• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Pendapatan Nasional Perspektif Islam dan Konvensional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of Pendapatan Nasional Perspektif Islam dan Konvensional"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Pendapatan Nasional Perspektif Islam dan Konvensional

Bunga Anggita Batubara1*, Maryam Batubara2 Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

1*Correspondent Author : [email protected]

Abstract

Both Islamic countries and other countries have a major role in managing the economy. The model for calculating national income is certainly different between conventional and Islamic, because the basic determination of people's welfare priorities is different. Therefore, it is important for the state to increase national income through developing the country's economy so that people's welfare increases. This article examines the measurement of conventional national income and an Islamic perspective. The method used in this research is library research. The conclusions are: 1) There are doubts in the calculation of real GDP as a measure of the level of welfare. 2) Income per capita is not the only measure of welfare because income in an area is not evenly distributed. 3) Variables in measuring national income have their respective roles in accordance with Islamic law. 4) The parameters used in the Islamic economic system are called falah, namely real welfare. 5) Good Islamic economic development has the goal of reducing poverty, creating peace, comfort, and morals in life. This research is limited to discussing theoretical comparisons between Islamic and conventional national income calculation models. It is hoped that further researchers can explain in real terms the implementation of national income calculations applied by Islamic countries.

Keywords : National Income, Welfare, Economic Growth

Abstrak

Baik negara islam maupun negara lainnya memiliki peran utama dalam mengelola ekonomi.

Model perhitungan pendapatan nasional tentu berbeda antara konvensional dengan islami, karena penentuan dasar prioritas kesejahteraan rakyat yang berbeda. Oleh karena itu, penting bagi negara untuk meningkatkan pendapatan nasional melalui pengembangan perekonomian negara agar kesejahteraan rakyat meningkat. Artikel ini mengkaji tentang pengukuran pendapatan nasional konvensional dan perspektif islam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research). Adapun kesimpulannya yaitu: 1) Terdapat keraguan dalam perhitungan GDP riil sebagai ukuran tingkat kesejahteraan. 2) Pendapatan per kapita bukanlah satu-satunya tolak ukur kesejahteraan karena pendapatan dalam suatu wilayah belum merata. 3) Variabel dalam pengukuran pendapatan nasional memiliki peran masing-masing yang sesuai dengan syariat islam. 4) Parameter yang digunakan dalam sistem ekonomi islam disebut dengan falah yaitu kesejahteraan yang sesungguhnya. 5) Pembangunan ekonomi islam yang baik memiliki tujuan untuk mengurangi kemiskinan, menciptakan ketentraman, kenyamanan, dan tata susila dalam kehidupan.

Penelitian ini terbatas pada pembahasan secara teori pembanding antara model perhitungan pendapatan nasional islam dan konvensional. Diharapkan untuk peneliti selanjutnya dapat memaparkan secara riil implementasi perhitungan pendapatan nasional yang diterapkan negara islam.

Kata Kunci : Pendapatan Nasional, Kesejahteraan, Pertumbuhan Ekonomi

PENDAHULUAN

Ilmu ekonomi dalam Islam merupakan ilmu yang bersumber dari syariat dan berpegang teguh pada Al-Quran dan As-sunnah. Kedudukan kedua sumber mutlak ini menjadikan islam agama yang istimewa karena perspektif ekonomi islam segalanya bermuara pada kedua sumber tersebut (Huda et al., 2008). Oleh karena itu, dalam implementasi ilmu ekonomi yang diambil dari konvensional harus dibentuk dan disesuaikan dengan kerangka islam. Bukan berarti seluruh ilmu ekonomi islam adalah buah dari pemikiran bangsa Barat, melainkan

(2)

mendapatkan uang kemudian membelanjakannya, tetapi juga berkaitan dengan kesejahteraan umat secara keseluruhan (Purwanto & Siswahadi, 2021).

Makroekonomi merupakan salah satu ilmu yang membahas ilmu ekonomi secara keseluruhan. Sukirno (2010) dalam bukunya yang berjudul Makroekonomi Teori Pengantar menjelaskan bahwa isu utama yang selalu dihadapi dalam suatu negara antara lain masalah pertumbuhan ekonomi, ketidakstabilan kegiatan ekonomi, pengangguran, inflasi, dan neraca perdagangan serta neraca pembayaran. Masalah pertumbuhan ekonomi suatu negara merupakan salah satu isu yang mempengaruhi kesejahteraan umat. Dan pendapatan nasional sebagai tolak ukur untuk menghitung kinerja sektor ekonomi dalam perekonomian nasional (Ahmad Al-Rubi, 2022).

