KONSEP TA’ARUF SEBELUM PERNIKAHAN DALAM MEWUJUDKAN KELUARGA SAKINAH PERSPEKTIF IMAM
SYAFI’I
Muh. Yunan Putra, Ahyadin
Institut Agama Islam (IAI) Muhammadiyah Bima Jln. Anggrek Nomor 16 Ranggo-Na’E Kota Bima
Corresponding Author : Muh. Yunan Putra, [email protected] ABSTRAK
Proses perkenalan sebelum menikah yang diatur berdasarkan nilai-nilai Agama Islam, yaitu ta’aruf. Ta’aruf memiliki beberapa aturan tertentu, seperti adanya batasan durasi saat ta’aruf, interaksi pria dan wanita yang tidak boleh bersentuhan, dan harus dimediatori oleh pihak tertentu selama menjalani prosesnya. Tetapi mayoritas muda-mudi yang ingin mendapatkan calon pasangan pada masa kini lebih menempuhnya dengan jalan pacaran terlebih dahulu. Sebagian beralasan bahwa pacaran sebagai ajang penjajakan pranikah, agar lebih bisa mengenal kepribadian masing-masing. Hal tersebut sangatlah rentan terhadap berbagai perbuatan maksiat.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research) dimana dalam proses pengumpulan data menggunakan bahan- bahan yang berupa materi teoritis yang berkenan dengan persoalan yang diteliti. Dalam pengolahan data penulis menggunakan content analisis untuk menguraikan data-data tersebut sehingga berbentuk deskriptif. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Konsep ta’aruf menurut Imam Syafi’i yang pertama adalah ta’aruf sangatlah penting karena menepis rasa kekecewaan setalah akad, Ta’aruf mengacu berdasarkan pendapat Imam Syafi’i memiliki syarat, Dalam hal memandang, melihat calon pasangan terbatas oleh wajah dan telapak tangan, karena dengan kedua anggota tersebut seorang wanita atau calon pasangan dapat dinilai sikap serta karakternya, dari wajah dapat dilihat dari kecantikannya sedangkan tangan menggambarkan suburnya wanita itu.. Kedua, Kedudukan ta’aruf menurut Imam Syafi’i adalah sunnah dilakukan bagi yang mau melakukan, sebab dengan ta’aruf menjadi salah satu pilihan untuk mendapatkan jodoh sesuai dengan kriteria yang diinginkan, sesuai yang disampaikan oleh baginda Nabi SAW yaitu, dilihat dari kecantikannya, keturunannya, kekayaannya, dan karena agamanya.
Dari empat hal tersebut yang paling utama adalah karena agamanya,
disamping itu semua perkara tersebut akan menunjang menjadi keluarga yang diidamkan yaitu keluarga yang sakinah, wamaddah, warrahmah. Akan tetapi dilihat dari konteks realitas ta’aruf bisa menjadi haram kerena niat dan tujuan pelaku, niat tersebut ingin melanggar syariat misalnya, tidak menjaga pandangan dan aurat, kemudian ber-khalwat serta melakukan perbuatan zina yang melanggar aturan Agama, maka hal tersebut tidak didiperbolehkan.
Kata Kunci: Ta’aruf, Pernikahan, Sakinah.
How to Cite : Muh. Yunan Putra, A. (2023). Konsep Ta’aruf Sebelum Pernikahan Dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah Perspektif Imam Syafi’i, SANGAJI: Jurnal Pemikiran Syariah dan Hukum, 7(2), ,,,
DOI : 10.52266/sangaji.v7i2.2020
Journal Homepage : https://ejournal.iaimbima.ac.id/index.php/sangaji/issue/view/139 This is an open access article under the CC BY SA license
https://creativecommons.org/licenses/by-sa/4.0/
PENDAHULUAN
llah SWT. menciptakan alam semesta dengan keseimbangan dan keserasian di dalamnya. Salah satu keserasian itu adalah setiap apa yang Allah SWT ciptakan selalu mempunyai pasangan. Ada malam ada siang, ada pagi ada sore, ada gelap ada terang, ada laki-laki ada perempuan. Inilah keserasian yang Allah SWT. Ciptakan agar manusia ingat kepada kebesarannya, Allah SWT. juga telah memberikan naluri kepada setiap makhluk hidup untuk menyukai pasangan yang telah sediakan. Begitu pula dengan manusia, Allah SWT. telah menciptakan berpasang-pasangan, baik laki-laki maupun perempuan dengan naluri rasa suka. (Assyabia Ariffah, 2017) Allah SWT. berfirman:
أ ثٱ ِأيَْجأوَز اَهيِف َلَعَج ِتََٰرَمَّثلٱ ِ لُك نِمَو ۖ اًرََٰأنَأَو َىِسََٰوَر اَهيِف َلَعَجَو َضأرَألْٱ َّدَم ىِذَّلٱ َوُهَو ۖ ِأيَْن
َنوُرَّكَفَ تَ ي ٍمأوَقِ ل ٍتََٰياَءَل َكِلََٰذ ِفِ َّنِإ ۚ َراَهَّ نلٱ َلأيَّلٱ ىِشأغُ ي
Terjemahnya:
“Dan Dialah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al Ra'du: 03) (Kementerian Agama Republik Indonesia, 2018)
Firman Allah yang lain:
A
ِةَّضِفألٱَو ِبَهَّذلٱ َنِم ِةَرَطنَقُمألٱ ِيرِطََٰنَقألٱَو َيِْنَبألٱَو ِءٓاَسِ نلٱ َنِم ِتََٰوَهَّشلٱ ُّبُح ِساَّنلِل َنِ يُز
ألٱ ُنأسُح ۥُهَدنِع َُّللَّٱَو ۖ اَيأ نُّدلٱ ِةَٰوَ يَألْٱ ُعََٰتَم َكِلََٰذ ۗ ِثأرَألْٱَو ِمََٰعأ نَألْٱَو ِةَمَّوَسُمألٱ ِلأيَألْٱَو ِباَ َم
Terjemahnya:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran: 14) (Kementerian Agama Republik Indonesia, 2018)
Persoalan pernikahan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi, akan tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral, yaitu rumah tangga. Luhur karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai akhlak yang luhur.
Sentral karena lembaga ini merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya bani Adam, yang kelak mempunyai peranan dan kunci dalam mewujudkan kedamaian dan kemakmuran di bumi ini. pernikahan bukanlah persoalan kecil dan remeh, tetapi merupakan persoalan penting dan besar, untuk memahami konsep pernikahan dalam Islam, maka rujukan yang paling sah dan benar adalah Al-Qur’an dan as-sunnah. (Jawas, 2018) Pernikahan menjadi jalan yang paling bermanfaat dan paling afdal dalam upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan karena dengan pernikahan inilah seseorang bisa terjaga dirinya dari perzinaan (seks bebas) yang diharamkan Allah SWT. (Ayub Abdurrahman, 2012)
Pernikahan yang sukses dalam rangka membangun rumah tangga yang bahagia merupakan idaman setiap orang. Namun hanya sedikit orang yang mengetahui jalan dan sarana yang dapat menghantarkannya kepada kebahagiaan tersebut. Belum lagi banyak di antara mereka yang salah kaprah dalam memahami arti kebahagiaan yang sesungguhnya, sehingga mereka salah dalam menempuhnya dan dengan sia-sia mengejar kebahagiaan yang semu, hingga pada akhirnya bukan kebahagiaan yang mereka raih, namun kesengsaraan demi kesengsaraan yang mereka dapatkan.
