• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PRESIDEN

2. Abdurrahman Wahid dan NU

Karir Abdurrahman Wahid terus merangkak dan menjadi penulis untuk majalah Tempo dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah

27

dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang, tempat Abdurrahman Wahid tinggal bersama keluarganya.28

Meskipun memiliki karier yang sukses pada saat itu, Abdurrahman Wahid masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan mengantarkan es lilin yang dirintis istrinya. Pada tahun 1974 Abdurrahman Wahid mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru di Pesantren Tambakberas dan segera mengembangkan reputasi baik. Satu tahun kemudian Abdurrahman Wahid menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab Al Hikam. Pada tahun 1977, Abdurrahman Wahid bergabung ke Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktek dan Kepercayaan Islam dan Universitas ingin agar Abdurrahman Wahid mengajar subyek tambahan seperti syariat Islam dan misiologi. Namun kelebihannya menyebabkan beberapa ketidaksenangan dari sebagian kalangan universitas.29

Abdurrahman Wahid berasal dari keluarga yang berlatar belakang Nahdlatul Ulama (NU). Abdurrahman Wahid pun diminta berperan aktif dalam menjalankan gerakan NU. Permintaan ini berlawanan dengan aspirasi Abdurrahman Wahid sebagai intelektual publik. Ia dua kali menolak tawaran bergabung dengan Dewan Penasehat Agama NU. Namun pada akhirnya, Abdurrahman Wahid bersedia bergabung dengan Dewan tersebut

28 Ibid, hlm. 41-42

29

setelah kakeknya, K.H. Bisri Syansuri, memberinya tawaran ketiga. Karena mengambil tanggung jawab ini, Abdurrahman Wahid juga memilih untuk pindah dari Jombang ke Jakarta dan menetap di sana. Sebagai anggota Dewan Penasehat Agama, Abdurrahman Wahid berkiprah sebagai reforman NU.30

Pada saat itu, Abdurrahman Wahid juga mendapat pengalaman politik pertamanya. Pada pemilihan umum legislatif 1982, Abdurrahman Wahid berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah Partai Islam yang dibentuk sebagai hasil gabungan 4 partai Islam termasuk NU. Abdurrahman Wahid menyebut bahwa Pemerintah mengganggu kampanye PPP dengan menangkap orang seperti dirinya. Namun, Abdurrahman Wahid selalu berhasil lepas karena memiliki hubungan dengan orang penting seperti Jendral Benny Moerdani.31

Pada saat itu, banyak orang yang memandang NU sebagai organisasi dalam keadaan stagnasi/terhenti. Setelah berdiskusi, Dewan Penasehat Agama akhirnya membentuk Tim Tujuh (yang termasuk Abdurrahman Wahid) untuk membahas isu reformasi dan membantu menghidupkan kembali NU. Reformasi dalam organisasi termasuk perubahan kepemimpinan. Pada 2 Mei 1982, pejabat-pejabat tinggi NU bertemu dengan Ketua NU Idham Chalid dan meminta agar ia mengundurkan diri. Idham, yang telah memandu NU pada era transisi

30 Ibid, hlm. 43

31 Idem

kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto awalnya melawan, tetapi akhirnya mundur karena tekanan. Pada 6 Mei 1982, Abdurrahman Wahid mendengar pilihan Idham untuk mundur dan menemuinya, lalu ia berkata bahwa permintaan mundur tidak konstitusionial karena Idham berkeinginan mundur gara-gara desakan sebagian kecil pihak. Dengan himbauan Abdurrahman Wahid, Idham membatalkan mundur dari jabatan ketua NU dan Abdurrahman Wahid bersama dengan Tim Tujuh dapat menegosiasikan persetujuan antara Idham dan orang yang meminta kemundurannya.32

