BAB III METODE PENELITIAN
3.4 Teknik Analisis Data
Pada penelitian ini teknik analisis data yang digunakan adalah dengan mengunakan teknik deskrptif kualitatif. Analisis kualitatif juga termaksud ke dalam metode deskriptif karena bersifat memaparkan, memberikan, menganalisis, dan menafsirkan.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode analisis data model Miles
& Huberman. Miles & Huberman (dalam Sugiono, 2012), mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh.
Aktivitas dalam analisis data, yaitu:
a. Reduksi Data
Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data mentah atau data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Dengan kata lain proses reduksi data ini dilakukan oleh peneliti secara terus menerus saat melakukan penelitian untuk menghasilkan data sebanyak mungkin.
b. Penyajian Data
Penyajian data adalah penyusunan informasi yang kompleks ke dalam suatu bentuk yang sistematis, sehingga menjadi lebih selektif dan sederhana serta memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan data dan pengambilan tindakan. Dengan proses penyajian data ini peneliti telah siap dengan data yang telah disederhanakan dan menghasilkan informasi yang sistematis.
c. Simpulan
Simpulan merupakan tahap akhir dalam proses analisa data. Pada bagian ini, peneliti mengutarakan simpulan dari data-data yang telah diperoleh dari analisis. Dengan adanya simpulan, penelitian akan terasa sempurna karena data yang dihasilkan benar-benar valid atau maksimal.
BAB IV
UNSUR INTRINSIK NOVEL TO LIVE《活着》 KARYA YU HUA (余华): ANALISIS STRUKTURAL
Bab ini berisi tentang unsur-unsur intrinsik novel berdasarkan pendekatan struktural yaitu: tema, alur, latar, penokohan, dan sudut pandang yang terdapat dalam novel To Livekarya Yu Hua.
4.1 Analisis Unsur Intrinsik
Pada sub bab ini, penulis menganalisis unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam sebuah novel. Pertama-tama penulis menganalisis tentang tema dalam novel To Live, kemudian penulis melanjutkan menganalisis alur, latar, penokohan, dan sudut pandang. Berikut ini adalah analisis unsur intrinsik dalam novel To Live.
4.1.4 Tema
Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita. Tema berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya rekaan yang diciptakan pengarang. Tema merupakan kaitan hubungan antara makna dengan tujuan pemaparan prosa rekaan oleh pengarangnya (Aminudin dalam Siswanto, 2008:161).
Tema utama yang terdapat pada novel To Live adalah tentang perjuangan hidup. Dalam novel To Live digambarkan bagaimana kisah Fugui dan keluarganya bertahan hidup di tengah kekejaman perang saudara, absurditas Revolusi Kebudayaan, hingga bencana kelaparan yang melanda Cina saat itu.
Saat terjadi perang saudara di Cina, Fugui terpaksa bergabung dengan Tentara nasionalis untuk ikut berperang. Untuk bertahan hidup di tengah peperangan, Fugui dan Tentara Nasionalis yang lain harus selalu berebutan makanan yang dilemparkan dari pesawat. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
”...Pernah aku lagi berlari berebut makanan, orang yang di sebelahku tiba-tiba saja jatuh. Aku kira dia pingsan karena kelaparan, ketika kutoleh ternyata separuh kepalanya sudah hancur.
Aku ketakutan sampai lututku lemas dan nyaris ambruk. Rebutan roti itu malah lebih sulit daripada rebutan beras....” (Yu Hua, 1993:65).
Pada masa gerakan Revolusi Komunis, semua tanah bahkan wajan milik warga harus diserahkan kepada Komune. Walaupun awalnya semua warga dapat menikmati makanan yang dikumpulkan dari seluruh warga, namun perlahan stok makanan habis dan bencana kelaparan pun datang yang mengakibatkan semua warga saling berebut makanan untuk dapat bertahan hidup. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
”...Tapi orang kalau sudah lapar, apapun bisa dilakukan. Jelas dia tahu Fengxia berhasil menemukan satu ketela, Wang Si malah memperdaya Fengxia yang tidak bisa bicara. Saat Fengxia sedang mengusap lumpur pada kulit ketela dengan bajunya, Wang Si menerjang dan merebut ketela itu....” (Yu Hua, 1993:128).
