28
Jurnal Diversita
Available online https://ojs.uma.ac.id/index.php/diversita
Hubungan Keyakinan Lingkungan dengan Perilaku Pro-Lingkungan Dewasa Awal
The Relationship between Environmental Belief and Pro- Environmental Behavior of Emerging Adults
Maybelline Friska(1*) & Anita Novianty(2)
Fakultas Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana, Indonesia
Disubmit: 22 Maret 2022; Diproses: 10 Maret 2023; Diaccept: 06 Juni 2023; Dipublish: 09 Juni 2023
*Corresponding author: [email protected] Abstrak
Masalah lingkungan hidup yang sedang dihadapi manusia secara global memberikan dampak buruk terhadap kesejahteraan alam, hewan dan manusia. Perilaku masyarakat terhadap lingkungan merupakan salah satu penyebab masalah lingkungan hidup saat ini, dan masalah lingkungan dapat dikurangi melalui meningkatnya perilaku pro-lingkungan. Keyakinan lingkungan atau cara pandang manusia terhadap lingkungan dapat menjadi salah satu faktor yang menjadi determinan perilaku pro-lingkungan. Usia dewasa awal adalah masa perkembangan di mana individu membentuk cara pandang mengenai dunia. Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan keyakinan lingkungan dengan perilaku pro-lingkungan pada dewasa awal. Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan yang positif antara keyakinan lingkungan dengan perilaku pro- lingkungan dewasa awal. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan menggunakan survei dalam bentuk kuesioner untuk mengumpulkan data secara daring menggunakan kuesioner. Kuesioner mencakup dua alat ukur, yaitu skala New Ecological Paradigm (NEP) untuk mengukur keyakinan lingkungan dan skala General Ecological Behavior (GEB) untuk mengukur perilaku pro-lingkungan. Partisipan penelitian ini adalah warga negara Indonesia berusia 18 sampai 25 tahun berjumlah 380. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara keyakinan lingkungan dengan perilaku pro-lingkungan dewasa awal. Temuan penelitian ini dapat membantu memahami peran kaum muda yaitu dewasa awal dalam mempromosikan perilaku pro-lingkungan.
Kata Kunci: Dewasa Awal; Keyakinan Lingkungan; Perilaku Pro-Lingkungan.
Abstract
Environmental degradation faced by humans globally are affecting the well-being of nature, animals and the human race. Human’s behavior towards the environment contributed to this problem, which could be reduced by increasing pro-environmental behavior. Environmental belief or worldview towards the environment is one of the determinants of pro-environmental behavior. Emerging adulthood is the pivotal period where individuals shape their worldview. Therefore, the objective of this research is to determine the correlation between environmental belief and pro-environmental behavior of emerging adults. This research hypothesized a positive correlation between environmental belief and pro-environmental behavior of emerging adults. Quantitative approach was applied in this study and an online survey was used to collect data. Two scales were included in the online questionnaire; the New Ecological Paradigm (NEP) scale to measure environmental belief and General Ecological Behavior (GEB) scale to measure pro-environmental behavior. Research participants consisted of 380 Indonesians, aged 18 to 25 years old. The result of this study showed a significant positive correlation between environmental belief and pro-environmental behavior of emerging adults. Findings of this research contributed to understanding the role of youth, especially emerging adults, in promoting pro- environmental behavior.
Keywords: Emerging Adults; Environmental Belief; Pro-Environmental Behavior.
How to Cite: Friska, M. & Novianty, A. 2023. Hubungan Keyakinan Lingkungan dengan Perilaku Pro- Lingkungan Dewasa Awal, Jurnal Diversita, 9 (1): 28-39.
PENDAHULUAN
Seiring berkembangnya peradaban manusia, berbagai fenomena alam yang terjadi di lingkungan hidup manusia menjadi isu yang semakin tampak. Steg dan De Groot (2019) berpendapat bahwa perilaku manusia menjadi salah satu penyebab masalah lingkungan. Masalah lingkungan tidak bisa sepenuhnya diselesaikan oleh ilmuwan saja, karena isu lingkungan yang muncul juga memiliki asal mula yang psikologis: isu-isu tersebut muncul karena adanya pemikiran, keyakinan, nilai serta worldview manusia yang belum berubah (Winter, 1996).
Idealnya, masyarakat melakukan perilaku yang tidak merugikan lingkungan, karena kondisi lingkungan alam dan manusia saling berkaitan dan memengaruhi satu sama lain (Steg & De Groot, 2019).
Namun, pada kenyataannya, masyarakat masih kurang berperan dalam menerapkan perilaku yang tidak merugikan lingkungan. Survei yang dilakukan oleh Katadata (2020) terhadap 354 responden dari lima kota besar di Indonesia menunjukkan bahwa sebanyak 50,8% responden tidak memilah sampah, dan 79% di antaranya beralasan tidak ingin bersusah-susah memilah sampah.
Tindakan-tindakan seperti memilah sampah, mendaur ulang dan meng- gunakan kendaraan ramah lingkungan disebut sebagai perilaku pro-lingkungan.
Balunde, Perlaviciute dan Steg (2019) berpendapat bahwa masalah lingkungan dapat dikurangi jika masyarakat meningkatkan perilaku pro-lingkungan.
Secara disadari maupun tidak disadari, setiap individu dalam kehidupan sehari-harinya berinteraksi dengan lingkungan hidup (Ogunbode, 2013).
