195
KESETARAAN DAN KESERASIAN GENDER DALAM AL-QURAN
Siti Alfiatun Hasanah STIQ al-Lathifiyyah Palembang
Lukman Hakim Husnan STIQ al-Lathifiyyah Palembang
Abstract: The narrative about gender justice is dominated by the notion of gender equality. In the interpretation of the Koran, this has serious implications, including forcing the application of the method of "hermeneutics of suspicion", which in addition to bringing down the spirits of classical commentators (due to allegations of gender bias), but more than that it also undermines the sacredity of the Holy Koran. Written using worldview theory, this article presents and at the same time discusses alternative discourse for the assumption of gender equality, namely the idea of gender harmony, which is actually an Islamic original narrative in responding to demands and / or guidance on gender justice.
Keyword: Gender Equality, Gender Harmony, Gender Justice
Abstrak: Narasi tentang keadilan gender didominasi oleh gagasan kesetaraan gender (gender equality). Dalam diskursus tafsir al-Quran, hal ini melahirkan implikasi yang cukup serius, diantaranya pemaksaan penerapan metode
“hermeneutika wasangka”, yang selain menjatuhkan marwah para mufassir klasik (karena tudingan bias gender), tetapi lebih dari itu juga meruntuhkan sakralitas kitab suci Al-Quran itu sendiri (desakralisasi). Ditulis menggunakan kaca mata teori worldview, artikel ini menyajikan dan sekaligus mendiskusikan alternatif wacana bagi asumsi kesetaraan gender, yakni ide tentang keserasian gender (gender harmony), yang sebetulnya merupakan narasi orisinal Islam dalam menyikapi tuntutan dan atau tuntunan ihwal keadilan gender.
Kata Kunci: Kesetaraan Gender, Kesetaraan Gender, Keadilan Gender
196 Pendahuluan
Islam adalah agama yang amat menghormati hak dan martabat manusia.
Menurut Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, Islam bahkan disebut sebagai awwalu man qarrara siyadat al-insan (yang pertama kali membuat pernyataan tentang kemuliaan manusia).1 Itulah sebab ketika pada umumnya masyarakat Arab- Quraisy memandang rendah suku bangsa berkulit hitam, Islam justru memuliakan mantan budak bernama Bilal. Maka saat Bilal diperintahkan oleh Nabi Saw untuk mengumandangkan Adzan sesaat sesudah peristiwa Fathu Makkah, dan para pembesar Quraisy seperti Al-Harits ibn Hisyam, ‘Utab ibn Usaid, ‘Amr ibn ‘Ash, dan lain-lain, menertawakan keputusan tersebut, Allah Swt justru menurunkan ayat pembelaan:2
راكاذ ْنِم ْمُكاانْقالاخ َّنَِّإ ُساَّنلا ااهُّ ياأ ايَ
َِّللَّا ادْنِع ْمُكامارْكاأ َّنِإ اوُفارااعا تِل الِئاابا قاو ابًوُعُش ْمُكاانْلاعاجاو ىاثْ نُأاو
ٌيِباخ ٌميِلاع اَّللَّا َّنِإ ْمُكااقْ تاأ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.3
Dari ayat di atas dapat dimengerti, meskipun Allah menciptakan begitu rupa perbedaan di tengah-tengah makhluk-Nya (suku, ras, gender, dan lain-lain), semua memiliki hak dan tanggung jawab yang tak terbedakan di hadapan Tuhan. Maka jin, manusia, hitam, putih, lelaki, perempuan sama-sama memanggul tugas pokok untuk mengabdi kepada-Nya. Persoalannya adalah kalau betul tatanan agama Islam bersifat adil, lantas mengapa terdapat sejumlah aturan yang seolah tidak seimbang?
Ketidakseimbangan tersebut terutama tampak dalam tatanan sosial (social order) yang dibangun di atas pola stratifikasi sosial (social stratification),4 seperti adanya klasifikasi orang tua-anak, kaya-miskin, pemerintah-rakyat, pria-wanita, dan seterusnya. Spesifik dalam hal wacana gender, Islam pada akhirnya termasuk salah satu agama yang memberi distingsi peran bagi laki-laki dan perempuan (gender role), baik itu di ranah domestik maupun di aras publik, di bidang ibadah
1 Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Allah am al-Insan, Ayyuhuma Aqdaru ‘ala Ri’ayati Huquq al-Insan, Beirut: Dar al-Fikr, 1998, h. 11
2 Kisah dikutip dari Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz 16, Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1964, hlm. 341
3 QS. Al-Hujurat (49) : 13
4 Stratifikasi sosial didefinisakan sebagai “classification of people into groups based on shared socio-economic conditions ... a relational set of inequalities with economic, social, political and ideological dimensions. (klasifikasi orang ke dalam kelompok tertentu berdasarkan pada pembagian kondisi sosial-ekonomi ... seperangkat relasi ketidaksetaraan dengan dimensi ekonomi, sosial, politik dan ideologis.” Lebih lanjut lihat, LPU University, Social Stratification, New Delhi:
USI Publication, h. 1
197
maupun di area muamalah. Pertanyaannya, ada apa dengan keadilan gender di dalam Islam?
Secara generik, dalam bahasa arab, bahasa di mana kata ini terambil, diksi 'adil paling tidak merujuk pada dua makna: (1) sama dan setara (tasawi); dan (2) keputusan berdasar kebenaran (al-hukm bi al-haq), atau kelak juga diartikan dengan meletakkan sesuatu pada tempatnya.5 Dua pola pemaknaan ini, dalam diskursus keadilan gender, dan dalam kaitannya dengan doktrin agama Islam, mengambil bentuk dua kubu yang acapkali berpolemik satu sama lain. Sebut saja kelompok yang pertama dengan Kubu Kesetaraan, dan grup yang kedua Kubu Keserasian.6
Kubu Kesetaraan menghendaki kesederajatan hak dan kewajiban di antara kaum muslimin, baik lelaki maupun perempuan. Ketidakseimbangan yang terjadi di antara keduanya (hak dan kewajiban) ujungnya dipersepsi sebagai bentuk diskriminasi.7 Menurut kelompok ini, problem memang bukan terletak pada teks itu an sich, tapi lebih pada penafsiran yang bias gender, yang timbul akibat konstruk sosial-budaya patriarki.8 Didukung oleh sebagian besar cendikiawan-aktifis feminis dengan ciri modernis, kelompok ini menawarkan pembacaan ulang terhadap teks (re-reading atau reinterpretation) melalui metode hermeneutika.
Di pihak lain, Kubu Keserasian berupaya keras mempertahankan pola penafsiran yang dipercaya berasal dari mufassir yang otoritatif. Hermeneutika dengan demikian serta merta tertolak karena dianggap sebagai metodologi yang tidak sesuai dengan iklim intelektual Islam yang genuine. Mereka mencukupkan diri dengan paket keilmuan yang diwariskan secara turun menurun bernama 'Ulum al-Quran.9
Ini bukan berarti Kubu Keserasian tidak mengakui kesederajatan di antara manusia –atau apalagi tidak mengakui kemuliaan perempuan, dan dengan demikian abai terhadap keadilan gender seperti kerap dituduhkan. Bagi mereka, kesederajatan di hadapan Tuhan memang mustahil dipenuhi dengan pola yang seragam oleh sebab adanya hikmah dan atau kemaslahatan (mashalih) tertentu yang dikandung oleh sebuah ketentuan.10 Perempuan, umpamanya, secara biologis berbeda dengan lelaki, seperti halnya manusia berbeda dari binatang. Itulah sebabnya cara untuk sederajat di hadapan Tuhan pun jadi berbeda-beda, sesuai peran dan atau posisi masing-masing. Di sini, menurut kubu yang didominasi ulama tradisional dan para
5 Abu al-Fadhl Muhammad ibn Mukarram Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab, Juz 31, Kairo: Dar al-Ma’arif, Tanpa Tahun, h. 2838.
6 Sejauh berhubungan dengan penafsiran Al-Quran, beberapa peneliti sebetulnya telah membagi kedua kelompok ini ke dalam dua kategori: kelompok tekstual dan kelompok kontekstual.
