• Tidak ada hasil yang ditemukan

ZUHUD HASAN AL-BASRI ( Kajian Historis Kehidupan Sufi ) SITI YUSNAINI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "ZUHUD HASAN AL-BASRI ( Kajian Historis Kehidupan Sufi ) SITI YUSNAINI"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ZUHUD HASAN AL-BASRI ( Kajian Historis Kehidupan Sufi )

SITI YUSNAINI

Dosen Fakultas Tarbiyah Universitas Serambi Mekkah

ABSTRAK

Kajian tentang “Zuhud Hasan Al-Basri” bertujuan untuk mengetahui bagaimana kehidupan zuhud yang dilakukan para sufi, khususnya Hasan Al—Basri. Zuhud merupakan sikap mental melepaskan diri dari ketergantungan terhadap berbagai kebutuhan duniawi, lebih mementingkan kehidupan akhirat dan keridhaan Allah SWT, berdasarkan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Prinsip hidup zuhud adalah menolak perbudakan harta benda, tidak rakus kepada kemewahan dan kemegahan dunia yang penuh dengan keindahan. Karena itu zuhud merupakan bahagian dari syariat Islam, lahirnya zuhud bermula dari pola hidup Rasulullah SAW. diikuti oleh para sahabat dan diteruskan oleh para tabi’in, seperti Hasan Al-Basri. Kajian ini menggunakan penelitian kepustakaan (library research) untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penulisan, penulis mengambil berbagai literatur, maupun makalah baik yang berkaitan langsung dengan pembahasan maupun tidak langsung. Kemudian penulis melakukan analisa melalui metode deduktif.

Key Word: Zuhud, Hasan Al-Basri.

A. Pendahuluan

Sebelum Rasul menyatakan dirinya sebagai Rasulullah, lebih dahulu bertahun-tahun melatih diri dalam kehidupan rohani. Cara hidup beliau sangat sederhana dari segi makanan, minuman maupun

(2)

berpakaian. Sebaliknya ibadah beliau sangat banyak, melakukan shalat sampai jauh malam dan kadang-kadang menangis dalam melakukan shalat. Disamping itu Rasul selalu bersyukur dan sabar.1

Kehidupan yang demikian beliau anjurkan pula kepada umatnya. Kehidupan Rasulullah tersebut merupakan kehidupan sufi yang murni, yang menjadi intisari kehidupan Islam yang sebenarnya.

Sebagai contoh kehidupan yang murni dan suci itu ditiru dan diteladani oleh para sahabat-sahabatnya, walaupun dalam bentuk kehidupan yang berbeda. Sahabat-sahabat tidak saja memperoleh ajaran-ajaran sufi itu dari kehidupan Rasul yang merupakan suri teladan, tetapi juga ucapan-ucapan Rasul banyak mengandung pelajaran menuju ke arah yang murni tersebut.2

Suatu kenyataan sejarah bahwa adanya perbedaan besar antara hidup sederhana dari Nabi SAW, para sahabat Khulafaur rasyidin, terutama Abu Bakar dan Umar. Muawiyah telah hidup sebagai raja- raja Roma dan Persia dalam kemewahannya. Anaknya Yazid tidak memperdulikan ajaran-ajaran agama. Dalam sejarah dikenal sebagai seorang yang pemabuk. Diantara khalifah-khalifah Bani Umayyah hanya Khalifah Umar Abd Al Aziz lah (717-720 M) yang dikenal sebagai khalifah yang mempunyai sifat takwa dan patuh kepada ajaran-ajaran Islam dan sederhana hidupnya, selainnya hidup dalam kemewahan.3

Khalifah-khalifah Bani Abbasiyah juga demikian, Al-Amin anak Harun Ar Rasyid dikenal dalam sejarah mula-mula sebagai anak

1 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tashawwuf, (Jakarta: Al-Quswa, 1985) hal. 30.

2 Ibid., hal 32.

3 Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002) hal 243.

(3)

khalifah, kemudian sebagai khalifah yang hidup dengan kepribadian yang jauh dari rasa suci, sehingga ibu kandungnya sendiri Zubaidah menyebelah ke pihak Al-Ma’mun ketika antara kedua saudara ini timbul pertikaian tentang siapa yang menjadi khalifah.