Melalui pengalaman langsung individu dengan lingkungan dan dinamika proses kognitif yang terjadi sebagai hasil dari interaksi ini, individu membentuk konsep mengenai lingkungan alam dan peran manusia di dalamnya; sebuah konsep yang memiliki peran dalam menemukan cara pandang atau worldview individu yang digunakan sebagai pedoman dalam berperilaku yang berkaitan dengan lingkungan (Ogunbode, 2013). Cara pandang individu mengenai lingkungan ini bisa disebut sebagai keyakinan lingkungan. Keyakinan lingkungan merujuk pada keyakinan yang mendasari pemaknaan individu akan alam, yaitu keyakinan mengenai hubungan manusia dengan lingkungan hidup (Dunlap, 2008;
Liu & Lin, 2013).
Salah satu konsep yang dikemukakan oleh Dunlap dan Van Liere (1978) menyebutkan dua tipe keyakinan lingkungan; keyakinan lingkungan yang ekologis dan keyakinan lingkungan yang tidak ekologis. Keyakinan lingkungan yang ekologis disebut sebagai New Ecological Paradigm (NEP). NEP adalah sebuah keyakinan terhadap lingkungan mengenai hubungan manusia dengan alam yang terkait dengan keyakinan bahwa manusia hanyalah satu dari sekian banyak spesies yang ada di bumi, bahwa aktivitas manusia ditentukan oleh faktor sosial dan budaya, dan bahwa manusia sangat bergantung dengan lingkungan hidup beserta sumber daya alam yang ada. Keyakinan lingkungan yang tidak ekologis disebut sebagai Dominant Social Paradigm (DSP), yaitu keyakinan yang memandang bahwa manusia adalah superior dibandingkan spesies lainnya dan bahwa bumi dapat menyediakan sumber daya yang tidak
30 terbatas bagi manusia (Dunlap dkk., 2000).
Menurut Kahan (dalam Inkpen &
Baily, 2019) kerangka keyakinan yang dipegang memengaruhi pandangan individu mengenai seberapa jauh individu mempercayai bahwa isu lingkungan yang ada adalah isu yang nyata, seberapa besar isu lingkungan, serta solusi yang dianggap tepat untuk mengatasi masalah lingkungan. Mengenali keyakinan individu mengenai isu lingkungan menjadi penting karena hal tersebut dapat membantu memahami bagaimana interpretasi dan reaksi individu terhadap realita dari masalah lingkungan serta penyelesaian masalah lingkungan (Inkpen & Baily, 2019). Sebagai contoh, Roberts dan Bacon (dalam Winter & Koger, 2004) menyebutkan bahwa individu yang memiliki keyakinan lingkungan yang ekologis yaitu NEP, cenderung menunjukkan perilaku konsumsi yang lebih ramah lingkungan, seperti membeli produk hasil daur ulang dan menghindari pembelian produk dengan kemasan yang tidak ramah lingkungan.
Perilaku pro-lingkungan merupakan perilaku yang dapat dilakukan berbagai kelompok masyarakat, namun kelompok yang saat ini banyak disoroti adalah kaum muda. Kaum muda merupakan kunci untuk menghadapi isu lingkungan saat ini, karena kaum muda merupakan yang paling berperan dalam memengaruhi kebijakan, meningkatkan kesadaran publik, melakukan program-program edukasi, dan sebagainya (Palupi & Sawitri, 2018). Individu berusia 18-25 tahun memasuki tahapan perkembangan dewasa awal. Pada periode ini, perkembangan keterampilan kognitif individu sedang
mencapai puncaknya. Individu dewasa awal lebih mampu memahami kompleksitas prinsip-prinsip yang mendasari sesuatu hal. Mereka juga mulai bertanya-tanya dan menilai keyakinan- keyakinan atau beliefs dari pengalaman masa kanak-kanak dan menstruktur ulang keyakinan-keyakinan tersebut menjadi ideologi pribadi yang koheren, misalnya seperti nilai, pandangan agama dan sistem keyakinan untuk menjadi panduan berperilaku (State Adolescent Health Resource Center, 2013). Hal ini sejalan dengan pendapat Labouvie-Vief (dalam King, 2017), bahwa aspek-aspek utama dalam perkembangan kognitif individu dewasa awal adalah memilih worldview atau pandangan dunia tertentu, menyadari bawa pandangan dunia adalah sesuatu yang subjektif, dan memahami pentingnya membedakan berbagai pandangan dunia yang beragam. Berdasarkan karakteristik tahap perkembangan tersebut, menjadi relevan apabila keyakinan lingkungan diteliti pada sampel dewasa awal.
Salah satu kerangka konsep yang dapat menjelaskan hubungan keyakinan lingkungan dengan perilaku pro- lingkungan adalah Value Belief Norm (VBN) Theory yang dikemukakan oleh Stern (2000). Menurut Stern (2000), variabel-variabel seperti orientasi nilai, NEP, kesadaran akan konsekuensi, keyakinan untuk mampu bertindak dan norma individu merupakan variabel yang dapat memengaruhi perilaku pro- lingkungan. Teori VBN menggabungkan teori nilai, NEP, dan norm-activation theory sebagai rantai kausal yang mengarah pada perilaku pro-lingkungan.
