• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN UMUM ṢIGHĀT AKAD NIKAH

A. Ṣighāt Akad

1. Pengertian ṣighāt akad nikah

Ṣighāt akad nikah meliputi ijab dan kabul. Ijab secara umum diartikan sebagai apa yang muncul pertama kali dari salah satu pelaku akad, sedangkan kabul adalah apa yang muncul berikutnya dari pelaku akad kedua sebagai tanggapan atas ijab.1 Dalam konteks pernikahan, ijab difahami sebagai ucapan wali atau yang mewakili untuk menikahkan perempuan (mempelai perempuan) yang berada di bawah perwaliannya, baik berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan adanya keinginan terjadinya akad. Sedangkan kabul adalah pernyataan yang datang dari pihak kedua baik berupa kata-kata, tulisan, atau isyarat yang mengungkapkan persetujuan dan riḍa-nya.2

Ijab tak selamanya muncul dari pihak perempuan, jika pihak laki-laki mengucapkan pertama kepada wali perempuan; “aku nikahi putrimu atau nikahkan aku dengan putrimu bernama Fulanah”, kemudian wali menjawab: “Iya, aku nikahkan kamu dengan putriku,

1

Abdul Karim Zaidan, al-Madkhal li Dirāsah asy-Syarī‟ah al-Islāmiyah, Beirut: Mu`assasah ar-Risālah, Cet. Ke-14, 1418 H/1996 M, hlm. 242.

2

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islami wa Adillatuhu, Damaskus: Dār Al-Fikr, Cet Ke-2, Juz VII, 1405 H/1985 M, hlm. 37. Abdurrahman al-Jaziry, al-Fiqh „ala Maẓāhib al-Arba‟ah, Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyah, Juz IV, Cet. Ke-2, 1424 H/2003 M, hlm. 16.

atau aku terima”, maka ucapan yang pertama tersebut dinamakan ijab dan ucapan yang kedua dinamakan kabul. Dengan kata lain, ijab adalah bentuk ungkapan baik yang memberikan arti akad atau transaksi yang jatuh pada urutan pertama, sedangkan kabul adalah bentuk ungkapan untuk menjawab yang jatuh pada pihak kedua dari pihak mana saja. 3

2. Syarat ṣighāt akad nikah

Ulama telah bersepakat dalam menjadikan ṣighāt akad nikah (ijab dan kabul) sebagai rukun dalam perkawinan.4 Para ulama fiqih menetapkan beberapa persyaratan dalam ijab kabul, yaitu:

a. Setiap pelaku akad mengungkapkan keinginannya yang sah untuk mewujudkan akad. Sudah barang tentu dalam ijab dan kabul disyaratkan adanya kejelasan indikasi dan kehendak masing-masing dari dua pelaku akad yang berorientasi mewujudkan akad. Jika pada indikasi ini terdapat keraguan, maka akad tidak sah. Secara individu pelaku akad juga harus mengerti apa yang dikatakan. Dengan demikian dia mengungkapkan kebenaran mengenai keinginannya

b. Kesesuaian ijab dengan kabul. Dimana ijab dan kabul itu dimaksudkan dengan makna yang sama dalam seluruh

3 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas,

Al-Usrah Wa Ahkāmuhā Fi At-Tasyrī‟ Al-Islāmy, terj. Abdul Majid Khon, Jakarta: Amzah, Cet. Ke-2, 2011, hlm. 59-60.

4

Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami..., Juz VII, hlm. 36. Abdurrahman al-Jaziry, al-Fiqh „ala Maẓāhib al-Arba‟ah, Juz IV, hlm. 16.

25 rinciannya, baik kesesuaian ini eksplisit atau implisit. Seandainya seorang perempuan berkata kepada seorang lelaki: “Aku menikahimu dengan mahar seribu dinar”, lalu si lelaki berkata: “Aku terima nikahmu dengan mahar dua ribu dinar”, maka kesesuaian di sini bersifat implisit. Karena penerimaan perempuan terhadap pernikahan dengan mahar seribu dinar itu adalah penerimaan implisit yang lebih utama untuk menikah dengan mahar dua ribu dinar, karena maksud dari kesesuain kabul dan ijab adalah tercapainya kerelaan akad antar dua pihak. Jika ketidaksesuaian tidak merugikan pihak lain, tetapi justru memberikan kebaikan, maka akad dinilai sah dan ketidaksesuaian ini tidak merugikan. Jika merugikan akad itu tidak sah.

c. Setiap pelaku akad mengetahui hal yang keluar dari pihak lain. Disyaratkan setaip pelaku akad mengetahui dan memahami ijab dan kabul yang keluar dari pihak lain, karena pengetahuan ini adalah dasar pertemuan keinginan keduanya. d. Bersambungnya kabul dengan ijab dalam majelis akad. Tidak

ada perselisihan di kalangan fuqaha‟ bahwa bersambungnya kabul dengan ijab merupakan suatu keharusan untuk terwujudnya akad.5 Yaitu munculnya kedua ijab dan kabul

5

Namun fuqaha berbeda pendapat mengenai maksud “bersambung”. Menurut syafi‟i, maksud “bersambung” itu adalah munculnya qabul segera setelah ijab, karena ijab tidak ada dalam jangka waktu lama. Jika muncul qabul tetapi tidak segera disambut dengan ijab, maka akad tidak sah. Namun dengan menganggap hal

dalam satu majelis akad tanpa dipisahkan oleh hal yang menunjukkan penolakan salah satu pelaku akad untuk melakukan akad. Majelis akad, hanya berkaitan dengan dua pelaku akad yang hadir. Adapun dalam kaitan dua pelaku akad yang berpisah tempat, jika keduanya melakukan akad dengan surat atau tulisan, seperti salah satunya mengirim utusan dengan ijab kepada pihak lain, atau tulisan, maka majelis akad tidak menjadi tempat pengiriman utusan atau tulisan, melainkan utusan menyampaikan surat kepada pihak lain atau penerimaa surat memebaca tulisan itu. Dan penerima surat harus menyampaikan ijab di majelis akad. Jika kabul keluar darinya sebelum majelis berubah, maka akad sah. Jika tidak, maka tidak sah. 6

tersebut menutup pintu akad, maka ijab dinilai berlaku secara hukum karena darurat, sedangkan hak darurat menuntut segera, sehingga qabul wajib dimunculkan segera setelah ijab. Menurut selain mazhab hanafi, sesungguhnya hak darurat tidak mengaruskan segera. Karena orang yang ditawari ijab yang memerlukan perenungan dan berfikir hingga Ia dapat menolak atau menerima, maka mengaruskan qabul dengan segera dapat menyulitkannya sedangkan kesulitan itu harus dihilangkan. Namun dari sisi lain, Ia tidak boleh mengakhirkan jawaban kepada penyampain ijab dengan menerima atau menolak, karena hal ini merugikan penyampain ijab, sedangkan mudharat harus dihilangkan karena adanya kaidah “Tidak berbuat mudharat dan tidak membalas dengan mudharat”. Lihat Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari‟ah, Jakarta: Robbani Press, cet. 1. 2008, hlm. 368

6

27