Selain kutipan di atas, yang menjelaskan hal serupa adalah pada kutipan berikut: ”Sekantung beras di masa itu bagaikan santapan dari negeri kahyangan.
Sekeluarga sudah dua bulan tidak mengecap rasa nasi. Kegembiraanku di saat itu benar-benar tidak terlukiskan....” (Yu Hua, 1993:132).
Ketika Revolusi Kebudayaan terjadi, bencana kelaparan semakin parah di Cina sehingga setiap hari selalu ada korban jiwa yang mati akibat berebut makanan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
”Ketika ingar-bingar Revolusi Kebudayaan melanda kota, kacau-balau jalanan dipenuhi manusia. Setiap hari mereka berkelahi, selalu ada orang yang dipukuli sampai mati. Orang dusun tidak berani lagi pergi ke kota....” (Yu Hua, 1993:156).
4.1.2 Plot (Alur)
Alur menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 1995:113) adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab, akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra.
Alur yang terdapat dalam novel To Live adalah mengikuti pola alur mundur. Peristiwa dimulai ketika penulis (Yu Hua) bertemu dengan Fugui dan mulai berbincang-bincang, Fugui menceritakan semua tentang masa lalunya kepada penulis. Kemudian Yu Hua membuatnya menjadi sebuah novel.
”lelaki tua ini adalah yang pertama kutemui sejak aku memulai kehidupan berkelana bebas. Saat itu aku masih muda, tanpa cemas, tanpa gelisah. Setiap wajah baru akan membuatku bergairah dan bersuka ria, aku benar-benar penasaran akan semua hal yang tidak kuketahui. Pada babak inilah dalam hidupku aku berjumpa dengan Fugui. Tidak pernah sebelumnya ada orang seperti dia, yang begitu terbuka padaku, menyingkap segala cerita yang dia punya. Asalkan aku berminat mendengarkan, dia pasti antuias bercerita.” (Yu Hua, 1993:42).
Selain dari prakata di atas, yang menjelaskan hal yang serupa adalah pada kutipan berikut:
”Tidak pernah aku berjumpa orang yang begitu jelas tentang pengalaman hidupnya sendiri, dan mampu mengisahkan kisah hidupnya dengan sangat menakjubkan. Dia adalah orang yang bisa utuh memandang masa lalunya, bisa juga begitu akurat melukiskan bagaimana cara dirinya melangkah di jalanan saat muda dulu, bahkan dia bisa memandang bagaimana dirinya perlahan menjadi tua....” (Yu Hua, 1993:43).
Berikut ini adalah analisis plot yang menggunakan analisis intrinsik.
Secara umum pola alur cerita atau plot adalah sebagai berikut:
a. Pengenalan Masalah saat muda selalu bermain judi hingga menghabiskan seluruh harta kekayaannya dan kemudian seluruh keluarganya jatuh miskin. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut ini:
”Saat aku muda dulu, aku makan, minum, main pelacur, main judi, segala hal yang hina sudah pernah kulakukan. Rumah pelacuran yang jadi langgananku namanya Wisma Hijau. Disana ada pelacur gendut yang paling aku sukai....” (Yu Hua, 1993:15).
Selain kutipan di atas, hal serupa yang menjelaskan kutipan adalah sebagai berikut:
”Beginilah, bingung dan dungu aku jalan hingga keluar kota.
Untuk sesaat aku malah lupa aku telah kalah pertaruhkan semua kekayaan keluarga. Pikiranku benar-benar kosong, seperti sarang lebah yang sudah ditikam....” (Yu Hua, 1993:28).