Islam mengajarkan agar perkawinan dilakukan untuk mencapai tujuan sakinah (tenang), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih sayang). Oleh karena itu
Islam memberi pedoman dalam memilih jodoh yang tepat. Sebagaimana dalam Hadits.
أتَبِرَت ِنأيِ دلا ِتاَذِب أرَفأظاَف ،اَهِنأيِدِلَو اَِلِاَمَِلَِو اَهِبَسَِلَْو اَِلِا َمِل :ٍعَبأرَلْ ُةَأأرَمألا ُحَكأنُ ت َكاَدَي
.
Terjemahannya:
“Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya; maka pilihlah wanita yang taat beragama, niscaya engkau beruntung.”[HR. Al-Bukhari (no. 5090) kitab an-Nikaah, Muslim (no.
1466) kitab ar-Radhaa’, Abu Dawud (no. 2046) kitab an-Nikaah, an-Nasa-i (no. 3230) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1858) kitab an-Nikaah, dan Ahmad (no. 9237).] (Abu Husain Muslim bin Al Hajjaj, 1998)
Pentingnya pernikahan membuat cara-cara yang digunakan untuk mewujudkan menjadi penting. Setiap usaha menuju pernikahan akan diganjar dengan kebaikan seperti pernikahan itu sendiri. Termasuk upaya untuk mengenali pasangan sebelum menikah. Menentukan pilihan pasangan hidup bukan peristiwa yang dampaknya hanya sesaat, Melainkan memiliki dampak luas dan panjang sampai seumur hidup. Pada masa Rasulullah SAW. dikenal konsep Nadhor sebagai aktivitas yang diajarkan untuk sarana pengenalan pranikah. Nadhor yang dalam bahasa Arab melihat di lakasanakan secara tekstual seperti maknanya, yaitu bertemu secara fisik dengan calon pasangan.
Nadhor inilah yang kemudian yang kemudian diadaptasi kedalam konsep ta’aruf yang banyak dilakukan di Indonesia. (Reza Yogaiswara, 2015)
Di Indonesia, terdapat proses perkenalan sebelum menikah yang diatur berdasarkan nilai-nilai Agama Islam, Yaitu ta’aruf. Ta’aruf memiliki beberapa aturan tertentu, seperti adanya batasan durasi saat Ta’aruf, interaksi pria dan wanita yang tidak boleh bersentuhan, dan harus dimediatori oleh pihak tertentu selama menjalani prosesnya. Tetapi mayoritas pemuda-pemudi yang ingin mendapatkan calon pasangan pada masa kini lebih menempuhnya dengan jalan pacaran terlebih dahulu. Sebagian beralasan bahwa pacaran sebagai ajang penjajakan pranikah, agar lebih bisa mengenal kepribadian masing-masing. Hal tersebut sangatlah rentan terhadap berbagai perbuatan maksiat.
Adanya anggapan seperti ini maka akan melahirkan pandangan di masyarakat bahwa masa pacaran adalah hal yang lumrah dan wajar, bahkan merupakan kebutuhan bagi orang-orang yang hendak memasuki jenjang
pernikahan. Anggapan seperti ini adalah yang salah dan keliru. Dalam berpacaran sudah pasti tidak bisa dihindarkan dari berdua-duaan antara dua insan yang berlainan jenis, terjadi pandang memandang dan terjadi sentuh- menyentuh. Perbuatan ini sudah jelas semuanya haram hukumnya menurut syariat Islam. (Jawas, 2018)
Pacaran bukanlah akhir dari pernyataan kata cinta. Tidak ada landasan sama sekali dalam ikatan pacaran. Padahal sudah menjadi rahasia umum dalam berpacaran masing-masing remaja sepertinya sudah menghalalkan segala perbuatan atas diri pasangan, sebagaimana orang-orang sudah resmi dalam pernikahan, termasuk hubungan badan. Tidak mengherankan World health organization (WHO) memperkirakan 16 juga remaja perempuan di negara berpenghasilan rendah dan menengah melahirkan setiap tahun, diperkirakan tiga juta anak perempuan yang berusia 15-19 tahun melakukan aborsi secara tidak aman setiap tahun, (Dewi Rahmawi, 2017) seperti yang terjadi di Prevalensi Nigeria (79 %) di susul Konga di tempat kedua 74 % dan di tempat ketiga adalah Afganistan 54 % dan selanjutnya Bangladesh 51 %. (Elly Magdalena, 2016) Data statistik PBB juga memperlihatkan sebanyak 16 juta gadis remaja di dunia yang berusia 18 tahun melahirkan di setiap tahunnya.
Sebanyak 3,2 juta remaja menjalani aborsi yang tidak aman. (Dewi Rahmawi, 2017)
Data dari KPAI dan Kemenkes 2013 sekitar 62,7 % remaja indonesia telah melakukakan hubungan seks di luar nikah. 20 % dari 94.270 perempuan yang mengalami hamil di luar nikah juga berasal dari kelompok remaja dan 21 % diantaranya pernah melakukan aborsi. (Dewi Rahmawi, 2017) 54 % wanita dan 46 % pria melakukan hubungan seksual dengan alasan “saling mencintai” atau pacaran. (Kemenkes, BPS, 2017) Dan dalam sebuah penelitian mengatakan bahwa 97.05 % remaja di daerah istimewa Yogyakarta sudah tidak perawan lagi. Selain itu, disinyalir sudah mencapai 60 % remaja tingkat SMP Jakarta yang pernah melakukan hubungan seksual. (Zainul Arifin El-Basyir, 2014)
Proses ta’aruf dilakukan untuk meminimalisir fenomena negatif salah satunya resiko kepudaran rumah tangga yang berpotensi diri tidak sakinah.
Kasus pudarnya rumah tangga kian meluas dan mengancam unit terkecil misalnya tahun 2016 terdapat 365.654 kasus perceraian, maka ditemukan pasangan suami istri bercerai per 1 jam sebanyak 42 pasangan dan selama satu hari sebanyak 1015 pasanganya suami istri bercerai di pengadilan agama.