Setiap variabel pada rangkaian skema VBN memiliki pengaruh langsung terhadap
variabel pada posisi berikutnya maupun variabel lain yang tidak bersebelahan pada kerangka (Stern, 2000). Semakin dekat posisi variabel dengan posisi perilaku pro- lingkungan, semakin kuat variabel tersebut berhubungan dengan perilaku pro-lingkungan.
Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan hubungan yang positif antara keyakinan lingkungan dengan perilaku pro-lingkungan (Johnson dkk., 2004; Kaan dkk., 2019; Salsabila dkk., 2021). Johnson, dkk. (2004) melakukan penelitian keyakinan lingkungan dan perilaku pro-lingkungan pada berbagai kelompok etnis di Amerika Serikat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi skor NEP, semakin sering individu melakukan perilaku pro-lingkungan.
Salsabila, dkk. (2021) meneliti hubungan NEP dengan perilaku lingkungan yang bertanggung jawab pada siswa SMA di Indonesia. Ditemukan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kedua variabel, dengan kontribusi NEP sebesar 2% terhadap perilaku lingkungan yang bertanggung jawab. Pada penelitiannya, peneliti menyimpulkan temuan tersebut bahwa hubungan yang positif antara dua variabel tersebut dapat memiliki implikasi pada pendidikan lingkungan. Kemudian, penelitian lain yang serupa yaitu penelitian yang dilakukan oleh Kaan, dkk.
(2019) mengenai NEP dan perilaku tanggung jawab lingkungan pada siswa SMA juga menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Ditemukan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara kedua variabel, dengan kontribusi NEP terhadap perilaku tanggung jawab lingkungan siswa sebesar 7,6%.
Watson dan Halse (2005) meneliti NEP pada pre-service teachers dengan rata-rata usia sampel 20 tahun di negara Australia, Indonesia dan Maladewa meng- gunakan skala NEP. Ditemukan bahwa Indonesia dan Australia cenderung setuju dengan keyakinan NEP. Namun, wawan- cara dilakukan pada 10 partisipan dari masing-masing negara, hasil wawancara dengan partisipan dari Indonesia menunjukkan bahwa sikap masyarakat Indonesia terhadap lingkungan cenderung mengarah ke arah DSP. Temuan ini menimbulkan dugaan bahwa keyakinan lingkungan masyarakat Indonesia cende- rung kurang ekologis, serta menimbulkan dorongan untuk mengkonfirmasi kembali hal tersebut melalui penelitian terbaru.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini hendak meneliti hubungan keyakinan lingkungan dengan perilaku pro-lingkungan. Dunlap, dkk. (2000) menyatakan bahwa sasaran penelitian- penelitian di masa mendatang adalah untuk mengkonfirmasi NEP pada populasi-populasi yang beragam dan sejauh mana keyakinan tersebut memengaruhi berbagai tipe sikap, keyakinan, serta perilaku lingkungan.
Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan yang positif antara keyakinan lingkungan New Ecological Paradigm (NEP) dengan perilaku pro- lingkungan pada masyarakat Indonesia berusia 18 sampai 25 tahun. Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan sumbangsih literatur pada bidang Psikologi Lingkungan, khususnya mengenai variabel yang berkaitan dengan perilaku pro-lingkungan. Secara praktis, manfaat penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan bagi pemerintah ketika
32 menyusun kebijakan atau program yang berkaitan dengan perilaku pro-lingkungan dalam penerapan strategi Penanganan Perubahan Iklim guna mencapai Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan yang dikemukakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang mengukur dua variabel, yaitu keyakinan lingkungan dan perilaku pro-lingkungan, menggunakan desain korelasional. Teknik analisis data yang digunakan adalah uji korelasional menggunakan program Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) versi 24.
Perilaku pro-lingkungan merupakan tindakan yang berkontribusi untuk konservasi lingkungan hidup. Terdapat enam dimensi perilaku pro-lingkungan menurut Kaiser, Oerke dan Bogner (2007) yaitu, konservasi energi, mobilitas dan transportasi, pencegahan limbah, konsumerisme, daur ulang, dan perilaku sosial untuk konservasi. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur perilaku pro- lingkungan adalah skala General Ecological Behavior (GEB) yang dikembangkan oleh Kaiser, dkk. (2007). Skor total yang tinggi mengindikasikan perilaku pro-lingkungan yang tinggi, sedangkan skor total yang rendah mengindikasikan perilaku pro- lingkungan yang rendah.
Keyakinan lingkungan adalah keyakinan individu mengenai hubungan manusia dengan lingkungan alam (Dunlap, 2008). Terdapat lima dimensi dalam keyakinan lingkungan, yaitu keterbatasan sumber daya alam, anti antroposentrisme, kerapuhan keseimbangan alam, penolakan terhadap ide bahwa manusia bebas dari
tanggung jawab akan lingkungan dan kemungkinan akan adanya krisis lingkungan. Keyakinan lingkungan diukur menggunakan skala New Ecological Paradigm (NEP). Semakin rendah skor total, maka semakin tinggi kecenderungan individu untuk memegang keyakinan lingkungan DSP, sedangkan semakin tinggi skor total, maka semakin tinggi kecenderungan individu untuk memegang keyakinan lingkungan NEP.