Baik negara islam maupun negara lainnya memiliki peran utama dalam mengelola ekonomi. Setiap negara menganut sistem yang berbeda dalam menyejahterakan rakyat namun menggunakan cara pengukuran yang sama yaitu dengan mengukur pendapatan nasional (Khilmia et al., 2022, Suleman et all., 2020). Model perhitungan pendapatan nasional tentu berbeda antara konvensional dengan islami, karena penentuan dasar prioritas kesejahteraan rakyat yang berbeda.

Syamsuri (2021) dalam penelitiannya terkait rekonstruksi APBN menyatakan bahwa banyak pengeluaran APBN yang kembali ke rakyat untuk kesejahteraan. Artinya, apabila pendapatan nasional diukur dengan baik dan penggunaan APBN dimaksimalkan maka akan berdampak pada kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, penting bagi negara untuk meningkatkan pendapatan nasional melalui pengembangan perekonomian negara agar kesejahteraan rakyat meningkat.

KERANGKA TEORITS

Pendapatan Nasional

Pendapatan nasional adalah jumlah semua pendapatan yang diterima masyarakat di suatu negara dalam satu tahun (Apriliana, 2022; Hakim, M, 2015). Dalam ilmu ekonomi konvensional, banyak istilah pendatan nasional seperti Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP), Produk Nasional Bruto (PNB) atau Gross National Product (GNP), serta Produk Nasional Neto (PNN) atau Net National Product (NNP).

GDP adalah nilai barang dan jasa negara yang dihasilkan oleh faktor-faktor produksi milik negara dan orang asing dalam negara tersebut (Sukirno, 2010). GDP merupakan nilai dasar dalam perhitungan seluruh barang jadi dan jasa dalam suatu negara, baik yang diproduksi oleh masyarakat dalam negeri maupun orang asing yang menempati negara tersebut (Purwanto

& Siswahadi, 2021). Dengan kata lain, GDP dapat diartikan sebagai jumlah seluruh pendapatan yang dihasilkan bukan saja oleh perusahaan milik penduduk negara itu tetapi juga oleh penduduk negara lain yang menduduki wilayah negara tersebut dalam satu tahun.

Pengukuran pendapatan nasional akan memberikan kisaran GDP teratur yang menjadi ukuran besar dari performansi perekonomian negara dalam memproduksi barang dan jasa (Huda et al., 2008). Perhitungan ini juga berguna untuk menerangkan hubungan variabel makroekonomi seperti output, pendapatan, dan pengeluaran.

(3)

Kegunaan Data Pendapatan Nasional

Data pendapatan nasional berguna dalam memberikan informasi dari berbagai aspek kegiatan ekonomi suatu negara, antara lain:

1. Mengetahui struktur ekonomi suatu negara (Khilmia et al., 2022, Sahban, 2018) 2. Mengukur tingkat kemakmuran suatu negara (Khilmia et al., 2022, Haryanto, 2020) 3. Menilai prestasi kegiatan ekonomi (Sukirno, 2010)

4. Menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai (Sukirno, 2010)

5. Dasar dalam membuat ramalan dan perencanaan (Khilmia et al., 2022, Chabibah, 2020) 6. Perbandingan ekonomi antar region dan antar negara (Khilmia et al., 2022, Putong, 2015) Pengukuran Pendapatan Nasional

Pendapatan nasional secara konvensional dapat diukur dengan tiga pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan Produksi (Production Approach)

Pendapatan nasional dengan pendekatan produksi diukur dengan cara menambahkan nilai tambah bruto dari semua sektor produksi. Konsep ini digunakan untuk menghindari perhitungan ganda (double count) (Huda et al., 2008). Pengukuran dengan pendekatan ini disebut dengan produk neto yang berarti nilai tambahn yang diciptakan dalam proses produksi (Sukirno, 2010).

