• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab ini penulis mencoba menarik kesimpulan dan mengemukakan saran-saran yang berhubungan dan topik pembahasan.

6.1Kesimpulan

Setelah dilakukan pembahasan di bab empat dan bab lima, maka penulis dapat menarik kesimpulan, di antaranya sebagai berikut:

1. Tata cara tradisi sangjit di daerah tersebut telah banyak mengalami perubahan dan lebih mengutamakan kemudahan dan tidak mau mempersulit untuk menjalani tradisi sangjit tersebut, bahkan banyak masyarakat Tionghoa di kota Medan lebih menggunakan barang- barang seserahan sangjit yang berbentuk umum atau universal.

2. Dari wawancara dan pengamatan yang di lakukan, penulis mempunyai kesimpulan bahwa banyak dari masyarakat Tionghoa di kota Medan tidak lagi memahami tradisi seserahan suku Hokkian dengan benar dan lebih memilih bentuk seserhan sangjit yang umum atau berbentuk universal, meskipun demikian masih ada yang mengikuti dengan tata cara tradisi sangjit suku Hokkian dengan benar. Salah satu akibat yang muncul dari keadaan diatas adalah timbulnya sikap yang ingin lebih mempermudah dalam melakukan tata cara

tradisi sangjit ini dengan hanya menyediakan hantaran seserahan yang berbentuk umum atau universal.

1.2 Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan yang di uraikan diatas, maka penulis mgajukan beberapa saran yang mengacu pada kesimpulan serta penemuan penelitian di lapangan. Saran berikut ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi berbagai pihak. Adapun saran yang di maksud:

1. Dapat melestarikan budaya bangsa agar tidak punah, adanya pelajaran muatan lokal mengenai Ilmu Budaya di setiap jenjang pendidikan. Dan mengajarkan kepada generasi muda agar tidak melupakan tradisi turun temurun yang telah diwarisi oleh nenek moyang terdahulu.

2. Dalam bidang industri dan pariwisata, meyakinkan pengusaha-pengusaha lokal maupun manca negara untuk mau menanamkan modalnya di negeri ini.

3. Dalam bidang seni, mengadakan atau mengikuti festifal budaya, guna lebih memperkenalkan kebudayaan apa saja yang ada di indonesia, baik itu festifal musik ataupun alat musik serta tarian daerah.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI

2.1 Konsep

Menurut Bahri (2008:30) pengertian konsep adalah satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang mempunyai ciri yang sama. Orang yang memiliki konsep mampu mengadakan abstraksi terhadap objek-objek yang dihadapi, sehingga objek-objek ditempatkan dalam golongan tertentu. Objek-objek dihadirkan dalam kesadaran orang dalam bentuk representasi mental tak berperaga. Konsep sendiri pun dapat dilambangkan dalam bentuk suatu kata.

Konsep merupakan definisi dari apa yang kita amati, konsep menentukan variable- variabel mana yang kita inginkan, untuk menentukan hubungan empiris (koentjaraningrat 1991: 21).

Oleh karena itu konsep dari penelitian ini adalah mengenai: 2.1.1 Tradisi

Berdasarkan kepada keperdayaan terhadap nenek moyang dan leluhar yang mendahului. Tradisi berasal dari kata “traditium” pada dasarnya berarti segala sesuatu yang di warisi dari masa lalu. Tradisi merupakan hasil cipta dan karya manusia objek material, kepercayaan, khayalan, kejadian, atau lembaga yang di wariskan dari sesuatu generasi ke generasi berikutnya.seperti misalnya adat-istiadat,kesenian dan properti yang digunakan.