Penelitian ini menggunakan metode survei untuk mengumpulkan data dalam bentuk kuesioner yang terdiri dari skala GEB dan skala NEP. Kuesioner kedua skala dibagikan secara daring. Pada kuesioner yang sama, partisipan diminta untuk mengisi lembar persetujuan dan data demografis sebelum mengisi kedua skala.
Perilaku pro lingkungan diukur menggunakan skala General Ecological Behavior (GEB) yang dikembangkan oleh Kaiser, dkk. (2007). Ambarfebrianti (2021) dan Rasoe (2021) telah mengadaptasi alat ukur tersebut ke dalam Bahasa Indonesia. Skala GEB memiliki 33 butir aitem dengan enam dimensi, yaitu konservasi energi, mobilitas dan transportasi, pencegahan limbah, konsumerisme, daur ulang, dan perilaku sosial untuk konservasi. Aitem-aitem dalam skala GEB merupakan pernyataan- pernyataan mengenai perilaku individu yang bersifat self-report. Partisipan yang mengisi skala GEB diminta untuk memilih jawaban dari lima opsi, yaitu “tidak pernah”, “jarang”, “kadang-kadang”,
“sering”, dan “selalu”.
Keyakinan lingkungan diukur oleh skala New Ecological Paradigm (NEP) yang telah dikembangkan dan direvisi oleh Dunlap, dkk. (2000). Pada penelitian ini,
peneliti melakukan adaptasi alat ukur tersebut dengan menerjemahkan skala NEP ke Bahasa Indonesia. Alat ukur NEP terdiri dari 15 aitem dengan lima dimensi yaitu, keterbatasan sumber daya alam, anti antroposentrisme, kerapuhan keseim- bangan alam, penolakan terhadap ide bahwa manusia bebas dari tanggung jawab akan lingkungan dan kemungkinan akan adanya krisis lingkungan. Aitem- aitem dalam skala NEP merupakan pernyataan mengenai keyakinan individu akan hubungan manusia dengan alam, yaitu sejauh mana individu memandang dunia secara ekologis. Partisipan diminta untuk memberikan respon terhadap pernyataan tersebut dari rentang “sangat setuju” sampai “sangat tidak setuju”.
Pilihan respon terdiri dari lima opsi, yaitu
“sangat setuju”, “setuju”, “netral”, “tidak setuju”, dan “sangat tidak setuju”.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah convenience sampling.
Jumlah keseluruhan partisipan penelitian yang mengisi kuesioner daring adalah sebanyak 380 partisipan dengan rentang usia 18-25 tahun. Partisipan perempuan berjumlah 304 dan laki-laki sebanyak 74 serta terdapat dua partisipan lainnya tidak mengkategorikan diri sebagai perempuan atau laki-laki. Uraian data demografis partisipan terdapat pada Tabel 1.
Tabel 1. Data Demografis Partisipan Penelitian (n=380) Karakteristik Demografi Jum
lah Persent ase (%) Jenis
Kelamin Perempuan 304 80
Laki-laki 74 19,5
Lainnya 2 0,5
Usia 18 tahun 66 17,4
19 tahun 59 15,5
20 tahun 48 12,6
21 tahun 89 23,4
22 tahun 48 12,6
23 tahun 34 8,9
24 tahun 17 4,5
25 tahun 19 5
Pendidikan
Terakhir Sekolah Menengah
Pertama (SMP) 4 1,1
Sekolah Menengah
Atas (SMA)/sederajat 268 70,5
Diploma 1 (D1) 2 0,5
Diploma 3 (D3) 9 2,4
Strata1 (S1)/sederajat 92 24,2 Strata 2 (S2)/sederajat 4 1,1
Tidak menjawab 1 0,3
Pendapata n dalam 1 bulan
Di atas Rp. 3.500.000 125 32,9 Rp. 2.500.000 –
Rp 3.500.000 52 13,7
Rp. 1.500.000 –
Rp. 2.500.000 61 16,1
Di bawah
Rp. 1.500.000 121 31,8
Tidak menjawab 21 5,5
Uji validitas pada skala GEB adalah uji keterbacaan dan analisis aitem menggunakan korelasi aitem-total terkoreksi. Uji keterbacaan dilakukan kepada 19 partisipan untuk menguji pemahaman representasi partisipan penelitian terhadap aitem. Saran partisipan digunakan untuk memperbaiki beberapa aitem skala. Hasil korelasi aitem- total terkoreksi menunjukkan terdapat 17 dari 33 aitem yang memiliki nilai korelasi di bawah 0,3. 17 aitem tersebut dieliminasi dan terdapat 16 aitem GEB yang digunakan. Selain itu, hasil Cronbach’s Alpha menunjukkan angka yang tinggi yaitu sebesar 0,818.
Skala NEP diuji validitasnya menggunakan validitas isi melalui proses expert judgment, uji keterbacaan, dan analisis aitem korelasi aitem-total terkoreksi. Uji keterbacaan dilakukan kepada 19 partisipan dan saran partisipan digunakan untuk merevisi beberapa aitem skala. Selanjutnya, hasil nilai Cronbach’s Alpha serta koefisien korelasi aitem-total terkoreksi cukup rendah. Temuan ini mendorong peneliti untuk melakukan Exploratory Factor Analysis (EFA) untuk mengkonfirmasi asumsi dimensionality skala NEP pada konteks penelitian ini.
34 Hasil EFA dengan rotasi promax menunjukkan bahwa terdapat jumlah faktor yang berbeda dari jumlah dimensi NEP yang dikemukakan oleh Dunlap, dkk.
