• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wacana penyesatan pun bergerak cepat, mulai dari “Syiah Sesat”, “Syiah Tajul Sesat”, “Ajaran Tajul sesat”, hingga yang terakhir merujuk pada ucapan Menteri Agama Surya Dharma Ali pada tanggal 29 Januari 2012 yang mengatakan “Syiah bukan Islam”. Konstalasi kepentingan yang membelakangi kasus ini pun semakin kompleks. Di wilayah lain di Indonesia seperti di Garut Jawa Barat, warga Syiah sudah mulai diungsikan karena telah mengalami pengancaman. Sebagaimana Kasus Ahmadiyah, kasus inipun berkembang dan berujung pada tindak kekerasan pada kelompok-kelompok minoritas.

Tajul sendiri sejak tahun 2006 sudah melalui proses negosiasi dan menandatangani sejumlah kesepakatan terkait dengan keinginan untuk menjaga “perdamaian” di Sampang. Akan tetapi, sumber dari segala sumber permasalahan ini adalah tidak terinternalisasinya perpektif bahwa setiap warga negara berhak beragama dan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya, dan pemerintah wajib menyelenggarakan perlindungan hukum atas hak ini. Jadi, ketika negosiasi dan berbagai jenis kesepakatan itu dilakukan, cara memandang masalah adalah soal stabilitas dimana ancaman yang ditakutkan adalah chaos atau konflik. Artinya, hal tersebut hanya dipakai sebagai mekanisme “tarik ulur” yang rentan dimanipulasi oleh tarikan dan uluran kepentingan tertentu.

Dalam kasus ini, semua posisi pemerintah dan aparat hukum lokal telah “dilumpuhkan” oleh cara pandang “menjaga stabilitas” tersebut. Tidak lagi ada sensitivitas untuk melindungi hak warga negara dan memikirkan posisi minoritas. Dengan kata lain, advokasi yang paling memungkinkan adalah di level nasional. Harapannya, di level ini para pemangku kebijakan bisa memberikan tekanan pada pemerintahan lokal Madura dan Jawa Timur. Sejak tanggal 16 Januari 2012 Tajul dan pengacaranya bertolak ke Jakarta menembus advokasi level nasional. Bersama KontraS, AMAN Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia, ABI, dan Komnas Perempuan, pada hari Selasa, 17 Januari 2012 mereka mendatangi Komisi 3 DPR RI melakukan hearing. Sepulang dari sana, mereka langsung konsolidasi di kantor KontraS Jakarta untuk langkah selanjutnya.

Pada rapat konsolidasi tersebut, beberapa kali Tajul keluar masuk menerima telepon. Setelah lebih dari setengah jam menerima telepon, Tajul Muluk menyampaikan kepada forum, “Ini kami baru dapat kabar dari sana, mereka memberi waktu sampai hari Jumat besok warga

32 Syiah tanda tangan mau pindah Sunni, kalau tidak rumah mereka akan dibakar, sama orangnya sekalian….”.

Semua orang terdiam kala itu. Tajul terlihat tegang. Wajahnya menunjukkan kemarahan. Untuk pertama kalinya sejak rumahnya dibakar massa pada tanggal 29 Desember 2011, Tajul menunjukkan wajah demikian. Tak ada kalimat yang berubah dari responnya atas ancaman tersebut. Tapi dari wajahnya dan tatapan matanya, dia telah sampai pada ambang kesabaran terbatasnya.

Dia mulai mengungkapkan kelelahannya dengan semua proses yang disarankan oleh penguasa hukum dan teman-teman LSM yang mendampinginya. Dialog demi dialog sudah dia jalani bahkan sejak tahun 2006. Berunding, bersepakat, berkompromi, mengalah, adalah beberapa kata yang seolah tak bisa dihindarinya. Bahkan ketika keputusan anggota dewan bersepakat menindaklanjuti kasus Tajul dan memasukkannya sebagai laporan pelanggaran HAM, ternyata juga tak meredekan wajah marahnya.

Selang beberapa menit, Tajul kembali mengangkat telpon. Teman-teman dari KontraS, AMAN Indonesia, Komnas Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, YLBHI, dan ABI, masih mencoba berdiskusi merumuskan langkah-langkah strategis menghadapi situasi Sampang yang setiap harinya semakin memanas. Tak lama Tajul kembali dan dengan senyum marahnya dia berkata, “Sekarang warga sudah berhadap-hadapan dengan mengangkat senjata…”.