Tabel 1. Contoh Perhitungan

Jenis Kegiatan Nilai Penjualan (Ribu Rp) Nilai Tambah (Ribu Rp)

Mengambil Kayu Hutan 50 50

Menggergaji Papan 200 150

Membuat Perabot 600 400

Menjual Perabot di Toko 800 200

Jumlah 1650 800

Sumber : (Sukirno, 2010)

Dari tabel di atas didapat bahwa nilai tambah dari keempat kegiatan sebesar Rp800.000,- dengan nilai penjualan sebesar Rp1.650.000,-.

2. Pendekatan Pendapatan (Income Approach)

Dengan pendekatan pendapatan, pendapatan nasional diukur dengan cara menjumlahkan seluruh pendapatan yang diperoleh masyarakat dalam satu tahun seperti sewa, upah, bunga, dan laba (Khilmia et al., 2022., Haoloan, 2010). Pengukuran ini disebut dengan produk nasional neto yang menjumlahkan hasil dari tanah dan harta yang menghasilkan sewa, tenaga kerja yang mendapatkan gaji dan upah, modal yang memperoleh bunga, dan keahlian usahawan menghasilkan keuntungan (Sukirno, 2010).

Pada pendekatan ini, perekonomian digolongkan menjadi empat sektor yaitu rumah tangga, bisnis atau perusahaan, pemerintah, dan perdagangan luar negeri (Hadi, 2018).

3. Pendekatan Pengeluaran (Expenditure Approach)

Pendekatan pengeluaran diukur dengan cara menjumlahkan permintaan akhir dari unit- unit ekonomi yang dibuat persamaan menjadi:

Y = C + I , untuk perekonomian tertutup

Y = C + I + G, untuk perekonomian tertutup dengan peranan pemerintah Y = C + I + G + (X-M), untuk perekonomian terbuka (Huda et al., 2008)

(4)

Dimana, Y merupakan pendapatan produk nasional bruto, C merupakan konsumsi rumah tangga, I merupakan investasi dari perusahaan, G merupakan pengeluaran pemerintah, dan X-M merupakan pengeluaran ekspor dan impor.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam artikel ini adalah studi kepustakaan (library research) dengan pendekatan deskriptif. Dalam penelitian ini, penulis berupaya untuk menganalisis perbedaan mendasar antara pendapatan nasional konvensional dengan pendapatan nasional dari perspektif islam. Data-data dikumpulkan berasal dari buku, artikel, internet, dan sejenisnya yang dapat membantu penulis untuk menganalisis topik yang dibicarakan.

PEMBAHASAN

Pendapatan Nasional Konvensional

Pengukuran pendapatan nasional secara konvensional baik dengan pendekatan produksi, pendapatan masupun pengeluaran, akan menghasilkan angka yang dijadikan dasar dalam pengukuran kinerja berbagai sektor ekonomi suatu negara. Pendekatan yang paling umum digunakan dalam mengukur pendapatan nasional adalah pendekatan pengeluaran yang menghasilkan GNP. Pendekatan ini mengukur dengan cara menjumlahkan konsumsi rumah tangga, investasi perusahaan, pengeluaran pemerintah dan pengeluaran ekspor impor dengan persamaan:

Y = C + I + G + (X-M)

Persamaan ini merupakan sebuah identitas, maksudnya persamaan ini digunakan agar variabel-variabel makroekonomi dapat didefinisikan. Variabel konsumsi terdiri dari barang dan jasa yang dikonsumsi atau dibeli oleh rumah tangga. Seluruh bentuk konsumsi bersama-sama membentuk duapertiga dari GDP. Karena nilainya begitu besar, para ahli dengan giat mempelajari bagaimana sektor rumah tangga memutuskan berapa banyak yang harus dikonsumsi.

Rumah tangga memperoleh pendapatan dari tenaga kerja dan modal yang mereka miliki, kemudian mereka membayar pajak kepada pemerintah, dan memutuskan berapa banyak dari sisanya digunakan untuk konsumsi dan berapa banyak yang akan ditabung. Pendapatan rumah tangga sama dengan output perekonomian Y. Pemerintah menerima pajak dari rumah tangga senilai T. Sehingga dapat kita simpulkan pendapatan setelah pajak adalah Y-T yang disebut dengan pendapatan disposabel atau pendapatan yang dapat digunakan untuk belanja. Kemudian rumah tangga yang menentukan sisanya antara konsumsi atau tabungan (Mankiw, 2007)

Variabel investasi menjelaskan keputusan perusahaan dan rumah tangga dalam melakukan investasi. Perusahaan dapat membeli investasi untuk menambah modal dan mengganti modal yang ada setelah habis pakai. Rumah tangga dapat membeli rumah baru untuk menambah investasinya. Jumlah modal yang diminta baik perusahaan maupun rumah tangga bergantung pada tingkat bunga yang mengukur biaya investasi (Mankiw, 2007). Keputusan ini diambil guna mendapat proyek investasi yang menguntungkan, artinya hasil yang didapat harus lebih besar daripada biaya yang dikeluarkan.

