• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of PRAKTIK DEMOKRASI MODERN DALAM PEMERINTAHAN NAGARI DI MINANGKABAU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of PRAKTIK DEMOKRASI MODERN DALAM PEMERINTAHAN NAGARI DI MINANGKABAU"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

610 DOI: https://doi .org/10 .21776/ub .arenahukum .2022 .01503 .8

NAGARI DI MINANGKABAU

Fitra Arsil, Mohammad Novrizal, Ryan Muthiara Wasti, Yunani Abiyoso, Ali Abdillah

Universitas Indonesia

Jl. Prof. Mr Djokosoetono, Pondok Cina, Kota Depok Email: fitra.arsil@gmail.com; ryan.muthiara@gmail.com;

y.abiyoso@gmail.com; novrizal1966@gmail.com; aliabdillah@ui.ac.id Disubmit: 22-06-2020 | Diterima: 22-12-2022

Abstract

The adat governance of Minangkabau has adopted the democratic principles long before the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia has such principles. This was due to the character of Minangkabau society and its culture which are inherited from their ancestors in Minangkabau society. This paper examines how forms of democratic practice in Minangkabau are related to democratic theory and the division of power. This normative legal research is supported by conducting interviews with some prominent adat figures in the Minangkabau society. In conclusion, it shows that the democratic principles in Nagari can exist until now because of the influence of adat figures. The adat figures preserve and combine such principles with religious norms as their indigenous values to be the main reference to run the Nagari.

Keywords: Democration, Nagari government, Minangkabau

Abstrak

Pemerintahan adat Minangkabau telah menganut demokrasi sebelum Indonesia mengamanatkan demokrasi dalam konstitusinya. Praktik ini didukung dengan karakteristik masyarakat Minangkabau serta budaya yang sudah turun temurun dilaksanakan pada wilayah Minangkabau.

Tulisan ini meneliti bagaimana bentuk praktik demokrasi di Minangkabau dikaitkan dengan teori demokrasi dan pembagian kekuasaan. Penelitian yuridis normatif ini didukung pencarian informasi dari beberapa narasumber yang merupakan tokoh adat di Minangkabau. Kesimpulan adalah demokrasi telah menjadi prinsip yang digunakan di dalam pemerintahan adat Minangkabau. Praktik ini dilahirkan dari sejarah Minangkabau yang tidak terlepas dari pengaruh pemimpin yang menjadikan agama sebagai acuan utama dalam menjalankan pemerintahan.

Kata kunci: Demokrasi, Pemerintahan Nagari, Minangkabau

(2)

PENDAHULUAN

Pancasila sebagai idiologi bangsa yang terdiri atas lima sila dimana sila pertamanya yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa didukung oleh keempat sila lainnya, mengamini adanya keanekaragaman dan multikulturalisme.1 Hal ini merupakan realitas utama yang dialami oleh masyarakat Indonesia dan menjadi salah satu bentuk hubungan positif multikulturalisme dengan negara dalam hal perwujudan demokrasi.2 Demokrasi sebagai bentuk perwujudan kedaulatan rakyat yang tertuang dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengacu pada konsep kekuasaan tertinggi yang dapat dibatasi atau dibagi. Artinya di tangan siapapun kedaulatan tersebut selalu diadakan pembatasan oleh hukum dan konstitusi sebagai produk kesepakatan bersama para pemilik kedaulatan itu sendiri.3

1 Yuliana, “The Philosophy of Pancasila in the Religious Perspective in Indonesia During The Covid-19 Pandemic”, Jurnal Keindonesiaan Vol. 01, No. 02, (Oktober 2021): 144, https://doi.org/10.52738/pjk.v1i2.29.

2 Pancasila telah terbukti menjadi common platform ideologis bangsa Indonesia yang menjadi penyatu dari keanekaragaman yang ada. Keragaman ini seharusnya tidak diinterpretasikan secara tunggal. Komitmen untuk mengakui keragaman sebagai salah satu ciri dan karakter utama masyarakat tidak berarti relativisme kultural, disrupsi sosial atau konflik berkepanjangan pada setiap komunitas. Karena sesungguhnya juga terdapat berbagai simbol, nilai, struktur dan lembaga dalam kehidupan bersama yang mengikat berbagai keragaman tadi. Lebih jauh lagi, multikulturalisme terkait erat dengan dengan pencapaian civility (keadaban) yang sangat esensial bagi demokrasi yang berkeadaban dan keadaban yang demokratis (democratic civility). Lihat Simposium Peringatan Hari Pancasila, Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas, (Depok:

Brighten Press, 2006), hlm. 154 - 157.

3 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hlm. 134 - 136.

4 Lihat Wolfgang Friedmann, Legal Theory, (London: Stevens Sons, 1967), hlm. 419 dalam Ibid., hlm. 145.

Demokrasi langsung yang dipraktikkan di Indonesia saat ini adalah dalam bentuk pemilihan umum secara langsung untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD dan Anggota DPRD yang sudah dipraktikkan sejak pemilihan umum pada tahun 1955 untuk pemilihan anggota DPR dan anggota konstituante.

Sementara untuk pemilihan umum secara langsung Presiden dan wakil presiden dimulai pada tahun 2004.

5 John Locke, Two Treatises of Government and A Letter Concerning Toleration, edit by Ian Shapiro, (New York: Yale University Press, 2003), hlm. 329.

6 Montesquie membagi struktur pemerintahan negara ke dalam tiga cabang kekuasaan yaitu: legislative, excecutive, dan judiciary. “In every government, there are three sorts of powers: the legislative; the excecutive in respect to things dependent on law of nations, and the excecutive in regard to matters that depend on civil law”. Lihat Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta:

Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2006)

Pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak serta merta menjadikannya pemerintahan yang hanya bersifat langsung, tetapi justru saat ini yang digunakan juga adalah perwakilan (representative government) meskipun secara umum praktik di Indonesia menganut keduanya, secara langsung maupun perwakilan.4 Demokrasi mengakui kekuasaan dari mayoritas (majority rule) dimana kekuatan berada di tangan mereka yang secara kuantitas mendapat suara terbanyak. Bahkan John Locke menyatakan bahwa legitimasi yang dimiliki oleh badan atau lembaga yang mewakili rakyat lebih kuat dibandingkan dengan legitimasi dari seorang wakil saja.5

Dari sistem demokrasi ini terbentuklah pemikiran mengenai pembagian kekuasaan yang terbagi atas tiga cabang yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.6 Ketiga cabang kekuasaan ini mempunya peran dalam

(3)

mewujudkan demokrasi, yaitu eksekutif berperan dalam eksekusi peraturan dibuat oleh legislatif, serta kekuasaan yudisial berperan dalam penyelesaian sengketa.7 Perwujudan demokrasi ini membutuhkan instrumen hukum, efektivitas dan keteladanan kepemimpinan dan dukungan sistem pendidikan masyarakat serta basis kesejahteraan sosial ekonomi yang berkembang makin merata dan berkeadilan.8 Oleh karena itu, prinsip demokrasi dan kedaulatan hukum diselenggarakan beriringan agar praktik demokrasi tidak justru menghadirkan oligarki dengan legitimasi baru.

Sementara itu, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tersirat mengandung dua nilai yaitu nilai unitaris dan desentralisasi. Nilai unitaris mengandung makna bahwa hanya Indonesia lah satu-satunya negara yang diakui, tidak ada negara di dalam negara Indonesia. Selain itu semua lembaga negara pada masing-masing cabang kekuasaan harus berpegang pada konstitusi yang sama yaitu UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga tidak diperbolehkan untuk mengacu pada konstitusi yang lain.9 Artinya kedaulatan rakyat yang disebutkan

7 Montesquie, The Spirit of Laws: Dasar-Dasar Ilmu hukum dan Ilmu Politik, terj. M. Khoiril Anam, (Bandung:

Nusa Media, 2015), hlm. 48-50.