Jelaslah bahwa jumlah ini sangat memprihatinkan. (Sururie, 2017) Pentingnya
ta’aruf agar calon pasangan mengetahui calon dari segi agama, akhlak, wajah serta latar belakang, Ta’aruf juga sebagai jembatan yang memperdekat jarak untuk melihat apakah calon tersebut cocok atau tidak, Ta’aruf juga dapat mempersempit ruang penyesalan setelah menikah, timbulnya penerimaan dan kesadaran penuh dalam mengarungi bahtera rumah tangga, serta menyederhanakan masalah atau langkah menuju perkawinan yang memang sederhana agar tidak berbelit-belit. Proses ta’aruf memungkinkan seseorang untuk menolak ketika ia tidak berkenan dengan calon yang akan dijodohkan karena proses tersebut tidak membuka kontak fisik dalam bentuk apapun sehingga para calon tidaka dapat bebas melakukan apa saja.
Pernikahan dengan berpegang teguh dengan pilihan yang baik dan asas yang kuat sehingga mampu merealisasikan kejernihan, kententraman dan ketenangan. Semua itu dapat diraih dengan adanya agama dan akhlak. Agama dapat semakin menguatkan seiring bertambahnya umur, sedangkan akhlak akan semakin lurus seiring dengan berjalannya waktu dan penglaman hidup.
(Wahbah az-Zuhaili, 2011) Untuk mencapai semua itu salah satu pilihan untuk mendapatkan pasangan dengan menghindari maksiat ialah dengan cara Ta’aruf.
Menikah hukumnya sunnah bagi orang yang membutuhkannya (Al- Qodhi Abu Syuja bin Ahmad Al-Ashfahami, n.d.) dan juga termasuk ibadah karena mencakup Kemaslahatan di antaranya menjaga diri dan menciptakan keturunan. Imam Nawawi berkata: “Jika orang yang tidak mempunyai hasrat menikah tidak beribadah, sedangkan ia mempunyai kemampuan materi untuk menikah, maka menikah lebih utama baginya. Agar pengangguran dan waktu luang tidak membuatnya terjerumus ke dalam hal-hal yang jelek” (Wahbah az-Zuhaili, 2011) Bagi seseorang yang ingin melansungkan pernikahan, Hal yang perlu di lakukan sebelum itu adalah Melihat Pasangan, dalam hal ini Imam Syafi’i memperbolehkan untuk melihat perempuan yang ingin dinikahi sebelum dilaksanakannya Khitbah. Demikian juga hendaknya dilakukan secara sembunyisembunyi tanpa sepengetahuan dan keluarganya. Itu demi menjaga harga diri perempuan tersebut dan keluarganya. Jika ia menyukai perempuan tersebut maka dia boleh mengkhitbahnya tanpa mengganggu dan menyakiti keluarganya.(Wahbah az-Zuhaili, 2011)
Berkaitan dengan aktivitas pranikah berupa interaksi pasangan sebelum pernikahan marak dilakukan dengan berkenalan tanpa ada batas dengan tidak menahan pandangan, tidak menjaga perhiasan atau berhijab, berduaan atau
menyendiri dengan pasangan, melakukan zina yang konon karena bukti cinta kasih atau untuk percobaan-percobaan action kasih laki-laki terhadap seorang wanita. Tanpa ada batas tersebut merupakan konotasi dari pacaran dan bahakan menjerumus kepada pelecehan hak kaum hawa yang cenderung memanfaatkan kesempatan bahwa perempuan sebagai objek pelampiasan nafsu.
Berangkat dari fenomena-fenomena keadaan serta masalah yang ada seperti saat ini, maka penulis menganggap perlu untuk meneliti bagaimana sebenarnya Konsep Ta’aruf menurut perspektif Imam Syafi’i, Urgensi ta’aruf dan bagaimana kedudukan ta’aruf menurut Imam Syafi’i dalam proses mencapai pernikahan.
METODE PENELITIAN
Metode dalam penelitian ini menggunakan dua teknik penelitian:
Pertama, Studi Kepustakaan (Library Research), maka untuk mendapatkan data yang dibutuhkan diadakan penelaah terhadap buku-buku dan karya tulis ilmiah sebelumnya yang ada hubungannya dengan permasalahan yang akan dikaji. Kedua, Studi dokumen (Document Research), yaitu dengan menganalisis Vidoe yang termuat dalam Youtube. Penelitian ini kemudian dianalisis menggunakan metode kuantitatif yang bersifat deskriftif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Biografi, Metode Istinbat Hukum Dan Pandangan Imam Syafi’i Tentang Ta’aruf
1. Biografi Imam Asy-Syafi’i
Imam Syafi’i ialah imam yang ketiga menurut susunan tarikh kelahiran. Beliau adalah pendukukung terhadap ilmu hadits dan pembaharuan dalam Agama (mujaddid) dalam abad kedua Hijriah.
Imam Ahmad bin Hambal pernah berkata: Diceritakan dari Nabi SAW.
bahwa Allah SWT. mengantarkan kepada umat ini seorang pembaharuan dalam Agama, Umar bin Abdul Aziz dihantarkan untuk seratus tahun yang pertama, dan aku berharap Imam Syafi’i pembaharu untuk seratus tahun yang kedua. (Ahmad Asy-Syurbani, 2017)
Masa hidup Imam Syafi’i ialah semasa pemerintahan Abbassiyah.
Masa ini adalah suatu masa permulaan dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Sebagaimana telah diketahui di masa ini juga
penerjemahan kitab-kitab mulai banyak, ilmu falsafah juga dipindahkan, ilmu-ilmu juga disusun dan berbagai pemahaman telah timbul dalam masyarakat Islam. Banyaklah peristiwa yang ada kaitannya dengan masyarakat berlaku dan macam pula aliran pikir berkembang serta banyak pula pengacau. (Ahmad Asy-Syurbani, 2017)
Ulama Asy-Syafi’iyah antara lain: An-Nawawi, Syaukani, Ibnu Rif’ah, Ibnu Daqiq Al-id, As-subki dan Al-baqini. Imam Ahmad bin Hambal berkata: “Tidak seorang pun dari ahli hadits yang membawa tinta kecuali Imam Syafi’i.”
Kelahiran Dan Keturunan Imam Syafi’i
Nama lengkapnya Muhammad Bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin As-Shaa’ib bin Ubaid bin Hasyim bin Al-Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushai al-Qurasyi al-Mathlabi al-Hijazi al-Makki.
Kemudian lebih dikenal dengan Imam Syafi’i. (Khalid bin Al-Waleed, 2004) Beliau dilahirkan pada tahun 150 H ditahun wafatnya Imam Abu Hanifah di sebuah bandar yang bernama Ghizah di Palestina. Imam Syafi’i adalah keturunan bani Hasyim dan Abdul Muthalib Nasab keturunannya bertemu Rasulullah SAW. Pada Abdu Manaf. Tinggal di Kota Mekkah kemudian ke Irak, sampai akhirnya menetap di Mesir.