Lihat Alimatul Qibtiyah, Mapping on Muslim’s Understandings on Gender Issues in Islam at Six Universities in Yogyakarta Indonesia, Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, Vol. 56, No. 2, 2018, hlm. 307
7 Menurut Mansour Fakih, diskriminasi lahir akibat adanya konsep perbedaan gender (gender different) dan peran gender (gender role). Lihat Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hlm. 3
8 Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme dalam Pemikiran Tokoh Islam Kontemporer, Yogyakarta: Kaukaba, 2014, hlm. 37
9 Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Quran: Tema-Tema Kontroversial, Yogyakarta: Elsaq, 2005, hlm. 30-31
10 Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Al-Mar’ah: Baina Thughyan al-Nizham al-Gharbi wa Lathaif al-Tasyri’ al-Rabbani, Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, hlm. 21-22
198
islamisis intelektual, keadilan gender ditakar berdasarkan proses pemenuhan hak sesuai dengan kriteria peran, bukan berdasarkan konsep sama dan setara.
Ketimpangan yang terjadi dalam proses pemenuhan hak dan kewajiban pada masing-masing peran, misal karena diabaikannya atau dilanggarnya hukum-hukum Tuhan (tasyri' ilahi), justru akan berakibat pada hancurnya ekuilibrium (keserasian) masyarakat.11
Artikel ini berupaya menelusuri sejarah serta asumsi-asumsi metodologis yang membangun kedua meta-narasi (wacana kesetaraan dan keserasian gender).
Pada bagian selanjutnya akan dihadirkan sejumlah ayat kontroversial terkait isu keadilan gender, berikut garis-garis besar penafsiran dari kedua kubu wacana, disertai analisis penulis mengacu pada teori worlview yang diperkenalkan oleh Hamid Fahmi Zarkasyi. Dari sini diharapkan lahir semacam rekonsiliasi kalau bukan sintesis penafsiran ayat-ayat gender, atau paling tidak, dapat diperoleh pemahaman yang lebih utuh ihwal gagasan keadilan gender di dalam Al-Quran.
Sekilas tentang Gender
Istilah gender, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, merujuk pada makna
"jenis kelamin".12 Dalam bahasa aslinya, bahasa inggris, istilah ini memiliki padanan, yakni diksi Sex. Sebagai dua kata yang sama-sama mengandung arti atau diterjemahkan dengan "jenis kelamin", keduanya sebetulnya tidak mewakili makna yang serupa.13
Robert K Stoller, orang yang pertama kali mengintroduksi istilah gender, menjelaskan bahwa apabila distingsi seksual secara biologis dapat dibedakan melalui jenis "laki-laki" (male) dan "perempuan" (female), maka dalam perspektif gender pembedaan tersebut muncul dalam kata "maskulin" (citra kelelakian) dan
"feminin" (citra keperempuanan). Ini berarti seorang laki-laki bisa saja bersifat feminin, dan begitupun sebaliknya, perempuan bisa jadi bersifat maskulin. Stoller menambahkan, "gender is the amount of masculinity or femininity found in a person (gender adalah sejauh mana kemaskulinan dan kefeminiman ditemukan dalam diri seseorang)".14
Gender memang berhubungan erat dengan sex. Atau bisa dikatakan, gender merupakan konsekuensi dari fakta-fakta seksual. Itulah sebabnya H.T Wilson mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif, sebagai akibat mereka menjadi laki-laki dan perempuan.15
Perbedaan utama dari kedua istilah Sex dan Gender adalah apabila sex mengandung makna pendefinisian identitas berdasarkan ciri-ciri biologis, maka gender ditetapkan berdasarkan sifat-sifat tertentu hasil konstruksi kultural atau sosial budaya di suatu masyarakat. Ini senada dengan definisi yang diketengahkan boleh Nasaruddin Umar bahwa gender merupakan suatu konsep yang digunakan
11 al-Buthi, Allah am al-Insan…, hlm. 19
12 Lihat https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/gender
13 Saiful Anwar, Problem Aplikasi Paham Gender dalam Keluarga, Jurnal Kalimah, Vol. 13, No. 1, Maret 2015, hlm. 24
14 Robert J Stoller, Sex and Gender, London: Karnac, 1984, hlm. 9
15 H.T. Wilson, Sex and Gender, Making Cultural Sense of Civilization, Netherlands: E.J. Brill, 1989, hlm. 2
199
untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial- budaya.16
Dari sini dapat dipahami analisis yang berbasis gender dimaksudkan untuk menentukan dengan benar mana yang bersifat kodrati (nature) dan mana yang bentukan atau hasil konstruk sosial budaya (nurture).17 Menurut Showaltaer, Sex bersifat kodrati (given from god) dan tak dapat diubah (unchangable), dan gender sebagai konstruk sosial dapat diubah (changable).18
Dari sini kemudian lahir konsep tentang perbedaan gender (gender differences) dan peran gender (gender role). Citra bahwa laki-laki haruslah sosok yang pemberani, bertanggung jawab, tegas, dan obyektif, sementara perempuan dikonsepsikan bersifat lemah lembut, penyayang, berpenampilan menarik, dan rapi, adalah bagian dari gender role. Pembedaan peran-peran yang didasarkan pada jenis kelamin macam ini disebut gender differences.19
Dalam tatanan sosial yang riil, implikasi dari kedua konsep ini tampak dalam, misalnya, bahwa yang pantas untuk menduduki ruang publik hanyalah sosok laki- laki, dan perempuan cukup bergulat di ruang domestik. Bahwa karena perempuan secara biologis mempunyai rahim dan payudara, maka fungsinya adalah menjadi seorang ibu dan mengasuh anak di rumah. Sedangkan laki-laki secara biologis tidak bisa menyusui, tetapi memiliki otot dan badan yang lebih kuat sehingga ia cocok sebagai pencari nafkah di luar rumah.
Itulah kenapa, paling tidak bagi para aktifis perempuan (feminis) modern, struktur sosial yang dibangun di atas konsep gender differences dan gender role ini rawan akan ketidakseimbangan, untuk tidak menyebutnya biang kerok bagi lahirnya ketidakadilan. Tapi konsep gender differences dan gender role, bagi mereka, betul-betul membuahkan ketidakadilan dalam bentuk: (1) peminggiran atau marginalisasi; (2) pelabelan negatif atau stereotipe; (3) menganggap rendah atau subordinasi; (4) peran yang bertumpuk atau double/multi bourden; dan (5) kekerasan (violence). (Mansour faqih) Dari sinilah kemudian lahir inisiatif untuk mengubah tradisi yang bias gender menjadi tradisi yang, menurut mereka, berkesetaraan gender (gender equality).20
Narasi Kesetaraan Gender
Gagasan tentang kesetaraan gender (gender equality) muncul di Barat, dan berawal dari pengalaman Barat yang Sekular-Liberal.21 Mula-mula, muncul pergerakan perempuan pada sekitar 1648 M yang memprotes segala penindasan
16 Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2001, hlm. 33
17 Fakih, Analisis Gender…, hlm. 161
18 Elaine Showalter (Ed.), Speaking Gender, New York & London: Routledge, 1989, hlm. 4
19 Eni Zulaiha, Analisa Gender dan Prinsip-Prinsip Penafsiran Husein Muhammad pada Ayat-Ayat Relasi Gender, Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir, Vol. 3, No. 1, Juni 2018, hlm. 3
20 Fakih, Analisis Gender…, hlm. 161
21 Adian Husaini, Problematika Tafsir Feminis: Studi Kritis Konsep Kesetaraan Gender, Jurnal Al-Tahrir, Vol. 15, No. 2, November 2015, hlm. 372
200
yang mereka alami. Protes ini kemudian menjelma sebuah gerakan bertajuk feminism.22
Protes kaum perempuan ini berkaitan dengan anggapan yang berlaku di Barat pada saat itu yang men-setan-kan wanita serta memperlakukan mereka dengan kejam. Philip J. Adler, sebagaimana dikutip Adian Husaini, menunjukkan bagaimana bangsa Barat memperlakukan wanita. Bahwa, sampai abad ke-17, di Eropa, wanita masih dianggap sebagai jelmaan setan atau alat bagi setan untuk menggoda manusia. Itulah mengapa di Barat, perempuan disebut dengan female, dari bahasa Yunani femina. Femina terbentuk dari dua kata, yakni fe dan mina. Fe berarti Fides atau Faith (kepercayaan atau iman), dan mina bermakna minus (kurang). Dengan demikian, femina dapat diterjemahkan dengan “seseorang yang kurang iman atau keyakinan (one with less faith)”. Itulah sebab kenapa terdapat penulis Jerman pada abad ke-17 yang mencatat, therefore, the female is evil by nature (Karena itu, wanita memang secara alami merupakan makhluk jahat).23
Tentang bagaimana perlakuan kejam bangsa Barat terhadap wanita, Robert Held merilis sebuah buku berjudul inquisition. Di situ dimuat foto dan lukisan sangat mengerikan tentang kejahatan Inquisisi yang dilakukan tokoh-tokoh Gereja. Held juga memaparkan lebih dari 50 jenis dan model alat-alat penyiksaan yang amat brutal, seperti pembakaran hidup-hidup, pencungkilan mata, gergaji pembelah tubuh manusia, pemotongan lidah, alat penghancur kepala, pengebor vagina, dan berbagai alat dan model siksaan lain. Ironisnya, sekitar 85 persen korban penyiksaan dan pembunuhan adalah wanita. Antara tahun 1450-1800, diperkirakan antara dua-empat juta wanita dibakar hidup-hidup di dataran Katolik maupun Protestan Eropa.24
Kondisi ini membuat kaum perempuan bangkit melawan otoritas gereja.