8 Cornelis Lay, “Democratic Transition in Indonesia: An Overview of Ten Democracy”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. 15, No.3, (Maret 2012): 211, doi: https://doi.org/10.22146/jsp.10915.

9 Janedjri M. Gaffar, Demokrasi dan Konstitusi; Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945, (Jakarta: Konstitusi Press, 2013), hlm. 117.

10 Andy Ramses M dan La Bakry, Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Jakarta: Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia dan Pemrov DKI, 2009), hlm. 223.

11 Dalam hal kedaulatan rakyat ini, negara memiliki fungsi sebagai berikut:

a Melaksanakan ketertiban (law and order), negara menegakkan hukum yang dilaksanakan oleh masyarakat.

Negara adalah alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan b Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya, c Menegakkan keadilan

Lihat Bintan R. Saragih, S.H, Sistem Pemerintahan dan Lembaga Perwakilan di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Perintis Press, 1985), hlm.18-35.

dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut tidak akan terbagi dalam satuan kecil pemerintahan lokal. Sementara nilai desentralisasi terwujud dari pemberian kewenangan kepada pemerintahan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya secara mandiri dengan penyerahan kewenangan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahannya secara mandiri .10

Dilihat dari UUD dan konsep demokrasi yang digunakan di Indonesia, terlihat adanya perubahan di tiap masa pemerintahan. Namun, jelas bahwa dilaksanakannya bentuk demokrasi baik demokrasi langsung maupun perwakilan sudah tentu ada dasar hukum dan alasannya yaitu evaluasi dari sistem yang digunakan sebelumnya. Maka, praktik demokrasi bukan dilihat dari benar atau tidaknya demokrasi tersebut tapi dari efektif atau tidaknya sebuah sistem dilaksanakan dan seberapa besar manfaat yang didapatkan oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.11

Demokrasi di Indonesia yang merupakan negara dengan luas wilayah yang sangat besar dilaksanakan dengan adanya pembagian di tiap daerah. Salah satu bentuk demokrasi

(4)

yang dilaksanakan pasca reformasi di seluruh provinsi di Indonesia adalah pemilihan kepala daerah dengan pemilihan langsung.12 Hal ini dikarenakan pemilihan secara langsung dianggap mampu mewadahi partisipasi masyarakat dalam menentukan kepemimpinan di daerah. Melalui pilkada ini diharapkan kebijakan-kebijakan yang muncul adalah yang dibuat berdasarkan keinginan masyarakat.13 Bentuk ini dinilai sebagai sebuah demokrasi berdasarkan pelaksanaan demokrasi di dunia yang salah satunya melalui pemilihan umum secara langsung. Namun, di Indonesia bentuk demokrasi ini ternyata tidak digunakan di seluruh daerah di Indonesia terutama daerah yang sangat menjunjung tinggi adat, salah satunya adalah daerah Minangkabau.14

Minangkabau lebih dikenal sebagai sebuah kebudayaan daripada sebuah negara atau kerajaan. Hal ini dikarenakan literatur yang membahas secara terperinci dan teruji secara akademis belum sepenuhnya ada, bahkan terkesan hanya berdasar lisan yang secara turun temurun mewarnai pengisahan kebudayaan ini.15 Keberadaan Minangkabau

12 Zainal Arifin Hoesein, “Pemilu Kepala Daerah dalam Transisi Demokrasi”, Jurnal Konstitusi Vol. 7, No. 6, (2010), doi: https://doi.org/10.31078/jk%25x.

Sebelumnya, pemilihan kepala daerah dilakukan secara tidak langsung yaitu melalui DPRD. Namun, para pembentuk undang-undang akhirnya meyakini praktik pemilukada dipercaya akan lebih mendekati makna demokratis sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 daripada melalui DPRD.

Demokrasi Lokal: Evaluasi Pemilukada di Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), hlm. 7.

13 Ibid., hlm. 6.

14 Minangkabau saat ini lebih identik dengan Provinsi Sumatera Barat, padahal jika dilihat dari sejarahnya, Minangkabau adalah daerah yang sangat luas meliputi wilayah Sumaterea barat, sebagian daerah Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, pantai barat Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan Malaysia.

15 AA. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru, (tt, tt), hlm. 1.

16 Claire Holt, Culture and Politics in Indonesia, edited, (Singapore: Equinox Publishing, 2007), hlm. 181.

17 Ibid., hlm. 134-135. Demokrasi di Yunani berdasarkan pada “Liberty and equality are chiefly too be found in a democracy” yang juga menjadi landasan kehidupan masyarakat adat Minangkabau. Lihat ibid.

18 A. A Navis, Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, hlm. 58.

sebagai sebuah kerajaan besar di nusantara menjadi bahan lirikan bagi bangsa lain untuk dimusnahkan, namun kerajaan ini masih eksis hingga sekarang. Eksistensi ini terlihat dari masih dianutnya kebudayaan Minangkabau oleh kaumnya meskipun berada tidak di daerah Minangkabau. Selain kebudayaannya, sistem pemerintahan yang dianut juga memiliki keunikan sendiri yang membuat banyak pakar mencoba untuk menggali kerajaan Minangkabau ini. Inilah mengapa Minangkabau dianggap merupakan singkat dari Dunia Minangkabau (Minangkabau World) yang digunakan untuk istilah yang menandai tidak hanya sebuah etnis tetapi keseluruhan dari wilayah dan orang beserta kebudayaannya.16

Demokrasi sebagai bentuk yang dijunjung tinggi di Indonesia terutama dalam hal prinsip equality juga terlihat penerapannya di Minangkabau dalam kehidupan masyarakatnya17 Demokrasi tersebut dijalankan dalam sebuah pemerintahan yang berpusat di Pagaruyung yang menjadi pusat pemerintahan raja-raja Minangkabau.18

(5)

Meskipun merupakan sebuah pemerintahan adat yang tersendiri dalam sistem pemerintahan Indonesia, namun pemerintahan Minangkabau tidak pernah lepas dari pengaruh politik dan perubahan kebijakan dalam pemerintahan Indonesia tersebut yaitu mengenai pelaksanaan pemerintahan desa.

Kebijakan ini sangat kontraproduktif dengan kondisi masyarakat Minangkabau yang kepemimpinannya mengakar pada demokrasi yang terpusat pada peranan pemangku adat seperti pemerintahan desa yang membuat terkikisnya peranan pemimpin adat di Minangkabau. Namun, pada akhirnya dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah maka kembali ada peluang bagi masyarakat Minangkabau melaksanakan pemerintahan demokratisnya yang unik.

Oleh sebab itu, menarik untuk meneliti bagaimana bentuk praktik demokrasi di Minangkabau dikaitkan dengan teori demokrasi dan pembagian kekuasaan.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan (1) Legal Studies, dengan menganalisis sejarah pembentukan kerajaan Minangkabau dan (2) Comparative Approach, dengan membandingkan bentuk pemerintahan nagari yang dijalankan di Minangkabau dengan pemerintahan Indonesia. Jenis riset ini adalah qualitative research yang mengutamakan data

19 Penulis tambo secara umum mengatakan bahwa Pariangan berasal dari kata riang. Ketika negri itu dibangun oleh Sri Maharaja Diraja, rakyat sangat senang dan mereka bekerja dengan riang hati. Versi lain mengatakan negeri Pariangan dibangun untuk tempat kediaman seorang raja yang mereka namakan “Rusa nan datang dari laut” yang akan jadi semenda mereka. Sementara penelaah tambo diantaranya M. Rasyid Manggis, Darwis Dt.