Pada tahun 1983, Soeharto dipilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan ke-4 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan mulai mengambil langkah untuk menjadikan Pancasila sebagai Ideologi Negara. Dari Juni 1983 hingga Oktober 1983, Abdurrahman Wahid menjadi bagian dari kelompok yang ditugaskan untuk menyiapkan respon NU terhadap isu tersebut. Abdurrahman Wahid berkonsultasi dengan bacaan seperti Quran dan Sunnah untuk pembenaran. Dan pada Oktober 1983, ia menyimpulkan bahwa NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara. Untuk lebih menghidupkan kembali NU, Abdurrahman Wahid juga mengundurkan diri dari PPP dan partai politik. Hal ini dilakukan sehingga NU dapat fokus dalam masalah sosial daripada dalam politik.33

Reformasi yang dilakukan Abdurrahman Wahid membuatnya sangat populer di kalangan NU. Pada saat Musyawarah Nasional 1984,

32 Ibid, hlm. 44-45

33

banyak orang yang mulai menyatakan keinginan mereka untuk menominasikan Abdurrahman Wahid sebagai ketua baru NU. Abdurrahman Wahid menerima nominasi ini dengan syarat ia mendapatkan wewenang penuh untuk memilih para pengurus yang akan bekerja di bawahnya. Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Musyawarah Nasional tersebut.34

Terpilihnya Abdurrahman Wahid dilihat positif oleh Soeharto dan rezim Orde Baru. Penerimaan Abdurrahman Wahid terhadap Pancasila bersamaan dengan citra moderatnya , menjadikannya disukai oleh pejabat pemerintahan. Pada tahun 1985, Soeharto menjadikan Abdurrahman Wahid indoktrinator Pancasila. Pada tahun 1987, Abdurrahman Wahid menunjukan dukungan lebih lanjut terhadap rezim tersebut dengan mengkritik PPP dalam pemilihan umum legislatif 1987 dan memperkuat Partai Golkar Soeharto. Ia kemudian menjadi anggota MPR mewakili Golkar. Meskipun ia disukai oleh rezim, Abdurrahman Wahid mengkritik pemerintah karena proyek Waduk Kedung Ombo yang didanai oleh Bank Dunia. Hal ini merenggangkan hubungan Abdurrahman Wahid dengan pemerintah, namun saat itu Suharto masih mendapat dukungan politik dari NU.35

Selama masa jabatan pertamanya, Abdurrahman Wahid fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren dengan menganut kurikulum dari pemerintah dan berhasil meningkatkan kualitas sistem

34 Ibid, hlm. 46

35

pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular. Pada tahun 1987, Abdurrahman Wahid juga mendirikan kelompok belajar di Probolinggo, Jawa Timur untuk menyediakan forum individu sependirian dalam NU untuk mendiskusikan dan menyediakan interpretasi teks Muslim. Abdurrahman Wahid pernah pula menghadapi kritik bahwa ia mengharapkan mengubah salam Muslim "assalamualaikum" menjadi salam sekular "selamat pagi" karena di Indonesia masih banyak keberagaman salam sehingga dia menginginkan adanya sikap menghargai keberagaman tersebut.36

Abdurrahman Wahid terpilih kembali untuk masa jabatan kedua Ketua NU pada Musyawarah Nasional 1989. Pada saat itu, Soeharto, yang terlibat dalam pertempuran politik dengan ABRI, mulai menarik simpati Muslim untuk mendapat dukungan mereka. Pada Desember 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dibentuk untuk menarik hati Muslim Intelektual. Organisasi ini didukung oleh Soeharto, diketuai oleh Baharuddin Jusuf Habibie dan di dalamnya terdapat intelektual Muslim seperti Amien Rais dan Nurcholish Madjid sebagai anggota. Pada tahun 1991, beberapa anggota ICMI meminta Abdurrahman Wahid bergabung. Abdurrahman Wahid menolak karena ia mengira ICMI mendukung sektarianisme dan akan membuat Soeharto tetap kuat. Pada tahun 1991, Abdurrahman Wahid melawan ICMI dengan membentuk Forum

36

Demokrasi, organisasi yang terdiri dari 45 intelektual dari berbagai komunitas religius dan sosial. Organisasi ini diperhitungkan oleh pemerintah dan pemerintah menghentikan pertemuan yang diadakan oleh Forum Demokrasi saat menjelang pemilihan umum legislatif 1992.37