(5)

Variabel belanja pemerintah menggambarkan pengeluaran yang dilakukan pemerintah seperti belanja jasa pegawai pemerintah, pembangunan infrastruktur, pembayaran transfer rumah tangga, dan lainnya. Pada pembayaran transfer rumah tangga, akan memperngaruhi permintaan barang dan jasa karena meningkatkan pendapatan disposabel (Mankiw, 2007).

Contoh dari pembayaran ini seperti program pangan non tunai, bantuan langsung tunai, program keluarga harapan, program bantuan iuran jaminan kesehatan nasional, dan program lainnya yang sudah diterapkan di Indonesia. Salah satu fungsi dari variabel ini yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hasil pemungutan pajak yang mengurangi pendapatan disposabel dari masyarakat kemudian dialirkan kembali ke masyarakat untuk kesejahteraannya. Syamsuri (2021) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat penurunan tingkat kemiskinan yang signifikan dimana pada tahun 2007 berada pada angka 16,58% menjadi 9,66% pada tahun 2018.

Angka ini turun sebesar 6,92% selama 11 tahun.

Variabel ekspor neto menjelaskan nilai ekspor yang dilakukan negara setelah dikurangi dengan impor negara tersebut dalam satu tahun. Nilai ekspor dihitung karena merupakan hasil barang dan jasa dari dalam negeri. Sementara impor adalah barang dan jasa yang diproduksi luar negeri. Secara definisi, seharusnya impor tidak dihitung dalam perhitungan pendapatan nasional. Namun kenyataannya tidak dapat dielakkan. Dalam praktiknya, sering terdapat kondisi dimana barang impor dijadikan faktor produksi dalam negeri (Sukirno, 2010).

Contohnya, sepatu yang diproduksi pabrik di Bandung menggunakan kulit sapi yang diimpor dari Australia. Nilai bahan dasar kulit ini tidak termasuk dalam perhitungan pendapatan nasional. Sehingga untuk mengatasi hal ini, maka nilai impor harus dikurangi dari nilai belanja yang lain. Sehingga yang perlu dihitung dalam pendapatan nasional hanya ekspor neto.

Dari penjelasan di atas, masing-masing variabel memiliki definisi dan pengaruhnya secara makroekonomi. Pada ekonomi konvensional terdapat keraguan dalam pengukuran GNP riil. GNP tidak mencerminkan kesejahteraan masyarakat karena beberapa faktor (Purwanto &

Siswahadi, 2021). Yang pertama, ketika produk dihasilkan masyarakat untuk dikonsumsi sendiri. Masyarakat mengonsumsi sayur yang diambil dari tanaman di pekarangan rumah. Dan konsumsi tersebut sebenarnya mempengaruhi tingkat kesejahteraan. Hal ini tidak terdapat dalam GNP. Kedua, GNP juga tidak memperkirakan waktu istirahat meskipun mempengaruhi tingkat kesejahteraan. Ketiga, bencana alam yang mengurangi tingkat kesejahteraan juga tidak terhitung dalam GNP. Dan yang terakhir, polusi yang disebabkan operasional pabrik mengakibatkan timbulnya penyakit bagi masyarakat sekitar sehingga tingkat kesejahteraannya menjadi berkurang. Huda et al., (2008) dalam bukunya menyatakan, kritik terhadap GNP sebagai ukuran kesejahteraan ekonomi muncul dan pengkritik mengatakan GNP merupakan ukuran yang tidak sempurna.

GNP yang tinggi dibagikan dengan jumlah penduduk akan menghasilkan pendapatan per kapita yang tinggi juga. Namun, pendapatan per kapita yang tinggi bukan satu-satunya ukuran yang dapat digunakan sebagai tolak ukur kesejahteraan (Purwanto & Siswahadi, 2021;

Nasution et al., 2007). Apabila terdapat beberapa orang yang memiliki penghasilan rendah, tentu tidak adil jika pengukuran disamaratakan.