Majolelo berpendapat bahwa Pariangan berasal dari berasal dari kata para hyang. Lihat A.A Navis., Op Cit., hlm. 48.

sekunder yaitu berupa peraturan perundang- undangan serta literatur lain yang membahas mengenai kerajaan Minangkabau. Peneliti melakukan wawancara dengan tiga orang narasumber yaitu Dr. Kurnia Warman, SH, MH. Ahli hukum administrasi negara dari Universitas Andalas Padang, yang tengah meniliti dan menjadi ahli bagi Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dalam rangka penyusunan kerangka kebijakan terkait Nagari. Selanjutnya Dr. Akmal Bagindo Basa SH. M.Si. Ahli hukum dan sejarah adat Minangkabau dari Universitas Negeri Padang dan Suhermanto Raza, SH, MH. Mantan Kepala Badan Pemberdaya Masyarakat Sumatera Barat yang pernah terlibat dalam penyusunan Perda Sumbar No.2 Tahun 2007 tentang Nagari.

PEMBAHASAN

A. Sistem Pemerintahan Nagari Di Minangkabau

1. Pembagian Kekuasaan

Kerajaan Minangkabau mempunyai pusat pemerintahan di Pariangan.19 Pada awal berdirinya, Kerajaan Minangkabau masih memiliki struktur yang sederhana dimana raja Sultan Sri Maharaja Diraja sebagai raja pertama dibantu hanya oleh seorang negarawan sekaligus yang menjalankan roda pemerintahan yaitu Indra Jati atau yang

(6)

dikenal dengan Cati Bilang Pandai.20

Pada tahun 1149, Raja Sri Maharaja Diraja meninggal dunia sehingga dilakukanlah musyawarah tertinggi di Balai Saruang dengan hasil sebagai berikut:21

a. Pusat kerajaan tetap di Pariangan

b. Pemerintahan dijalankan oleh Ibu Suri Puti Indo Jalito sampai putra mahkota mukalaf dibantu oleh Dr. Suri Dirajo, Cati Bilang Pandai dan Tun Tejo Gurano.

20 CN Latief , Op Cit, hlm. 6-7.

21 Ibid.

22 Muhammad Yamin menyatakan bahwa suku bangsa termaju di Madagaskar ialah Suku Merina yang cekatan mengerjakan pekerjaan tangan seperti memperindah benda-benda perhiasan dari emas, perak, kayu dan besi, menenun sutra atau wol, terutama menganyam permadani yang indah-indang motifnya. Suku bangsa ini mempunyai adat istiadat yang sama dengan suku bangsa Minangkabau dan juga menganut stelsel matrilineal.

Lihat Muhammad Yamin, 6000 Tahun Sang Merah Putih, (Jakarta: Balai Pustaka, 1958), hlm. . Kerajaan Minangkabau merupakan kerajaan dengan sistem matrilineal terbesar di dunia. Sistemnya unik karena dipadukan dengan sistem patrilineal dalam Islam sebagai agama yang dianut di Minangkabau. Lihat Tsuyoshi Kato, “Change and Continuity in the Minangkabau Matrilineal System”, Jurnal Indonesia No. 25, (Apr., 1978), (New York: Southeast Asia Program Publications at Cornell University), hlm. 1. Menurut Tsuyoshi dalam jurnalnya, ada 4 karakteristik dari sistem tradisional Minangkabu;

a Garis keturunan diatur menurut garis perempuan.

b Matrilineal adalah garis keturunan di dalam sebuah kelompok yang diurus dan dipimpin oleh seorang penghulu.

c Pola perumahan bersifat duolocal dimana laki-laki setelah menikah akan tinggal di rumah istrinya d Kewenangan terbesar dalam garis matrilineal ada di tangan mamak bukan ayah.

Lihat ibid., hlm. 4.

Sementara itu, Amri Mazali dalam kumpulan hasil seminar sosialisasi pewarisan adat Minangkabau menyampaikan ada 6 prinsip dari adat Minangkabau yaitu:

a Yang melahirkan anak dan yang mempunyai anak adalah perempuan (ibu/mande)

b Yang mempunyai kuasa dan wewenang terhadap kaum perempuan dan anak-anak adalah laki-laki (mamak, datuk, penghulu)

c Keturunan ditarik dan ditelusuri melalui garis perempuan

d Anggota kelompok keturunan (suku, payuang, paruik, kampuang, dan rumah gadang) diangkat dan direkrut melalui garis perempuan

e Pewarisan harta pusaka, rumah gadang, gelar, kedudukan dan kekuasaan politik dilaksanakan melaui garis perempuan

f Perkawinan eksogami kelompok (eksogami suku, payuang, atau paruik) adalah suatu keharusan.

Sebaliknya perkawinan endogami kelompok (endogami suku, payuang, atau paruik) adalah incest taboo.

Lihat CN Latief, ... Op Cit.,,

Konsep matrilineal ini penuh kontorversial dimana kontroversi ini membuat masyarakat Minangkabau menjadi dinamis. Kontroversi tersebut adalah:

a Bagaimana menyelaraskan prinsip ketiga (prinsip keturunan matrilineal) dengan prinsip keenam (prinsip perkawinan eksogami)

b Kepada siapakah seharusnya laki-laki dewasa bertanggungjawab? Yang dalam ilmu antropologi disebut perebutan alegiansi seorang laki-laki antara keluarga matrilineal melawan keluarga batih (nuclear family) c Bagaimaan menyelaraskan akan kebutuahn terhadap ayah biologis (ayah) dan ayah sosiologis (mamak).

seorang anak.

Lihat ibid., hlm. 72-74 23 Ibid.,

c. Adat penduduk tetap matrilineal dan ketiga orang putra dididik di istana untuk dipersiapkan menjadi penghulu di Alam Minangkabau.22

Dengan meninggalnya raja Maharaja Diraja, maka tahun 1165 (setelah putra kerajaan mukalaf) dilakukan pewarisan pertama oleh Puti Indo Jalito. Pewarisan ini dilakukan kepada kedua anaknya dengan memberikan lambang kebesaran raja yaitu:23

(7)

a. Datuk Ketemanggungan (usia 18 tahun) menerima keris si Ganjo Era, keris si Ganjo Aie, dan tongkat besi Janawi Halus.

b. Datuk Parpatih nan Sabatang menerima payung kuning kebesaran Raja, keris balangkuak cerek dan simundan manti dan simundan panuah.

Secara umum organisasi pemerintahan di kerajaan Minangkabau adalah sebagai berikut:24

a. Raja tiga selo (tungku tiga sajarangan), yaitu: Cati Bilang Pandai, Datuk Ketemanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang yang merupakan pimpinan pusat pemerintahan

b. Basa Empat Balai, yaitu: bandaharo di Sungai Tarab, andomo di Saruaso, mangkudum di Sumanik dan Tuan Gadang di Batipuh yang merupakan pembesar pemerintahan pusat.

c. Raja dua sila, yaitu raja adat di Buo dan raja ibadat di Sumpur Kudus.

d. Gadang nan batujuh, yaitu tujuh orang pembesar yang melaksanakan tertib hukum dan keamanan.

Pada masa Raja Alif tahun 1560 ada tiga pembagian kekuasaan di Kerajaan Pagaruyung

24 A.A. Navis, Op Cit., hlm. 17.

25 Ibid., hlm. 19.

26 Terdapat kritik keras terhadap pelaksanaan adat di Minangkabau oleh Gerakan Paderi dimana seharusnya yang menjadi penguasa adalah ulama bukan penghulu. Hal ini terlihat dari kesepakatan di Perjanjian Bukit Marapalam yang lebih mengutamakan pada syara’ (Islam). Oleh karnanya, gerakan Paderi melakukan perbaikan terhadap pelaksanaan prinsip tersebut dengan melantik seorang “Tuanku Imam” dan seorang “Tuanku Khalifah” yang bertugas untuk menjalankan syariat Islam. Pada nagari yang telah menerapkan sistem Adat Bersendi Syara’, Syara’ Bersendi Kitabullah, penghulu adat bukan lagi menjadi penguasa tunggal bahkan kedudukannya berada di bawah ulama sehingga kaum paderi menjadikan ulama sebagai pucuk pimpinan tertinggi dalam struktur adat. Lihat Tuanku Kayo Khadimullah, Menuju Tegaknya Syariat Islam di Minangkabau, (Cikarang: Andalan Umat, 2008), hlm. 71.