2. Timbulnya Konflik
Timbulnya konflik terjadi ketika ayah Fugui meninggal dan istrinya Jiazhen dibawa paksa mertuanya dan ketika Fugui pergi ke kota untuk mencari tabit mengobati ibunya, dia malah tertangkap oleh Tentara Nasionalis dan dipaksa bergabung untuk berperang. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
”Sepuluh hari setelah ayahku mati, mertuaku datang. Dia memegang jubah panjangnya dengan tangan kanan, wajahnya begitu pucat saat dia melangkah masuk dusun. Di belakangnya ada tandu berhias bunga dan berbungkus sutra merah, di sebelah kiri dan kanan ada lebih dari sepuluh lelaki muda menabuh genderang dan gong. Orang-orang dusun lihat ini dan langsung mengerumuni, mereka kira ada anak gadis siapa yang mau dikawinkan...” (Yu Hua, 1993:39).
Selain dari kutipan di atas, hal serupa yang menjelaskan adalah pada kutipan berikut: ”Aku ikut pasukan meriam ini berjalan ke utara. Jalan sebulan lebih kami sampai di Provinsi Anhui. Pada hari-hari awalnya sempat terpikir oleh aku untuk kabur....” (Yu Hua, 1993:59-60).
3. Konflik Memuncak
Konflik memuncak ketika Fugui terbebas dari Pasukan Nasionalis. Saat dia pulang, ibunya telah meninggal dan putrinya Fengxia menjadi bisu karena terkena demam tinggi. Saat Fugui pulang, di dusun mulai digerakkan reformasi tanah dan mulai menerapkan sistem Komunis. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut: ”Ibuku meninggal hanya dua bulan sesudah aku
tinggalkan rumah. Jianzhen bercerita, saat menjelang mati, ibuku berulang kali berkata padanya....” (Yu Hua, 1993:78).
Selain dari kutipan di atas, hal serupa yang menjelaskan adalah pada kutipan berikut:
”Saat aku pulang itu, di dusun mulai digerakkan reformasi tanah.
Aku kebagian tanah lima mu, tepatnya itu tanah lima mu yang aku sewa dari Long Er. Yang dapat sial justru si Long Er...Partai Komunis menyita semua harta dan sawahnya, dibagi-bagikan kepada semua bekas buruh taninya....” (Yu Hua, 1993:79).
4. Klimaks
Klimaks atau puncak konflik terjadi ketika kedua anak (Fengxia dan Youqing), istri (Jiazhen), menantu (Wan Erxi), dan cucu (Kugen) dari Fugui meninggal dunia secara berurutan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
”Setelah melahirkan, Fengxia keluar terlalu banyak darah, malamnya putus sudah napasnya. Dua anakku, sama-sama mati gara-gara bayi lahir. Youqing matinya demi orang lain yang lahirkan bayi, Fengxia matinya demi dirinya sendiri yang lahirkan bayi.” (Yu Hua, 1993: 187). karena rakus tapi karena aku yang terlalu miskin....” (Yu Hua, 1993:207).
5. Pemecahan Masalah
Setelah semua anggota keluarganya telah meninggal, Fugui merasa harus tetap hidup dan percaya bahwa hidup masih akan lebih baik daripada hari ini.
Dia kemudian membeli seekor sapi tua untuk menemani hari-harinya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:
”Dua tahun setelah Kugen mati, duitku cukup buat beli sapi. Aku lihat diriku juga mesti hidup beberapa tahun lagi, aku rasa sapi ini tetap harus aku beli. Sapi itu seperti setengah manusia. Dia bisa gantikan aku kerja. Kalau menganggur, juga bisa temani aku. Saat hatiku gundah aku juga bicara-bicara dengannya. Menarik sapi pergi makan rumput di pinggir kali, rasanya sungguh seperti menggandeng bocah saja.” (Yu Hua, 1993:209).
4.1.3 Latar (Setting)
Wicaksono (2014:209-214), latar merupakan bagian cerita yang menunjuk pada masalah tempat dan waktu terjadinya peristiwa serta lingkungan sosial yang digambarkan untuk menghidupkan peristiwa. Latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu dengan nama tidak jelas.