(6)

Pendapatan Nasional Persepektif Islam

Perhitungan GNP sebagai ukuran tingkat kesejahteraan juga dikritisi dalam ekonomi islam. Hal yang membedakan sistem ekonomi islam dengan sistem ekonomi lainnya terletak pada parameter yang digunakan yaitu falah. Falah merupakan kesejahteraan yang sebenar- benarnya, dimana komponen rohani diikutsertakan (Huda et al., 2008).

Variabel konsumsi dalam pengukuran pendapatan nasional perspektif islam menjelaskan bahwa konsumsi yang dapat dilakukan rumah tangga hanya konsumsi barang dan jasa yang bersifat halal. Dalam ekonomi islam juga menjelaskan agar tidak melakukan pemborosan atau berlebihan, tidak menganjurkan kemewahan, kemegahan, dan kemubadziran (Al-Arif, 2015). Pada masa pemerintahan Rasulullah SAW, konsumsi dalam satu periode belum ditentukan. Harta yang disimpan dalam Baitul Mal akan dikeluarkan untuk kebutuhan negara dan kebutuhan hidup selama menjabat sebagai khalifah (Jajuli, 2018). Keluar masuknya harta dalam Baitul Mal pun dicatat dengan benar dan dikendalikan penggunaanya (Purwanto &

Siswahadi, 2021; Numani, 1898b; Majlisi, 1966a; Majlisi, 1987b; Sayooti, 1980).

Sama halnya dengan konsumsi, variabel investasi dalam ekonomi islam juga merujuk pada investasi yang bersifat halal. Contohnya seperti investasi dalam pembangunan lembaga pendidikan yang mengutamakan pengembangan masyarakat yang mengarahkan pada kemakmuran masyarakat itu sendiri. Ekonomi islam juga mangajarkan investasi dalam bentuk tabungan yang bisa menjadi asuransi psikologis untuk melawan kemiskinan (Ahmad Al-Rubi, 2022). Hal ini juga bisa berlaku bagi penerima zakat produktif, yang pada akhirnya akan menjadi muzakki-muzakki baru. Sehingga angka kemiskinan dapat menurun secara signifikan.

Variabel belanja pemerintah dalam ekonomi islam menggambarkan penggunaan anggaran berdasarkan fungsi negara islam. Misalnya digunakan untuk pendidikan, infrastruktur, pertahanan dan keamanan, serta dakwah islam dan lainnya. Sistem pengeluaran islam dibagi menjadi dua, yaitu pengeluaran terikat dan tidak terikat (Rahman, 2015).

Pengeluaran terikat berupa alokasi dana yang pos-pos pengeluarannya sudah ditentukan dalam Al-Quran. Contohnya zakat yang hanya boleh dibagikan ke delapan asnaf serta dibagikan secara adil berdasarkan kebutuhan (Al-Qasim, 2009). Pengeluaran tidak terikat berupa infaq dan sedekah yang dapat dimanfaatkan untuk dakwah, administrasi pemerintah, pertahanan dan keamanan, dan lain-lain.

Tidak berbeda dengan investasi, ekspor dan impor dalam ekonomi islam pun diperbolehkan untuk barang dan jasa yang halal. Ekspor memiliki hubungan dengan zakat, infaq, sedekah, dan wakaf secara tidak langsung. Hal ini dikemukakan Bapak Hendri Tanjung dalam artikelnya bahwa dengan memaksimalkan ZISWAF maka konsumsi masyarakat miskin akan terpenuhi atau meningkat, investasi meningkat dan produktivitas pun meningkat juga yang kemudian akan berujung pada tumbuhnya sektor ekonomi ril (Tanjung, n.d.). Sementara pertumbuhan ekonomi meningkat, maka ekspor pun akan terdorong meningkat. Dalam ilmu ekonomi disebut dengan Export-led Growth. Sehingga dapat disimpulkan ZISWAF dapat mendorong ekspor negara.