27 A.A. Navis, Op Cit. hlm. 55.

28 Mochtar Naim, Membangun Nagari ke Depan, diunduh dari https://mochtarnaim.wordpress.com/2009/08/29/

membangun-nagari-ke-depan/ pada Selasa 24 November 2015

yaitu Raja Alam di Pagaruyung, Raja Adat di Buo dan Raja Ibadat di Sumpur Kudus yang ketiganya sering disebut dengan istilah Rajo Tigo Selo.25 Raja alam menjadi raja bagi semua raja yang artinya dia menjadi pucuk pimpinan tertinggi di kerajaan, sementara Raja Adat mempunyai wewenang yang berhubungan dengan adat serta Raja Ibadat mempunyai wewenang dalam hal keagamaan dan moral masyarakat.26

Kerajaan Minangkabau yang luas dibagi atas banyak daerah-daerah kecil yang disebut sebagai nagari. Nagari ini memiliki pemerintahan sendiri yang tunduk pada Raja meskipun satu sama lain tidak ada hubungannya.

Setiap nagari bebas untuk membuat peraturan sendiri dan menjalankannya, lembaga-lembaga tua dan raja turut berperan sebagai dasar pemerintahan.27 Setiap nagari mempunyai fungsi tersendiri dalam rangka menjalakan proses pemerintahan di bawah Kerajaan Minangkabau.28

Berdasarkan pembagian kekuasaan ditiap raja yang pernah menguasai Minangkabau dapat disimpulkan bahwa:

a. pembagian kekuasaan secara umum terbagi atas minimal dua kekuasaan yaitu

(8)

kepala negara dan kepala pemerintahan.

b. Raja akan selalu dibantu oleh panglima yang bertugas menjaga keamanan kerajaan dimana panglima ini mempunyai perwakilan di nagari-nagari untuk menjaga keamanan di tiap nagari masing- masing. Panglima ini biasa disebut dengan basa ampek balai.

c. Kerajaan Minangkabau yang terkenal dengan religiusitasnya sudah pasti selalu mempunyai pimpinan yang berwenang dan bertugas dalam menjaga nilai- nilai kegamaan agar terlaksana dalam kehidupan bermasyarakat.

2. Sistem Kepemimpinan

Setiap nagari memiliki seorang pemimpin yang disebut dengan penghulu. Penghulu memiliki gelar “datuak” yang merupakan gelar “pusako” yang diturunkan secara adat dari nenek moyang orang Minangkabau.29 Pemimpin mempunyai kepribadian yang dapat dipercayai sebagai landasan untuk meminta petunjuk, mampu secara finansial sehingga tidak bergantung kepada orang lain serta bermanfaat untuk setiap orang (tidak membeda-bedakan orang).30 Kepemimpinan ini melahirkan sebuah gambaran pemerintahan

29 M. Rasjid Mangggis Dt. Radjo Panghoeloe, dkk, Limpapeh, (Padang: CV. Tapian Suku Jakarta, 1987), hlm. 1.

30 Bustanul Arifin dan Dt. Bandaro Kayo, Rintisan Sejarah Minangkabau, (Jakarta: CV. Tapian Suku, 2000), hlm.

21-23. Sifat kepemimpinan ini tergambar dalam lambang beringin.

31 M. Rasjid, dkk., ... Op Cit., hlm. 2-3. Sifat dari seorang penghulu tergambar dari pakainnya. Baju hitam melambangkan sseorang penghulu yang harus sabar dan tahan hati dalam melaksanakan tugas. Lengan baju lebar sehingga bebas digerakkan, ini menandakan penghulu harus mengibaskan yang “panas” agar menjadi

“dingin”. Sarawa (celana) hitam dan lebar melambangkan kebesarannya dalam menjaga anak kemenakan.

Cawek (ikat pinggang) mengartikan penghulu dapat menyadarkan yang tidak patuh. Sandang dimaknai bahwa penghulu dapat menjadi sandaran bagi anak kemenakan. Senjata berupa keris yang letaknya dicondongkan ke kirim memiliki makna bahwa penghulu dalam bertindak harus berpikir terlebih dahulu tidak boleh gegabah.

Pamenan penghulu yaitu tongkat melambangkan penghulu adalah orang dituakan dalam kaumnya bukan tua karena umur. Lihat ibid, hlm. 15-18.

32 Ibid., hlm. 4-5

yang berpadu dalam sistem yang tidak berdiri sendiri, namun punya korelasi dengan bentuk supporting system seperti dubalang dan basa ampek balai.

Tugas dan fungsi dari seorang penghulu yang sangat luas dan mencakup segala aspek menjadikannya sebagai sebuah peran yang tidak main-main dan tidak biasa. Pemimpin yang adil mesti bersikap tawadhu’ terhadap rakyatnya. Kepentingan rakyat harus lebih utama dibandingkan kepentingan pribadi.

Hal ini menjadikan seorang penghulu harus memiliki syarat-syarat tertentu agar dapat menjalankana amanah yang akan dipercayakan kepadanya.31

Secara umum tugas penghulu adalah memimpin anak kemenakan dalam segala bidang dan menyelesaiakn sengketa disamping juga mengendalikan pemerintahan menurut UU adat.32 Seorang penghulu selain bertugas dalam hal pemerintahan, ia juga bertugas sebagai seorang hakim dalam kaumnya.

Jika di nagari ada penghulu, maka secara umum kepemimpinan di kerajaan Minangkabau dikenal dengan istilah Tungku Tigo Sajarangan yaitu sistem ke- pemimpinan yang terdiri atas tiga orang yang memimpin secara bersamaan,

(9)

yaitu ninik-mamak, alim-ulama dan cadiak pandai. Meskipun kedudukan diantara mereka sejajar, namun sistem kepemimpinan tripartit budaya Minangkabau ini memberi ruang bagi perbedaan pendapat, dengan syarat tujuannya untuk menghasilkan kesepakatan bersama melalui proses musyawarah.33

3. Mekanisme Pengambilan Keputusan

Sumber hukum dari Minangkabau bermula dari Perjanjian marapalam yang terjadi pada tahun 1837 pasca perang padri.

Dalam perjanjian itu dipertemukanlah semua tokoh adat. Semua sepakat, bahwa yang menjadi ideologi minangkabau adalah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, syarak mangato, adat mamakai.34 Hal ini mengisyaratkan bahwa jika ada adat yang tidak sesuai dengan syariat islam, maka adat lah yang harus menyesuaikan dengan konsep islam.35

33 Nurwani, Martozet, Yunaidi, “The Shifting of Function and Role of the Leader in the Matrilineal Kinship System in Minangkabau in the Performing Arts of Ratok Nagari”, BIRCU Journal Vol. 3, No.4, (2020), doi:

https://doi.org/10.33258/birci.v3i4.1357 34 Perjanjian tersebut berbunyi:

“Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang” Atas Qudrat dan Iradat Allah SWT, telah dipertemukan di tempat ini hamba-hamba Allah untuk memperkatakan adat dan syara’ yang akan menjadi pegangan anak kemenakan, hidup yang akan dipakai, mati yang akan ditopang, bahwa adat dan syara’ akan dikukuhkan menjadi pegangan di alam Minangkabau, dengan ini kami sambil menyerahkan diri pada Allah sambil mengikuti kata Muhammad SAW. Penghulu kaganti Nabi, Rajo kaganti Allah, kami mengikrarkan bahwa: “Adaik basandi syara’, syara’ basandi kitabullah, syara’ mangato, adaik mamakai”. Lihat Drs. H.B.M Letter. Persenyawaan Adat dan Syara’ di Minangkabau. Tidak diterbitkan, Padang 2001, sebagaimana dikutip oleh Duski Samad, Syekh Burhanudin dan Islamisasi Minangkabau, (Jakarta: The Minangkabau Foundation, 2002), hlm. 75 dalam ibid., hlm. 70.