Pada Maret 1992, Abdurrahman Wahid berencana mengadakan Musyawarah Besar untuk merayakan ulang tahun NU ke-66 dan mengulang pernyataan dukungan NU terhadap Pancasila. Abdurrahman Wahid merencanakan acara itu dihadiri oleh paling sedikit satu juta anggota NU. Namun, Soeharto menghalangi acara tersebut, dan memerintahkan polisi untuk mengembalikan bus berisi anggota NU ketika mereka tiba di Jakarta. Setelah acara usai, Abdurrahman Wahid mengirim surat protes kepada Soeharto menyatakan bahwa NU tidak diberi kesempatan menampilkan Islam yang terbuka, adil dan toleran.38

Menjelang Musyawarah Nasional NU di Cipasung tahun 1994, Abdurrahman Wahid menominasikan dirinya untuk masa jabatan ketiga. Mendengar hal itu, Soeharto ingin agar Abdurrahman Wahid tidak terpilih. Pada minggu-minggu sebelum munas, pendukung Soeharto, seperti Habibie dan Harmoko berkampanye melawan terpilihnya kembali Abdurrahman Wahid. Ketika musyawarah nasional NU diadakan, tempat pemilihan dijaga ketat oleh ABRI dalam tindakan intimidasi. Terdapat juga usaha menyuap anggota NU untuk tidak memilihnya. Namun, Abdurrahman Wahid tetap

37 Ibid, hlm. 47-48

38

terpilih sebagai ketua NU dalam Musyawarah Nasional NU tersebut, untuk masa jabatan ketiga. Selama masa ini, Abdurrahman Wahid memulai aliansi politik dengan Megawati Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Megawati Soekarnoputri yang menggunakan nama ayahnya memiliki popularitas yang besar dan berencana tetap menekan rezim Soeharto.39

Pada November 1996, Abdurrahman Wahid dan Soeharto bertemu pertama kalinya sejak pemilihan kembali Abdurrahman Wahid sebagai ketua NU dan beberapa bulan berikutnya diikuti dengan pertemuan dengan berbagai tokoh pemerintah yang pada tahun 1994 berusaha menghalangi pemilihan kembali Abdurrahman Wahid. Pada saat yang sama, Abdurrahman Wahid memilih untuk melakukan reformasi tetap terbuka dan pada Desember 1996 bertemu dengan Amien Rais, anggota ICMI yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.40

Pada Juli 1997 merupakan awal dari krisis finansial Asia. Soeharto mulai kehilangan kendali atas situasi tersebut. Abdurrahman Wahid diminta untuk melakukan reformasi bersama Megawati Soekarnoputri dan Amien Rais untuk menentang rezim Soeharto, namun ia terkena stroke pada Januari 1998. Dari rumah sakit, Abdurrahman Wahid melihat situasi terus memburuk dengan terpilihnya kembali Soeharto sebagai Presiden dan protes mahasiswa yang menyebabkan terjadinya kerusuhan Mei 1998 setelah penembakan enam mahasiswa di Universitas Trisakti. Pada tanggal 19 Mei

39 Ibid, hlm. 49

40

1998, Abdurrahman Wahid, bersama dengan delapan pemimpin penting dari komunitas Muslim, dipanggil ke kediaman Soeharto. Soeharto memberikan usulan konsep Komite Reformasi untuk memenuhi tuntutan reformasi yang telah digelorakan seluruh elemen rakyat Indonesia. Sembilan pemimpin tersebut menolak untuk bergabung dengan Komite Reformasi. Abdurrahman Wahid meminta demonstran berhenti untuk melihat apakah Soeharto akan menepati janjinya. Hal tersebut tidak disukai Amien Rais, yang merupakan oposisi Soeharto yang paling kritis pada saat itu. Namun, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada tanggal 21 Mei 1998. Kemudian Wakil Presiden Habibie menjadi presiden menggantikan Soeharto.41

Dokumen terkait