Berdasarkan penjelasan variabel di atas, dapat kita ketahui bahwa setiap variabel memerankan fungsinya masing-masing sesuai dengan syariat islam yang merujuk pada Al- Quran dan As-Sunnah. Ekonomi islam dalam sebuah sistem ekonomi (nidhom al-iqtishad)

(7)

merupakan sistem yang membawa umat manusia menuju kepada kesejahteraan yang sesungguhnya (real welfare) yang disebut dengan falah. Yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa pendapatan per kapita yang tinggi bukanlah satu-satunya ukuran dalam kesejahteraan melainkan hanya necessary condition (Huda et al., 2008).

Dalam islam, manusia menjalankan kegiatan ekonomi tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisik saja tetapi juga memenuhi kebutuhan rohani (Huda et al., 2008;

Nasution et al., 2006). Oleh karena itu, falah sebagai parameter dimasukkan dalam menganalisis tingkat kesejahteraan. Selain itu, pengukuran pendapatan nasional dalam ekonomi islam harus mampu menganalisis instrumen ZISWAF yang tujuannya sama. Ada empat hal yang dapat diukur agar tingkat kesejahteraan tidak bias, antara lain (Huda et al., 2008; Nasution et al., 2006):

1. Mengukur penyebaran pendapatan individu rumah tangga 2. Mengukur produksi di sektor pedesaan

3. Mengukur kesejahteraan ekonomi islam

4. Penghitungan pendapatan nasional sebagai ukuran dari kesejahteraan sosial islami melalui pendugaan nilai santunan antar saudara dan sedekah.

Pertumbuhan Ekonomi Perspektif Islam

Pendapatan nasional selalu berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi karena menjadi salah satu tolak ukurnya. Keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam ekonomi islam, pertumbuhan ekonomi yang baik didukung oleh pembangunan ekonomi islam yang bertujuan mengurangi kemiskinan, menciptakan ketentraman, kenyamanan, dan tata susila dalam kehidupan (Handayani & Soenjoto, 2021).

Sehingga semua aspek saling bersinergi dalam mencapai kesejahteraan masyarakat.

Pertumbuhan ekonomi dalam islam didefinisikan sebagai proses perkembangan faktor produksi secara benar yang mampu menciptakan kesejahteraan masyarakat (Eza Okhy Awalia Br Nasution et al., 2022). Produksi yang dilakukan tidak sembarangan, karena ekonomi islam memiliki batasan dalam syariat. Apabila produksi memberikan dampak yang buruk bagi masyarakat maka produksi tersebut tidak dikatakan pertumbuhan. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi islam tidak hanya mencapai kesejahteraan dunia semata melainkan kesejahteraan akhirat.

KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN

Dari pembahasan yang telah dipaparkan diatas, penelitian ini mendapat beberapa kesimpulan. Pertama, terdapat keraguan dalam perhitungan GDP riil sebagai ukuran tingkat kesejahteraan. GDP riil tidak mencakup produksi yang dikonsumsi sendiri, bencana alam, leadtime, dan polusi. Kedua, pendapatan per kapita bukanlah satu-satunya tolak ukur kesejahteraan karena pendapatan dalam suatu wilayah belum merata. Ketiga, variabel dalam pengukuran pendapatan nasional memiliki peran masing-masing yang sesuai dengan syariat islam. Konsumsi, investasi, dan belanja pemerintah digunakan untuk barang dan jasa yang halal. Ekspor dihubungkan dengan instrumen ZISWAF sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Keempat, parameter yang digunakan dalam sistem ekonomi islam

(8)

ekonomi, umat islam tidak hanya memenuhi kebutuhan fisik saja, tetapi kebutuhan rohani juga.

Kelima, pembangunan ekonomi islam yang baik memiliki tujuan untuk mengurangi kemiskinan, menciptakan ketentraman, kenyamanan, dan tata susila dalam kehidupan. Saat pembangunan ekonomi sudah baik, maka pertumbuhan ekonomi negara tersebut juga akan membaik sehingga menciptakan kesejahteraan masyarakat. Jika pertumbuhan ekonomi baik, artinya pendapatan nasional juga membaik dengan pemerataan pendapatan di setiap wilayah.

Penelitian ini terbatas pada pembahasan secara teori pembanding antara model perhitungan pendapatan nasional islam dan konvensional. Diharapkan untuk peneliti selanjutnya dapat memaparkan secara riil implementasi perhitungan pendapatan nasional yang diterapkan negara islam.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Al-Rubi, R. M. (2022). يملاسلإا داصتقلاا روظنم يف يموقلا لخدلا معد تايلآ.pdf. Electronic Interdisciplinary Miscellaneous Journal (EIMJ), 3.