Untuk itu, mereka menemukan sekelompok kawan yang memiliki aspirasi seiring, yakni kaum sosialis. Bahkan menurut Correa Moylan Walsh, gerakan feminis sebetulnya meminjam hanya gagasan kesetaraan (equality) ini dari tradisi sosialis.25
Senada dengan Walsh, menurut Ratna Megawangi, ide kesetaraan gender bersumber pada ideologi Sosialis-Marxis (atau Komunis), yang menempatkan wanita sebagai kelas tertindas dan laki-laki sebagai kelas penindas. Paradigma Marxis inilah yang akhirnya mendorong kaum feminis melihat institusi keluarga sebagai “musuh” yang pertama-tama harus dihilangkan atau diperkecil perannya apabila masyarakat komunis ingin ditegakkan, yaitu masyarakat yang tidak menganut klasifikasi kaya-miskin, dan sekaligus tidak ada perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan.26
Meski memperoleh inspirasi dari paham sosialis-marxis (komunis), gerakan feminis mengalami nasib yang berbeda dari sohib-nya tersebut. Apabila mayoritas negeri-negeri Barat yang kapitalis sampai saat ini memusuhi ideologi komunis, maka gerakan feminis menemukan momentum yang cukup baik. Ini seperti
22 Anwar, Problem Aplikasi…, hlm. 23
23 Husaini, Problematika Tafsir…, hlm. 375
24 Husaini, Problematika Tafsir…, hlm. 375-376
25 Correa Moylan Walsh, Feminism, New York: Sturgis and Walton Company, 1917, hlm. 3
26 Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda, Bandung: Mizan, 1999, hlm. 11
201
diisyaratkan Walsh, “yet the feminist movement then goes further than socialist (gerakan feminis kemudian melangkah lebih jauh ketimbang sosialis)”.27
Dari sini, Barat kemudian beralih dari satu titik ekstrem menuju titik ekstrem yang lain; dari memusuhi perempuan dan menindas mereka habis-habisan, menuju penganakemasan kaum perempuan dan memberikan mereka kebebasan yang hampir tanpa batas.28
Berikutnya, kaum feminis berusaha keras bagaimana agar gerakan mereka mendapatkan legitimasi dari Bible. Mereka tidak lagi menulis God, tetapi juga Goddes. Sebab, gambaran Tuhan dalam agama mereka adalah Tuhan yang maskulin. Mereka ingin Tuhan yang feminim. Dalam buku Feminist Aproaches to The Bible, seorang aktivis perempuan, Tivka Frymer-Kensky, menulis makalah dengan judul Goddesses: Biblical Echoes. Aktivis lain, Pamela J. Milne, mencatat bahwa dalam tradisi Barat, Bible manjadi sumber terpenting bagi penindasan terhadap perempuan.
Tahun 1895, Elizabeth Cady Stanton menerbitkan buku The Women’s Bible, dimana ia mengkaji seluruh teks Bible yang berkaitan dengan perempuan.
Kesimpulannya, Bible dianggap mengandung ajaran yang menghina perempuan, dan dari ajaran inilah terbentuk dasar-dasar pandangan Kristen terhadap perempuan.29
Ilutrasi di atas menunjukkan bagaimana gagasan kesetaraan gender berevolusi; dari gerakan pembebasan perempuan menjadi semacam ideologi supremasi perempuan yang kelak bersifat lintas agama.30
Hari-hari ini, narasi kesetaraan gender telah merasuk di hampir seluruh lini kehidupan. Bukan semata di area publik, seperti sebelumnya ia hanya berupa gerakan pembebasan perempuan dari diskriminasi ranah sosial, narasi kesetaraan gender juga merambah ruang-ruang privat. Dan tidak hanya itu, narasi kesetaraan gender kini juga mendominasi wacana ilmu-ilmu sosial, termasuk juga studi-studi
27 Walsh, Feminism, hlm. 3
28 Husaini, Problematika Tafsir…, hlm. 376
29 Husaini, Problematika Tafsir…, hlm. 376
30 Sebetulnya, narasi kesetaraan gender berkembang setidaknya dalam empat tahap. Pertama, sebagai gerakan, yaitu gerakan-gerakan keperempuanan (feminisme) yang berkembang sesuai ideologi yang dianut, seperti feminis liberal, feminis radikal, feminis sosialis marxis, dan lain-lain.
Tahap inilah yang oleh kaum feminis disebut dengan gelombang pertama feminisme. Kedua, narasi kesetaraan gender sebagai diskursus kefilsafatan. Sasaran kajian filsafat adalah pola pikir manusia, sehingga objek kajian kesetaraan gender kali ini adalah pola pikir manusia tentang perempuan, bukan para perempuan itu sendiri. Diskursus kefilsafatan ini tidak bisa lepas dari semangat pemikiran postmodern yang membawa tema besar semangat relativitas, dekonstruksi, rekonstruksi, dan pluralitas. Bagi para feminis, masuknya persoalan gender ke dalam dikursus filsafat menjadi tanda gerakan feminisme gelombang kedua. Ketiga, narasi kesetaraan gender dari isu sosial ke isu agama. Awalnya, tuntutan kesetaraan gender yang disuarakan para feminis dibangun atas keprihatinan terhadap masalah sosial. Namun belakangan para feminis, khususnya feminis liberal, menuntut pembebasan kaum perempuan dari agama dan moralitasnya yang mereka anggap buah dari agama patriaki atau agama kaum laki-laki. Sehingga tradisi dan khazanah keagamaan pun dipertanyakan ulang. Narasi kesetaraan gender pun memasuki babak baru, yang para feminis menyebutnya dengan gelombang ketiga feminisme. Keempat, narasi kesetaraan gender sebagai pendekatan dalam studi agama. Masuknya isu kesetaraan gender dalam persoalan global, membuat para pengkaji agama membuktikan seberapa besar perhatian agama terhadap persoalan gender serta solusi atas problem tersebut. Lebih jauh, lihat Anwar, Problem Aplikasi…, hlm. 26
202
keislaman. Kemenduniaan narasi kesetaraan gender seperti memaksa para sarjana muslim ramai-ramai turun gunung membaca ulang teks-teks keagamaan, dan kemudian ramai-ramai mengkritisi sejumlah doktrin yang diduga mengidap bias gender.31
Para sarjana menangani teks keagamaan melalui perangkat metodologis bernama hermeneutika. Ini adalah metode yang sama dengan yang dipakai oleh para pendahulu feminis mereka dalam rangka menafsirkan bible, seperti telah dikemukakan sebelumnya.32
Tetapi, tentu saja, produk penafsiran yang dihasilkan oleh eksponen hermeneutika ini tidak seragam. Pemikiran feminis bernama Amina Wadud, umpamanya, berbeda dari Asghar Ali Engineer.33 Hal ini dapat dipahami karena hermeneutika meniscayakan pluralitas sebagai asumsi dasar. Dan imbasnya, tidak satu sosok penafsir pun yang dapat dianggap otoritatif (relativisme tafsir). Seluruh penafsir adalah manusia, bahkan jika pun itu Nabi, yang berpikir dalam kerangka sosial-budaya tertentu yang mengitarinya.34
Hal ini menyebabkan, dalam kerangka hermeneutika feminis, muncul kritik besar-besaran yang ditujukan pada para mufassir klasik. Menurut mereka, para mufassir ini, sebenarnya sama halnya dengan mereka sendiri, terkungkung dan atau berpikir dalam skup sosial-budaya tertentu; budaya patriarki. Bahkan terdapat sementara asumsi yang bersisi tuduhan: kenapa para mufassir klasik ini memproduksi tafsir yang bersifat diskriminatif atas wanita? Mereka menjawab, sebab para mufassir itu adalah sekelompok lelaki yang bermaksud melindungi kepentingan kaumnya melalui proyek penafsiran teks-teks keagamaan (melestarikan hegemoni laki-laki atas wanita).35
Lebih jauh lagi, oleh para pendukung hermeneutika, metode tafsir klasik dianggap kehilangan sesuatu yang dianggap sangat urgens bagi proyek tafsir kontemporer, yakni kontekstualisasi.36 Tafsir klasik selama ini hanya mengedepankan penatsiran dari aspek tekstual dan kontekstual belaka. Akibatnya, produk penafsiran yang dihasilkan pun out of date (kadaluarsa), atau juga mis- placed (salah tempat) dan ahistoris.37
Dalam perspektif feminis, kontekstualisasi yang diperlukan adalah afirmasi terhadap gagasan kesetaraan gender (gender equality). Seperti watak paham sosialis pada umumnya, seluruh pandangan yang bertentangan dengan gagasan tersebut dianggap sebagai bagian dari "pertentangan gender" (atau "pertentangan kelas"
31 Ahmad Khirul Fata, Feminism Paradigm in Gender Equality Argument of Nasarudin Umar, Jurnal Kalam, Vol. 12, No. 1, Juni 2018, hlm. 23
32 Di awal-awal masa “Kebangkitan Kembali” (Renaissance), Hermeneutika memang dikenal sebagai gerakan eksegesis di kalangan gereja. Lebih jauh, lihat Faiz, Hermeneutika Al- Quran…, hlm. 6 atau 30
33 Beberapa sampel perbedaannya dapat dilihat pada, umpamanya, Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme…, hlm. 95
34 Faiz, Hermeneutika Al-Quran…, hlm. 16
35 Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme…, hlm. 56
36 Asep Setiawan, Hermeneutika Al-Qur’an Madzhab Yogya: Telaah atas Teori Ma’na-cum- Magza dalam Penafsiran Al-Quran, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran dan Hadis, Vol. 17, No. 1, Januari 2016, hlm. 70
37 Faiz, Hermeneutika Al-Quran…, hlm. 19
203
dalam konsep sosialis).38 Paradigma yang berlaku berikutnya adalah kecurigaan.39 Seluruh produk penafsiran klasik, ditatap dengan mata waspada, jenis hermeneutika yang digunakan adalah apa yang disebut Paul Ricoer dengan “Hermeneutika Wasangka”;40 dan yang bertentangan akan seketika dilawan.