(2000). Jumlah dimensi NEP adalah lima, dan hasil EFA menunjukkan bahwa terdapat tiga faktor atau dimensi NEP yang muncul pada penelitian ini. Hasil ini menandakan adanya perbedaan struktur keyakinan lingkungan pada sampel dewasa awal Indonesia. Artinya, aitem- aitem pada skala yang terdapat pada kelima dimensi NEP dimaknai secara berbeda oleh sampel penelitian ini, di mana aitem-aitem memasuki tiga dimensi dengan jumlah dan variasi komponen aitem yang berbeda.
Reyna, Bressán, Mola dan Belaus (2018) meneliti NEP menggunakan metode EFA untuk melihat struktur psikometri skala NEP di sampel Argentina dan menunjukkan hasil bahwa terdapat dua faktor NEP yang muncul dari sampel yang diteliti. Pada hasil penelitian tersebut, faktor 2 memuat aitem-aitem yang hampir berjumlah setara dari kelima dimensi NEP dan peneliti tersebut menghitung skor total dari faktor 2 sebagai skor NEP. Reyna, dkk. (2018) menyebutkan bahwa NEP tetap bisa diperhitungkan dari skor total meskipun skala NEP multidimensional dengan melihat faktor yang ingin dipilih.
Hasil uji reliabilitas NEP pada penelitian ini menunjukkan angka Cronbach’s Alpha yang rendah pada faktor 2 (0,488) dan faktor 3 hanya memiliki satu aitem. Selain itu, faktor 1 juga sudah mencakup aitem-aitem dari kelima dimensi NEP dengan Cronbach’s Alpha sebesar 0,688. Berdasarkan acuan studi Reyna, dkk. (2018) dan pertimbangan
peneliti, peneliti memutuskan untuk mengeliminasi aitem-aitem pada faktor 2 dan 3. Maka, 8 aitem NEP dari faktor 1 adalah aitem-aitem yang akan dilibatkan ke dalam analisis selanjutnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Skor skala GEB dikategorikan ke dalam tiga kategori yaitu tinggi, sedang dan rendah berdasarkan rata-rata dan standard deviation atau simpangan baku skor partisipan penelitian (Widhiarso, 2010). Skor skala NEP dikategorikan ke dalam tiga kategori yang sama menggunakan metode persentil 60 dan 80 (Thomson, 2008) Distribusi kategori skala GEB terdapat pada Tabel 2 dan distribusi kategori skala NEP terdapat pada Tabel 3.
Tabel 2. Distribusi Kategori Skala GEB Kategori
GEB Rentang Skor Persentase (%) Distribusi Jumlah Partisipan (n=380) Rendah X < 37,4 17,5
Sedang 37,4 ≤ X < 58,6 73 Tinggi 58,6 ≤ X 9,5 Tabel 3. Distribusi Kategori Skala NEP Kategori
NEP Rentang Skor Persentase (%) Distribusi Jumlah Partisipan (n=380)
Rendah 8-24 0,8
Sedang 25-32 32,6
Tinggi 33-40 66,6
Berdasarkan perhitungan rentang skor GEB, sebanyak 66 (17,5%) partisipan termasuk dalam kategori rendah, 278 (73%) partisipan dalam kategori sedang, dan 36 (9,5%) partisipan dalam kategori tinggi. Selain itu, berdasarkan perhitungan rentang skor NEP, sebanyak 3 partisipan berada dalam kategori rendah (0,8%), 124 (32,6%) partisipan dalam kategori sedang dan 253 (66,6%) partisipan dalam kategori tinggi.
Uji normalitas dilakukan menggu- nakan metode analisis Kolmogorov- Smirnov serta skewness dan kurtosis. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa data penelitian ini tidak berdistribusi normal.
Nilai signifikansi Kolmogorov-Smirnov kedua skala berada di bawah 0,05; skala NEP <0,01 dan skala GEB sebesar 0,003.
Koefisien skewness dan kurtosis juga tidak mendekati angka 0. Koefisien skewness skala NEP adalah sebesar -0,285 dan koefisien skewness skala GEB sebesar - 0.374. Koefisien kurtosis skala NEP sebesar 0,323 dan koefisien kurtosis skala GEB sebesar 0,284.
Metode korelasi yang digunakan untuk uji hipotesis adalah koefisien korelasi Spearman’s Rank karena data tidak berdistribusi normal. Hasil uji korelasi menggunakan Spearman’s Rank menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara keyakinan lingkungan dengan perilaku pro-lingkungan (r = 0,264; p<0,05).
Berdasarkan hasil tersebut, maka hipotesis penelitian (Ha1) ini diterima.
Walau demikian, nilai koefisien tersebut termasuk dalam kategori korelasi yang lemah (Schober dkk., 2018). Temuan tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara keyakinan lingkungan dengan perilaku pro- lingkungan. Artinya, semakin ekologis keyakinan lingkungan individu, maka semakin tinggi pula perilaku pro- lingkungan individu. Hal ini menandakan indikasi bahwa keyakinan lingkungan yang ekologis memiliki peran dalam perilaku yang ramah terhadap lingkungan pada dewasa awal.
Angka koefisien korelasi kedua variabel penelitian ini termasuk dalam
kategori rendah (Schober dkk., 2018).
