• Tidak ada hasil yang ditemukan

MINANGKABAU SEJAK TERBENTUKNYA HINGGA AWAL ABAD XX

II.1. Asal Usul Masyarakat Minangkabau dan Adatnya

II.1.2 Adat Masyarakat Minangkabau

Masyarakat adat Minangkabau menyebut tanah air nya sebagai “Alam

Minangkabau” dengan makna Alam adalah segala-galanya.29 Dasar falsafah adat Alam Minangkabau terdiri atas bagaimana sebaiknya hubungan perorangan, bagaimana seharusnya masyarakat, perhubungan dan iklim dalam masyarakat itu, bagaimana seharusnya mencapai suatu tujuan (cara bertindak), bagaimana seharusnya kedudukan perekonomian bagi seseorang dan bersama. Dasar dari adat Minangkabau adalah kekeluargaan.

27

Dr.Burhanuddin Daya, op.cit. hlm. 29.

28

Perbedaaan dalam hal kedudukan raja yakni menurut Bodi Caniago, raja hanya mempunyai kekuasaan di rantau, sedangkan di luhak ia hanya sebagai lambang, sedangkan menurut Koto Piliang, raja adalah kepala pemerintahan seluruh alam Minangkabau. Perbedaan tentang sistem pemerintahan, menurut Bodi Caniago, status penghulu sederajat dengan kewenangan yang bersifat horisontal. Sedangkan Koto Piliang, status penghulu bertingkat-tingkat dengan wewenangnya yang bersifat vertikal. Lihat op.cit., hlm. 55-56.

29

Bagi masyarakat Minangkabau, adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka dan faktor adat merupakan faktor yang paling tinggi nilainya dan tak ada bandingannya.30 Tambo menjelaskan bahwa adat Minangkabau merupakan ciptaan asli Maharadja Diraja dan disusun oleh Datuk Ketemanggungan bersama Datuk Perpatih Nan Sebatang untuk dipegang oleh anak cucu mereka.

Adat Minangkabau terdiri atas empat kategori yaitu:31 1. Adat nan sabana adat

Adat nan Sabana adat merupakan ciptaan Tuhan dengan sifat yang tetap. Contoh dari

adat yang dimaksud ini adalah kerbau melenguh, sapi menguik, anjing menyalak, dll 2. Adat Istiadat

Adat Istiadat adalah adat yang dibentuk oleh Datuk Perpatih nan Sebatang dan Datuk Ketemanggungan seperti adat bersuku, berbuah, Paruik, pusaka turun kepada kemenakan, berlembaga, dan sebagainya.32

30

Dr. Burhanuddin Daya, op.cit. hlm. 29 – 30.

31

Pembagian kategori adat ini menurut A.A. Navis berdasarkan dapat atau tidak dapatnya adat ini berubah. Menurut A.A. Navis:

adat nan sabana adat adalah adat asli yang tidak berubah, seperti hukum alam yang merupakan falsafah hidup mereka.

Adat Istiadat adalah kebiasaan yang berlaku ditengah masyarakat umum / setempat seperti acara

seremoni atau tingkah laku pergaulan adat ini dapat tumbuh bila dijaga dengan baik

Adat nan Diadatkan adalah undang-undang dan hukum yang berlaku, undang-undang ini dapat tumbuh

selama tidak diganggu

Adat nan Teradatkan adalah peraturan yang dilahirkan oleh mufakat atau konsensus masyarakat yang

memakainya. Iihat A.A. Navis, op.cit., hlm. 88-89.

32

Oetoesan Melajoe, 18 Oktober 1915 No 195, hlm. 1. Mengenai keempat jenis adat ini, banyak terdapat pendapat dari para Penghulu adat mengenai arti dan maksud dari isinya dan berbeda satu sama lain. Hal ini dikarenakan keempat hukum tadi merupakan hukum adat yang tidak tertulis.