Hidup dalam kondisi yatim, dan ibunda mengajarinya ilmu. Hafal Al- Qur‟an pada usia tujuh tahun. (Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, 2013) Abdi Manaf adalah moyang Nabi SAW yang memiliki empat putra: Hasyim, darinya terlahir Nabi SAW; Muthallib, darinya terlahir Imam Syafi’i; Naufal, darinya terlahir kakek dari jabir ibn Muth’im;
dan Abd Syams, kakek moyang Bani umayyah. (Tariq Suwaidin, 2015) Yakut berpendapat (Ahmad Asy-Syurbani, 2017): Hasyim yang tersebut dalam silsilah keturunan Imam Syafi’i itu bukan Hasyim datuk kepada Rasulullah SAW. Hasyim datuk kepada nabi ialah Hasyim bin abdu manaf dan Hassyim ini anaknya Ukhai.
Kakek beliau, Syafi’i, bertemu dengan Rasulullah SAW ketika Rasulullah SAW masih kecil. Sedangkan bapaknya, Saib, adalah pembawa bendera Bani Hasyim dalam perang badar, lalu ia tertawan dan menebus dirinya, kemudian masuk Islam.
Guru-Guru Imam Syafi’i
Syafi’i belajar fikih dan hadis dari guru-guru yang tempat tinggalnya jauh dan memiliki metode yang beragam, bahkan sebagian gurunya ada yang berasal dari kelompok Mu’tazilah yang menggeluti ilmu kalam, ilmu yang dilarang Syafi’i untuk ditekuni. Syafi’i telah mendapatkan segala kebaikan dari mereka. Ia mengambil apa yang dianggapnya perlu dan meninggalkan apa yang harus ditinggalkan. Ia belajar guru-guru yang ada di Makkah, Madinah, Yaman, dan Irak.
(Ahmad Asy-Syurbani, 2017)
Guru-guru Imam Syafi’i yang pertama ialah Muslim Khalid Az- Zinzi dan lain-lainnya dari Imam-Imam Mekah. Ketika umur beliau tiga belas tahun beliau mengembara ke Madinah. Di Madinah beliau belajar dengan Imam Malik sampai Malik meninggal dunia. Dan masih banyak lagi guru-gurunya yang lain dari kampung-kampung atau kota-kota yang besar yang dikunjunginya.
Diantara guru-gurunya, (Ahmad Asy-Syurbani, 2017) di Mekkah ialah, Muslim bin Khalid Az-Zinzi, Sufyan bin Uyainah, Said bin Al- Kudah, Daud bin Abdur Rahman, Al-Attar dan Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Abi Daud. Sementara di Madinah, ialah Malik bin Anas, Ibrahim bin Yahya Al-Usami, Muhammad Said bin Abi Fudaik dan Abdullah bin Nafi’ As-Saigh. Diantara guru-gurunnya, (Tariq Suwaidin, 2015) di Madinah ialah, Malik ibn Anas ibn Amir al- Ashbahi, ibn Sa‟ad ibn Ibrahim ibn Abdurrahman ibn Auf, Abdul Aziz ibn Muhammad al-Darudi, Abu Ismail Hatim ibn Ismail al-Muzanni, Anas ibn Iyyadh ibn Abdurrahman al-Laitsi, Muhammad ibn Ismail ibn Abi Fudaik, Abdullah ibn Nafi’ al-Shaigh, Ibrahim ibn Muhammad ibn Abi Yahya alAslani, Al-Qosim ibn Abdullah ibn Umar al-Umari, Abdurrahman ibn Zaid ibn Aslam, Aththaf ibn Khalid al-Makhzumi, Muhammad ibn Abdullah ibn Dinar, Muhamma ibn Amr ibn Waqid al-Aslami, dan Sulaiman ibn Amr.
Kita-Kitab Karya Imam Syafi’i
Imam Syafi’i banyak menyusun dan mengarang kitab-kitab.
Menurut setengah ahli sejarah bahwa beliau menyusun 13 buah kitab dalam beberapa bidang ilmu pengetahuan yaitu seperti ilmu fiqih, tafsir, ilmu usul dan sastra (Al-Adab) dan lain-lain. Dalam jilid keempat belas dari kitab “Mu’jam Al-Udaba’. Yakut menerangkan nama
kitab yang dikarang oleh Imam Syafi’i, jika kita perhatikan dengan baik bahwa kitab yang disebutkan itu bukanlah sebagaimana kitab yang kita maksudkan pada hari ini, tetapi hanya beberapa bab hukum fiqh, kebanyakan bab ini telah dimasukkan ke dalam kitabnya “Al- Umm”. Kitab ini berisi masalah-masalah fiqh yang dibahas berdasarkan pokok-pokok pikiran beliau yang terdapat dalam risalah.
(Djazuli, 2021)
Diantara kitab Imam Syafi’i juga ialah “Ar-Risalah” yang mana membicarakan tentang ilmu usul fiqih. Imam Syafi’i dikenal sebagai peletak ilmu Ushul Fiqh. Didalamnya diterangkan pokok-pokok pikiran Imam Syafi’i dalam menetapkan hukum. Beliau menyusun kitab Ar-Risalah sebagai penerimaan atas permintaan Abdur Rahman bin Al-Mahdi, beliau adalah sebagai imam dalam ahli hadits pada masa itu. Manusia pada umumnya telah menyebut dengan baik kitab Ar-Risalah, pendapat mereka terhadap kitab tersebut adalah bermacam-macam. Di antara kitab karangan Imam Syafi’i juga ialah kitab “Al-Umm”. Al Umm adalah sebuah kitab yang luas dan tinggi dalam ilmu fiqih. Sebagai pengkaji sejarah menafikan kitab Al-Umm dikarang oleh Imam Syafi’i.
Semasa di Irak Imam Syafi’i menyusun kitabnya yang lama yang di beri nama “Al-Hujjah”. Pengesahan atau penetapan tentang ini telah diceritakan oleh empat orang dari ulama yang terbesar, mereka itu ialah, Ahmad bin Hambal, Ibnu Ath-Tsaur, Az-Za’faran dan Al- Karabisi.
Di antara kitab Imam Syafi’i yang lain juga ialah Al-Wasayah Al- Kabirah, Ihktilaf Ahlil Irak. Wasiyyatus Syafi’i, Jami’ Al-Ilm, Ibtal Al- Istihsan, Jami’ Al-Mizani Al-Kabir, Jami’ Al-Mizani As-Saghir, Al- Amali, Muktsar Ar-Rabi’ wal Buaiti, Al-Imla dan lain-lain. Imam Syafi’i menyusun sebagian dari kitabkitabnya atau pun beliau menulisnya sendiri dan direncanakan sebagian yang lain.
2. Metode Istinbat Hukum Imam Asy-Syafi’i
Sumber hukum merupakan suatu rujukan atau dasar yang utama dalam pengambilan hukum Islam. Sumber hukum Islam, artinya sesuatu yang menjadi pokok dari ajaran Islam. Sumber hukum Islam bersifat dinamis, benar dan mutlak, serta tidak pernah mengalami
kemandekan, kefanaan atau kehancuran. Adapun yang menjadi sumber hukum Islam, yaitu Al-Quran, Hadis dan ijtihad. (Ilmy, n.d.)