Temuan penelitian ini mengkonfirmasi kerangka teori Value Belief Norm (VBN) Theory yang dikemukakan oleh Stern (2000), di mana keyakinan lingkungan menjadi salah satu variabel yang berkaitan dengan perilaku pro-lingkungan. Stern (2000) menyebutkan bahwa variabel nilai, keyakinan dan norma dalam teori VBN mencakup satu komponen yang disebut sebagai attitudinal variable yang dapat berkaitan dengan perilaku pro- lingkungan. Maka, penelitian yang meneliti salah satu variabel dapat menunjukkan bahwa kerangka teori ini memiliki explanatory power yang cukup atau dalam kata lain bisa menjelaskan hasil penelitian.
Akan tetapi, penelitian yang ingin menjelaskan perilaku pro-lingkungan dari satu variabel saja memiliki keterbatasan, karena suatu perilaku dapat ditentukan dari berbagai variabel yang saling berkaitan (Stern, 2000). Oleh karena itu, hal tersebut dapat menjelaskan temuan penelitian ini, di mana hubungan variabel keyakinan lingkungan dengan perilaku pro-lingkungan dalam penelitian ini cenderung lemah.
Temuan penelitian ini sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang meneliti keyakinan lingkungan NEP dengan perilaku pro-lingkungan, di mana terdapat hubungan yang positif antara kedua variabel (Johnson dkk., 2004; Kaan dkk., 2019; Salsabila dkk., 2021).Meskipun penelitian-penelitian tersebut mencakup konteks dan sampel yang berbeda (populasi umum dan siswa sekolah) hal ini menunjukkan bahwa kaitan keyakinan lingkungan dengan perilaku pro- lingkungan yang positif cukup seragam pada berbagai sampel, dan pada penelitian
36 ini hubungan tersebut terkonfirmasi pada populasi dewasa awal. Hubungan yang positif antara kedua variabel pada dewasa awal menjadi bukti langkah awal yang baik untuk mengembangkan kaum muda sebagai agent of change permasalahan lingkungan di Indonesia. Kaum muda berperan penting dalam mempromosikan perilaku pro-lingkungan dan merupakan kelompok yang paling berperan dalam memengaruhi kebijakan, meningkatkan kesadaran publik, melakukan program- program edukasi, dan sebagainya (Palupi
& Sawitri, 2018).
Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa tingkat perilaku pro-lingkungan dewasa awal cenderung moderat. Hal ini terlihat dari distribusi kategori skor GEB, di mana 73% partisipan memiliki skor GEB yang termasuk ke dalam kategori sedang. Temuan ini cukup serupa dengan temuan penelitian Rasoe (2021) yang meneliti hubungan pengetahuan dengan perilaku pro-lingkungan masyarakat umum, di mana terdapat 74,5% partisipan penelitian tersebut yang memiliki skor GEB dalam kategori sedang. Temuan ini menunjukkan bahwa frekuensi perilaku pro-lingkungan dewasa awal tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah serta tidak jauh berbeda jika disandingkan dengan perilaku pro-lingkungan masyarakat umum.
Kemudian, penelitian ini menemukan bahwa keyakinan lingkungan dewasa awal cenderung ekologis. Hal ini terlihat dari skor NEP, di mana 66,6% partisipan memiliki skor NEP yang tinggi, dan hanya terdapat 0,8% partisipan yang memiliki skor NEP yang rendah. Sebesar 32,6%
partisipan memiliki skor NEP yang termasuk ke dalam kategori sedang. Skor
NEP yang tinggi mengindikasikan keyakinan lingkungan NEP yang tinggi, yaitu keyakinan yang ekologis.
Hasil penelitian ini berbeda dengan temuan penelitian Watson & Halse (2005) mengenai NEP di Indonesia dengan sampel dengan usia dewasa awal.
Penelitian tersebut menemukan bahwa skor NEP pada dewasa awal tidak terlalu tinggi, sedangkan penelitian ini menemukan bahwa skor NEP dewasa awal cenderung tinggi. Temuan ini mengkonfir- masi teori Dunlap, dkk. (2000) mengenai NEP. Pada masa-masa saat ini di mana masalah lingkungan tampak meningkat, bukti-bukti ilmiah baru mengenai ancaman kerusakan lingkungan dapat menghasilkan tekanan bagi masyarakat untuk memiliki keyakinan lingkungan yang lebih ekologis (Dunlap dkk., 2000) Hal ini pun terkonfirmasi melalui penelitian ini, di mana dukungan akan keyakinan NEP cenderung tinggi pada dewasa awal Indonesia dibandingkan 15 tahun yang lalu (Watson & Halse, 2005).
Selain temuan terkait uji hipotesis, penelitian ini juga menemukan temuan lainnya terkait alat ukur yang dapat menjadi pertimbangan untuk penelitian selanjutnya. Pertama, pada penelitian ini skala NEP diuji validitasnya menggunakan analisis faktor. Skala NEP yang terdiri atas lima dimensi disusun oleh Dunlap, dkk.
(2000) dan diuji pada sampel masyarakat Amerika Serikat. Hasilnya menunjukkan bahwa konstruk NEP bersifat unidimensional, namun Dunlap, dkk.