Hasilnya, kaum feminis pun mengkritik hampir seluruh penafsiran yang bersifat tafadhul, yang tidak seimbang dalam menilai laki-laki dan perempuan.
Konsekuensinya, mereka menolak segala ketentuan hukum yang dianggap diskriminatif terhadap perempuan, serta menyerukan peninjauan ulang secara besar-besaran.
Demikianlah, para pendukung narasi kesetaraan gender beroperasi di wilayah tafsir keagamaan secata umum, juga khususnya dalam proyek penafsiran Al-Qur'an.
Bagi para pendukungnya, goal yang menjadi sasaran adalah diadopsinya narasi gender equality, tidak peduli bahwa hal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip teologis, atau bahkan jika pun terdapat banyak kontradiksi di dalam diri mereka sendiri.
Narasi Keserasian Gender
Narasi keserasian gender (gender harmony) sebetulnya bukan wacana yang populer, terutama dibandingkan dengan saingan yang telah dibahas sebelumnya.
Atau bisa dikatakan –meski tidak tepat benar– wacana ini sebetulnya hanya wujud di tataran akademis, sebagai semacam implikasi teoritis tandingan bagi wacana kesetaraan gender, terutama apabila dihubungkan dengan kenyataan bahwa wacana yang terakhir telah menjadi sebuah gerakan massif bersifat global dan lintas agama.
Dalam salah satu artikelnya, Hamid Fahmi Zarkasyi menunjukkan bahwa amat penting melihat segala sesuatu berdasarkan kacamata teori worldview (pandangan dunia atau pandangan hidup). Sebab, hidup di era globalisasi, di mana sekat identitas telah melebur (tradisi, nilai-nilai sosial, dan gaya hidup tak lagi menjadi tolok ukur), maka yang tersisa adalah worldview. Dan ketika kebudayaan kapitalistik, yang bukan hanya berupa sistem ekonomi, melainkan juga rangkaian tata nilai, tata sosial, kultur budaya, dan gaya hidup modern dipasarkan ke seluruh penjuru dunia melalui tata cara yang imperialistik, Islam tampil sebagai worldview tandingan.41
Narasi keserasian gender dengan demikian menjadi satu bagian dari worldview Islam; salah satu benteng resistensi dan kontra narasi atas gagasan kesetaraan gender yang sebetulnya merupakan produk dari worldview Barat.
Umumnya, pendukung narasi keserasian gender adalah para suporter ashalah (otentisitas) bagi wacana agama Islam, yang terdiri dari berbagai latar belakang, mulai dari akademisi sampai para kiai.42
38 Megawangi, Membiarkan Berbeda, hlm. 9-10
39 Husaini, Problematika Tafsir…, hlm. 373
40 Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme…, hlm. 169
41 Hamid Fahmi Zarkasy, Worldview Islam dan Kapitalisme Barat, Jurnal Tsaqafah, Vol. 9, No. 1, April 2013, hlm. 17
42 M. Idrus Ramli (ed.), Menguak Kebatilan dan Kebohongan Sekte FK3 (Pasuruan: Rabithah Ma’ahid Islamiyah Cabang Pasuruan, 2004). Buku yang ditulis para kyai muda NU Jawa Timur ini dengan serius membongkar berbagai kekeliruan dan kepalsuan pendapat aktivis “Kesetaraan Gender” yang tergabung dalam forum FK3.
204
Dari sini tampak jelas, bahwa penyokong narasi keserasian gender adalah juga kelompok yang tidak mendukung hermeneutika sebagai metodologi penafsiran. Kenapa? Sebab, bagi mereka, apabila tugas mulia penafsiran al-Quran diserahkan kepada para pendukung hermeneutika, yang memiliki asas relativitas tafsir, maka setiap orang pada gilirannya berkesempatan menafsirkan kitab suci sesuai nafsu dan kepentingan masing-masing.43 Gerakan Feminisme, umpamanya, melalui hermeneutika, pada akhirnya berhasil memaksakan diri agar narasi yang mereka dukung (kesetaraan gender) dapat menemukan justifikasi di dalam al- Quran.
Hal ini, tentu saja, bertentangan dengan ruh dari agama itu sendiri, yang merupakan tatanan ketuhanan untuk umat manusia, dan bukan tatanan manusia yang dipersembahkan untuk Tuhan. Ketika agama telah didesakralisasi, seperti yang terjadi pada para penganut hermeneutika, maka ia tidak lagi pantas untuk disebut agama. Inilah yang dilupakan oleh para penafsir feminis ketika menganggap bahwa agama semata-mata diperuntukkan bagi manusia, dan karena itu segala hal yang bertentangan dengan kemanusiaan mesti direvisi. Mereka lupa bahwa agama adalah seperangkat aturan Tuhan,44 yang diikuti berdasarkan keimanan, dan hanya dengan mengikutinya sajalah terwujud kemaslahatan bagi manusia, tanpa atau dengan dinilai sebagai baik dan bermanfaat oleh umat manusia itu sendiri.45
Itulah sebabnya para pembesar agama Islam tidak main-main dalam menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi penafsir teks-teks keagamaan.