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Penekanan waktu lebih pada keadaan hari, misalnya saja pada pagi, siang, atau malam. Masalah “kapan”
tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Latar yang mengacu pada waktu kapan terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi dapat berupa jam, hari, tanggal, bulan, peristiwa sejarah, bahkan zaman tertentu yang melatarbelakanginya.
Latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berkaitan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, dan bersikap serta hal-hal yang termasuk latar spritual. Latar sosial mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
Latar yang menjadi tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang digambarkan di dalam novel To Live adalah sebagai berikut:
1. Sawah
Sawah merupakan tempat Yu Hua bertemu dengan tokoh utama Fugui dan tempat Fugui menceritakan semua kisah hidupnya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
”...Aku serasa telah tiba ke tepian, teriakan bergema lelaki tua yang mengayuh rakit merambat sampai telingaku. Aku berusaha bangun dari mimpi, suara teriakan itu memang sungguh ada di dunia nyata, begitu jernih dan jelas. Kulihat di dekat sawah sebelah, ada satu lelaki tua sedang membujuk satu sapi tua untuk bekerja.” (Yu Hua, 1993:8).
2. Tempat Pelacuran (Wisma Hijau)
Wisma hijau merupakan tempat favorit Fugui bermain pelacur dan main judi. Wisma hijau juga menjadi tempat Fugui menghabiskan semua harta kekayaannya bermain judi. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
”Saat aku muda dulu, aku makan, minum, main pelacur, main judi, segala hal yang hina sudah pernah kulakukan. Rumah pelacuran yang jadi langgananku namanya Wisma Hijau. Di sana ada pelacur gendut yang paling aku sukai.” (Yu Hua, 1993:15).
3. Gubuk Jerami
Setelah semua harta kekayaan keluarganya habis, Fugui dan keluarganya pindah ke sebuah gubuk jerami. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
”Hari itu kami baru saja pindah ke gubuk jerami. Aku dan ibuku sedang sibuk menata barang di dalam gubuk, Fengxia juga begitu riang ikut menata barang, dia masih belum tau mulai saat itu dia harus ikut menderita.” (Yu Hua, 1993:37).
4. Kota
Saat ibu Fugui menderita sakit parah, istrinya Jiazhen menyuruh Fugui agar pergi ke kota memanggil seorang tabib. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
”Aku jalan cepat-cepat, tak sampai satu jam sudah sampai di kota.
Sudah setahun lebih aku tidak ke kota, begitu masuk kota aku merasakan ada semacam kehampaan dalam hatiku.” (Yu Hua, 1993:56).
5. Provinsi Anhui
Provinsi Anhui merupakan tempat Fugui bertugas sebagai Tentara Nasionalis. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
”Aku ikut pasukan meriam ini berjalan ke utara, semakin jauh.
Jalan sebulan lebih kamii sampai di Provinsi Anhui. Pada hari-hari awalnya sempat terpikir oleh aku untuk kabur, dan saat itu yang ingin kabur juga bukan cuma aku.” (Yu Hua, 1993:60).
6. Sungai Yangtze
Saat pertama kali bergabung dengan Tentara Nasionalis, Fugui selalu berniat untuk kabur, namun setelah sampai di Sungai Yangtze keinginannya untuk kabur pun sudah tak ada lagi. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut: ”Setelah menyebrangi Sungai Yangtze kami memakai jaket berisi bantalan kapas. Begitu menyebrangi sungai ini,
7. Kantin Dusun
Tahun 1958, Komune rakyat didirikan. Semua tanah dan harta warga harus diserahkan pada komune, bahkan wajan untuk memasak pun harus diserahkan. Pasukan komune membangun kantin di dusun agar semua warga dapat makan disana. Dengan begitu maka semua warga hemat tenaga dan bisa bersama berlari menuju komunisme.