Al-Arif, N. R. (2015). Pengantar Ekonomi Syariah: Teori dan Praktik (1st ed.). Pustaka Setia.

Al-Qasim, A. U. (2009). Ensiklopedia Keuangan Publik (Al-Amwal) (H. Kurniawan (ed.); 1st ed.). Gema Insani.

Apriliana, E. S. (2022). Upaya Peningkatan Pendapatan Nasional di Tengah Wabah Virus Corona Perspektif Ekonomi Islam. Al Iqtishadiyah Jurnal Ekonomi Syariah Dan Hukum Ekonomi Syariah, 6(1), 19. https://doi.org/10.31602/iqt.v6i1.3097

Eza Okhy Awalia Br Nasution, Listika Putri Lestari Nasution, Minda Agustina, & Khairina Tambunan. (2022). Pertumbuhan Ekonomi Dalam Perspektif Islam. Journal of

Management and Creative Business, 1(1), 63–71.

https://doi.org/10.30640/jmcbus.v1i1.484

Hadi, syamsul. (2018). Model Perhitungan Pendapatan Nasional dalam Perespektif Ekonomi Islam. Jurnal Cmes, XI(2), 174–186.

Handayani, R. E., & Soenjoto, W. P. P. (2021). Perspektif Dan Kontribusi Ekonomi Islam Terhadap Pembangunan Ekonomi Nasional. AMAL: Journal of Islamic Economic And Business (JIEB), 2(2), 58–73.

Huda, N., Idris, H. R., Nasution, M. E., & Wiliasih, R. (2008). Ekonomi Makro Islam : Pendekatan Teoritis (1st ed.). Kencanan Prenada Media Group.

Jajuli, S. (2018). Kebijakan Fiskal Dalam Perspektif Islam (Baitul Maal Sebagai Basis Pertama Dalam Pendapatan Islam). Ad Deenar: Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Islam, 1(01), 8.

https://doi.org/10.30868/ad.v1i01.225

Khilmia, A., Sunan, U., Surabaya, A., Uin, M., & Surabaya, S. A. (2022). Pendapatan Negara Antara Konvensional dan Islam. Al-Buhuts, 18(1), 01–15.

https://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ab/article/view/2484

Mankiw, N. G. (2007). Makroekonomi (Wi. Hardani, D. Barnadi, & S. Saat (eds.); 6th ed.).

Erlangga.

Purwanto, H. (Central J. A.-Q. S. U. in W., & Siswahadi. (2021). PARADIGM OF NATIONAL INCOME IN ISLAMIC ECONOMY. Syariati: Jurnal Studi Al-Qur’an Dan Hukum, VII(Mei), 93–102.

(9)

Rahman, M. F. (2015). Sumber-sumber Pendapatan dan Pengeluaran Negara Islam. Al- Iqtishad: Journal of Islamic Economics, 5(2). https://doi.org/10.15408/aiq.v5i2.2567 Sukirno, S. (2010). Makroekonomi Teori Pengantar (1st ed.). Rajagrafindo Persada.

Syamsuri, S. (2021). Strategi Dalam Menciptakan Kesejahteraan Masyarakat Melalui Rekonstruksi APBN: Telaah kritis dari Kitab Al-Amwal. Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 7(2). https://doi.org/10.29040/jiei.v7i2.2057

Tanjung, H. (n.d.). Ekspor dan Ekonomi Islam | Badan Wakaf Indonesia | BWI.go.id. Retrieved May 16, 2023, from https://www.bwi.go.id/1624/2018/03/09/ekspor-dan-ekonomi- islam/

Referensi

Dokumen terkait

لاعت هلوق نىعم ريرتحو لاكشلإا عفد ﰂ ﰃ ﰄ ﰅ ﰆ ﰇ : ةيليلتح ةسارد يدومعلا دممح نب ينسح نب اللهدبع ةَّنُسلاو باتكلا مسقب كراشلما نآرقلا مولعو يرسفتلا ذاتسأ نيدلا لوصأو ةوعدلا

For example, Yang 2010 who conducted a study involving high, intermediate and beginning levels of 300 participants in a University in Korea found that high proficiency level students