Sesuatu yang di wariskan tidak berarti harus diterima, dihargai, diasimilasi atau disimpan sampai mati. Bagi para pewaris setiap apa yang mereka warisi tidak dilihat sebagai “ tradisi ”. tradisi yang diterima akan menjadi unsur yang hidup didalam kehidupan para pendukungnya. Ia menjadi bagian dari masa lalu yang di pertahankan sampai sekarang dan mempunyai kedudukan yang sama dengan inovasi- inovasi baru. Tradisi merupakan suatu gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilakukan secara turun-temurun dimulai dari nenek moyang. Tradisi yang telah membudaya akan menjadi sumber dalam berakhlak dan berbudi pekerti seseorang. Tradisi atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah. Selain itu, tradisi juga dapat diartikan sebagai kebiasaan bersama dalam masyarakat manusia, yang secara otomatis akan mempengaruhi aksi dan reaksi dalam kehidupan sehari-hari para anggota masyarakat itu. ( www. Wordpress.com/pengertiantradisi)

2.1.2 Tradisi Sangjit

Sangjit adalah salah satu prosesi pernikahan dalam budaya Tionghoa. Sangjit dalam bahasa Indonesia berarti proses seserahan atau proses kelanjutan lamaran dari pihak mempelai pria (dengan orang tua, saudara dan teman dekatnya yang belum menikah)

dengan membawa “persembahan” ke pihak mempelai wanita. Acara sangjit dilakukan setelah prosesi lamaran dan sebelum prosesi pernikahan biasanya antara 1 bulan atau 1 minggu sebelum acara pernikahan secara resmi. Waktu pelaksanaan prosesi sangjit umumnya berlangsung pada siang hari, antara pukul 11.00-13.00 WIB.

Berikut beberapa barang seserahan pernikahan dalam adat Tionghoa, Gambar 01.barang-barang seserahan (sangjit)

Sumber: www.sangjit.com

(1) Uang susu atau ang pao dan uang pesta. Keduanya dimasukkan dalam amplop merah. Umumnya pihak mempelai wanita akan mengambil seluruh uang susu yang diberikan sebagai tanda terima kasih calon pengantin pria kepada orang tua yang telah membesarkan calon pengantin wanita dengan baik. Sedangkan uang pesta umumnya hanya

diambil sebagian, sisanya dikembalikan ke pihak mempelai pria. Apabila pihak wanita mengambil semua uang pesta, artinya pesta pernikahan nantinya akan dibiayai seluruhnya oleh pihak wanita, (2) pakaian atau kain untuk calon mempelai wanita yang bermakna bahwa calon mempelai pria akan memenuhi seluruh kebutuhan sandang calon mempelai wanita di masa mendatang. (3) 3 nampan masing-masing berisi 18 buah (apel, jeruk, pir atau buah lainnya yang manis) bermakna sebagai tanda kedamaian, kesejahteraan dan rejeki. Pihak mempelai wanita mengambil sebagian saja dan sisanya dikembalikan.

(4) 2 pasang lilin besar berwarna merah yang diikat dengan pita merah sebagai tanda perlindungan untuk menghindari pengaruh negative. Umumnya lilin bergambar naga dan burung hong. Pihak mempelai wanita mengambil sepasang lilin tersebut. (5) 1 pasang kaki babi atau dapat diganti dengan makanan kalengan serta 6 kaleng kacang polong. Pihak mempelai wanita mengambil sebagian saja, (6) 1 nampan berisi 18 potong kue mangkok warna merah yang melambangkan keberuntungan dan kelimpahan. Pihak mempelai wanita mengambil sebagian. (7) 1 nampan berisi 2 botol arak atau sampanye. Pihak mempelai wanita mengambil seluruh botol tersebut dan menukarnya dengan 2 botol sirup merah yang di kembalikan ke pihak mempelai pria.

Pada akhir kunjungan, barang-barang seserahan yang telah diambil sebagian diserahkan kembali pada para pembawa seserahan. Dan sebagai balasannya, keluarga wanita pun memberikan seserahan pada keluarga pria berupa manisan (seperti permen/coklat) dan berbagai keperluan pria (baju, baju dalam, sapu tangan. Wakil keluarga

wanita juga memberikan ang pao ke setiap pembawa seserahan yang biasanya terdiri dari para gadis/pemuda yang belum menikah tersebut (ang pao diberikan dengan harapan agar enteng jodoh). Jumlahnya sekitar Rp. 20.000 – Rp.40.000,- tidak boleh lebih atau kurang, arti dari memberikan ang pao adalah memberikan kemakmuran kepada keluarga.