Sumber hukum Islam di bagi menjadi 2 bagian: pertama, sumber hukum yang di sepakati oleh para ulama mazhab. Contohnya: Al Quran, As Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Kedua, sumber hukum yang diperselisihkan oleh para ulama. Contohmya: Istihsan, Maslahah Mursalah, Istishab, ‘urf, Mazhab Sahabat, syariat sebelum Nabi Muhammad dan Saddu Zara’i.
Demikian dengan Imam Syafi’i, beliau juga dalam menentukan istinbath hukum menggunakan sumber hukum sebagaimana yang telah disebutkan di atas, yaitu sumber hukum yang disepakati tampa menafikan sumber hukum yang tidak disepakati bahkan terkadang beliau menggunakannya dalam pengambilan hukum.
3. Analisis Urgensi Ta’aruf Sebelum Pernikahan dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah Perspektif Imam Syafi’i
Berbicara tentang urgensi berarti kita membahas seberapa pentingkah suatu materi atau pembahasan serta tujuannya tersebut bagi kita, misalnya urgensi Agama bagi kehidupan manusia merupakan sangat strategis agar dapat mendanpatkan kebagiaan dunia serta akhirat bagi penganutnya. Mengapa Agama begitu penting, karena Agama dapat berfungsi sebagai pengontrol, Rambu- rambu, serta pegangan yang dijadikan petunjuk didalam menjalani roda kehidupan di muka bumi ini. Dalam Islam terdapat pentunjuk kehidupan yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Islam telah mengatur semua garis-garis kehidupan umatnya termasuk di dalamnya masalah pernikahan. Pernikahan dalam Agama Islam dianggap sangat penting karena dapat menghilangkan kemudharatan bagi pemeluknya. Akan tetapi dalam mengawali bahtera rumah tangga tersebut, masing-masing pasangan tersebut tidak lansung mendapatkan jodohnya, karena harus melewati proses untuk mencapainya. Salah satu caranya adalah dengan secara Islami yang disebut ta’aruf . Cara ini dilakukan agar terhindar dari berbagai macam dari hal-hal yang tidak diinginkan dan melanggar koridor- koridor Islam.
Menikah merupakan awal baru dari kehidupan, kebahagiaan serta kebersamaan dengan pasangan masing-masing, untuk mengawali itu semua diperlukan ta’aruf, ta’aruf yang saya maksud dalam hal ini adalah ta’aruf untuk mengetahui atau mengetahui calon pasangan kita agar tidak adanya rasa kekecewaan di kemudian hari setelah pernikahan terjadi, selain itu juga agar menjadi langkah awal dari kehidupan berumah tangga agar tercipta keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah.
Imam Syafi’i ketika menafsirkan Qur’an Surah Al-Hujurat: 13 menjelaskan bahwa “kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku- suku agar kalian saling mengenal” Kami menjadikan bukan untuk membanggakan nenek moyang kalian yang telah lalu, melainkan agar kalian saling mengenal, saling berdekatan, dan saling mewarisi kekerabatan. Dari perkenalan itu kalian bisa mengambil manfaat bagi kehidupan kalian. Yang dimaksud dengan kekerabatan disini bisa disambung yang awalnya dari sebuah perkenalan kemudian menuju kejenjang pernikahan sehingga terbentuknya sebuah keluarga yang diidamkan oleh masingmasing pasangan yakni terwujudkan pasangan yang sakinah mawaddah warrahmah.
Syariah mengajarkan bahwa tindakan apapun yang kita ambil dalam kehidupan ini tidak boleh disertai keraguan, apalagi dalam masalah pernikahan, karena pernikahan merupakan sebagian dari Agama ini artinya sangat penting dilakukan, tentu harus disertai dengan keridhoan menerima pasangan, kemantapan hati untuk bersama pasangan, melangkah bersama dan perasaan lapang dada.
Ta’aruf sangat penting dilakukan sebelum dilakukannya pernikahan, karena kita tidak diajari “membeli kucing dalam karunng”
kita harus menyakini bahwa si calon kita adalah teman hidup sepanjang hayat, calon yang kita kenal dari beberapa sisi-sisi yang prinsip, karena tidak mungkin mengenal dari seluruh sisi, sisi yang lain bisa dikenal setelah dilakukan pernikahan, dan diseluruh usia pernikahan.
Dari pendapat Imam Syafi’i mengenai kajian ta’aruf penulis dapat menganalisa bahwa ta’aruf itu sangat penting dilakukan karena dapat mempersempit rasa kekecewaan setelah terjadi pernikahan, akan tetapi
dalam hal ta’aruf tersebut ada batasan atau syarat-syarat yang harus dijaga agar tidak melanggar koridor syariat Islam yaitu diantaranya:
a) Menjaga pandangan
Perintah menjaga pandangan baik laki-laki dan perempuan telah disebutkan oleh Allah dalam kitab-Nya yang terjemahnya kurang lebih:
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah SWT. Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya (Q.S. An-Nuur (24) : 30-31) (Kementerian Agama Republik Indonesia, 2018)
b) Menjaga diri dari ber-khalwat
Tidak boleh ber-khalwat dengan wanita yang bukam mahram, karena hal itu diharamkan, Aturan syariat pun tidak membenarkan khalwat pada perkara selain nadzar sehingga khalwat ketika nazhar hukumnya tetap haram. Lagi pula dengan berkhalwat, tidak ada jaminan seorang tidak akan melakukan hal yang dilarang Allah SWT. dan Rasul-Nya. Dalam sebuah hadits Rasulullah menjelaskan dalam hadits yang artinya:
“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan perempuan kecuali dengan ditemani mahramnya...” (Shahih Bukhari No. 4832)
c) Menjaga diri dari fitnah dan Zina
Menjaga diri dari fitnah dan zina adalah suatu keharusan bagi setiap muslim agar tidak terjerumus kepada hal-hal yang tidak diinginkan, pemaknan zina dalam arti luas ini bisa dari berbagai pancar indra, baik zina dari mata, tangan, mulut, dan disempurnakan oleh kemaluan, sebagaimana hadits Nabi SAW yang artinya:
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam Bersabda: "Setiap anak cucu Adam telah tertulis bagiannya dari zina, maka kedua mata berbuat zina dan zina mata adalah melihat, kedua tangan berzina dan zina kedua tangan adalah memegang, kedua kaki berzina dan zina kedua kaki adalah melangkah, mulut berzina dan
zina mulut adalah mengucapkan, hati berharap dan berangan-angan, adapun kemaluan ia yang membenarkan atau mendustakannya."(
Musnad Ahmad No.8170)
d) Menjalankan sunnah Nabi SAW
Menjalankan sunnah Nabi SAW termasuk perwujudan rasa syukur seorang hamba atas nikmat yang diberikan Allah SWT.
Seorang muslim yang mengaku mencintai Nabi SAW semestinya dia selalu berusaha untuk meneladani sunnah beliau dalam kehidupannya, termasuk dalam hal ta’aruf. Rasulullah SAW Bersabda dalam Hadits yang artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdul Malik bin Abu Syawarib berkata: telah menceritakan kepada kami Abu 'Awanah berkata: telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin Umair dari Al Mundzir bin Jarir dari Bapaknya ia berkata:
Rasulullah shallAllahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa membuat satu sunnah yang baik, kemudian sunnah tersebut dikerjakan, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun...”