(2000) menyebutkan bahwa hasil ini bisa beragam ketika diteliti di populasi yang berbeda. Studi-studi sebelumnya mengkonfirmasi hal ini, di mana ketika NEP diuji kepada populasi lain, NEP bisa
bersifat multidimensional juga (Bechtel dkk., 2006; Reyna dkk., 2018). Beberapa penelitian NEP sebelumnya yang menggunakan analisis faktor untuk melihat struktur NEP menemukan temuan yang beragam terkait jumlah faktor atau komponen NEP yang muncul. Terdapat penelitian yang menemukan empat faktor (Dunlap dkk., 2000; Erdogan, 2009), lima faktor (Ogunbode, 2013), dan dua faktor (Reyna dkk., 2018).
Alasan di balik hasil penelitian yang beragam mengenai struktur NEP tidak lepas dari penjelasan konstruk NEP itu sendiri, yaitu keyakinan lingkungan.
Keyakinan lingkungan adalah cara pan- dang individu atau kelompok mengenai lingkungan, dan keyakinan lingkungan suatu populasi dipengaruhi konteks sosial budaya. Maka dari itu, skala NEP cenderung sensitif terhadap populasi yang berbeda-beda, karena respon terhadap aitem-aitem pada skala NEP dapat beragam. Hal ini menunjukkan bahwa keyakinan lingkungan atau worldview cenderung memiliki struktur yang bermacam-macam (Dunlap dkk., 2000).
Kerentanan NEP terhadap populasi yang berbeda-beda menunjukkan bahwa keyakinan lingkungan merupakan sesuatu yang kompleks. Temuan penelitian yang beragam terkait dimensionality NEP memunculkan urgensi untuk melakukan penelitian lebih lanjut di masa mendatang agar konstruk keyakinan lingkungan bisa dipahami dengan lebih dalam. Maka, penelitian selanjutnya yang meneliti NEP disarankan untuk melakukan analisis faktor agar bisa memeriksa dimensionality dari skala NEP pada populasi yang diteliti.
Kemudian, penelitian ini menggu- nakan skala GEB untuk mengukur perilaku
pro-lingkungan dewasa awal di Indonesia.
Meskipun nilai reliabilitas skala GEB cukup tinggi, terdapat beberapa aitem yang harus dieliminasi karena memiliki nilai korelasi aitem yang tidak memenuhi syarat. Jumlah aitem yang tereliminasi cenderung tinggi, yaitu 17 aitem dari total 33 aitem. Temuan ini menarik karena cukup serupa dengan temuan penelitian Ambarfebrianti (2021) dan Rasoe (2021) yang menggunakan GEB untuk mengukur perilaku pro-lingkungan pada remaja (Ambarfebrianti, 2021) dan masyarakat umum (Rasoe, 2021) di Indonesia, di mana juga terdapat banyak aitem skala GEB yang tereliminasi.
Skala GEB merupakan salah satu alat ukur perilaku pro-lingkungan yang masih sering digunakan di luar negeri mau pun di dalam negeri. Akan tetapi, temuan penelitian-penelitian terkini memun- culkan sebuah urgensi baru terkait penggunaan skala GEB di Indonesia. Skala GEB merupakan skala perilaku pro- lingkungan yang dibuat di luar negeri (Kaiser dkk., 2007). Berdasarkan temuan penelitian ini dan dua penelitian sebelumnya terkait GEB (Ambarfebrianti, 2021; Rasoe, 2021), peneliti menduga bahwa sepertinya penggunaan skala GEB di Indonesia memerlukan sebuah pertimbangan baru.
Skala yang mengukur konstruk psikologi lingkungan seperti perilaku pro- lingkungan maupun keyakinan lingkungan terbukti cukup sensitif terhadap sampel.
Hal ini menunjukkan bahwa struktur atau makna perilaku pro-lingkungan pada konteks Indonesia bisa saja berbeda dengan konteks penelitian lainnya. Maka dari itu, penelitian GEB selanjutnya dapat melakukan analisis faktor untuk memerik-
38 sa dimensionality skala GEB serta struktur perilaku pro-lingkungan pada sampel yang diteliti. Hal ini dilakukan untuk mengkonfirmasi kembali kecocokan skala GEB pada konteks Indonesia agar struktur perilaku pro-lingkungan di Indonesia bisa dipahami dengan lebih baik.
SIMPULAN
Penelitian ini menguji hubungan keyakinan lingkungan dengan perilaku pro-lingkungan pada dewasa awal di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara kedua variabel, maka hipotesis penelitian (Ha1) diterima. Walau demikian, hubungan tersebut termasuk dalam kategori korelasi yang lemah.
Kemudian, penelitian ini menemukan bahwa tingkat perilaku pro-lingkungan dewasa awal cenderung moderat dan tingkat keyakinan lingkungan dewasa awal cenderung ekologis. Temuan penelitian ini dapat menjadi landasan bagi bidang psikologi lingkungan di Indonesia untuk lebih memahami konstruk psikologis yang dapat menggambarkan hubungan manusia dengan lingkungan, khususnya perilaku pro-lingkungan serta keyakinan lingkungan pada dewasa awal.
Selain itu, hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu acuan bagi pemerintah ketika menyusun kebijakan atau program yang berkaitan dengan perilaku pro- lingkungan. Hal ini dapat membantu pemerintah untuk mencapai Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan yang dikemukakan oleh PBB.