3. Adat nan di‘adat kan

Adalah undang-undang (UU) dan hukum yang berlaku, seperti UU nan Ampat yang terbagi atas beberapa UU, seperti UU Luhak dan Rantau, dan UU nan Duapuluh.33 4. Adat nan ter’adat

Peraturan yang dilahirkan oleh mufakat dari masyarakat yang memakainya, dan sifatnya dapat di ganti seperti kata pepatah “patah tumbuh, hilang berganti”. Dari ke empat jenis adat diatas, bagi kaum kuno, hanya adat nan ter’adat yang bisa / dapat berubah, sedangkan ketiga jenis yang lainnya, tidak dapat tersentuh..

Pemimpin dalam struktur masyarakat adat Minangkabau disebut Penghulu dengan gelar Datuk, dan karena tugasnya disebut Ninik-Mamak. Ninik-Mamak dalam ketetapan adat merupakan satu kelompok sosial yang berstatus sebagai pemimpin masyarakat yang sangat penting dan terdiri atas setiap laki-laki yang memimpin sebuah paruik (perut), kaum, atau suku. Untuk wilayah pesisir atau Rantau, Penghulu seringkali disebut sebagai Tuanku yang setelah Perang Paderi selesai, titel ini digunakan sebagai panggilan untuk seorang ulama yang memiliki pengaruh dan wibawa besar di daerahnya.34

Sistem pemerintahan adat dalam tiap Nagari35 adalah demokrasi, dimana semua keputusan diambil secara bulat setelah bermusyawarah dan mufakat.36 Tidak ada kekuasaan absolut yang mencakup masyarakat Minangkabau secara keseluruhan

33

Khusus untuk penjelasan mengenai Undang-undang nan Ampat ini, lihat penjelasan A.A Navis,

op.cit., hlm. 91-118. 34

Drs M.D. Mansoer dkk. Sedjarah Minangkabau,, op.cit., hlm. 13 – 14.

35

Untuk pengertian Nagari, lihat Ibid., hlm. 15.

36

bahkan juga ketika Kerajaan Pagaruyung berkuasa dan memiliki pengaruh yang besar di Minangkabau sejak abad ke-14. Pada masa itu, Raja Pagaruyung hampir tidak mempunyai kekuasaan yang mutlak dan hanya sebagai lambang persatuan, serta hanya memiliki kekuasaan di Rantau.37

Kerajaan Pagaruyung ini sendiri, didirikan oleh Adityawarman, salah seorang anggota kerajaan Majapahit yang dalam kisah Tambo disebut sebagai “Enggang yang datang dari Laut”.38 Kerajaaan Pagaruyung kemudian menjadi pusat pemerintahan

raja-raja Minangkabau yang tersusun secara “federasi” dan dengan kekuasaan yang terbagi diantara tiga serangkai yang disebut Rajo nan Tigo Selo, yakni Rajo Alam, Rajo Adat, dan Rajo Ibadat.39 Ketiganya bersemayam di Pagaruyung. Selain Rajo

nan Tiga Selo, juga terdapat Basa Ampek Balai, yakni dewan Mentri yang terdiri dari

Bandaharo dari Sungai Tarab, Tuan Kadi dari Padang ganting, Mangkudum dari Suroaso dan Indomo dari Sumanik. Sistem politik ini kemudian dimusnahkan oleh kaum Paderi pada masa perang Paderi.40

37

Dr. Mochtar Naim, Merantau, Pola Migrasi Suku Minangkabau, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,1979), hlm. 17.

38

Untuk penjelasan kisah Adityawarman dalam Tambo Minangkabau, lihat Datuk Sangguno Dirajo,

op.cit., hlm. 104 39

Konon, pembagian kekuasaan ini terjadi karena pengaruh agama Islam yang mulai tersebar di Minangkabau. Lihat Hamka, Ajahku: Riwayat Hidup Dr H. Abd. Karim Amrullah dan Perjuangan

Kaum Agama di Sumatera. (Djakarta: Widjaja, 1967), hlm. 19. 40