Melihat hal-hal seperti demikian, orang-orang yang tidak mau hidup dalam kemewahan dan ingin mempertahankan hidup kesederhanaan seperti di zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, menjauhkan diri dari dunia kemewahan itu. Mereka ini dikenal dengan kaum Zahid.4gerakan hidup mulai nyata kelihatan di Kufah dan Basrah di Iraq. Para Zahid Kufahlah yang pertama sekali memakai wol kasar (suf) sebagai reaksi terhadap pakaian sutra yang dipakai golongan penguasa dan keluarga Bani Umaiyah, seperti Sufyan al- Sauri (w. 135 H), Abu Hasyim 9w.190 H.5

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mencoba mengkaji“Zuhud Hasan Al-Basri (Kajian Historis Kehidupan Sufi)”, yang merupakan seorang yang zahid yang termasyhur dikalangan tabi’in dengan praktek-praktek kezuhudannya.

B. Biografi Hasan Al-Basri

Nama lengkapnya adalah al-Hasan bin Abi al-Hasan Abu Sa’id yang merupakan ulama terkemuka dari generasi tabi’in. Ia lahir di Madinah pada tahun 21 H/642 M, dan meninggal di Basrah pada tahun 110 H/ 728 M. Ia adalah putra Zaid bin Sabit, seorang budak yang tertangkap di Maisan, yang kemudian menjadi sekretaris Nabi

4Zahid adalah orang yang melaksanakan hidup zuhud (orang yang menolak keindahan dunia, hidupnya penuh dengan kesederhanaan).

5 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 65

(4)

Muhammad SAW. Ia memperoleh pendidikan di Basrah. Ia sempat bertemu dengan sahabat-sahabat Nabi, termasuk 70 diantara mereka adalah yang turut serta dalam perang Badar. Ibunya adalah Hamba sahaya Ummu Salamah, isteri Nabi.6

Sampai usia belasan tahun Hasan Al-Basri tinggal di Madinah dan Wadi Al-qur’an (Mekkah). Kemudian bersama orang tuanya pindah ke Basrah, Hasan Al-Basri dapat bergaul dengan banyak sahabat-sahabat Nabi, keikhlasan mereka beragama disamping banyak menimba informasi-informasi tentang Sunnah-sunnah Nabi dari mereka. Sementara ayahnya menjadi kaya raya karena berdagang, ia tekun memperkaya diri dengan ajaran agama sehingga ia dalam usia menjelang 20 tahun telah mulai pula memberikan nasehat-nasehat agama kepada khalayak ramai.7

Hasan Al-Basri tumbuh menjadi seseorang tokoh diantara tokoh-tokoh yang terkemuka pada zamannya karena kesalehan dan keberaniannya, dan ia seorang Zahid yang termasyur. Secara blak- blakan ia membenci sikap kalangan atas yang hidup berfoya-foya.

Smentara teolog-teolog dari kalangan Muktazilah memandang Hasan al-Basri sebagai pendiri mazhabnya Amr bin Ubaud dan Wasil bin A’ta adalah dua diantara murid-muridnya.

Memang banyak pengakuan yang menyebutkan kelebihan dan keutamaan Hasan Al-Basri dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama, seperti yang dikatakan oleh Abu Qatadah: “Bergurulah kepada Syeik ini!

Saya sudah menyaksikan sendiri, tidaklah ada orang tabi’in yang menyerupai

6 Asmaran As, Pengantar Studi….., hal. 265.

7 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, diterjemahkan oleh Harun Nasution, Pn. Jambatan, hal. 305.

(5)

sahabat Nabi, kecuali beliau ini.”8 Kemasyhuran beliau dalam hidup kerohanian telah menjadi perbincangan dalam kitab-kitab tasawuf, seperti Qut al-Qulub karya Abu Thalib al-Makki, Tabaqat al-Kubra karya al-Sya’rani, Hilyah al-Auliya karya Abu Nu’aim, dan lain sebagainya.9

