• Tidak ada hasil yang ditemukan

A SPEK P ERPAJAKAN S EKTOR K EHUTANAN DAN P ERKEBUNAN

R EGULASI A LIRAN D ANA DAN P ERPAJAKAN

A SPEK P ERPAJAKAN S EKTOR K EHUTANAN DAN P ERKEBUNAN

Jenis pajak yang berlaku untuk sektor kehutanan pada dasarnya tidak berbeda dengan jenis pajak yang berlaku di sektor lain. Jenis-jenis pajak tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 8: Jenis-Jenis Pajak Sektor Kehutanan Dan Perkebunan

Tarif Objek Dasar Hukum

No Jenis Pajak

1 PPh Wajib Pajak Badan

- 25% dan 22% (go public)

- 1% dari omset bagi wajib pajak yang peredaran usahanya tidak melebihi Rp 4,8 milyar/tahun

Penghasilan yang

diterima/diperoleh dalam satu tahun pajak

Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 UU PPh

2 PPh Pasal 21 - Atas penghasilan s.d. Rp 50 juta dikenai tarif 5%.

- Atas penghasilan di atas Rp 50 juta s.d. Rp 250 juta dikenai tarif 15%.

- Atas penghasilan di atas Rp 250 juta s.d. Rp 500 juta dikenai tarif 25%.

- Atas penghasilan di atas Rp 500 juta dikenai tarif 30%

Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, termasuk gaji, upah, honorarium, bonus, dan sejenisnya.

Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 UU PPh

3 PPh Pasal 23 2% a. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan

b. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa

konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

Pasal 23 UU PPh

4 PPh Pasal 23 15% a. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g; b. bunga sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f; c. royalti; dan

d. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e.

5 PPh Pasal 26 20% atau tarif sesuai tax treaty

a. dividen;

b. bunga termasuk premium diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;

c. royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; d. imbalan sehubungan

dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;

e. hadiah dan penghargaan; f. pensiun dan pembayaran

berkala lainnya;

g. premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya; dan/atau h. keuntungan karena pembebasan utang. Pasal 26 UU PPh 6 PPh Pasal 4 ayat (2)

5% Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan

PP 48/1994 jo. PP 71/2008

7 10% Persewaan tanah dan/atau

bangunan

PP 29/1996 jo. PP 5/2002

8 Pajak Pertambahan

10% Penyerahan Barang Kena Pajak/Pemanfaatan Jasa Kena

UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PTLL

Nilai (PPN) Pajak stdtd UU No. 42 Tahun 2009

9 Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

0,5% Bumi dan/atau Bangunan, termasuk sektor

pertambangan, kehutanan, perkebunan

UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan/atau Bangunan stdtd UU No 12 Tahun 1994

10 Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB)

5% Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan

UU No 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan atas Tanah dan/atau Bangunan stdtd UU 20 Tahun 2000

11 Bea Keluar 2%-40% Ekspor kulit dan kayu, biji kakao, kelapa sawit, Crude Palm Oil (CPO), dan produk turunannya, dan bijih (raw materialatauore) mineral.

PMK No.

75/PMK.011/2012

6.5.

INSENTIFFISKALUNTUKUSAHASEKTORKEHUTANANDANPERKEBUNAN

Perlakuan dana cadangan biaya penanaman kembali sebagai biaya fiskal

Agar dapat menentukan besarnya penghasilan kena pajak, Wajib Pajak badan wajib melakukan pembukuan. Berdasarkan pembukuan tersebut, dapat diketahui besarnya omzet serta biaya-biaya yang mengurangi omzet tersebut. Dalam konteks perpajakan, tidak semua biaya dalam akuntansi komersial dapat dibiayakan. Beban yang tidak dapat dibiayakan ini akan dikecualikan dari penghitungan sehingga penghasilan kena pajak secara fiskal akan bertambah.

Biaya-biaya yang tidak dapat dibiayakan diatur dalam pasal 9 UU PPh. Berdasarkan pasal tersebut, dana cadangan tidak dapat dibebankan sebagai biaya. Hal tersebut dikarenakan pajak menganggap biaya dapat dibebankan hanya ketika beban tersebut benar-benar terealisasikan. Misalnya saja cadangan piutang tak tertagih, cadangan tersebut tidak dapat dibiayakan kecuali piutang tersebut benar-benar tidak tertagih dan dihapus dari neraca.

Namun, tidak semua jenis dana cadangan dikecualikan sebagai beban yang dapat dibiayakan. Pasal 9 ay at (1) huruf c UU PPh mengatur beberapa bidang usaha dengan dana cadangannya tertentu yang dapat dibiayakan. UU PPh mengatur hal tersebut. Berdasarkan ketentuan itu, danacadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan dapat dibiayakan. Dana cadangan yang dimaksud adalah cadangan biaya penanaman kembali bagi perusahaan yang diwajibkan melakukan penanaman kembali atas hutan yang telah dieksploitasi. Hutan yang telah dieksploitasi tentu memerlukan penanganan berupa penanaman kembali untuk menjaga kelestariannya. Dengan diperbolehkannya dana cadangan biaya penanaman kembali sebagai pengurang penghasilan, pengusaha sektor kehutanan mendapatkan cashflow yang lebih baik karena beban pajaknya berkurang sehingga pada akhirnya perusahaan terdorong untuk lebih banyak memupuk dana cadangan tersebut untuk lebih menjaga kelestarian hutan.

Insentif fiskal untuk industri di bidang tertentu dan/atau di daerah tertentu.

Untuk meningkatkan arus investasi langsung dan pemerataan pembangunan, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memberikan fasilitas PPh berupatax allowancebagi pengusaha di bidang tertentu dan/atau di daerah tertentu. Bidang usaha yang berhak mendapatkan fasilitas tersebut merupakan bidang usaha yang strategis dengan manfaat yang signifikan bagi perekonomian. Ketentuan yang mengaturnya adalah PP No. 1 tahun 2007 yang telah diubah terakhir kali dengan PP No. 52 tahun 2011.

Lampiran PP No. 52 tahun 2011 mencantumkan beberapa bidang usaha yang terkait dengan sektor kehutanan maupun perkebunan. Di sektor kehutanan, bidang usaha yang berhak mendapatkan fasilitas tersebut adalah pengusahaan hutan jati, hutan pinus, hutan sonokeling, dan sebagainya, sedangkan di sektor perkebunan, terdapat beberapa bidang usaha yang terkait dengan olahan hasil perkebunan sawit, yaitu industri minyak goreng.

Berdasarkan PP No. 52 tahun 2011, wajib pajak badan sektor kehutanan dan perkebunan dengan bidang usaha tersebut (yang memenuhi syarat) dapat mendapatkan keringanan PPh berupa pengurangan penghasilan netto, penyusutan yang dipercepat, dan/atau perpanjangan jangka waktu kompensasi kerugian.

Dokumen terkait