35 Adat Minangkabau yang unik dan mengakar digambarkan dengan pepatah adat; adat nan indak lakang dek paneh dan indak paluak dek hujan, sakali aia gadang sakali tapian barubah. Lihat ibid., hlm. 79.

36 Mas’oed Abidin,... Op Cit., hlm. 161.

37 Orang minang terkenal egaliter yang tergambar dalam ungkapan duduak samo randah, tagak samo samo tinggi.

Namun tidak berarti individualistik karena juga mempunyai sifat kolektif yang tergambar dari ungkapan bulek kato dek muakat, bulek aia dek pambuluah. Lihat CN Latief, ... Op Cit., hlm. 86.

38 Masoed Abidin mengatakan bahwa kedua tempat ini mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan nagari. Keduanya tidak dapat dipisahkan dan dibedakan. Lihat Mas’oed Abidin, ... Op Cit. Hlm. 161-162.

Surau pertama kali dibangun oleh Raja Adityawarman pada tahun 1356 di kawasan Bukit Gombak. Surau berasal dari bahasa sansekerta yang artinya swarwa, yaitu segala, semua, seperti pusat pendidikan dan latihan.

Untuk melaksanakan kegiatan dalam nagari, ia mempunyai aturan sendiri yang tercakup dalam lingkungan hukum adat salingka nagari. Lingkungan hukum ini didukung dengan beberapa sarana dan prasarana seperti mesjid dan balai yang menjadi tempat pengambilan keputusan di masing-masing nagari.36 Sebelum hukum diputuskan di balairung, maka akan ada proses musyawarah yang dilaksanakan di mesjid atau surau yang tergambar dalam pepatah adat; bulek kato dek mufakat, bulek aia dek pambuluah.37

Jika permasalahan tersebut tidak dapat diselesaikan di surau barulah dibawa ke balai- balai dan akan berakhir di pengadilan jika di balai-balai pun tidak dapat diselesaikan. Kedua tempat ini, mesjid dan balairung menjadi lambang utama dari penegakan hukum di suatu nagari sehingga disebut dengan: camin nan tidak kabuah, palito nan tidak padam.38

(10)

Bahkan keduanya disebutkan mempunyai peran yang sangat penting dalam rangka menimbulkan masyarakat yang hidup dengan memiliki akhlak yang sesuai syarak terutama surau (masjid). Surau adalah tempat yang berperan menjaga nilai agama yang menjadi pegangan bagi masyarakat Minangkabau.39 Tidak heran jika surau menjadi pusat kegiatan, tidak hanya beribadah namun juga dijadikan tempat mencari penyelesaian masalah.

Dalam pengambilan keputusan, pimpinan adat atau penghulu merujuk pada undang- undang adat yang merupakan aturan pelaksana dari sumber hukum asli yaitu adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Undang- undang adat ini berguna dalam hal:40

a. Mengatur hubungan antara nagari dengan nagari lain, luhak dengan luhak, alam dengan rantau;

b. Mengatur keamanan dan kemakmuran masyarakat dalam nagari;

c. Mengatur “jihad nan ampek” yaitu

Surau yang awalnya bernuansa Hindu Budha ini berubah pada masa masuknya Islam. Perubahan yang paling terlihat adalah unsur agamanya, selebihnya surau tetap sama fungsinya seperti pada awal berdirinya. Selain itu, terdapat pembagian surau menjadi surau gadang dan surau ketek (kecil) . Surau gadang sebagai pusat dari surau-surau ketek disekitarnya, sementara surau ketek sendiri terdiri dari surau yang didirikan oleh suku/

kampung dan surau yang didirikan di sekitar surau gadang. Lihat Tuanku... Op Cit., hlm. 121-123.

39 Ikhsan Hakim, “Tentang Sejarah Surau Minangkabau, Jurnal Afkaruna Vol. 13, No. 2 (Desember 2017), doi:

10.18196/AIIJIS.2017.0077.283-287 40 Bustanul Arifin, ... Op Cit., hlm. 32.

41 Bustanul Arifin dan Dt, Bandaro Kayo, Budaya Alam Minangkabau, (Jakarta: Art Pirnt, 1994), hlm. 33.

antara “urang nan ampek jinih”

yang menjalankan pimpinan dengan tanggungjawab;

d. Mengatur hubungan penghulu dengan anak kemenakan

Dalam hal terjadi sengketa, penyelesaiannya dilakukan dengan prinsip pengambilan keputusan yaitu bajanjang naiak batanggo turun. Artinya naik dari jenjang yang paling bawah yaitu kemenakan kepada mamak, dari mamak ke penghulu andiko (penghulu suku), dan dari penghulu suku ke penghulu pucuk. Penghulu pucuk mengambil keputusan lalu diturunkan ke penghulu suku lalu ke penghulu andiko dan sampai ke mamak lalu ke kemenakan. Jika penghulu pucuk tidak dapat menyelesaikan perkara tersebut, maka akan dilanjutkan ke pengadilan adat di dalam KAN.41

Berikut bagan mekanisme pengambilan keputusan di Nagari di Minangkabau:

(11)

Gambar 1. Bagan Mekanisme Pengambilan Keputusan dalam Pemerintahan Nagari

42 Teguh haniko dan Rahayu Supanggah, “Memudarnya Wibawa Niniak Mamak Sebagai Urang Nan Gadang Basa Batuah Di Minangkabau”, Gelar Jurnal Seni Budaya, Vol. 15, No.2, (2017), doi: https://jurnal.isi-ska.

ac.id/index.php/gelar/issue/view/266

B. Analisis Eksistensi Demokrasi Di Minangkabau DalamKehidupan Bernegara

1. Praktik Demokrasi dalam Pemerintahan Nagari

Demokrasi sudah lama diterapkan di dalam pemerintahan nagari di Minangkabau terlihat dari pola yang diterapkan di dalam kelarasan Bodi Chaniago dan Koto Piliang. Demokrasi pada kelarasan Bodi Chaniago terlihat dari

hubungan antara mamak yang langsung dengan kemenakannya. Penghulu tidak memiliki tingkatan, atau memiliki kedudukan yang sama. Selain itu, Bodi caniago lebih mengutamakan musyawarah dan mufakat dalam segala permasalahan yang terjadi dalam kehidupan. Sementara kelarasan Koto Piliang dengan sistem demokrasi tidak langsungnya terlihat dari hubungan tidak langsung antara penghulu dengan rakyatnya.42

Kedua sistem mempengaruhi kehidupan

(12)

sehari-hari masyarakat adat Minangkabau.

Pada saat tertentu masyarakat menerapkan sistem bodi caniago, namun pada saat yang lain sistem koto piliang pun digunakan. Semua hal tersebut disesuaikan dengan keadaannya, tergantung kepada permasalahan yang terjadi. Meskipun demikian, kedua kelarasan ini memiliki daerah masing-masing yang biasanya memang menggunakan secara utuh prinsip di kelarasan yang dianut.

Demokrasi di Minangkabau dilaksanakan secara konsisten hingga saat ini namun mengikuti perkembangan zaman bahkan pemilihan umum yang diselenggarakan setiap pergantian kepala daerah baik nasional maupun local tidak mengesampingkan keberadaan pemimpin adat. Dengan peran pemimpin adat yang signifikan, daerah Sumatra Barat termasuk daerah yang baik penyelenggaran pemilu di Indonesia meskipun masih ada hambatan namun tidak menjadi keributan yang mempengaruhi proses pemilu yang ideal.