Dalam hal tafsir Quran, seseorang setidaknya mesti menguasai sejumlah cabang ilmu, diantaranya: hadits, nahwu, sharaf, balaghah, ushuluddin, ushul fiqh, asbabun nuzul, qasash (cerita al-Quran), nasikh-mansukh, dan lain-lain.46
Dengan demikian, kritik kepada para penafsir klasik, seperti bahwa mereka semata berbicara atas nama budaya patriarki, sebetulnya amat riskan. Tuduhan bahwa para mufassir klasik mendukung supremasi laki-laki, dan karenanya mempromosikan diskriminasi terhadap perempuan, yang merupakan konsekuensi dari gender mereka yang juga laki-laki, telah terbukti tidak benar. Nyatanya, mufassir-mufassir klasik yang diketahui berjenis perempuan, seperti Sayyidah
43 Hermeneutika meniscayakan asumsi yang antroposentris. Hal ini jelas berbeda dengan keyakinan keagamaan pada umumnya yang bersifat teosentris. Lihat Faiz, Hermeneutika Al- Quran…, hlm. 29
44 Al-Buthi menunjukkan bahwa yang membedakan paradigma Islam dengan paradigma Barat, terutama dalam soal cara pandang terhadap wanita, adalah bahwa Islam mengacu pada peribadatan kepada Tuhan (‘ubudiyah lillah), sementara barat hanya berkiblat pada keuntungan material (mashalih madiyah). Lihat Al-Buthi, Al-Mar’ah, Baina Thughyan…, h. 20-26
45 Apa yang ditengarai manusia sebagai sesuatu yang baik dan bermanfaat (maslahah), belum tentu merupakan maslahah yang sesungguhnya ditinjau dari sisi agama. Dalam Islam, setidaknya dikenal tiga jenis maslahah: (1) Mashlahah Mu’tabarah, yakni jenis maslahah yang diperhitungkan oleh syariat, melalui petunjuk-petunjuk tertentu, ini adalah jenis maslahah yang diperkenankan untuk ditetapkan sebagai alasan hukum; (2) Mashlahah Mulghah, yaitu sesuatu yang dinilai oleh akal sebagai mashlahah, namun tidak terdapat presedennya dalam syariah, jenis mashlahah ini jelas harus ditinggalkan; (3) Mashlahah Mursalah, ialah jenis mashlahah yang ditimbang melalui akal serta sejalan dengan tujuan syariat dalam penetapan hukum, yang dalam hal ini masih diperdebatkan apakah dapat dipakai sebagai landasan hukum atau tidak. Lihat Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr, 1986, hlm. 87
46 Khalid Abd ar-Rahman al-‘Ak, Ushul al-Tafsir wa Qawa’iduhu, Beirut: Dar al-Nafais, 1986, hlm. 185-186
205
Aisyah umpamanya, tidak pernah menyuguhkan pandangan yang berkebalikan dari anggapan umum (al-sawad al-a'zham). Kalau betul mufassir klasik melestarikan diskriminasi terhadap perempuan semata karena mereka laki-laki, seharusnya Sayyidah Aisyah adalah orang yang pertama kali memperkenalkan gagasan kesetaraan gender.
Pertanyaannya, apakah dengan tidak ikut mempromosikan narasi kesetaraan gender berarti para mufassir klasik betul-betul telah menyia-nyiakan perempuan?
Apakah mereka mendukung diskriminasi terhadap perempuan? Tentu tidak, dan di sinilah sebetulnya turning point narasi keserasian gender.
Bagi pendukung narasi ini, sejak mula Islam diwahyukan untuk salah satunya merenovasi tatanan jahiliyah. Itu berarti Islam juga membawa misi pemuliaan terhadap kaum wanita, yang tidak menemukan porsi yang tepat pada saat itu. Lagi pula kalau yang dituduhkan pada narasi ini, seperti bahwa ia melestarikan diskriminasi, hal yang sama juga dapat ditudingkan kepada para promotor narasi kesetaraan gender; bahwa tujuan di balik mereka adalah eksploitasi perempuan untuk kepentingan pasar kapitalis.
Di jaman zahiliyah, perempuan dianggap rendah, sampai kebencian terhadap perempuan (misogini) pun marak, sehingga bayi yang dilahirkan dengan kelamin perempuan sampai harus dikubur hidup-hidup.47 Di sisi lain, perempuan bisa amat perkasa (powerful) sampai diperkenankan untuk menikahi 90 orang lelaki. Hindun, otak di balik terbunuhnya Sayyidina Hamzah, adalah salah satu contoh keperkasaan perempuan jahiliyah.
Islam hadir memperbaiki cara pandang yang seperti ini. Karena itulah, pada era Islam, perempuan mendapat hak warisan, padahal pada zaman jahiliyah mereka tidak mendapatkannya sama sekali. Tapi di sisi lain, wanita tidak memperoleh bagian yang setara dengan laki-laki, mengacu pada kenyataan bahwa bahkan perempuan pun –di jaman jahiliyyah– bisa lebih superior ketimbang laki-laki.
Di sini, syariat Islam sebetulnya hendak menunjukkan porsi yang tepat dalam pembagian hak dan kewajiban, untuk laki-laki maupun bagi perempuan. Lalu diketahuilah banyak tata aturan dalam Islam yang secara lahir memang tampak tidak seimbang. Meski hal itu tidak melulu menguntungkan laki-laki, seperti misalnya shalat jumat hanya diwajibkan pada laki-laki, atau bahwa wanita tidak diwajibkan untuk berpuasa pada saat haidh.48
Hikmah yang sebetulnya yang terkandung dalam syariat yang bersifat seperti ini hanya Allah yang tahu. Tetapi perbedaan peran berdasarkan ciri biologis macam ini nyatanya diperlukan. Mau tidak mau, kondisi fisiologis perempuan memang berbeda dengan laki-laki. Bahkan penganut narasi kesetaraan gender pun akan serta merta menolak ide equality di bidang olahraga, misalkan adu panco antara laki-laki dan perempuan. Ketika ditanya, mereka akan menjawab bahwa hal itu tidak memungkinkan secara biologis. Hal ini sebetulnya juga sekaligus membuktikan kontradiksi dan atau standar ganda yang dipakai oleh pegiat ide kesetaraan gender:
47 Hal ini juga direkam dalam al-Quran, misalnya:
ميِظَك َوُه َو اًّد َوْسُم ُهُهْج َو َّلَظ ىَثْنُ ْلْاِب ْمُهُدَحَأ َرِ شُب اَذِإ َو
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.” (QS. Al-Nahl : 59)
48 Al-Buthi, Al-Mar’ah…, hlm. 21
206
di satu sisi menolak penetapan peran berdasarkan ciri biologis, di sisi lain menerimanya.
Bagi pendukung ide keserasian gender, titik tekan keadilan gender dalam Islam adalah pemenuhan hak dan kewajiban pada masing-masing peran gender (gender role). Hubungan yang berlaku dengan demikian adalah kemitraan dalam rangka menjalankan tugas sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan oleh Tuhan (tasyri' ilahi). Prinsip kemitraan inilah yang berikutnya mendorong lahirnya keserasian dan atau keharmonisan.
Dus, citra keserasian dan keharmonisan di dalam keluarga pada akhirnya teramplifikasi dalam kehidupan sosial yang lebih besar. Itulah mengapa dalam Islam, perkara-perkara yang terkesan remeh temeh, dari mulai tata etika dalam proses kelahiran bayi sampai hubungan suami istri diatur sedemikian rupa ketat.
Sebaliknya, bahkan di tempat ia dilahirkan, gagasan kesetaraan gender dianggap sebagai wacana yang tidak ramah keluarga, yang dikaitkan dengan munculnya begitu banyak ketimpangan sosial yang dihadapi masyarakat akhir-akhir ini.49
Dari sini dapat disimpulkan bahwa narasi keserasian gender muncul terutama untuk mengembalikan marwah agama, juga peran para ulama sebagai waratstul anbiya, dan mendudukkannya kembali pada posisi yang seharusnya. Bahwa sudah sepantasnya agama menjadi pelita bagi manusia, dan bukan sebaliknya, nalar manusia mencemari agama sehingga ia pun berakhir sebagai racun bagi kehidupan mereka sendiri. Itulah alasan kenapa doktrin-doktrin keagamaan yang seperti tampak tidak berpihak kepada manusia, termasuk aturan terkait laki-laki dan perempuan, harusnya dipahami secara positif. Sebab jangan-jangan, kecurigaan terhadap doktrin tersebut bisa saja tidak lahir dari hati yang murni (qalbun salim), melainkan berasal dari nafsu yang maunya memang memberontak.
Tafsir Keadilan Gender
Terdapat sejumlah ayat di dalam Al-Quran yang keberadaannya dianggap oleh para feminis mengundang model penafsiran yang abai terhadap narasi kesetaraan gender. Untuk tujuan memperoleh makna utuh dari konsep keadilan gender di dalam Al-Quran, gugatan para feminis tersebut sudah sepatutnya diperhadapkan dengan wacana tandingannya, yakni narasi keserasian gender.
