahari,” Jurnal Sain Peternakan Indonesia, vol. 16, no. 2, hal. 194-201, 2021.
[42] Y.A. Susetyo, S. Hartini, dan M.N.
Cahyanti, “Optimasi kandungan gizi tepung ubi jalar (Ipomoea batatas L.) terfermentasi ditinjau dari dosis penambahan inokulum angkak serta aplikasinya dalam pembuatan mie basah,” Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, vol. 5, no. 3, hal. 44-50, 2016.
[43] R.I. Pratama, H. Sumaryanto, J. Santoso, dan W. Zahirudin, “Karakteristik sensori beberapa produk ikan asap khas daerah di Indonesia dengan menggunakan metode quantitative descriptive analysis,” Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, vol. 7, no, 2, hal. 117-130, 2012.
[44] A. Mardiah, dan E.A. Fitria, “Analisis organoleptik ikan asap yang diolah secara tradisional,” UNES Journal of Scientech Research, vol. 3, no. 2, hal. 101-109, 2018.
[45] S. Nurlaila, D.M. Agustini, dan J.
Purdianto, “Uji organoleptik terhadap
berbagai bahan dasar
nugget,” MADURANCH: Jurnal Ilmu Peternakan, vol. 2, no. 2, hal. 67-72, 2017.
[46] K. Towadi, R.M. Harmain, dan F.A. Dali,
“Pengaruh lama pengasapan yang berbeda terhadap mutu organoleptik dan kadar air pada ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap,” The NIKe Journal, vol. 1, no. 3, hal. 177-185, 2013.
[47] L.K. Dheko, D. Darmakusuma, dan P.R.
Kale, “Aplikasi asap cair tempurung kelapa rendah benzo [a] pyrene untuk meningkatkan kualitas se’i sapi bali,” Sains Peternakan: Jurnal Penelitian Ilmu Peternakan, vol. 15, no.
1, hal. 8-15, 2017.
[48] S. Budijanto, A.B. Sitanggang, B.E.
Silalahi, dan W. Murdiati, Penentuan
umur simpan seasoning menggunakan metode accelerated shelf-life testing (ASLT) dengan pendekatan kadar air kritis,” Jurnal Teknologi Pertanian, vol.
11, no. 2, hal. 71-77, 2010.
[49] D.H. Kaban, S.M. Timbowo, E.V.
Pandey, H.W. Mewengkang, J.C.
Palenewen, F. Mentang, dan V.
Dotulong, Analisa kadar air, pH, dan kapang pada ikan cakalang (Katsuwonus pelamis, L) asap yang dikemas vakum pada penyimpanan suhu dingin,” Media Teknologi Hasil Perikanan, vol. 7, no. 3, hal. 72-79, 2019.
[50] Y. Seuk, P.K. Tahuk, dan K.W. Kia,
“Aktivitas antioksidan dan total fenolik se’i sapi yang dicuring menggunakan ekstrak etanol kulit buah naga merah (Hylocereus polyrhizus),” Journal of Animal Science, vol. 5, no. 3, hal. 51-56, 2020.
[51] M. L. Y. Jakung, A.R.P. Pudja, dan P.K.D. Kencana, “Pengaruh konsentrasi asap cair bambu tabah (Gigantochloa nigrociliata Buse-Kurz) dan suhu pemasakan terhadap mutu se’i bandeng,” Jurnal Biosistem Dan Teknik Pertanian, vol. 8, no. 1, hal. 93-102, 2020.
[52] Z. Khoirunnisa, A.S. Wardana, dan R.
Rauf, “ Angka asam dan peroksida minyak jelantah dari penggorengan lele secara berulang,” Jurnal Kesehatan, vol.
12, no. 2, hal. 81-90, 2020.
[53] F. Febriandi, N.I. Sari, dan M.
Sukmiwati, “The effect of different ways of chitosan coating on smoked catfish (Pangasius hypophthalmus) quality during room temperature storage,” Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unversitas Riau, vol.
1, no. 1, hal. 1-11. 2015.
[54] G.M. Sipahelut, dan P.R. Kale,
“Penggunaan ekstrak rosella kering beku (Hibiscus sabdarifa Linn) dalam pembuatan daging se’i: pengaruh lama simpan terhadap sifat fisik, kimia,
mikrobiologi dan citarasa,” Jurnal Nukleus Peternakan, vol. 5, no. 1, hal. 49- 55, 2018.
[55] A. Fuadi, A. Supriadi, dan R. Nopianti, Evaluasi keamanan ikan asap di dusun i epil kecamatan lais kabupaten musi banyuasin. Jurnal Fishtech, vol. 4, no. 2, hal. 148-157, (2015).
[56] J.B. Hutchings, “Food Colour and Appearance,” Blackie Academic &
Professional. Chapman & Hill, London, 1999.