DAFTAR PUSTAKA
Ambarfebrianti, M. (2021). Pengaruh Orientasi Nilai terhadap Perilaku Pro-Lingkungan Remaja. Universitas Kristen Krida Wacana.
Balunde, A., Perlaviciute, G., & Steg, L. (2019). The Relationship between People’s Environmental Considerations and Pro- Environmental Behavior In Lithuania.
Frontiers in Psychology, 10(2319), 1–10.
Bechtel, R., Corral-Verdugo, V., Asai, M., & Riesle, A. G. (2006). A Cross‐Cultural Study of Environmental Belief Structures in Usa, Japan, Mexico, and Peru. International Journal of Psychology, 41(2), 145–151.
Dunlap, R. (2008). The New Environmental Paradigm Scale: From Marginality to Worldwide Use. The Journal of Environmental Education, 40(1), 3–18.
Dunlap, R., & Van Liere, K. (1978). The “New Environmental Paradigm”: A Proposed Measuring Instrument and Preliminary Results. Journal of Environmental Education, 9(4), 10–19.
Dunlap, R., Van Liere, K., Mertig, A., & Jones, R.
(2000). Measuring Endorsement of The New Ecological Paradigm: A Revised NEP Scale.
Journal of Social Issues, 56(3), 425–442.
Erdogan, N. (2009). Testing The New Ecological Paradigm Scale: Turkish Case. African Journal of Agricultural Research, 4(10), 1023–
1031.
Inkpen, R., & Baily, B. (2019). Environmental Beliefs and Their Role in Environmental Behaviours of Undergraduate Students.
Journal of Environmental Studies and Sciences, 10, 57–67.
Johnson, C., Bowker, J., & Cordell, H. (2004).
Ethnic Variation in Environmental Belief and Behavior: An Examination of The New Ecological Paradigm in a Social Psychological Context. Environment and Behavior, 36(2), 157–186.
Kaan, S. A. U., Putrawan, I. M., & Miarsyah, M.
(2019). Hubungan antara Paradigma Lingkungan Baru dengan Perilaku Tanggung Jawab Lingkungan Siswa.
Indonesian Journal of Environmental Education and Management, 4(1), 61–73.
Kaiser, F., Oerke, B., & Bogner, F. (2007). Behavior- Based Environmental Attitude:
Development of an Instrument for Adolescents. Journal of Environmental Psychology, 27(3), 242–251.
Katadata. (2020, Maret 9). Kesadaran warga memilah sampah masih rendah.
https://katadata.co.id/
King, L. (2017). The Science of Psychology: An Appreciative View (4th ed.). McGraw-Hill Education.
Liu, S., & Lin, H. (2013). Undergraduate Students’
Ideas About Nature and Human–Nature Relationships: An Empirical Analysis of Environmental Worldviews. Environmental Education Research, 20(3), 412–429.
Ogunbode, C. (2013). The NEP Scale: Measuring Ecological Attitudes/Worldviews in An African Context. Environment, Development and Sustainability: A Multidisciplinary Approach to the Theory and Practice of Sustainable Development, 15(6), 1477–1494.
Palupi, T., & Sawitri, D. (2018, Februari 21). The Importance of Pro-Environmental Behavior in Adolescent. The 2nd International Conference on Energy, Environmental and Information System (ICENIS).
Rasoe, R. (2021). Hubungan pengetahuan tentang lingkungan terhadap perilaku pro lingkungan. Universitas Kristen Krida Wacana.
Reyna, C., Bressan, E., Mola, D., & Belaus, A.
(2018). Validating The Structure of The New Ecological Paradigm Scale among Argentine Citizens Through Different Approaches.
Pensamiento Psicológico, 16(1), 107–118.
Salsabila, K., Putrawan, I., & Sigit, D. (2021).
Hubungan antara Paradigma Lingkungan Baru (New Environmental Paradigm) dan Keinginan Untuk Bertindak (Intention To Act) dengan Perilaku Tanggung Jawab Lingkungan (Responsible Environmental Behavior) Siswa. Indonesian Journal of Environmental Education and Management, 6(1), 51–65.
Schober, P., Boer, C., & Schwarte, L. (2018).
Correlation Coefficients: Appropriate Use and Interpretation. Anesthesia & Analgesia, 126(5), 1763–1768.
State Adolescent Health Resource Center. (2013, Juni 6). Developmental Tasks and Attributes of Late Adolescence/Young Adulthood.
Steg, L., & De Groot, J. (2019). Environmental Psychology: An Introduction (2nd ed.). John Wiley & Sons Ltd.
Stern, P. (2000). Toward a Coherent Theory of Environmentally Significant Behavior.
Journal of Social Issues, 56(3), 407–424.
Thomson, J. (2008). New Ecological Paradigm Survey 2008: Analysis of The NEP Results.
Watson, K., & Halse, C. (2005). Environmental Attitudes of Pre-Service Teachers: A Conceptual and Methodological Dilemma in Cross-Cultural Data Collection. Asia Pacific Education Review, 6, 59–71.
Widhiarso, W. (2010). Pengkategorian data dengan menggunakan statistik hipotetik dan
statistik empirik. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Winter, D. (1996). Ecological Psychology: Healing the Split Between Planet and Self. Lawrence Erlbaum Associates.
Winter, D., & Koger, S. (2004). The Psychology of Environmental Problems (2nd ed.).
Lawrence Erlbaum Associates.