(Sunan Ibnu Majah 199) (Muhammad Nashiruddin Al-Albani, 1417)
e) Memilih pasangan yang baik
Semua orang menginginkan pasangannya memiliki perangai yang baik, sehingga mendapatkan kenyamanan dengan kehadiran pasangan masingmasing, dalam hal ini Rasulullah SAW telah memberikan kriteria melalui haditsnya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang Artinya "Seorang wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena Agamanya, maka pilihlah karena Agamanya, niscaya kamu beruntung."
(H.R Muslim No. 1466)
Hal yang manusiawi dalam memilih calon pasangan suami atau istri biasanya lebih mengutamakan dzahiriah seoerti kencantikan, keturunan dan kekayaannya, namun diantara hal tersebut ada hal yang lebih penting dari semuanya itu yaitu Agamanya yang tercermin pada akhlaknya yang baik dan mulia serta pantas dijadikan pasangan dalam mengaruhi mahligai rumah tangga kedepannya.
B. Analisis Kedudukan Ta’aruf Sebelum Pernikahan Dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah Perspektif Imam Syafi’i
Dalam Agama Islam terdapat lima jenis hukum diataranya, mubah, sunnah, wajib, makruh, dan Haram: (1) Mubah adalah suatu perkara yang apabila jika dikerjakan tidak berpahala dan jika tidak dikerjakan tidak berdosa, (2) Sunnah adalah segala ibadah yang apabila dilakukan atua dikerjakan akan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapatkan dosa, (3) Wajib adalah perkara yang menjadi keharusan, yakni segala perintah Allah SWT. yang harus kita kerjakan, dan apabila tidak dikerjakan maka berdosa, (4) Makruh ialah suatu hal perbuatan yang tidak disukai oleh Allah SWT., Namun apbila dikerjakan tidak berdosa, dan jika ditinggalkan maka akan berpahala, dan (5) Haram adalah suatu perkara yang dilarang mengerjakannya, apabila dikerjakan maka akan mendapatkan dosa, sebaliknya bila ditinggalkan maka akan memperoleh pahala.
Literatur yang membahas tentang ta’aruf dari kajian pendapat Imam Syafi’i tersebut, setelah membaca dan mengakaji serta dilihat dari sisi maqasid syariah/tujuan syariah, yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat, peneliti dapat menganalisa bahwa kedudukan ta’aruf dapat dibagi menjadi dua yaitu Sunnah dan Haram.
1. Sunnah
Sunnah bagi umat islam secara keseluruhan adalah hal yang sangat penting untuk senantiasa dan selalu dijadikan landasan sebagia satu pedoman hidup. Karena didalamnya memuat tentang hal-hal yang berkaitan dengan segala hal-ihwal yang telah dilakukan oleh nabi SAW.
Dalam hal ini perbuantan-perbuatan yang dilakuakan oleh nabi SAW sebagai sebuah cermin dari masa ke masa tentang mengaktualisasikan sunnah sebagai ajaran atau hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an.
Kedudukan sunnah dalam pembinaan syariat Islam dan pengaruhnya dalam kehidupan kaum muslimin dari mulai Rasulullah SAW, para sahabatnya, tabiin, tabi’ tabiin sampai zaman sekarang ini dan sampai hari kiamat merupakan suatu kenyataan yang diterima sebagai kebenaran yang tidak dapat diragukan dan tidak perlu dibuktikan lagi. Barangsiapa yang menelaah Al-Qur’an dan As-Sunnah,
niscaya akan menemukan tentang besarnya pengaruh sunnah dalam pembinaan syariat Islam dan keagungan serta keabadiannya yang tidak mungkin diingkari oleh pakar-pakar sunnah.
Konteks hukum tersebut bisa berubah sesuai dengan seluruh tuntutan Agama adalah untuk kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat. Ketaatan hamba tidak akan menambah apa-apa dari kemaha sempurnaan dan kemahakuasaan Allah SWT., dan sebaliknya kemaksiatan hamba tidak akan mengurangi kemahakuasaan dan kamaha sempurnaan Allah SWT.
Wasilah (cara atau jalan) menuju kemaslahatan juga bertingkat atau berjenjang sesuai dengan tujuan dan kemaslahatannya. Wasilah untuk untuk mengetahui Allah SWT. Dzat-Nya dan sifat-sifat-Nya, adalah wasilah yang paling utama dan lebih utama daripada mengetahui hukum-hukum Allah SWT. lebih utama daripada mengetahui hukum- hukumnya. Demikian pula wasilah yang menuju kepada mafsadah juga berjenjang, disesuaikan dengan kemafsadatannya. Nahi mungkar adalah wasilah menghindarkan kemungkaran. Wasilah yang menuju kepada yang haram.
Dari hubungan tersebut disimpulkan dalam sutau kaidah fikih yang artinya: “Bagi setiap wasilah (media) hukumnya adalah sama dengan hukum tujuan”. Apabila yang dituju itu wajib, maka media menuju kepada yang wajib itu juga wajib. Sebaliknya apabila yang dituju itu haram, maka usaha menuju yang haram juga. Apabila babi itu haram, maka menyelenggarakan pertenakan babi itu juga haram bagi orang Islam. Apabila menutup aurat itu wajib, maka mengusahan untuk menutup aurat adalah wajib. Apabila shalat jum’at itu wajib, maka pergi ke masjid untuk melaksnakan shalat jumat menjadi wajib.
Kemaslahatan tersebut diartikan segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia termasuk didalamnya masalah jodoh, pemenuhan segala kebutuhan dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas- kualitas emosional dan intelektualnya.
Ta’aruf bila dikaitkan dengan hukum diatas, maka kedudukan ta’aruf adalah sunnah, demikian juga cara untuk mendapatkan jodoh dengan cara ta’aruf dihukumi sunnah, termasuk juga wasilah atau media untuk sesuatu yang terdapat dalam hadits Nabi SAW, maka hal tersebut dihukumi dengan sunnah seperti ta’aruf, yang dimaksud ta’aruf
ini untuk mengenali calon wanita seperti dengan cara nadzar (melihat), ada beberapa riwayat Nabi SAW yang memerintahkan agar melihat wanita yang ingin dilamar tersebut, diantaranya Nabi SAW. bersabda yang artinya;
Dari Al Mughirah bin Syu'bah, ia berkata: saya melamar seorang wanita pada masa Rasulullah shallAllahu 'alaihi wa sallam, kemudian Nabi shallAllahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Apakah engkau sudah melihatnya?"
saya mengatakan: tidak. Beliau bersabda: "Lihatlah kepadanya, karena hal itu lebih melanggengkan diantara kalian berdua." (Sunan Nasa'i No. 3235) (Muhammad Nashiruddin Al-Albani, 2006)
Hadits diatas menceritakan seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah SAW dan menyampaikan perihal keinginannya untuk melamar seorang wanita, kemudian Beliau balik menanyakan kepadanya “Apakah engkau telah melihatnya? Laki-laki tersebut mengatakan “Belum” lalu beliau bersabda: Lihatlah wanita tersebut, karena hal itu lebih dapat melanggengkan hubungan diantara kalian berdua. Dari hadits ini menunjukkan bahwa mengenali wanita yang ingin dinikahi itu sangatlah penting.