Secara garis besar, ayat-ayat tersebut dapat dikelompokkan ke dalam lima topik atau persoalan, yakni asal-usul penciptaan perempuan, praktek poligini, bagian warisan perempuan, kepemimpinan perempuan dalam keluarga, dan nilai kesaksian perempuan. Seluruh topik akan dibahas dalam uraian berikut:
1. Asal-Usul Penciptaan Perempuan
Al-Quran tidak memberikan informasi yang rinci terkait penciptaan manusia, juga penciptaan makhluk pada umumnya, dan apalagi asal-usul penciptaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Tetapi kisah-kisah yang beredar tentang keterciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam dianggap sebagai salah satu biang diskriminasi terhadap perempuan. Satu dari beberapa ayat yang menyinggung tentang proses penciptaan adalah:
49 Anwar, Problem Aplikasi…, hlm. 23
207
او سْفا ن ْنِم ْمُكاقالاخ يِذَّلا ُمُكَّبار اوُقَّ تا ُساَّنلا ااهُّ ياأ ايَ
الًااجِر اامُهْ نِم َّثاباو ااهاجْواز ااهْ نِم اقالاخاو ةادِحا
اابيِقار ْمُكْيالاع انااك اَّللَّا َّنِإ امااحْراْلْااو ِهِب انوُلاءااسات يِذَّلا اَّللَّا اوُقَّ تااو اءااسِناو اايِثاك
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.50
Pada ayat di atas disebutkan bahwa "Allah menciptakanmu dari 'diri' atau 'jiwa' yang satu, dan menciptakan 'daripada-nya' atau 'dari-nya', pasangan atau isteri-nya" (khalaqa min nafsin wahidah, wa khalaqa minha zaujaha). Problem utama ayat ini yang dipersoalkan kaum feminis adalah penafsiran pada frasa: jiwa yang satu (nafs wahidah), yang daripadanya (minha) diciptakan pasangan (zauj).
Diksi min nafs wahidah menjadi problematis karena secara umum ia ditafsirkan dengan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Bahkan terdapat sebagian anggapan yang menyatakan bahwa tulang rusuk laki-laki yang dipergunakan untuk menciptakan perempuan adalah tulang rusuk yang bengkok.51 Bagi kaum feminis, tafsir yang seperti ini mengindikasikan tidak adanya penghargaan terhadap perempuan. “Bagaimana mungkin perempuan akan dihargai sebagai manusia sempurna, jika asal-usul penciptaannya tidak diakui setara dengan laki-laki?” gugat Asghar Ali Engineer. Implikasi dari pola penafsiran seperti ini adalah keyakinan umum yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, terutama kaum laki-laki, yang menganggap bahwa perempuan adalah makhluk kelas dua (inferior status or the second sex).52
Menurut Amina Wadud, apabila min dimaknai dengan “dari” (from), yang mengindikasikan asal mula, maka akan lahir penafsiran bahwa perempuan diciptakan dari nafs wahidah, yang diyakini adalah sosok Adam. Penafsiran seperti ini sangat riskan karena, selain nafs wahidah sebetulnya tidak mengacu pada jenis kelamin tertentu, dan karenanya bisa dimaknai sebagai bukan Adam, pemaknaan min sebagai “bagian dari” atau “potongan dari” Adam menyebabkan pemaknaan bahwa manusia pertama (Adam) lebih unggul daripada manusia yang diciptakan darinya, yang hanya berasal dari potongan tubuhnya.
Solusi penafsiran yang ditawarkan oleh para feminis adalah, salah satunya dari Amina Wadud, bahwa min sebetulnya juga memiliki makna lain, yakni “sama dengan” (equal). Artinya ayat tersebut dapat dimaknai bahwa zauj (pasangan) itu diciptakan dari jenis yang sama dengan jenis nafs wahidah (Adam), bukan berasal dari bagian nafs wahidah. Wadud meminjam makna ini dari ayat-ayat lain yang menggunakan kata yang sama, misalnya dalam Al-Quran Surat al-Nahl (16): 72 (dia menjadikan jodoh untukmu dari jenis yang sama dengan dirimu), atau Al- Quran Surat Al-Rum (30): 21 (dan diantara tanda-tanda-Nya adalah Dia
50 QS. Al-Nisa (4) : 1
51 Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme…, hlm. 182
52 Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme…, hlm. 183
208
menciptakan jodoh untukmu dari jenis yang sama dengan dirimu supaya kamu tenteram). Menurut Wadud, penafsiran seperti ini jelas akan menghasilkan implikasi pemahaman yang berbeda.53
Para mufassir klasik sebetulnya bukan tanpa alasan ketika memaknasi nafs wahidah sebagai Adam. Al-Thabari umpamanya menyebut tiga hadits dari jalur yang berbeda-beda, yang berujung pada tiga orang tabiin, yakni Al-Suddi, Qatadah, dan Mujahid.54 Sementara itu Al-Suyuthi mengetengahkan bahwa sumber riwayat penafsiran tentang Hawa (perempuan pertama) diciptakan dari tulang rusuk adam (qushaira’ Adam) adalah Ibn Abbas.55 Seperti dikutip al-Qurthubi, Muslim juga meriwayatkan dalam Shahih-nya bahwa perempuan memang diciptakan dari tulang rusuk (al-dhal’), yang dalam riwayat lain disebutkan tambahan mengenai hubungannya dengan kebengkokan (‘iwaj). Dari sini kemudian lahir pendapat ulama bahwa perempuan merupakan sesuatu yang bengkok (‘auja’).56
Dalam hal nafs wahidah diberi makna dengan Adam, sebetulnya tidak seluruh mufassir klasik memberi penafsiran demikian. Al-Razi, misalnya, menyatakan ketidaksepakatannya bahwa nafs wahidah harus selalu bermakna Adam. Dalam ayat lain yang beredaksi mirip (QS. Al-A’raf (7): 189),57 nafs wahidah memang pada umumnya dimaknai dengan Adam. Tetapi, menurut Al-Razi, yang dimaksudkan dengan nafs wahidah di sana sebetulnya Qushai, nenek moyang bangsa Quraish.58
Al-Khatib al-Syarbini menyatakan bahwa wa khalaqa minha zaujaha merupakan ma’thuf ‘ala mahdzuf (berhubungan dengan sesuatu yang tersembunyi), sehingga bisa dimaknai “dari jiwa yang satu dicipta dan diawali dari tanah itu pula tercipta pasangannya”. Di-mahdzuf-kannya hal tersebut untuk menunjukkan satu makna, yaitu, bahwa bangsa manusia berasal dari satu jiwa (yang sama), dan memang begitulah sifatnya. Karena jiwa itu tercipta dari tanah dan dari tanah pula tercipta pasangannya, Hawa.59
Itulah sebabnya ketika memberikan penafsiran pada Surat Al-Nisa ayat 1, yang dijadikan alasan problematis bagi para kaum feminis, Al-Razi menegaskan bahwa surat ini (Al-Nisa) mengandung beragam ketentuan hukum yang berhubungan dengan anak, perempuan, dan yatim (atau pendeknya berkaitan dengan persoalan keluarga). Karenanya sejak di permulaan surat, Allah seperti memberi peringatan kepada manusia untuk saling berlaku baik kepada mereka (al-
53 Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme…, hlm. 174
54 Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran, Juz 7, Tanpa Tempat: Muassasah al-Risalah, 2000, hlm. 514
55 Abd al-Rahman ibn Abu Bakar Al-Suyuthi, Durr al-Manshur fi Tafsir bi al-Ma’tsur, Juz 2, Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, hlm. 423
56 Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubi, al-Jami’ li ahkam al-Quran, Juz 1, Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1964, hlm. 301
57 Ayat tersebut berbunyi:
اَهْيَلِإ َنُكْسَيِل اَهَج ْو َز اَهْنِم َلَعَج َو ٍةَد ِحا َو ٍسْفَن ْنِم ْمُكَقَلَخ يِذَّلا َوُه
“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya.”
58 Abu Abdullah Muhammad ibn Umar al-Razi, Mafatih al-Ghaib (al-Tafsir al-Kabir), Juz 3, Beirut: Dar Ihya’ al-Turats, 1420 H, hlm. 458
59 Muhammad ibn Ahmad Al-Khathib al-Syarbini, al-Siraj al-Munir, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2004, hlm. 320
209
ra’fat bihim) mendatangkan hak-hak mereka (ishal huquqihim); dan saling menjaga harta mereka (hifzh amwalihim).60
Ini berarti meskipun di sana-sini dilansir pendapat mengenai asal-usul penciptaan manusia (dan perempuan), fokus para mufassir klasik sebetulnya tidak berada di sana (meski belakangan ini menjadi sasaran tembak para feminis). Bagi al-Thabari, diksi nafs wahidah dipergunakan al-Quran untuk menunjukkan bahwa manusia tercipta dari sosok (syakhsh) yang satu, dan karena itu mengingatkan bahwa mereka berasal dari bapak dan ibu yang sama; bahwa satu bagian berkaitan dengan bagian yang lain, hak dari salah satu bagian wajib untuk dijaga oleh sebagian yang lain seperti kewajiban seorang saudara menjaga hak saudaranya. Ini semua karena seluruh manusia bermuara secara nasab pada bapak dan ibu yang sama.61
Dari sini diketahui bahwa alasan para ulama memaknai diksi nafs wahidah dengan Adam, dan kemudian daripadanya lahir perempuan bernama Hawa, didasarkan pada penjelasan dari Rasululullah Saw langsung. Apakah Rasul menyerukan penindasan terhadap perempuan hanya karena menunjukkan asal penciptaan perempuan? Para feminislah mestinya yang menjawab hal ini. Fokus utama penafsiran ayat sebetulnya bukan di sana, tetapi justru pada penekanan konteks keserasian (keharmonisan) diantara jenis-jenis yang berbeda. Tidak ada maksud sedikit pun dari para mufassir itu untuk melegalkan ketidakadilan atau merendahkan perempuan.