2.1.3 Etnis Hokkian

Orang Hokkian (Hanzi: 福建人, pinyin: fujian ren) adalah penduduk yang berasal dari provinsi Fujian yang terletak di bagian tenggara-selatan China. Banyak orang Hokkian menjadi perantau dan tinggal di berbagai negara, terutama di Asia Tenggara. Orang Hokkian juga dikenal dengan sebutan orang Minnan (閩南) atau orang Hok-lo (福佬). Suku Hokkian merupakan salah satu mayoritas populasi orang Tionghoa di Indonesia.Bahasa Hokkian (Hanzi 闽 语, pinyin minnan yu) yang dikenal sebenarnya adalah dialek Minnan Selatan (Min-nan) yang merupakan bagian dari bahasa Han. Dialek ini terutama digunakan secara luas di provinsi Fujian (Hokkian), Taiwan, bagian utara propinsi Guangdong, dan di Asia Tenggara, di mana konsentrasi Tionghoa perantauan adalah mayoritas berasal dari provinsi Fujian. Jumlah penutur bahasa Hokkian sendiri diperkirakan berjumlah 50 juta orang di seluruh dunia. Orang Hokkien di Indonesia sendiri terkonsentrasi di daerah Sumatera Utara, Riau (Pekan Baru), Sumatera Barat (Padang), Jambi, Sumatera Selatan (Palembang), Bengkulu, Jawa, Bali, Kalimantan (Banjarmasin, Kutai), Sulawesi (Makassar, Kendari, Manado) dan Ambon. (sumber: www.tionghoa. info.com)

2.1.4 Tradisi Sangjit Pada Etnis Hokkian Di Kota Medan

Seringkali, ritual pernikahan mempunyai sedikit perbedaan pada setiap suku. Seperti halnya Indonesia yang mempunyai banyak suku, China pun mempunyai asal leluhur yang berbeda-beda. Secara garis besar, isi hantaran para pengantin China biasanya sama. setiap hantaran seserahan, tidak peduli apapun sukunya, wajib menyertakan beberapa batang lilin berukir naga dan burung phoenix, yang merupakan symbol keharmonisan dalam rumah tangga. Sedangkan isi hantaran lain mengikuti peraturan tradisional suku masing-masing. Selain lilin naga dan burung phoenix tadi, ada beberapa item yang harus disediakan calon mempelai pria dalam jumlah yang sudah ditentukan seperti pakaian untuk mempelai wanita, kaki babi atau olahan daging babi yang berbentuk olahan kaleng, arak, buah-buahan.

Isi hantaran yang harus mempunyai ketetapan jumlah tersebut diantaranya adalah 12 butir buah jeruk, 12 atau 18 butir apel, beberapa butir kurma merah, kaki-kaki babi 6 buah. Dao Mi atau padi yang masih utuh lengkap dengan batang dan daunnya, buah pisang dan biji kacang hijau, kacang merah, kacang hitam, kacang kuning,. kacang-kacangan ini harus ditanam 12 hari setelah upacara seserahan ini. Kacang-kacangan ini melambangkan kemakmuran, kemajuan, dan pengabdian keluarga baru tersebut. Setelah item-item tersebut terpenuhi, pihak pengantin peria juga harus menyertakan Pin Jin, atau yang harga pengantin. Pin Jin ini merupakan sejumlah uang yang akan diserahkan kepada orang tua

sang mempelai wanita, yang pada dasarnya uang tersebut hanya diambil sebagian saja dan tidak di tentukan jumlahnya.

2.2 Landasan Teori :

Landasan teori yang berhubungan dengan permasalahan penelitian yang penulis gunakan adalah teori upacara dan teori Struktural Fungsional. Teori Struktural Fungsional digunakan untuk mengkaji sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan.. sedangkan teori upacara digunakan untuk mendeskripsikan upacara tradisi sangjit tersebut. Dimulai dari tempat upacara, saat upacara, benda-benda dan alat upacara dan orang yang melakukan upacara dan memimpin upacara. Namun untuk memperjelas pemahaman konseptual, maka kedua teori ini penulis uraikan sebagai berikut. 2.2.1 Teori Struktural Fungsional.

Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengalaman. Tapi teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1973: 10). Teori adalah pendapat yg didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi.

Untuk melihat fungsi makna tradisi Sangjit pada suku Hokkian penulis menggunakan teori Struktural fungsional. Teori Struktural Fungsionalisme adalah sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi dan antropologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan.

Fungsionalisme menafsirkan masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen- elemen konstituennya; terutama norma, adat, tradisi dan institusi. Sebuah analogi umum yang dipopulerkan Herbert Spencer menampilkan bagian-bagian masyarakat ini sebagai "organ" yang bekerja demi berfungsinya seluruh "badan" secara wajar. Dalam arti paling mendasar, istilah ini menekankan "upaya untuk menghubungkan, sebisa mungkin, dengan setiap fitur, adat, atau praktik, dampaknya terhadap berfungsinya suatu sistem yang stabil dan kohesif." Bagi Talcott Parsons, "fungsionalisme struktural" mendeskripsikan suatu tahap tertentu dalam pengembangan metodologis ilmu sosial, bukan sebuah mazhab pemikiran

2.2.2 Teori Upacara

Teori dapat digunakan sebagai landasan kerangka berpikir dalam membahas permasalahan. Untuk itu penulis mencoba mengambil beberapa teori yang di anggap perlu sebagi refrensi atau acuan dalam penulisan skripsi ini. Untuk mendeskripsikan upacara perkawinan pada penelitian ini penulis menggunakan teori koentjaraningrat (1981 :241) yang menyatakan setiap upacara keagamaan dapat dibagi dalam empat komponen yaitu:

1. Tempat upacara 2. Saat upacara

3. Benda-benda dan alat upacra, dan

2.3 Tinjauan Pustaka :

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:1731) tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat (sesudah menyelidiki, mempelajari, dsb). Sedangkan pustaka adalah kitab, buku, Primbon (KBBI,2008:1253) Dalam menyelesaikan penelitian ini dibutuhkan keputusan yang relevan karena hasil dari satu karya ilmiah harus bisa dipertanggung jawabkan dan harus memiliki data-data yang kuat dan memiliki hubungan dengan yang di teliti.

1. Habibul Ummi, Sistem Upacara Adat Perkawinan Suku Hokkian Di Kota Medan (2011) skripsi ini menuliskan tentang bagaimana sistem upacara adat perkawinan suku Hokkian di Medan, skripsi ini juga menjelaskan tentang undangan perkawinan etnis Hokkian, ucapan terimakasih perkawinan, tata cara pelaksanaan perkawinan sampai dengan acara lamaran. Skripsi diatas menjadi refrensi bagi penulis untuk menjadi bahan perbandingan di skripsi ini, perbandingannya dengan skripsi ini adalah skripsi diatas menjelaskan tentang bagaimana sistem upacara adat perkawinan suku Hokkian di kota Medan dan tata cara pelaksanaan perkawinan sampai dengan acara lamaran. Sedangkan skripsi ini menjelaskan tata cara tradisi sangjit nya saja yang meliputi jenis-jenis hantarannya dan makna dari setiap hantaran yang diberikan ke pada mempelai wanita secara spesifik dan benar.

2. Dra. Lucia Herlinda Tansil (1985) dalam penelitian karya ilmia yang berjudul “Sistem Kekerabatan Etnis Tionghoa Di Ujung Pandang”. Penelitian ini membahas tentang sistem

kekerabatan etnis Tionghoa dengan menggunakan teori kebudayaan. Penelitian karya ilmiah ini sangat membantu penulis dalam menemukan bahan atau refrensi tentang kekerabatan etnik Tionghoa dan fungsi kekerabatan dalam pelaksanaan tradisi sangjit. 3. Rafika Ayu, jurnal (2010) Makna Mahar (jeulamee) Dalam Penghargaan Keluarga Istri Pada Sistem Perkawinan Suku Aceh, Jurnal ini menjelaskan dalm adat perkawinan pada masyarakat aceh harus melalui tahap pemberian mahar yang dilakukan melalui pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan bagi perempuan aceh, mahar sebuah harga diri yang dimiliki serta mertua laki-laki wajib pemberian mahar tersebut pada kaum perempuan. (didalam perkawinan Etnik Hokkian, mahar juga merupakan satu bagian yang sangat dan amat penting didalam perkawinan karena untuk melamar gadis Hokkian harus di sediakan mahar). Jadi dari Jurnal tersebut dapat membantu penulis untuk menjadikan sebagai perbandingan dan menjadi refrensi penulis.