Al-Hafizh Al-Imam As-Suyuthi dan Al-Baihaqi berkata: Imam Syafi’i Rahimahullah bahwa sunnah Rasulullah terdiri dari tiga sisi;
a) Segala apa yang Allah SWT. turunkan dalam nash maka Rasulullah SAW menetapkan suatu sunnah yang sama dengan nash yang ada dalam Kitabullah.
b) Segala apa yang Allah SWT. turunkan dalam nash yang berupa bersifat umum, lalu Rasulullah menerangkan maksud yang diinginkan dari sesuatu yang bersifat umum dalam kitabullah itu dan menjelaskan rincian serta menjelaskan bagaiman caranya hamba Allah SWT. melakukan apa yang dimaksud.
c) Rasulullah SAW menetapkan suatu hukum yang mana hukum yang ditetapkan beliau tidak ada dalam nash Imam Syafi’i berkata:
“aku tidak mendengar seseorang yang dinilai manusia atau oleh diri sendiri sebagai orang alim yang menyalahi kewajiban Allah SWT. untuk mengikuti sunnah Rasulullah SAW dan berserah diri atas keputusannya.
Penjelasan semua diatas menjelaskan bahwa ta’aruf memiliki kedudukan sunnah bagi seseorang untuk ber-ta’aruf dengan cara mengenali dan melihatnya wanita yang ingin dilamar dengan tujuan
untuk dinikahi agar bisa terwujudnya keluarga yang idamkan yaitu terbentuknya mahligai rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warrahmah sebagaimana perihal hadits-hadits diatas.
2. Mubah
Imam Syafi’i untuk menunjukkan bolehnya melakukan sesuatu tanpa berakibat konsekuensi apapun, tidak makruh, dalam hal ini Imam Syafi’i biasa dengan ungkapan سأب لا (La ba’sa), Contohnya ketika beliau menjelaskan tentang masalah zakat fitrah:
ُم ناك اذإ ذخيأو رطفلا ةاكز ى دؤي نأ سبأ َلَو
تاقدصلا نم اىأيغو اجات
تاضورفلما
Terjemahannya:
“Tidak masalah jika seseorang membayar zakat fitrah dan mengambilnya jika ia sedang membutuhkan, begitu juga sedekah wajib lainnya.”
Keterangan imam Syafii di atas menggunakan redaksi سأب لاو dan seterusnya menunjukkan bahwa tidak masalah jika orang yang berstatus pembayar zakat fitrah tapi juga memperoleh bagian dari pembagian zakat fitrah. Kondisi itu jika ia memang masuk salah satu golongan yang berhak menerimanya. Hal ini berarti menunjukkan hukum bolehnya (mubah) hal tersebut, tanpa adanya konsekuensi makruh.
Demikian juga menurut Ulama Syafi’i bahwa secara mutlak diperbolehkan menikah setelah nazhar, karena pernikahan setelah didahului dengan nazhar lebih menunjukkan kasih sayang dan kecocokan yang menjadi sebab diperolehnya maksud dari pernikahan, Nabi SAW bersabda yang artinya: “Lihatlah ia karena hal itu lebih pantas melanggengkan kasih sayang di antara kamu berdua.”
Nabi SAW menganjurkannya melakukan nadzar secara umum beliau menyebutkan alasannya bahwa hal itu menyebabkan timbulnya kasih sayang dan kecocokan, karena maksudnya adalah menjalankan sunnah, bukan menunaikn syahwat.
Imam Nawawi berkata dalam Raudhatuth Thalibin (V/366), “Imam Haramain berkata: Nadzar ini diperbolehkan karena tujuan pernikahan, meskipun dikhawtirkan menimbulkan fitnah. Imam Nawawi berkata dalam Raudhatut Thalibin wa Umdatul Muftiin; “Jika dia ingin menikahinya
disunnahkan untuk melihatnya agar tidak menyesal kemudian, dan menurut pendapat yang lain: tidak disunnahkan namun mubah saja, dan pendapat yang benar adalah yang pertama berdasarkan beberapa hadits”. Proses melihat boleh diulangi dengan seizinnya atau tidak, namun jika kesulitan untuk melihatnya, dia bisa mengutus wanita tertentu agar menjelaskan nantinya tentang sifat-sifatnya. Seorang wanita juga hendaknya melihat laki-laki yang mau menikahinya, karenanya dia akan merasa tertarik dengannya dan begitu juga sebaliknya. Kemudian yang dilihat adalah wajah dan kedua telapak tangan baik yang bagian luar maupun yang bagian dalam, tidak dilihat pada selainnya.
SIMPULAN
Pada bagian akhir tulisan ini, maka dapat diambil beberapa kesimpulan diantaranya:
1. Ta’aruf mengacu berdasarkan pendapat Imam Syafi’i memiliki syarat, Dalam hal memandang, melihat calon pasangan terbatas oleh wajah dan telapak tangan, karena dengan kedua anggota tersebut seorang wanita atau calon pasangan dapat dinilai sikap serta karakternya, dari wajah dapat dilihat dari kecantikannya sedangkan tangan menggambarkan suburnya wanita itu. walaupun di perbolehkan dalam hal untuk menuju jenjang pernikahan selain itu juga ta’aruf sangat penting dilakukan sebelum pernikahan agar tidak menimbulkan rasa kekecewan dikemudian hari setelah terjadinya pernikahan, akan tetapi dalam hal ta’aruf tersebut ada batasan yang harus dijaga diantaranya: terkait menjaga hijab atau pakaian yang sebaiknya digunakan wanita tidak ada ketentuan apakah harus memakai kebaya atau baju kurung, namun substansi dari keduanya adalah memakai pakaian yang digunakan masyarakat pada umumnya, menutupi aurat dan tidak berlebih-lebihan, Menjaga aurat dan pandangan terbatas hanya bisa melihat wajah dan telapak tangan, begitu juga dengan menjauhi terjadinya ber-khalwat antara laki-laki dan perempuan adalah haram kecuali dengan adanya mahram. sebab menghindari fitnah dan zina menurut Imam Syafi’i merupakan dosa yang sangat besar.