C. Pemikiran Zuhud Hasan Al-Basri

Dasar pemikiran Hasan al-Basri adalah hidup Zuhud terhadap dunia, menolak semua kemewahannya, hanya semata menuju kepada Allah SWT, tawakkal, khauf dan raja’ (mengharap) keridhoan Allah SWT. Janganlah hanya semata-mata takut kepada Allah, tetapi ikutilah ketakutan dengan pengharapan. Takut akan murkaNya, tetapi mengharap akan rahmatNya.10

Diantara ucapannya yang terkenal ialah: “Seorang faqih ialah orang yang bersikap zuhud terhadap kehidupan duniawi, yang tahu terhadap dosanya dan yang selalu beribadah kepada Allah. Dunia adalah tempat orang kerja bagi orang yang disertai perasaan tidak senang dan tidak butuh kepadanya, dan dunia merasa bahagia bersamanya atau dalam menyertainya.

Barang siapa yang menyertainya dengan perasaan ingin memilikinya dan mencintainya, dia akan dibuat menderita oleh dunia serta diantarkan kepada hal-hal yang tidak tertanggungkan oleh kesabarannya.11

Kemudian ucapan-ucapan beliau yang lain, sebagaimana dikutip Prof. Dr. Hamka adalah sebagai berikut:

- “Perasaan takutmu sehingga bertemu dengan hati yang tentram lebih baik dari pada perasaan tentrammu yang kemudian menimbulkan rasa takut.”

8 Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), hal. 76.

9 Asmaran As, Pengantar Studi…….., hal. 266.

10 Hamka, Tasawuf……., hal. 76.

11 Abu al-Wafa’ al-Ganimi al-Taftazani, Madkhal Ila At-Tasawwuf al-Islami, (Dar al-Sagafah li Al-Tiba’ah wa Al-Nasyr, Cairo, 1979), hal. 75.

(6)

- “Dunia adalah negeri tempat beramal. Barang siapa yang bertemu dengan dunia dalam rasa benci kepadanya, dan zuhud akan berbahagialah dia dan memperoleh faedah. Tetapi barang siapa yang tinggal dalam dunia lalu hatinya rindu dan perasaan takut kepadaNya akhirnya dia akan sengsara. Dia akan terbawa kepada suatu masa yang tidak dapat dideritanya.”

- “Perasaan tentang Tafakkur, membawa kita kepada kebaikan dan berusaha mengerjakannya. Menyesal atas perbuatan jahat, membawa kepada meninggalkannya. Barang yang Fana’

walaupun bagaimana banyaknya tidaklah dapat menyamai barang yang baqa’, walaupun sedikit. Awasilah dirimu dari negeri yang cepat datang dan cepat pergi ini dan penuh dengan tipuan.”

- “Dunia ini adalah seorang perempuan janda tua yang telah bungkuk.”

- “Orang yang beriman berduka cita pagi-pagi dan berduka cita di waktu sore. Karena dia hidup diantara dua ketakutan. Takut mengenang dosa yang telah lampau, apakah gerangan balasan yang akan ditimpakan Tuhan. Dan takut memikirkan ajal yang masih tinggal dan bahaya yang sedang mengancam.”

- “Patutlah orang insyaf bahwa mati sedang mengancamnya dan kiamat menagih janjinya.”

- “Banyak berduka cita di dunia memperteguh semangat beramal saleh.”12

12 Hamka, Tasawuf……, hal. 77-78.

(7)

Tujuan zuhud Hasan Al-Basri yang besar itu adalah zuhud beliau yang didasarkan kepada “takut”, karena takut akan siksaan Tuhan dalam neraka. Tetapi Dr. Muhammad Helmi mengatakan bahwa bukan takut karena itu yang menjadi sebab, akan tetapi yang menjadi sebab adalah perasaan dari orang yang berjiwa besar akan kekurangan dan kelebihan diri.

Seperti sabda Nabi: “Orang yang beriman mengenang dosanya, laksana orang yang duduk di sebuah gunung yang besar, senantiasa merasa takut gunung itu akan menimpa dirinya.”13

Itulah sebabnya lebih tepat dikatakan bahwa dasar Zuhud Hasan al-Basri bukanlah takut akan masuk neraka, tetapi takut akan murka Tuhan.

D. Hikmah Zuhud Hasan Al-Basri

Apabila kita ingin melihat hikmah daripada zuhud adalah sangat banyak, diantaranya dapat menjaga kesederhanaan hidup karena dengan hidup sederhana manusia tidak diliputi oleh kemewahan dan perbudakan harta benda dan rela akan apa adanya.