Akhirnya, rekomendasi rapat itu adalah membagi tim menjadi 3 tugas mendatangi Propam, Komisioner dan Ketua Komnas Perempuan dan KPAI. AMAN Indonesia menjadi tim yang mengawal kasus ini untuk meminta advokasi lanjutan dari Komnas Perempuan terkait dengan bagaimana perempuan dan anak-anak menjadi posisi yang rentan menjadi korban terberat, sekaligus, mencoba mencari peluang untuk perempuan berperan dalam proses rekonsiliasi dan transformasi konflik.

Pada tanggal 18 Januari 2012 bersama Tajul, Pengacaranya, ABI, KontraS dan AMAN Indonesia, mendatangi Komnas Perempuan. Secara khusus komisioner Komnas Perempuan menyatakan respon dukungannya pada advokasi tersebut. Mereka bahkan telah membentuk tim yang akan berangkat ke Sampang untuk melakukan “tekanan” ke pemerintah lokal. Forum tersebut meminta semua pihak untuk saling berkoordinasi dan memberikan update informasi terkait jenis startegi “penekanan” yang bisa dilakukan Komnas Perempuan di lapangan.

Beberapa rekomendasi pada hari selanjutnya bermunculan. Hampir setiap hari NGO berkoordinasi terkait dengan jenis intervensi apa yang bisa dilakukan untuk kasus Sampang ini. Pada titik tertentu hampir semua NGO mengalami “kebuntuan’ dalam mengusahakan langkah taktis menghadapi jenis permasalah berbasis SARA. Hal ini sekaligus menjadi refleksi besar bahwa kasus semacam ini berkembang sangat cepat tanpa ada penyelesaian

33 hukum dan model advokasi yang bisa dipakai. Sepanjang 5 tahun terakhir, Setara Insitute mencatat ratusan kekerasan dilakukan atas nama SARA dan beberapa bahkan dilakukan oleh negara.

Secara kelembagaan AMAN sendiri berkomitmen intensif mengawal kasus ini untuk memberikan basis penguatan komunitas minoritas melalui perempuan dengan strategi yang relevan. Relevansi strategi ini diperoleh dari sejauh mana AMAN bersinergi dengan NGO lain dalam berbagi kerja dan menentukan model pendekatan yang berperspektif perlindungan hak minoritas dan kebebasan beragama.

Update intensif langsung dari lapangan yang dilakukan tim AMAN semakin mempertegas kerangka langkah pendekatan yang harusnya dilakukan. Pertemuan NGO (Muhammadiyah, Wahid Institut, ICRP, Sejuk, Elsaf) di kantor AMAN pada tanggal 27 Januari mulai mengerucutkan metode advokasi yang bisa disinergikan. Ada 4 jenis sinergisitas yang harus dilalui untuk menembus kelumpuhan pemerintah dan perlindungan keamanan di tingkat lokal serta penguatan kesadaran masyarakat tentang hak kebebasan beragama.

1. Advokasi Hukum dan Kebijakan

Pada level ini teman-teman NGO seperti KontraS, Komnas HAM, DPR, dan berbagai elemen yang bisa memberikan tekanan politik dan penegakan hukum. Perlindungan minoritas dan korban kekerasan menjadi konsen advokasi dalam rangka pendidikan hukum dan politik terhadap masyarakat dan aparat penegakan hukum serta kebijakan pemerintahan yang melindungi hak kebebasan beragama.

2. Advokasi Media

Pada level ini teman-teman seperti Sejuk (Serikat Jurnalistik untuk Keberagaman), AJI (Aliansi Jurnalis Independen), dan kelompok-kelompok yang bekerja di wilayah mempengaruhi masyarakat melalui media komersial dan komunitas menjadi kekuatan yang mengarahkan opini masyarakat bukan pada soal sesat-tidak sesat, melakinkan pada penghormatan pada keyakinan seseorang dan mengakui hak warga negara bebas beragama dan berkeyakinan.