2. Kedudukan ta’aruf menurut Imam Syafi’i adalah sunnah dan mubah dilakukan bagi yang mau melakukan, sebab dengan ta’aruf menjadi salah satu pilihan untuk mendapatkan jodoh sesuai dengan kriteria yang diinginkan, sesuai yang disampaikan oleh baginda Nabi SAW yaitu,
dilihat dari kecantikannya, keturunannya, kekayaannya, dan karena agamanya. Dari empat hal tersebut yang paling utama adalah karena agamanya, dari Agamanya tersebut dapat dilihat dari Akhlak dan tingkah lakunya, disamping itu semua perkara tersebut akan menunjang menjadi keluarga yang diidamkan yaitu keluarga yang sakinah, wamaddah, warrahmah. Akan tetapi dilihat dari konteks realitas ta’aruf bisa menjadi haram kerena niat dan tujuan pelaku, niat tersebut ingin melanggar syariat misalnya, tidak menjaga pandangan dan aurat, kemudian ber-khalwat serta melakukan perbuatan zina yang melanggar aturan Agama, maka hal tersebut tidak didiperbolehkan.
3. Dari semua batasan yang ada bertujuan menciptakan sebuah kesepakatan antara kedua pasangan untuk menuju kedamaian, ketulusan dalam rutinitas berumah tangga karena tulusnya cinta adalah cinta pasangan berdua yang bermula dari saling melihat sampai ke sebuah pertunangan dan pernikahan.
4. Kontribusi ta’aruf perspektif Imam Syafi’i di kalangan umum bahwa dengan ta’aruf perjajakan awal untuk mengenal calon pasangan sebelum menuju ke jenjang pernikahan, dalam proses pelaksanaannya ada adab tertentu yang harus ditaati dan pelaksanaan proses ta’aruf ada perantara atau wali sebagai mediator, selain itu untuk menjaga dan membudayakan keteraturan syari’at agama agar tidak hilang di telan zaman di mana aturan agama dijadikan pedoman dalam melakukan tindakan.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Husain Muslim bin Al Hajjaj. (1998). Shohih Muslim. Daarul Mughni.
Abu Muhammad Ibnu Shalih bin Hasbullah. (n.d.). Tuntunan Menggapai Keluarga Sakinah, terjm Tim Pustak Ibnu Umar. Pustaka Ibnu Umar.
Adib Machrus, dkk. (2017). Fondasi Keluarga Sakinah Bacaan Mandiri Calon Pengantin. Subdit Bina Keluarga Sakinah, Direktorat Bina Kua Dan Kelurga Sakinah, Ditjen Bimas Islam Kemenag RI.
Ahmad Asy-Syurbani. (2017). Sejarah Dan Biografi Empat Imam Mazhab, terjm.
Khoerul Amru Harahap. Amzah.
Al-Qodhi Abu Syuja bin Ahmad Al-Ashfahami. (n.d.). iqih Sunnah Imam Syafi’i, terjm.Rizki Faujan. Fathan Media Prima.
Assyabia Ariffah. (2017). Karakter Muslimah Dambaan Suami. Araska.
Ayub Abdurrahman. (2012). Bahagia Di Singgasana Cinta. Pro Books.
Dewi Rahmawi, dkk. (2017). Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Seks Pranikah Mahasiswa Kos-Kosan Di Kelurahan Lalolara Tahun 2016.
Jimkesmas, 2. http://ojs.uho.ac.id/index.php/JIMKESMAS/article/view/1929 Djazuli, P. H. A. (2021). Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan
Hukum Islam. Edisi revisi. Prenada Media.
https://books.google.co.id/books?id=CgktEAAAQBAJ
Elly Magdalena, H. B. N. (2016). Pengaruh Aktivitas Seksual Pranikah, Ketaatan Beragama dan Sosial Ekonomi Terhadap Kehamilan Remaja Di Kecematan Saptosari Gunungkidul. Jurnal Biometrika Dan Kependudukan, 5. https://e- journal.unair.ac.id/JBK/article/view/5791
Farrān, A. M. (2006). Tafsir Imam Syafi’i. Almahira.
https://books.google.co.id/books?id=C8SmnPi_0X8C
Genta Tiara. (2020). Taaruf Khitbah Nikah Malam Pertama: Spesial untuk Muslimah.
Genta Hidayah. https://books.google.co.id/books?id=6WruDwAAQBAJ
Henderi Kusmidi. (2018). Konsep Sakinah, Mawaddah Dan Rahmah Dalam
Pernikahan. El-Afkar, 7.
https://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/elafkar/article/view/1601
Honey Miftahuljannah. (2014). A-Z Taaruf, Khitbah, Nikah Dan Talak Bagi Muslimah.
PT Grasindo.
Ilmy, B. (n.d.). Pendidikan Agama Islam. PT Grafindo Media Pratama.
https://books.google.co.id/books?id=70PjoHm8LCMC
Jawas, Y. bin A. Q. (2018). Hadiah Istimewa Menuju Keluarga Sakinah. Pustaka Khazanah Faw’Id.
Kemenkes, BPS, dan B. (2017). Survei Demografi Dan Kesehatan Indonesia 2017.
Kementerian Agama Republik Indonesia. (2018). Al-Qur’an dan Terjemahnya. Unit Percetakan Al-Qur’an.
Khalid bin Al-Waleed. (2004). Mazhab Fiqih Dan Cara Menyikapinya, terjm. Abdullah Haidir.
Mardani. (2016). Hukum Keluarga Islam Di Indonesia. Kencana.
Muhammad Nashiruddin Al-Albani. (1417). Shahih Sunan Ibnu Majah. Pustaka Azzam.
Muhammad Nashiruddin Al-Albani. (2006). Shahih Sunan Nasa’i Jilid 2, terjm.
Fathurahman. Pustaka Azzam.
Pusparini, A. (2012). Agar Ta’aruf Cinta Berbuah Pahala. Pro-U Media.
Reza Yogaiswara. (2015). Ta’aruf dalam Perspektif Islam. Skripsi Universitas Brawijaya, Malang.
Rizky Nasution dan Rama Salwa. (2019). Ta’aruf. Qultum Media.
Robith Muti’ul Hakim. (2014). Konsep Felix Siaw Tentang Ta’aruf Antara Calon Mempelai Pri Dan Calon Mempelai Wanita. Al-Akhwal, 7. https://ejournal.uin- suka.ac.id/syariah/Ahwal/article/view/1079
Sururie, R. W. (2017). Darurat Perceraian Dalam Keluarga Muslim Indonesia. Pusat pengabdian kepada Masyarakat. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Syaikh Muhammad Sa’id Mursi. (2013). Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, terjm. Sabil Huda dan Ahmadi. Pustaka Al-Kautsar.
Tariq Suwaidin. (2015). Biografi Imam Syafi’i; Kisah Perjalanan Dan Pelajaran Hidup Sang Mujtahid, terjm. Imam Firdaus. Zaman.
Wahbah az-Zuhaili. (2011). Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 9, terjm. Abdul Hayyie, dkk. Gema Insani.
Wahbah az-Zuhaili. (2013). Tasir Al-Munir, terjm. Abdul Hayyie, dkk. Gema Insani.
Zainul Arifin El-Basyir. (2014). Jadikanlah Dia Jodohku Ya Allah. Kaema Pustaka.