Dari kepemimpinan di Minangkabau, terlihat prinsip kepemimpinan yang dinamis dalam menyerap dan menjawab kebutuhan masyarakat adat. Hal ini memperlihatkan kedewasaan pemimpin Minangkabau. Budaya Minangkabau memiliki nilai-nilai yang mudah untuk dipadukan dengan nilai-nilai demokrasi. Secara historis dan kultural, hal itu dapat ditelusuri akar-akarnya pada kearifan tradisional Minangkabau. Dari pepatah duduak samo randah tagak samo tinggi

43 Sri Soemantri Martosoewirnyo, Pengantar Perbandingan Hukum Tata Negara, (Jakkarta: Rajawali), hlm. 50.

44 Stephen Gardbaum, “Revolutionary Constitutionalism”, International Journal of Constitutional Law Vol. 15, No. 1, (January 2017): 173–200, doi: https://doi.org/10.1093/icon/mox005

(duduk sama rendah berdiri sama tinggi) ini tercermin kedudukan yang setara bagi setiap masyarakat adat sehingga dalam proses pengambilan keputusan dilaksanakan dengan mendengarkan pendapat semua orang.

Budaya Minang juga mengakomodasi perbedaan pendapat, meskipun ada kesan otokratis dengan adanya aturan bahwa seorang anak harus belajar dari paman (mamak) nya, dan paman (mamak) nya harus menjadikan penghulu sebagai panutannya, serta diatas penghulu ada aturan yang diakui bersama yaitu kebenaran. Meskipun terkesan otokratis, disisi lain, adat Minangkabau juga memberi ruang untuk kritik terhadap raja. Maknanya, bahwa kebenaran bukanlah hal yang mutlak dimiliki oleh penghulu atau raja. Hal ini sesuai dengan pepatah adat Minangkabau berikut;

Kamanakan barajo mamak, mamak barajo panghulu, panghulu marajo kamufakat, mufakat barajo ka nan bana, bana manuruik alua jo patuik. Artinya, meskipun seorang penghulu ataupun pemimpin adat harus didengar, namun merekapun juga tetap berpedoman pada kebenaran. Hal ini terjadi karena sejarah Minangkabau yang sudah berevolusi dari praktik-praktik sebelumnya yang dianggap sudah tidak sesuai dengan adat dan budaya Minangkabau.

.:43 Revolusi tersebut terjadi karena dua factor: 1. Kepemimpinan, 2. Pergerakan rakyat.44 Meski terjadi perubahan, namun sifat dari kepemimpinan di Minangkabau tidak

(13)

akan lepas dari kontrol rakyatnya yang dikenal kritis. Bahkan dalam pengangkatan seorang penghulu jika belum dianggap pantas untuk menjadi penghulu maka ada penangguhan terlebih dahulu hingga sang calon siap untuk mempimpin anak kemenakannya yang diistilahkan dengan dilatak (diletakkan/

ditangguhkan). 45

Oleh karenanya, saat ini, praktik demokrasi hampir terlihat di setiap kegiatan didalam kehidupan bermasyarakat di Minangkabau. Dalam pemilihan walinagari misalkan, walinagari dipilih melalui sebuah kelembagaan Kerapatan Ninik Mamak yang beranggotakan wakil dari masyarakat. Asas demokrasi lain yang dilaksanakan adalah menjunjung tinggi kebebasan individu yang disertai tanggungjawab untuk melindungi hak orang lain. Hal ini terlihat dari rasa gotong royong yang menjadi prinsip dari masyarakat Minangkabau.

Selain itu, masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang Egaliter dimana setiap orang dipandang sama meskipun mempunyai kedudukan yang berbeda. Oleh karenanya, prinsip ini memungkinkan untuk masyarakat leluasa memberikan masukan dan kritikan kepada pemimpin adat.

Selain terhadap pemimpin, masyarakat adat Minangkabau juga memberikan ruang

45 Lihat A.A Navis, ... Op Cit., hlm. 137.

46 Iva Ariani, “Nilai Filosofis Budaya Matrilineal di Minangkabau (Relevansinya Bagi Pengembangan Hak-Hak Perempuan Di Indonesia)”, Jurnal Filsafat Vol. 25, No. 1, (2015), doi: https://doi.org/10.22146/jf.12613.

47 Zohreh Khoban, “Interpretative Interactions: An Argument for Descriptive Representation in Deliberative Mini-publics”, Representation Vol. 57, No. 4, (2021): 497-514, doi: 10.1080/00344893.2021.1880471

48 Mohammad Sabri bin Harun dan Iza Hanifuddin, “Harta dalam Konsepsi Adat Minangkabau”, JURIS Vol. 11, No. 1, (2012), doi: http://dx.doi.org/10.31958/juris.v11i1.947.

49 Musyawarah di dalam kamus sejarah Indonesia (Historical Dictonary of Indonesia) disebutkan bahwa

bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan.46 Hal ini terlihat dari salah satu wakil yang ada dalam Kerapatan Adat Nagari adalah perempuan. Predikat

‘bundo kanduang’ menjadi peran penting dalam system kekerabatan Minangkabau.

Bahkan, perempuan menjadi orang yang berperan dalam keuangan keluarga yang terlihat dari system kewarisan di Minangkabau.

Hal inilah yang mencerminkan demokrasi yang memiliki penghargaan yang baik. Prinsip ini juga mencerminkan adanya pelaksanaan konsep representasi dari perspektif social, dimana perwakilan dinilai dari peran social mereka di dalam masyarakat.47

Kedudukan yang setara ini terlihat juga dari prinsip dalam pembagian harta baik pusaka (pusako) dan saka (sako). Sako merupakan gelar adat yang diberikan turun temurun dari mamak ke kemenakan sementara pusako adalah harta warisan adat baik berupa benda tak bergerak maupun bergerak seperti tanah/sawah/ladang, rumah dan pakaian atau peralatan kebesaran adat.48

Dengan demikian, tidak ada satupun orang yang memiliki kedudukan tertinggi di Minangkabau karena musyawarah mufakat menjadi prinsip utama yang dipegang dalam setiap ranah kehidupan.49 Tidak dikenalnya sistem voting di Minangkabau menyebabkan

(14)

prinsip mufakat berperan penting dalam proses musyawarah. Kesepakatan bersama ini didapatkan dari proses pencarian pendapat sehingga dibutuhkan partisipasi dari seluruh wakil masyarakatnya. Dengan demikian, proses inilah yang dinilai lebih sakral dibandingkan keputusan itu sendiri.

Oleh sebab itu, kekuatan karakteristik demokrasi tidak langsung dalam system kepemimpinan masyarakat adat Minangkabau adalah sebuah keniscayaan. Setiap orang mempunyai kedudukan yang sama dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan di tempat yang diakui bersama serta melalui sebuah lembaga yang mewakili setiap golongan dalam masyarakat adatnya.

2. Eksistensi Demokrasi Minangkabau sebagai Akar Demokrasi di Indonesia

Meskipun memiliki akar demokrasi yang sangat baik di salah satu wilayah adatnya yaitu di Minangkabau, Indonesia hingga saat ini belum memperlihatkan praktik demokrasi yang sesungguhnya. Gagasan demokrasi terkungkung di bawah sistem kolonial dan negara nasional yang kurang kondusif. Bahkan, sistem demokrasi modern yang diperkenalkan para pendiri negara tenggelam di bawah pemerintahan otoriter, yaitu Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru. Akibatnya, gagasan demokrasi yang sebenarnya juga berakar dari

musyawarah adalah dasar dari demorkasi pada daerah tradisional yang juga digunakan pada sistem barat dalam pengambilan keputusan dengan suara mayoritas. Lihat Robert Cribb, ... Op Cit., hlm. 284.

50 Sutoro Eko, “Reclaiming The Government For The Sovereignty Of The People”, Jurnal Ilmu Pemerintahan Semesta Vol. 2, No, 2, (2021), doi: https://doi.org/10.47431/governabilitas.v2i2.122

51 Badan Pengawas Pemilu, Data Pelanggaran Pemilu Tahun 2019, diakses dari DATA PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2019 4 NOVEMBER 2019-dikompresi.pdf (bawaslu.go.id)

demokrasi Minang, tidak dapat berkembang, karena harus menyesuaikan diri dengan sistem dan budaya politik yang dominan.