3. Penguatan Pendidikan dan Sosio Kultural komunitas

Pada level ini, gerakan advokasi merujuk pada semua jenis metode penguatan komunitas, baik dari kelompok minoritas dan mayoritas. AMAN Indonesia, Koalisi Perempuan Indonesia, Yakkum, Mer-C, dan organisasi-organisasi yang konsen di wilayah sosiokultural termasuk kesehatan dan pendidikan mengusahakan mekanisme penguatan nilai kultural yang bisa dipakai sebagai media transformasi dan merawat harmoni. Hal ini didasari oleh keyakinan pada kekuatan masyarakat sipil dan karakter masyarakat Indonesia yang terikat pada nilai budaya dan agama.

34 Secara khusus penguatan ini dilakukan kepada kelompok minoritas sebagai upaya pencegahan, dan dilakukan terhadap seluruh komunitas untuk transformasi. Di level kelompok minoritas perlu dimiliki kemampuan menghadapi berbagai jenis ketidakadilan, seperti pendidikan pendokumentasian dan sekuritas kelompok, selain tentu saja pendidikan “inklussive” mengingat beberapa kali tuduhan terhadap minoritas mereka dianggap “tidak berbaur” dan “mengelompok”.

Untuk komunitas sendiri, pendidikan keberagamaan bisa dilakukan melalui materi-materi yang tidak “provokatif”, seperti bercocok tanam bersama, pemberantasan buta huruf dengan konten-konten bacaan keragaman, dan permainan anak serta seni budaya yang mengutamakan kerja sama dan kebersamaan.

4. Penguatan Organisasi Keagamaan

Kasus Madura mengajarkan pada kita tentang betapa peran organisasi keagamaan sangat penting terutama dalam mengarahkan cara pandang umatnya. Perkataan Ulama, Kyai, dan Tokoh Agama pada kasus ini lebih dari negara dan penegak hukum. Masyarakat bahkan “rela”mengorbankan nyawa untuk itu. Organisasi keagaman inilah yang akan menjadi support subsidi pengetahuan keagamaan yang bisa mengarahkan pada penghormatan dan perlindungan perbedaan keyakinan. Dalam kasus ini, segala jenis penyesatan menjadi provokasi yang justru diproduksi oleh organisasi dan tokoh-tokoh agama baik lokal maupun nasional.

Akhir kata, banyak pihak yang melihat isu ini sebelah mata karena belum menumpahkan pertumpahan darah. Tapi, sekaligus pihak tersebut melupakan bahwa perbedaan telah menjadi lazim untuk dijadikan alat justifikasi melakukan kekerasan dan menggandakan energi kebencian. Masa depan generasi penuh benci akan tertanam. Ratusan perempuan akan menceritakan pengalaman kelam mereka kepada anak-anaknya.

Jika ratusan masalah dengan motif semacam ini tak kunjung menemui model penyelesaian, maka mungkin besok, minggu depan, atau bahkan mungkin beberapa jam lagi kita akan mendengar hal yang sama di berbagai daerah di Indonesia. Oleh sebab itu, Asian Muslim Action Network (AMAN ) Indonesia menyerukan kepada Negara untuk mendorong proses rekonsiliasi Suni dan Syiah pada level nasional maupun akar rumput. Karena baik Syiah dan Sunni sama-sama menjadi korban dari ideologi kebencian yang dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu. Kembalikan keutuhan masyarakat Indonesia sesuai dengan Pancasila dan UUD 45.

35 LAMPIRAN 1

DAFTAR KESESATAN YANG DI TUDUHKAN KEPADA TAJUL MULUK 1. Mereka (ajaran Syi’ah Tajul Muluk Ma’mun, red) menganggap bahwa Allah masih butuh kepada tho’at dan ibadah dari hambaNya dengan berdalil Q.S.Al-Dzariyat:56 ( ﺖﻘﻠﺧﺎﻣﻭ ﻥﻭﺪﺒﻌﻴﻟ ﻻﺇ ﺲﻧﻹﺍﻭ ﻦﺠﻟﺍ)

2. Mereka menganggap bahwa Allah hanya dapat menyembuhkan orang sakit, tidak begitu dengan sebaliknya. Dengan berdalil Q.S. As-Syu’aro’: 80 (ﻦﻴﻔﺸﻳ ﻮﻬﻓ ﺖﺿﺮﻣ ﺍﺫﺇﻭ)

3. Mereka menganggap bahwa para imam mereka mengetahui ilmu ghaib dari selain Allah.

4. Mereka menganggap bahwa Kitab Suci Al-Qur’an yang ada pada tangan Muslimin se-alam semesta tidak murni diturunkan Allah, akan tetapi sudah terdapat penambahan, pengurangan dan perubahan dalam susunan Ayat-ayatnya.