”Begitu kantin dusun dibuka, jam makan menjadi pertunjukan dahsyat. Setiap keluarga mengutus dua orang untuk ambil nasi dan masakan, berbaris panjang mengular-ular, kelihatannya seperti kami berbaris ambil mantou waktu jadi tawanan pasukan Komunis.” (Yu Hua, 1993:97).
8. Rumah Kakek Tua Sun
Saat ahli Fengshui diundang dari kota untuk berkeliling dusun dan mencari tempat yang paling mujur untuk melebur baja, Kakek Tua Sun menjadi orang yang paling sial karena rumahnya dipilih sebagai tempat paling mujur untuk melebur baja. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
”...Gubuk jerami kami selamat sentosa. Tapi keluarga Kakek Tua Sun yang paling apes, juru ramal terpesona oleh rumahnya. Ketua regu memerintahkan mereka sekeluarga pindah dari rumah. Kakek Sun menangis meratap-ratap, jongkok di sudut rumah tak mau pindah....” (Yu Hua, 1993:100).
9. Rumah Sakit
Rumah sakit merupakan tempat paling sial bagi Fugui, dimana istri dan anak-anaknya meninggal karena kelalaian dokter. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
”Dokter di rumah sakit bilang, Jiazhen kena penyakit tulang lemas, penyakit ini tidak bisa sembuh. Dokter suruh kami bawa Jiazhen pulang, kalau mampu beri dia makanan yang lebih baik silahkan diberikan saja....” (Yu Hua, 1993:100).
Latar waktu kejadian peristiwa-peristiwa penting di dalam novel To Live seorang gadis yang begitu menenangkan hati, menyenangkan mata.
Wajahnya yang kehitaman hingga hari ini masih bersinar-sinar, berpendar di hadapan mataku....” (Yu Hua, 1993:7).
”Fengxia hamil, Erxi pun makin sayangi dia. Di musim panas, dalam rumah banyak nyamuk, tapi mereka tidak punya kelambu.
Begitu malam tiba, Erxi menyuruh Fengxia duduk di luar berangin-angin, sedangkan dirinya sendiri berbaring di ranjang biar nyamuk puas menggigit. Sampai semua nyamuk itu kenyang dan tidak menggigit lagi, dia baru panggil Fengxia masuk untuk tidur...”(Yu Hua, 1993:185).
2. Peringatan Hari Nasional
Hari dimana Fugui dan keluarganya berhasil melebur baja untuk pertama kalinya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut: ”...Kalian satu keluarga sudah berhasil lebur besi baja. Tepat di hari baik begini, Hari Nasional. Kami mau pergi ke kecamatan buat mengabarkan berita gembira ini.” (Yu Hua, 1993:110).
3. Revolusi Kebudayaan
Kehidupan masyarakat di Cina semakin memburuk pada masa Revolusi Kebudayaan. Setiap hari di jalanan dipenuhi oleh manusia
yang saling berkelahi untuk dapat bertahan hidup. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
”Ketika ingar bingar Revolusi Kebudayaan melanda kota, kacau-balau jalanan dipenuhi manusia. Setiap hari mereka berkelahi, selalu ada orang yang dipukuli sampai mati. Orang dusun tidak berani lagi pergi ke kota. Dibanding kota, dusun jauh lebih damai....” (Yu Hua, 1993:156).
4. Musim Dingin
Musim dingin merupakan hari yang membahagiakan sekaligus menyedihkan untuk Fugui. Putrinya Fengxia melahirkan cucunya dan sesaat setelah melahirkan, Fengxia meninggal akibat kehabisan darah.
Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
”Fengxia melahirkan bayinya di musim dingin. Hari itu salju turun begitu lebat. Di luar jendela sampai tidak kelihatan apa-apa.
Fengxia masuk ke ruang bersalin, semalaman belum keluar juga.
Aku dan Erxi menunggu di luar, semakin lama semakin ketakutan.
Setiap kali ada dokter yang keluar kami langsung bertanya.
Mendengar kabar Fengxia masih berjuang melahirkan, kami sedikit tenang....” (Yu Hua, 1993:185-186).