Hidup sederhana ini dalam istilah agama Islam disebut dengan qanaah yang artinya sikap merasa puas dengan apa adanya dari kehidupan materi atau suka menerima yang dibagikan kepadanya.14

Hidup sederhana sangat berkaitan dengan hidup zuhud, namun lebih luas dari qanaah karena bukan hanya tidak menyukai kebendaan bahkan semua kehidupan duniawi, sedangkan qanaah lebih bertitik beratkan pada sikap merasa puas dengan apa adanya

13 Hamka, Tasawuf…..,hal. 78

14 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penterjemah/Penafsir Al-qur’an, 1973), hal. 358.

(8)

dari kehidupan materi. Meskipun demikian sikap kesederhanaan ini selalu direalisasikan dalam seluruh aspek kehidupan.15

Allah menjelaskan dalam firman-Nya surat Al-Qasshas ayat 60, yang artinya sebagai berikut:

“Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, Maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya16

Kehidupan sederhana ini merupakan ajaran langsung yang diamalkan oleh Nabi, bila Nabi telah mengamalkannya, umatnya tentu wajib pula untuk mengikuti karena sudah dijadikan pedoman hidup umat Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadist. Walaupun demikian Nabi tidak melarang orang berusaha dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, hanya saja jangan dipusatkan perhatian penuh waktu sehingga tidak sempat lagi berzikir kepada Allah SWT.

Dengan menyadari hidup sederhana atau qana’ah maka seseorang itu akan tampil dengan penuh percaya diri dan menyadari bahwa berusaha mengendalikan diri terhadap keadaan situasi dan lingkungan. Pengalaman pola hidup sederhana itu bukanlah unsur pemaksaan akan tetapi semata-mata karena kodrat selaku makhluk sosial yang ikut merasakan dan menghayati keadaan nasib orang lain dalam lingkungan.

Orang zuhud itu mempunyai sifat dan sikap menerima dan memadakan saja terhadap rezeki yang diterima dari Allah, maka dengan berzuhud itulah orang itu akan dapat menyelamatkan dirinya dari kejahatan dunia, karena orang zuhud itu tidak hanya

15Hamzah Yacob, Tingkat Ketenangan Dan Kebahagiaan Mukmin (Tasawwuf dan Taqarrub), (Jakarta: CV. Athisa, 1992), hal. 243

16 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta; CV. Toha Putra, 1989), hal. 620.

(9)

mementingkan kepentingan dunia mereka hanya mengingat Allah semata.17

Maka dari kutipan di atas jelaslah bahwa besar manfaat dari cara hidup zuhud, diantaranya adalah:

- Dapat meningkatkan ketakwaan umat Islam, dengan menjalankan perintah-perintah Allah dan menjauhkan larangan-Nya, menjaga jiwa dari perbuatan dosa dan syahwat serta membersihkan diri dari perilaku yang tercela.18 (Q. S. Al- A’raf: 96).19

- Dapat mencapai ketenangan batin, karena dalam kehidupan zuhud tidak dianjurkan bermewah-mewahan. Para zahid tidak suka terbenam dalam kebendaan tetapi mereka lebih suka memperbanyak ibadah kepada Allah dan berzikir kepada-Nya.

Sehingga ketentraman akan dapat dicapainya. (Q. S. Ar-Fa’du:

28).20

- Dapat memperoleh ketahanan dan kemantapan jiwa sehingga jiwanya tidak akan gelisah dengan sebab kehilangan harta benda dan tidak pula bergembira karena memperolehnya. (Q.

S. Al-Hadid : 23). 21

- Dapat menjaga diri agar terhindar dari sifat sombong, karena sikap sombong dan angkuh itu merupakan salah satu sifat tercela yang harus dijauhi, sifat tersebut dapat timbul karena

17 Mahmud Siregar, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Medan: Proyek PPTA IAIN SUMUT, 1982), hal. 133.

18 Mudhar Ahmad, Membina Keimanan Pribadi, (Jakarta: Yayasan Masagung, 1985), hal. 75.

19 Mahmud Yunus, Kamus….., hal. 147.

20Ibid.,hal. 228.