Konsep demokrasi yang dilaksanakan di Indonesia adalah demokrasi yang berhubungan dengan kedaulatan rakyat yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Konsep kedaulatan rakyat ini harus dipertahankan sebagaimana mestinya karena dalam praktiknya sudah mulai menyimpang dari bentuk idealnya.50 Misalkan salah satu praktik kedaulatan rakyat dengan pemilu, Badan Pengawas Pemilu menemukan adanya pelanggaran dalam pemilu 2019 dengan rincian pelanggaran sebagai berikut; 16.134 pelanggaran administrasi, 373 pelanggaran kode etik, 582 pelanggaran pidana, dan 1.475 pelanggaran hukum lainnya.51 Temuan ini setidaknya memberikan gambaran bahwa kedaulatan rakyat belum sepenuhnya dipraktikkan dengan baik bahkan terkesan dimanfaatkan untuk kelompok yang ingin menguasai politik.

Sementara itu, jika melihat dari konsep kedaulatan rakyat di Minangkabau tidak sama dengan yang dipraktikkan secara nasional melalui pemilu. Akan tetapi justru saat ini yang digunakan juga adalah perwakilan (representative government)

(15)

meskipun secara umum praktik di Indonesia menganut keduanya, secara langsung maupun perwakilan.52 Demokrasi mengakui kekuasaan dari mayoritas (majority rule) dimana kekuatan berada di tangan mereka yang secara kuantitas mendapat suara terbanyak. Bahkan John Locke menyatakan legitimasi yang kuat adalah yang mewakili suara terbanyak di tangan lebih dari satu orang.

Demokrasi sebagiamana yang diungkapkan oleh Arend Lijphart, bahwa ciri demokrasi salah satunya adalah penghormatan terhadap minority representation yang sudah dilaksanakan di nagari di Minangkabau.53 Perempuan yang dianggap “minoritas” dalam hal kekuasaan diberikan peran sentral dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Ciri ini dipraktikkan di Indonesia dengan pengaturan dalam konstitusi yaitu UUD 1945 pada pasal- pasal yang mengatur tentang HAM.

Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa diskursus hukum tata negara yang diambil dari adat sangat dibutuhkan dalam rangka menggali nilai local yang berasal dari tradisi yang sudah dijalankan secara turun temurun di Indonesia. Bahkan sesungguhnya konstitusi Republik Indonesia berasal dari hukum dan apa yang ada dalam masyarakat adat.

Sebagaimana yang disampaikan Muhammad Yamin mengenai diambilnya nilai-nilai adat dalam proses pembentukan dasar negara karena nilai yang sudah ada tersebut menjadi

52 Lihat Wolfgang Friedmann, Legal Theory, (London: Stevens Sons, 1967), hlm. 419 dalam Ibid., hlm. 145.

53 Arend Lijphart, ... Op Cit.,

54 Jimly Asshiddiqie. Makalah Konstitusi dan Hukum Tata Negara Adat.

55 Ibid.,

ciri khas yang membedakan dengan negara lain.54

Konsep pemisahan kekuasaan yang diklaim oleh negara-negara modern, sesungguhnya sudah dibuat dan dilaksanakan oleh kerajaan yang ada di nusantara jauh sebelum Indonesia merdeka.55 Di nagari terdapat penghulu sebagai pemimpin, dibantu oleh manti, malin dan dubalang yang mempunyai tugas masing- masing sekaligus untuk mengontrol kebijakan dari penghulu.

Kepemimpinan yang dilaksanakan oleh seorang penghulu baik dalam kaum, suku maupun nagari juga menjadi cerminan dari demokrasi. Kebijakan diambil dari bawah ke atas lalu diputuskan dan dilaksanakan oleh masyarakat kaum. Seorang penghulu meskipun didahulukan selangkah, ditinggikan seranting namun tetap mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan kritikan jika kebijakan yang dibuat melanggar adat atau tidak sesuai dengan prinsip yang dianut.

Kepemimpinan yang tidak otoriter ini memberikan kesempatan kepada setiap rakyat untuk berpndapat dan menyampaikan kritik yang membangun nagari.

Bentuk kepemimpinan ini juga seharusnya menjadi contoh bagi kehidupan bernegara di Indonesia dimana presiden menjadi tonggak utama pemerintahan, namun berbeda dengan di Minangkabau. Pemimpin di Minangkabau mempunyai syarat-syarat

(16)

tertentu yang mencerminkan sifat dari pemimpin yang ideal. Pemimpin bukan sekadar mempimpin dalam hal adat tetapi harus jadi tokoh sentral dalam hal agama dan hakim.

Sementara presiden hanya menjadi pemimpin negara bukan pemimpin agama dan hakim dalam menyelesaikan perselisihan. Selain itu, supremasi konstitusi juga dimiliki ole nagari di Minangkabau sejak lama. Undang-undang adat menjadi acuan utama dan dilaksanakan sebagai sumber bagi pemerintahan yang demokratis. Hal ini menjadikan pemerintahan nagari cenderung untuk stabil karna pemimpin tidak sewenang-wenang dalam menjalankan perannya masing-masing.

KESIMPULAN

Praktik demokrasi pada pemerintahan nagari di Minangkabau setidaknya terlihat pada tiga hal yaitu; pertama, dari keberadaan kelarasan Bodi Chaniago dan Koto Piliang yang mempraktikkan bentuk demokrasi dari adanya hubungan antara penghulu dengan

anak kemenakannya dimana pemimpin adat tidaklah selalu benar, setiap keputusan yang dibuat berasal dari atas (pemimpin) dan mendengar dari bawah (rakyat). Kedua, dari proses pengambilan keputusan yang bersumber pada musyawarah mufakat yang selalu menjadi penentu bagi setiap aturan yang akan diberlakukan di pemerintahan nagari. Proses musyawarah mufakat ini menjadi keniscayaan yang selalu hidup dalam masyarakat nagari hingga sekarang. Ketiga, kedudukan yang sama terhadap setiap individu yang menjadi wakil bagi masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan menjadi syarat yang dipenuhi dalam setiap rapat adat. Bahkan, keberadaan perempuan menjadi representasi yang wajib hadir dalam setiap forum adat untuk memastikan bahwa kaum perempuan terwakili aspirasinya karena dalam adat Minangkabau kedudukan perempuan menjadi penting sebagai penerus keturunan adat.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

_____. Merantau, Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gajah Mada University Press,1979.

______. Rintisan Sejarah Minangkabau.

Jakarta: CV. Tapian Suku, 2000.

______. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi.

Jakarta: Sekretariat Jenderal Mahkamah

Konstitusi RI, 2006.

Abidin, Mas’oed. Adat dan Syarak di Minangkabau. Padang: PPIM: 2004.

Alder, John. General Principle of Constitutional and Administrative Law.

New York: Palgrave Millan, 2002.

Aly, Fachry. Penjelasan budaya Nilai Demokrasi Minangkabau: Peringatan 100 Tahun Bung hattam. Jakarta:

(17)

Habibie Center, 2003.

Arifin, Bustanul dan Dt. Bandaro Kayo.

Budaya Alam Minangkabau. Jakarta:

Art Print, 1994.

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta:

Konstitusi Press, 2005.

Asshiddiqie, Jimly. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007.

Catt, Democracy. Helena in Practice. London and Newyork: Routledge, 1999.

Dari Pagaruyung Sampain Semenanjung:

Refleksi Sejarah Minangkabau, terbitan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.

Padang: UPTD Museum Adityawarman.

2008.

Demokrasi Lokal: Evaluasi Pemilukada di Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2012.

Gaffar, Janedjri M. Demokrasi dan Konstitusi;

Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945. Jakarta:

Konstitusi Press. 2013.

Goldsworthy, Jeffrey. Parliamentary Sovereignty. New York: Cambridge University Press. 2010.

Holt, Claire. Culture and Politics in Indonesia.

edited. Singapore: Equinox Publishing.

2007.

Ibrahim. Dt. Sanggoeno Diradjo, Tambo Alam Minangkabau Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang.

Bukittinggi: Kristal Multimedia. 2015.