Latar sosial pada novel To Live tergambar bagaimana sulitnya untuk bertahan hidup di Cina saat Komune Rakyat dibentuk pada tahun 1958. Semua tanah bahkan wajan milik masyarakat harus diserahkan kepada Komune. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut: ”Siapa sangka, hanya lewat beberapa hari saja, bahkan wajan di dapur pun sudah jadi milik Komune Rakyat? Katanya mereka butuh untuk melebur besi dan baja....” (Yu Hua, 1993:95).
Selain dari kutipan di atas, hal serupa yang menjelaskan adalah pada kutipan berikut:
”Tidak ada yang tersisa. Ketua Regu bilang, Kecamatan akan kirim makanan, tapi tidak seorang pun pernah melihat ada makanan yang datang. Tidak seorang pun berani percaya omongan dari mulut Ketua Regu. Tapi mau tidak percaya pun kami tidak berani...” (Yu Hua, 1993:122).
4.1.4 Tokoh (Penokohan)
Salah satu unsur intrinsik yang mendukung keberhasilan karya sastra adalah tokoh dan penokohan. Keberadaan tokoh dalam sebuah cerita sangat penting. Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan (Aminuddin, 1984: 85).
Berikut ini dipaparkan mengenai analisis karakter yang dimiliki oleh tokoh-tokoh pada novel To Live. Para tokoh yang akan dibahas disini ialah Fugui, Jianzhen, Changgen, Erxi, Youqing, Fengxia, Long er, Chunseng, dan Quan Tua.
4.1.4.1 Fugui
Berdasarkan cerita dalam novel tokoh Fugui memiliki karakter sebagai berikut ini:
1. Manja
Fugui adalah anak tuan tanah kaya raya yang kelebihan harta dan mempunyai sifat manja saat dia kecil.
”Aku tak pernah berjalan kaki ke sekolah. Keluarga kami menggaji kuli khusus untuk panggul aku di pundaknya. Pulang sekolah, dia sudah siap menanti di sana, begitu hormat dia membungkuk. Aku naik ke punggungnya, menepuk kepalanya, dan berseru....” (Yu Hua, 1993:12).
2. Durhaka
Fugui sejak kecil tak pernah patuh dan selalu melawan kepada orang tuanya. Sifat durhaka Fugui dapat dilihat dari ucapannya pada dialog dibawah ini. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut: ”...Ayah, keparat kamu tak juga berhenti. Kalau bukan karena kamu yang bawa aku ke dunia, sudah dari tadi aku hajar kamu. Keparat, sudah, sudah, berhenti!” (Yu Hua, 1993:14).
3. Penjudi
Fugui suka bertualang ke tempat pelacuran dan meja judi. Awal dia main judi dulu hanya untuk membuat bangga para leluhurnya. Dia ingin mendapatkan kembali seratusan mu tanah yang ayahnya hilangkan dulu namun, malah sebaliknya. Harta keluarganya habis semua karena ia bermain judi dengan Long Er.
”...Jadi lelaki, kalau terlanjur mencebur bersama pelacur, sudah barang tentu mesti juga main judi. Pelacur dan judi itu ibarat tangan dan kaki, bagaimanapun tak mungkin bisa dipisah lagi.
Belakangan aku malah lebih suka judi....” (Yu Hua, 1993:13).
”Sebenarnya, sejak aku mulai kecanduan main judi, aku sungguh-sungguh jadi ingin bikin bangga para leluhur. Aku ingin mendapatkan kembali seratusan mu tanah yang ayahku hilangkan itu.” (Yu Hua, 1993:14).
4. Pekerja Keras
Setelah Fugui jatuh miskin, dia sungguh ingin mengembalikan harta kekayaan yang telah dia habiskan di meja perjudian. Siang malam dia selalu
Setelah Fugui jatuh miskin, dia sungguh ingin mengembalikan harta kekayaan yang telah dia habiskan di meja perjudian. Siang malam dia selalu