Dari jurnal dan skripsi di atas, penulis jadikan sebagai refrensi di skripsi ini agar tidak terjadi kesaman. Adapun perbedaan dengan skripsi ini adalah penulis hanya fokus meneliti kepada upacara tradisi sangjit saja yang mana di antaranya terdapat bagaimana tata cara sangjit yang benar, barang-barang seserahan sangjit dan makna dari setiap barang yang di serahkan kepada pihak mempelai wanita, sedangkan dari makalah dan skripsi di atas lebis menjelaskan pernikahan suku Tionghoa secara gelobal.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang Masalah

Budaya secara harfiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (Soerjanto Poespowardojo 1993). Selain itu menurut istilah Kebudayaan merupakan suatu yang agung dan mahal, tentu saja karena ia tercipta dari hasil rasa, karya, karsa, dan cipta yang semuanya merupakan sifat yang hanya ada pada manusia.Tak ada mahluk lain yang memiliki anugrah itu sehingga ia merupakan sesuatuyang agung dan mahal.

Menurut Koentjaraningrat(1996: 74) kebudayaan dibedakan sesuai dengan 4 wujud, yang secara simbolis dapat di gambrkan menjadi (i) nilai-nilai budaya , (ii) sistem budaya, (iii) sistem sosial, dan (iv) kebudayaan fisik.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan yaitu sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup,

organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Di Indonesia sendiri terdapat banyak beranekaragam kebudayaan, yang setiap kebudayaan menjadi bagian dari etnis bangsa atau sub etnis bangsa tertentu. Kemajemukan kebudayaan itu sendiri tentu melahirkan orientasi yang majemuk pula, salah satu fungsi kebudayaan bagi masyarakat adalah sumber nilai yang menjadi objek orientasi. Bangsa Indonesia memiliki banyak suku bangsa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing suku bangsa tersebut memiliki adat istiadat dan kebudayaan yang berbeda satu sama lain, salah satunya etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa merupakan etnis perantauan yang datang dari negri China dan masuk ke Indonesia melalui jalur perdagangan pada abad ke-16 yang akhirnya menetap dan tinggal di Indonesia, meliputi daerah pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Etnis Tionghoa di Indonesia adalah masyarakat patrilineal yang terdiri dari atas marga atau suku yang tidak terkait secara geometris dan teritorial yang selanjutnya telah menjadi satu dengan suku- suku lainnya di Indonesia.

Budaya Tionghoa di Indonesia adalah sebagian dari kebudayaan China. Bentuk-bentuk kebudayaan Tionghoa ini antara lain yaitu; kesusastraan, pengobatan tradisional, hari raya dan pesta rakyat (festival). Etnis Tionghoa merupakan masyarakat yang dalam kehidupannya memegang dan menjunjung adat-istiadat, satu di antaranya adalah upacara pernikahan.

Di Sumatera Utara orang-orang Cina lebih suka disebut dengan orang Tionghoa, yang menunjukkan makna kultural dibandingkan dengan penyebutan orang China, yang lebih menunjukkan makna geografis. Namun, dalam kehidupan sehari-hari kedua istilah ini sama-sama dipergunakan. Sementara bahasa yang umum digunakan adalah bahasa suku Hokkian bukan bahasa Mandarin. Namun kedua bahasa itu juga dipraktikkan dan diajarkan kepada generasi-generasi Tionghoa yang lebih muda. Dari kelima suku Tionghoa yang ada seperti Hokkian, Hakka, Kanton, Tiochiu dan Hainan mayoritas hanya tiga suku yang dominan terdapat di kota Medan yaitu Hokkian, Tiochu dan Hakka. Dan adapun bahasa yang di gunakan etnis Tionghoa di kota Medan adalah bahasa Hokkian, meskipun ada lima suku etnis Tionghoa di kota Medan tetapi bahasa yang mereka gunakan sehari-hari adalah bahasa Hokkian.(sumber:Halim LO)