5. Mereka menganggap bahwa semua ummat Islam – selain kaum Syi’ah - mulai dari para Shahabat Nabi hingga hari qiamat – termasuk didalamnya tiga Khalifah Nabi (Abu Bakar, Umar, Utsman) dan imam empat Madzhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’ie, Ahmad) termasuk pula Bujuk Batu Ampar – adalah orang-orang pendusta, bodoh lagi murtad karena membenarkan tiga Khalifah tersebut didalam merebut kekhalifaan Ali bin Abi Thalib.

6. Mereka menganggap bahwa Imam Ghazali bukan Ulama’ akan tetapi adalah dukun. 7. Dari Bab Wudlu’, mereka menganggap: Cukup mengusap kaki dalam wudlu’ yang berhukum wajib dibasuh. Karena mereka menganggap bahwa kelakuan dalam wudlu’ ada dua macam: ﻥﺎﺘﺤﺴﻣ (dua usapan) dan ﻥﺎﺘﻠﺴﻏ (dua basuhan) dengan berdalil ayat ( ﺍﻮﺤﺴﻣﺍﻭ ﻢﻜﻠﺟﺭﺃﻭ ﻢﻜﺳﺅﺮﺑ)

8. Dari Bab Shalat, mereka menambah dan mengurangi rukun-rukun Shalat seperti mengangkat tangan disetiap naik dan turunnya anggota badan, dan mengurangi bacaan Fatihah dalam Shalat Ruba’iyah dengan menganggap cukup membaca fatihah dalam dua raka’at saja.

9. Di dalam Shalat ketika sujud mereka bersujud diatas kertas yang bertuliskan: Ali, Fathimah, Hasan, Husien.

10. Menganggap bolehnya jama’ Shalat dzuhur dan ashar, maghrib dan isya’ tanpa ada sebab safar atau hujan dengan berdalil Ayat ﺲـﻤﺸﻟﺍ ﻙﻮﻟﺪﻟ" ﺓﻼﺼﻟﺍ ﻢﻗﺃ" waktu untuk dzuhur dan ashar ﻞﻴﻠﻟﺍ ﻖﺴﻏ ﻰﻟﺇ waktu untuk maghrib dan isya’ ﺮﺠﻔﻟﺍ ﻥﺁﺮﻗﻭ waktu untuk shubuh.

11. Menganggap Sholat Jum’at berhukum sunnah bagi ma’mum, dan fardlu bagi imam. 12. Menganggap bahwa shalat tarawih itu tidak ada di zaman Nabi SAW, melainkan diadakan oleh Umar Ibn Khattab untuk mengumpulkan Muslimin.

36 14. Mengharamkan puasa Asyura’ dengan dalih bahwa Ahlussunnah menuduh Rasul belajar tatakrama kepada orang Yahudi.

15. Membenci ajaran Ahlussunnah dan hanya menganggap benar ajaran Syi’ah.

16. Menganggap Ahlu Sunnah wal-Jama’ah khususnya para Shahabat lancang terhadap Nabi SAW. Karena mereka meriwayatkan Hadits-hadits yang menyangkut rahasia Nabi SAW. Seperti Hadits yang menjelaskan bahwa Nabi SAW berkencing sambil berdiri dengan dikelilingi para Shahabat.

17. Menganggap curang terhadap Ahlu Sunnah. Karena mereka (Ahlu Sunnah) membuang banyak riwayat dari Ali bin Abi Thalib ra. dan memasang banyak riwayat Abi Hurairah ra. dengan menganggap Ali ra. sebagai shahibul bait dan Abu Hurairah sebagai tamu, maka pasti shahibul bait lebih mengetahui daripada tamu.

18. Menganggap bahwa kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim tidak shahih.

19. Menganggap Abu Thalib termasuk dari Ahli Surga, dan ingkar terhadap Hadits yang menjelaskan adanya Abu Thalib didalam siksaan ringan dalam neraka.

20. Mengungkit-ungkit tentang pembunuhan terhadap Husien ra. dan sangat mencaci maki pelakunya dengan diatas namakan orang Sunni.

21. Mereka menganggap “Sesudah masuk aliran tersebut lebih merasakan khusyu’ dalam Shalat daripada Shalat-shalat sebelumnya”.

Dokumen terkait