Kato, Tsuyoshi. Adat Minangkabau dan

merantau dalam perspektif sejarah.

Jakarta: PT Balai Pustaka. 2005.

Kheng, Cheah Boon dan Abdul Rahman Haji Ismail. Sejarah Melayu. Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society.

1998.

Kusnardi, Moh. dan Bintan R. Saragih. Ilmu Negara. Jakarta: Gaya Media Pratama.

2000.

Kusuma, R. M. A.B. Sistem Pemerintahan Indonesia “Pendiri Negara” Versus Sistem Presidensiel “Pasca Reformasi”.

Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum UI. 2011.

Latief, CN. Dan Dt. Bandaro. Minangkabau yang Gelisah. Bandung: CV. Lubuk Agung. 2004.

Lijphart, Arend. Democracies Patterns of Majoritarian and Consensus Government in Twenty-One Countries.

London: Yale University Press. 1984.

LKAAM. Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Padang: Surya Citra Offset.

Locke, John. Two Treatises of Government and A Letter Concerning Toleration, edit by Ian Shapiro. New York: Yale University Press, 2003.

Manan, Imran. Birokrasi Modern dan Otoritas tradisonal Minangkabu. Padang:

Yayasan Pengkajian Kebudayaan Minangkabau.

Mangggis, M. Rasjid, dkk. Limpapeh. Padang:

CV. Tapian Suku Jakarta, 1987.

(18)

Naim, Mochtar. Suara Wakil Daerah 1;

Kumpulan Pidato, Tulisan, dan Buah Pikiran Selaki Anggota DPD RI dari Sumatera Barat (2004-2009). Jakarta:

CV Hasanah. 2009.

Nurtjahyo, Hendra. Filsafat Demokrasi.

Jakarta: Bumi Aksara. 2006..

Piliang, Edison dan Nasrun Dt. Marajo Sungut. Tambo Minangkabau Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau.

Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2015.

Ramses, Andy M dan La Bakry. Pemerintahan Daerah di Indonesia. Jakarta:

Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia dan Pemrov DKI. 2009.

Saragih, Bintan RS.H. Sistem Pemerintahan dan Lembaga Perwakilan di Indonesia.

Jakarta: Penerbit Perintis Press. 1985.

Sihombing, Herman. Ketatanegaraan Desa/

Nagari di Sumatera Barat, Simposium Sumatera Barat. Bukittinggi: Fakultas Hukum Universitas Andalas. 1975.

Simposium Peringatan Hari Pancasila.

Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas.

Depok: Brighten Press. 2006.

Sjafnir AN. Sirih Pinang Adat Minangkabau;

Pengetahuan Adat Minangkabau Tematis. Padang: Sentra Budaya. 2006.

Soeprapto. Pancasila. Jakarta: Konstitusi Press. 2013.

Tuanku Kayo Khadimullah. Menuju Tegaknya Syariat Islam di Minangkabau.

Cikarang: Andalan Umat, 2008.

Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum

dalam Masyarakat; Perkembangan dan Masalah. Malang: Bayumedia Publishing. 2008.

Yakub, Dt. Bandaro Nurdin. Hukum Kekerabatan Minangkabau Jilid I.

Bukittinggi: Pustaka Indonesia. tt.

Yamin, Muhammad. 6000 Tahun Sang Merah Putih. Jakarta: Balai Pustaka. 1958.

Jurnal

Ariani, Iva. “Nilai Filosofis Budaya Matrilineal di Minangkabau (Relevansinya Bagi Pengembangan Hak-Hak Perempuan Di Indonesia)”. Jurnal Filsafat Vol. 25, No.

1, (2015). doi: https://doi.org/10.22146/

jf.12613

Eko, Sutoro. “Reclaiming The Government For The Sovereignty Of The People”.

Jurnal Ilmu Pemerintahan Semesta Vol.2, No, 2, (2021). doi: https://doi.

org/10.47431/governabilitas.v2i2.122 Gardbaum, Stephen. “Revolutionary

constitutionalism”. International Journal of Constitutional Law Vol. 15, No. 1, (January 2017). doi: https://doi.

org/10.1093/icon/mox005.

Haniko, Teguh dan Rahayu Supanggah.

“Memudarnya Wibawa Niniak Mamak Sebagai Urang Nan Gadang Basa Batuah Di Minangkabau”. Gelar:

Jurnal Seni Budaya, Vol. 15, No.2, (2017). doi: https://jurnal.isi-ska.ac.id/

index.php/gelar/issue/view/266.

Hoesein, Zainal Arifin. “Pemilu Kepala Daerah dalam Transisi Demokrasi”.

(19)

Jurnal Konstitusi Vol. 7, No. 6, (2010).

doi: https://doi.org/10.31078/jk%25x.

Khoban, Zohreh. “Interpretative Interactions:

An Argument for Descriptive Representation in Deliberative Mini- publics”. Representation Journal Vol.

57, No.4, (2021). DOI: 10.1080/00344 893.2021.1880471

Lay, Cornelius. “Democratic Transition in Indonesia: An Overview of Ten Democracy”. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. 15, No.3, (Maret 2012). DOI: https://doi.org/10.22146/

jsp.10915.

Nurwani, Martozet, Yunaidi. “The Shifting of Function and Role of the Leader in the Matrilineal Kinship System in Minangkabau in the Performing Arts of Ratok Nagari”. BIRCU Journal Vol. 3, No.4, (2020). doi: https://doi.

org/10.33258/birci.v3i4.1357.

Sabri, Mohammad dan Iza Hanifuddin. “Harta dalam Konsepsi Adat Minangkabau”.

JURIS Vol. 11, No. 1, (2012). doi: http://

dx.doi.org/10.31958/juris.v11i1.947.

Tsuyoshi Kato, Change and Continuity in the Minangkabau Matrilineal System, (New York: Southeast Asia Program Publications at Cornell University).

Jurnal Indonesia. No. 25, (1978).

Yuliana. “The Philosophy of Pancasila in the Religious Perspective in Indonesia During The Covid-19 Pandemic”.

Jurnal Keindonesiaan, Vol. 1, No. 2, (Oktober 2021). DOI: https://doi.

org/10.52738/pjk.v1i2.29.

Thesis

Choiriyah, Sri Zul. Sistem Pemerintahan Desa di Minangkabau dalam kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979. Tesis. Universitas Indonesia.

Efendi, Akhyar. “Kembali Ke Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat: Studi Kasus Perbandingan Sistem Koto Piliang dan Bodi Chaniago”. Thesis. Universitas Indonesia.

Mahatta, Afdhal. “Eksistensi Pemerintahan Nagari Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah”. Thesis.

Universitas Indonesia.

Zulfikar. “Nagari Saat Ini Studi Kasus Nagari Koto Baru”. Thesis. Universitas Indonesia, 2007.

Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Perubahan Keempat.

Sumatera Barat. Perda tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari, Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2000.

Hasil wawancara

Wawancara dengan Dr. Kurnia Warman, S.H., M.H. dosen ilmu hukum Universitas Andalas Padang, di Padang pada 12 Juni 2015.

(20)

Wawancara dengan Pemangku Daulat Raja Alam Pagaruyung Sutan Haji Muhammad Taufiq Thaib Tuanku Mudo Mahkota Alam, di Batu Sangkar pada 13 Juni 2015.

Wawancara dengan Prof. Dr. Takdir Rahmadi, SH, LLM, guru besar ilmu hukum Universitas Andalas Padang, di Jakarta pada 1 Mei 2015.

Wawancara dengan bapak Taufik Abdullah, Daulat tokoh masyarakat di Padang.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan perolehan uji aktivitas antibakteri pada bakteri Escherichia coli ATCC 25922, Klebsiella pneumoniae, Proteus mirabilis, Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853,

Dari latar belakang diatas maka dapat dikatakan bahwa dewasa ini peran Mahkamah Konstitusi sebagai Lembaga Peradilan yang lahir pasca reformasi yang bertugas sebagai pengawal konstitusi