Para imigran Tionghoa yang tersebar ke Indonesia dimulai dari abad ke-16 sampai petengahan abad ke-19, adalah etnis Hokkian yang berasal dari propinsi Fukien bagian selatan. Daerah tersebut merupakan daerah yang sangat penting dalam pertumbuhan perdagangan orang-orang cina kesebrang selatan. Kepandaian berdagang ini yang ada dalam budaya etnis Hokkian telah terendap lamanya dan masih tanpak jelas pada orang Tionghoa di Indonesia. Dari tahun ke tahun orang hokkian di kota Medan terus bertambah, menurut harian Medan Bisnis, hingga saat ini sesuai dengan data yang di keluarkan badan pusat statistic (BPS) Sumatera Utara, jumlah masyarakat Tionghoa di Medan sekitar 202.839 jiwa (sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Tahun Baru Imlek)

Etnis Tionghoa di kota Medan mereka mempunyai suatu upacara tradisi dalam pernikahan yaitu tradisi Seserahan pernikahan adat Tionghoa yang dikenal dengan sebutan sangjit. Sangjit merupakan proses kelanjutan setelah lamaran dan sebelum pernikahan, berupa persembahan atau hantaran pernikahan sejumlah barang dari pihak mempelai pria kepada pihak mempelai wanita. Hal yang menarik adalah makna yang terkandung dari cara pihak wanita menerima seserahan pernikahan tersebut . Apabila pihak wanita menerima seluruh barang-barang dalam seserahan itu, maka tandanya pihak wanita menyerahkan calon mempelai wanita kepada pihak laki-laki sepenuhnya dan tidak ikut campur lagi atas kehidupan rumah tangga pengantin wanita. Namun apabila barang-barang seserahan pernikahan dikembalikan sebagian, berarti pihak keluarga wanita masih berhak untuk mencampuri urusan keluarga pengantin di masa yang akan datang. Secara harfiah, Sangjit dalam bahasa Indonesia berarti proses seserahan atau proses kelanjutan lamaran dari pihak mempelai pria dengan membawa persembahan ke pihak wanita. Prosesi ini biasanya dihadiri rombongan pria yang terdiri dari keluarga besar, saudara dari orang tua dan sepupu atau teman-teman dekat jika dibutuhkan, Sangjit biasanya diadakan antara 1 bulan atau 1 minggu sebelum acara resepsi pernikahan dan berlangsung siang hari antara jam 11.00 sampai dengan 13.00 WIB dilanjutkan dengan makan siang. Selain etnis Hokkian, di kota Medan juga terdapat beberapa etnis lain seperti Tiochiu,hakka dan kanton dari beberapa etnis tersebut mereka juga mempunyai tradisi lamaran atau sangjit sama halnya juga seperti etnis hokkian, tetapi dari setiap suku tersebut cara melakukan tradisi sangjit sama saja,

tetapi terdapat perbedaan di setiap jenis-jenis hantaran yang di berikan kepada mempelai wanita. Pjenis erbedaan itu terutama terlihat dari kue nya, jenis kue itu untuk di medan tidak di temukan lagi perbedaannya sehingga dari hasil wawancara di ketahui bahwa perbedaan ini juga tidak terlihat lagi untuk suku apapun di etnis Tionghoa.

Disini penulis akan membahas tata cara tradisi sangjit pada suku Hokkian di kota Medan, sesuai dengan judul yang penulis angkat yaitu: “ Tata Cara Tradisi Sangjit Pada suku Hokkian di kota Medan” di mulai dari tata cara melakukan tradisi sangjit sampai barang-barang seserahan yang akan di bawa pada saat melakukan tradisi sangjit dan makna

Dokumen terkait