21Mahmud Yunus, Kamus……, hal. 478.

(10)

memperturutkan hawa nafsu serta bermegah-megahan dengan kedudukan dan harta benda dan kekayaan, oleh karena itu sikap seperti ini sangat dilarang oleh Allah. (Q. S. Al- Luqman- ayat 18).22

Menurut Hamzah Yacob, menjelaskan takabur dan sombong termasuk sikap mental yang buruk, dan tercela. Sikap tersebut telah memandang rendah orang lain. Sementara memandang tinggi dan mulia diri sendiri karena sikap takabur itu merusak, maka digolongkan sebagai penyakit rohani.23

E. Penutup

Zuhud adalah suatu sikap untuk melepaskan diri dari ketergantungan kepada kenikmatan, kepuasan dan kehidupan duniawi serta mengurangi keinginan dan kebutuhan materi, mengutamakan kehidupan ukhrawi dan keridhaan Allah SWT. Hidup Zuhud merupakan bagian dari ajaran tasawuf Islam, dengan tujuan untuk mencapai kebaikan dan keselamatan dunia dan akhirat dan kebahagiaan yang hakiki. Sikap zuhud ini lahir bermula dari kehidupan Rasulullah, para sahabat, tabi’in kemudian diteruskan oleh para ulama sufi dan berikutnya tokoh-tokoh zuhud seperti Hasan al- Basri dan penganut sufi yang semasa dengannya.

22 Ibid.,hal. 373.

23Hamzah Yacub, Tingkat……., hal. 125.

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Abu al-Wafa’ al-Ganimi al-Taftazani, Madkhal Ila At-Tasawwuf al-Islami, Dar al-Sagafah li Al-Tiba’ah wa Al-Nasyr, Cairo, 1979

Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf,Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002

Damanhuri, D. (2014). Penelusuran Akar Hadits. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(3), 97-118.

Hamka, Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984

Hamzah Yacob, Tingkat Ketenangan Dan Kebahagiaan Mukmin (tasawwuf dan Taqarrub), Jakarta: CV. Athisa, 1992

Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973

Horowitz, D. (2014). Ethnic Power Sharing: Three Big Problems. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(3), 1-22.

Mahmud Siregar, Pengantar Ilmu Tasawuf, Medan: Proyek PPTA IAIN SUMUT, 1982

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penterjemah/Penafsir Al-qur’an, 1973

Maimunah, M. (2014). Relevansi Metode dan Pendekatan Pendidikan Islam. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(2), 287-300.

Mudhar Ahmad, Mambina Keimanan Pribadi, Jakarta: Yayasan Masagung, 1985

Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tashawwuf, Jakarta: Al-Quswa, 1985

Tabrani ZA. (2009).

Ilmu Pendidikan Islam (antara Tradisional dan Modern). Kuala Lumpur: Al-Jenderami Press.

Tabrani ZA. (2012). Future Life of Islamic Education in Indonesia.

International Journal of Democracy, 18(2), 271–284.

Tabrani ZA. (2013a). Modernisasi Pengembangan Pendidikan Islam (Suatu Telaah Epistemologi Pendidikan). Serambi Tarbawi, 1(1), 65-84.

Tabrani ZA. (2013b). Pengantar Metodologi Studi Islam. Banda Aceh:

(12)

SCAD Independent.

Tabrani ZA. (2014a). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kualitatif.

Yogyakarta: Darussalam Publishing.

Tabrani ZA. (2014b). Buku Ajar Filsafat Umum. Yogyakarta: Darussalam Publishing.

Tabrani ZA. (2014c). Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Qur`an dengan Pendekatan Tafsir Maudhu`i. Serambi Tarbawi, 2(1), 19–

34.

Tabrani ZA. (2014d). Islamic Studies dalam Pendekatan Multidisipliner (Suatu Kajian Gradual Menuju Paradigma Global). Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(2), 211–234.

Tabrani ZA. (2014e). Isu-Isu Kritis dalam Pendidikan Islam Perspektif Pedagogik Kritis. Jurnal Ilmiah Islam Futura, 13(2), 250–270.

https://doi.org/10.22373/jiif.v13i2.75

Referensi

Dokumen terkait