Problem penciptaan perempuan memang sedikit berpilin dengan persoalan metafisik, dan karenanya bukan merupakan penjelasan yang bersifat sosiologis- historis. Itulah sebabnya beberapa pendukung Hermeneutika kemudian juga menganggap bahwa kisah-kisah tersebut mestinya diperlakukan sebagai metafor alias perumpamaan belaka. Tetapi justru di sini pertanyaan tentang proses penciptaan perempuan hanya akan menyisakan tanda tanya. Berikutnya, jika ayat pada surat an-Nisa ditafsirkan bahwa penciptaan Hawa adalah dari jenis Adam, maka konsekuensi logisnya adalah umat manusia berasal dari dua diri,62 bukan dari satu diri. Dan tentunya hal ini bertentangan dengan pernyataan Allah bahwa manusia diciptakan dari diri yang satu.63
2. Praktek Poligini64
Isu poligini sampai saat ini menjadi topik yang menarik, juga sekaligus sangat sensitif ketika dibahas di kalangan perempuan modern. Dalam konteks pendukung narasi kesetaraan gender, salah satu yang menjadi pertanyaan sentral adalah kalau
60 Al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 9, hlm. 745
61 al-Thabari, Jami’ al-Bayan…, hlm. 512
62 Demikianlah pendapat Asghar Ali Engineer. Lihat Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme…, hlm. 182
63 Abu al-Fadhal Syihab ad-Din as-Sayyid Mahmud Al-Alusi al-Baghdadi, Ruh al-Ma’ani fi tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, Beirut: Dar al-Fikri, 1987, hlm. 181-182
64 Istilah poligini digunakan di sini untuk membedakannya dari poligami. Menurut kamus, istilah yang tepat untuk menjelaskan keadaan seorang laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu adalah dengan istilah Poligini. Sedangkan istilah poligami digunakan untuk menjelaskan keadaan seseorang yang memiliki pasangan lebih dari satu, baik laki-laki maupun perempuan. Lihat John M.
Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1990, hlm. 438
210
laki-laki diperkenankan memiliki lebih dari satu pasangan, kenapa perempuan tidak diperbolehkan melakukan hal yang serupa? Lalu ramai-ramailah orang menguliti ayat berikut ini:
ْمُكال ابااط اام اوُحِكْنااف ىامااتا يْلا ِفِ اوُطِسْقُ ت َّلًاأ ْمُتْفِخ ْنِإاو ْنِإاف اعابًُراو اث الَُثاو انَْثام ِءااسِ نلا انِم
اوُلوُعا ت َّلًاأ انَْداأ اكِلاذ ْمُكُنااْيْاأ ْتاكالام اام ْواأ اةادِحااوا ف اوُلِدْعا ت َّلًاأ ْمُتْفِخ
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita- wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.65
Secara tekstual, terutama pada frasa fankihu maa thaba lakum minan nisaa’i matsna wa tsulatsa wa ruba’, ayat di atas dapat dimaknai sebagai pembenaran dari Al-Quran terhadap praktek poligini. Bagi para feminis, pemaknaan seperti ini sebetulnya dianggap kurang tepat. Menurut Amina Wadud, ketidaktepatan tersebut dapat dilihat dari tiga aspek.
Pertama, ayat tersebut sebetulnya berhubungan (munasabah) dengan ayat sebelumnya (QS. Al-Nisa (4) : 2), terkait persoalan anak perempuan yatim. Bahwa, pada mulanya, timbul kekhawatiran terhadap wali dari anak perempuan yatim tersebut dalam pengelolaan harta yang ditinggalkan oleh orang tuanya. Karena itulah untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan harta kekayaan, solusi yang ditawarkan al-Quran adalam membolehkan menikahi anak perempuan yatim tersebut sampai empat orang. Jadi, menurut Wadud, kebolehan poligini dalam ayat ini sebetulnya hanya mungkin dilakukan pada anak perempuan yang yatim, dengan catatan dikhawatirkan mereka menyia-nyiakan harta peninggalan keluarga. Bagi Wadud, tidak ada isyarat sama sekali bahwa poligini berlaku umum dan dalam segala keadaan.
Kedua, persoalan keadilan, karena bagaimanapun ayat tersebut secara eksplisit juga membicarakan soal keadilan. Menurut Wadud, bagi para pendukung poligini, keadilan yang dimaksudkan di sini adalah semata-mata perkara finansial atau materi. Pandangan seperti ini dianggap sebagai warisan dari model pernikahan di zaman penaklukan, yang sudah tidak relevan lagi untuk diikuti. Ini karena kebutuhan perempuan atau istri untuk zaman kontemporer ini bukan semata-mata materi, tetapi juga yang bersifat non-materi seperti kasih sayang, perhatian, penghargaan, dan lain sebagainya. Itulah mengapa para pemikir Islam kontemporer menyatakan bahwa pernikahan ideal menurut al-Quran adalah monogami.
Ketiga, Wadud meyakini bahwa tidak ada dukungan langsung dari al-Quran terhadap pembolehan pernikahan poligini, terutama dengan alasan yang diungkapkan oleh pendukungnya, seperti alasan finansial, kemandulan, atau pemenuhan hasrat seksual. Alasan finansial serta merta tertolak karena perempuan modern tidak lagi memiliki hutang beban finansial kepada suami karena mereka juga mampu untuk produktif menghasilkan nafkah. Kemandulan juga bukan alasan,
65 QS. Al-Nisa (4): 3
211
sebab hal ini jelas akan tidak adil apabila suami diperbolehkan melakukan poligini, sementara istri tidak diperbolehkan poliandri karena alasan yang sama. Sementara alasan pemenuhan hasrat seksual, atau untuk menghindarkan diri dari zina, menurut Wadud lebih musykil lagi. Sebab setiap orang, tidak peduli lelaki dan perempuan, dituntut untuk mampu mengendalikan diri.66
Di kalangan mufassir klasik, sebetulnya tidak terdapat kesepakatan utuh mengenai makna dari ayat ini. Al-Thabari, umpamanya, meriwayatkan sejumlah penafsiran, diantaranya adalah penafsiran dari Sayyidah Aisyah. Menurut beliau, ayat ini berkaitan anak-anak perempuan yatim, yang pada umumnya dinikahi dengan mahar atau mas kawin (shaddaq) yang lebih rendah ketimbang yang diberikan kepada perempuan umumnya. Ayat ini menyerukan agar berlaku adil terhadap anak-anak yatim perempuan itu, dan apabila tidak mampu, maka sebaiknya seseorang menikah dengan yang lain.67
Di bagian lain, al-Thabari mengutip sebuah pendapat bahwa ayat ini merupakan larangan bagi laki-laki untuk menikahi lebih dari empat orang istri. Hal ini karena di kalangan Quraisy terdapat kebiasaan untuk menikahi lebih dari sepuluh perempuan. Maka ketika harta nafkah untuk istri-istri mereka habis, mereka pun mengambil dengan tanpa haq harta perwalian anak yatim yang menjadi tanggungannya.68 Ujungnya al-Thabari sendiri memilih sebuah penafsiran yang menurutnya tepat:
“Apabila engkau tidak sanggup berlaku adil terhadap anak-anak yatim yang menjadi tanggunganmu, maka begitulah pula, takutlah ketika kamu tak sanggup melakukan hal yang serupa terhadap istri-istrimu. Maka jangan menikah kecuali pada batas yang engkau sanggup untuk berlaku adil, mulai dari satu sampai empat orang. Dan apabila dengan satu orang, engkau masih tidak sanggup berlaku baik, maka jangan menikah. Cukupkanlah dengan budak, sebab perbuatan tidak baik hanya pantas dilakukan kepada budak.”69 Menurut Al-Qurthubi, ayat di atas merupakan revisi (nasikhah) dari hukum yang berlaku di kalangan jahiliyah pada saat itu yang memperbolehkan seorang lelaki menikahi berapapun perempuan yang ia mau. Melalui ayat ini, al-Quran membatasi kebolehan menikahi hanya sampai empat orang perempuan. Tetapi yang juga perlu dicatat dari penafsiran al-Qurthubi adalah bahwa seorang lelaki diperkenankan menikah lebih dari satu apabila ia tidak khawatir (dugaan maupun apalagi yakin) berlaku buruk (haraj) atau bertindak sewenang-wenang (jur) terhadap istri. Perbandingannya adalah anak-anak yatim. Mengutip Ibn Abbas, Al- Qurthubi menyatakan, “Sebagaimana engkau takut untuk berlaku sewenang- wenang terhadap anak yatim, demikianlah pula engkau mesti takut dari melakukan hal yang sama pada istri-istrimu.”70
Lebih lanjut, menafsirkan ayat ini, Abu Zahrah menuturkan bahwa syarat dalam setiap ikatan pernikahan adalah adil (‘adalah), betapapun seseorang hanya
66 Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme…, hlm. 232-235
67 Al-Thabari, Jami’ al-Bayan…, hlm. 531
68 Al-Thabari, Jami’ al-Bayan…, hlm. 534
69 Al-Thabari, Jami’ al-Bayan…, hlm. 540
70 Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam…, Juz 5, hlm. 12
212
menikah dengan seorang istri. Orang yang tidak sanggup untuk berlaku adil, atau tidak sanggup menunaikan nafkah, maka menikah jadi haram baginya (la yahillu lahu an yatazawwaja). Keadilan yang dimaksudkan di sini adalah tidak berlaku zhalim kepada istri, dan kalau jumlah istri lebih dari satu maka wajib memperlakukan mereka dengan setara (tasawi). Keadilan yang dimaksudkan di sini adalah keadilan secara lahir, yakni setara dalam makanan, pakaian, tempat tinggal, pembagian waktu (maka dilarang menginap di tempat satu istri lebih lama kecuali mendapat izin istri yang lain), dan sebagainya. Akan halnya keadilan yang bersifat batin, yakni kesamaan dalam mencurahkan kasih sayang, maka hal itu tidak mungkin dan tidak menjadi sasaran hukum.71
Al-Razi melihat ayat ini dalam tiga hal. Pertama, apabila seseorang tidak mampu berbuat adil, maka cukup dengan satu istri. Kedua, penyebutan lafal wahidah secara eksplisi pada ayat ini menunjukkan bahwa sebaiknya orang hanya beristri satu atau mencukupkan diri dengan hanya satu istri. Ketiga, substansi ayat tentang pernikahan ini sebetulnya berkaitan dengan pencarian ketenangan dalam hidup. Itulah sebabnya al-Syafii berpendapat bahwa jika pernikahan, apalagi poligini, tidak dapat mewujudkan ketenangan dalam hidup, maka tidak perlu menikah dan lebih baik menyibukkan diri dengan amalan-amalan sunnah yang lain.72 Bahkan menurut Madzhab Syafii, meskipun pada dasarnya mubah, hukum poligini sebetulnya dapat berubah menjadi sunnah, makruh, atau bahkan haram, sesuai dengan kondisi.73
Dari sini terlihat bahwa para ulama sangat berhati-hati dalam soal poligini.
Mereka sangat keras memperingatkan untuk berlaku adil terhadap istri, betapapun hanya satu orang. Bahwa mereka tidak menolak poligini, itu karena secara tekstual ayat tersebut dengan tegas memperkenankannya, dan tentu tak ada seorang pun yang meyakini bahwa al-Quran merupakan kalam Tuhan akan berani mengubah bunyi ayat. Ini berbeda dengan penafsiran kaum feminis yang terkesan memaksakan bahwa al-Quran hanya mendukung monogami.74 Para ulama percaya bahwa satu-satunya hikmah dari keberadaan institusi pernikahan adalah untuk memperoleh ketenangan jiwa dan keharmonisan hidup, bukan sekedar pemuasan nafsu seksual belaka. Berkaca pada al-Syafii, ketenangan jiwa sepertinya bakal tidak dapat diperoleh apabila sebuah keluarga dipenuhi dengan percekcokan, dari satu orang istri, atau apalagi dengan banyak istri.
3. Bagian Warisan Perempuan
Persoalan warisan di dalam agama Islam merupakan persoalan lain yang dikritik secara tajam oleh para penganut ideologi kesetaraan gender. Alasannya
71 Muhammad ibn Ahmad Abu Zahrah, Zahrat al-Tafasir, Juz 3, Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, hlm. 1584
72 Al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 9, hlm. 489
73 Hukum poligini berubah menjadi: (1) sunnah, apabila terdapat hajat yang tak terpenuhi melalui satu istri, misal bahwa istri sakit atau mandul; (2) makruh, apabila tidak ada hajat sama sekali, dan semata-mata untuk berburu kenikmatan; (3) haram, apabila seseorang tidak yakin – barangkali karena ia sendiri miskin– mampu menghidup istri-istrinya. Lihat Musthafa al-Khin, dkk, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Mazhab al-Imam al-Syafii, Juz 4, Damaskus: Dar al-Qalam, hlm. 36
74 Menurut Asghar Ali Engineer, pernikahan yang direstui dalam al-Quran hanya monogami.
Lihat Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme…, hlm. 237
213
karena rumusan yang digunakan di sana mengandung ketidakadilan, yakni bagian laki-laki 2 dan bagian perempuan 1. Berikut adalah ayat yang menjadi pusat pergunjingan:
َّنُهالا ف ِْيْاتا نْ ثا اقْوا ف اءااسِن َّنُك ْنِإاف ِْيْايا ثْ نُْلْا ِ ظاح ُلْثِم ِراكَّذلِل ْمُكِد الًْواأ ِفِ َُّللَّا ُمُكيِصوُي اكارا ت اام ااثُلُ ث
اكارا ت اَِّمِ ُسُدُّسلا اامُهْ نِم دِحااو ِ لُكِل ِهْياوا باِلْاو ُفْصِ نلا ااهالا ف اةادِحااو ْتانااك ْنِإاو ْنِإاف ٌدالاو ُهال انااك ْنِإ
ْعا ب ْنِم ُسُدُّسلا ِهِ مُِلِاف ٌةاوْخِإ ُهال انااك ْنِإاف ُثُلُّ ثلا ِهِ مُِلِاف ُهااوا باأ ُهاثِراواو ٌدالاو ُهال ْنُكاي ْالَ
يِصوُي ةَّيِصاو ِد
ال ُبارْ قاأ ْمُهُّ ياأ انوُرْدات الً ْمُكُؤاانْ باأاو ْمُكُؤابًاآ نْياد ْواأ ااِبِ
ااميِلاع انااك اَّللَّا َّنِإ َِّللَّا انِم اةاضيِراف ااعْفا ن ْمُك
ااميِكاح
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak- anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian- pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”75
Tidak dapat dimungkiri, ayat tentang pembagian warisan termasuk satu dari sejumlah ayat-ayat hukum yang menyertakan rincian panjang lebar. Tidak seperti ayat yang menjelaskan kewajiban shalat, misalnya, di mana tata cara dan atau prakteknya ditemukan di dalam hadits. Itulah barangkali sebab kenapa kaum feminis tidak dengan terang-terangan membantah model 2:1 dalam pembagian waris. Frasa li ad-dzakari mitslu hazzhi al-untsayain sudah sangat terang benderang, sehingga tidak memungkin lagi lahirnya tafsir yang berbelit-belit.
Meskipun demikian, para pendukung teori kesetaraan gender percaya bahwa rumusan 2:1 tersebut bukan satu-satunya cara untuk membagi warisan. Bagi mereka, kombinasi-kombinasi yang dijelaskan oleh Allah pada ayat tersebut hanyalah sebagian dari kombinasi-kombinasi lain yang mungkin saja dilakukan, asal dilandasi azas keadilan.76
Pemikiran seperti ini lahir karena mereka membaca konteks dari penurunan ayat. Bahwa, menurut Asghar Ali Engineer, pada saat perempuan tidak diakui keberadaannya dalam pembagian harta warisan oleh masyarakat Arab pra Islam, al- Quran datang memberikan pengharapan dan kepastian. Ini dianggap wujud
75 QS. Al-Nisa (4) : 11
76 Irsyadunnas, Hermeneutika Feminisme…, hlm. 247