• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Agroforestri

Satjapradja (1981) telah mengumpulkan beberapa pengertian agroforestri yang kemudian memberikan batasan umum sebagai suatu bentuk pemanfaatan lahan secara optimal pada suatu tapak yang mengusahakan produksi biologis berdaur pendek dan berdaur panjang (komoditi pertanian dan kehutanan), membentuk tajuk yang berlapis-lapis. berdasarkan kelestarian, baik ditanam

22

secara serentak maupun berurutan di dalam dan/atau di luar kawasan hutan, untuk kesejahteraan masyarakat.

Agroforestri dapat dikategorikan dalam multiple cropping, yaitu

intensifikasi penanaman dalam dimensi waktu dan ruang dengan menanam dua atau lebih jenis tanaman pada lahan yang sama dalam satu tahun. Selanjutnya

disebutkan bahwa perhatian penting dalam multiple cropping adalah penyediaan

makanan bagi keluarga, menghasilkan makan dengan investasi modal yang minimum, meminimumkan resiko, dan menyebar pendapatan dan persediaan makanan sepanjang tahun Mandagi (2000).

Nair (1989a) mendefinisikan agroforestri sebagai suatu sistem budidaya yang terdiri dari tanaman pohon dan non pohon yang tumbuh dalam asosiasi tertutup, dalam satu kesatuan kehutanan dan agronomis. Tujuannya adalah untuk memaksimumkan produksi dalam jangka panjang. Hasil yang diperoleh sekaligus berasal dari dua komponen tersebut yaitu tanaman pohon dan non pohon (sekurang-kurangnya pakan ternak).

Berdasarkan struktur dan sifat komponennya, Nair (1984) membagi system agroforestri menjadi empat kelompok yaitu :

1. Agrisilvikultur, merupakan sistem pertanian yang terdiri dari campuran

pepohonan dan tanaman pertanian termasuk semak dan tanaman merambat. Pelaksanaan sistem ini meliputi pemanfaatan lahan bera dalam area

perladangan berpindah (Shifting Cultifation), sistem tumpang sari, kebun

(Didominasi tanaman buah-buahan), penanaman sejajar garis kontur (Alley

2. Silvopastoral, merupakan sistem pertanian yang terdiri dari campuran pepohonan, padang rumput dan hewan peliharaan (penggembalaan)

3. Agrosilvopastoral, merupakan sistem pertanian yang terdiri dari campuran

pepohonan, tanaman pertanian, padang rumput dan hewan peliharaan (Penggembalaan). Pekarangan di sekitar tempat tinggal merupakan contoh yang baik untuk agrosilvopastoral.

4. Agrosilvofishery, merupakan sistem pertanian yang terdiri dari campuran

pepohonan, tanaman pertanian dan ikan. Pelaksanaan sistem ini terutama pada lahan mangrove.

Manfaat penerapan sistem agroforestri dapat dilihat dari keuntungan secara ekologis atau lingkungan, keuntungan secara ekonomis dan keuntungan secara sosial. Keuntungan secara ekologis dapat berupa (Nair 1989b; Chundawat dan Gautam 1993; Lai 1995): (a) pengurangan tekanan terhadap hutan, terutama hutan lindung dan suaka alam; (b) lebih efisien dalam siklus hara, terutama pemindahan hara dari kedalaman solum tanah ke lapisan permukaan oleh sistem perakaran

tanaman pepohonan yang dalam; (c) penurunan dan pengendalian aliran

permukaan, pencucian hara, dan erosi tanah; (d) pemeliharaan iklim mikro seperti terkendalinya temperatur tanah lapisan atas, pengurangan evaporasi dan terpeliharanya kelembaban tanah oleh pengaruh tajuk dan mulsa sisa tanaman; (e) sistem ekologis terpelihara dengan lebih baik dengan terciptanya kondisi yang menguntungkan dan populasi dan aktifitas mikroorganisme tanah; (f) Penambahan hara tanah melalui dekomposisi bahan organik sisa tanaman dan atau hewan dan (g) terpeliharanya struktur tanah akibat siklus yang konstan dari bahan organik sisa tanaman dan hewan.

24

Secara ekonomis, sistem agroforestri sangat menguntungkan terutama dalam hal (Nair 1989c; Chundawat dan Gautam 1993; Lai 1995): (a) peningkatan keluaran dalam arti lebih bervariasinya produk yang diperoleh yaitu berupa pangan, pakan, serat, kayu, bahan bakar, pupuk hijau dan atau pupuk kandang; (b) memperkecil kegagalan panen karena gagal atau menurunnya panen dari salah satu komponen, masih dapat ditutupi oleh adanya hasil (panen) komponen lain; dan (c) meningkatnya pendapatan petani, karena input yang diberikan akan menghasilkan output yang berkelanjutan.

Keuntungan secara sosial dari diterapkannya sistem agroforestri adalah (Chundawat dan Gautam 1993; Lai 1995): (a) terpeliharanya standar kehidupan masyarakat pedesaan dengan keberlanjutan pekerjaan dan pendapatan; (b) terpeliharanya sumber pangan dan tingkat keseharian masyarakat karena peningkatan kualitas dan keragaman produk pangan, gizi dan papan; dan (c) terjaminnya stabilitas komunitas petani dan pertanian lahan kering sehingga dapat mengurangi dampak negatif urbanisasi.

Selain kebaikan-kebaikan tersebut di atas, sistem agroforestri juga memiliki kelemahan-kelemahan, baik secara ekologis atau lingkungan, maupun secara sosial- ekonomis (Chundawat dan Gautam 1993). Kelemahan dari aspek lingkungan antara lain: (a) kemungkinan terjadinya persaingan sinar matahari, air tanah dan hara antara tanaman pohon (hutan) dengan tanaman pertanian/pangan dan pakan; (b) kerusakan tanaman pangan pada saat dilakukan pemanenan tanaman pohon (terutama saat penebangan kayu); (c) tanaman pohon secara potensial dapat menjadi inang bagi hama dan penyakit tanaman.

Kelemahan dari segi sosial-ekonomis antara lain (Chundawat dan Gautam, 1993): (a) terbatasnya tenaga kerja yang berminat di bidang pertanian, khususnya dalam membangun sistem agroforestri; (b) terjadinya persaingan antara tanaman pohon dengan tanaman pangan yang dapat menurunkan hasil tanaman pangan (sumber gizi keluarga) dibandingkan pada penanaman dengan sistem monokultur; (c) waktu yang cukup panjang untuk menunggu panen tanaman pohon dapat mengurangi produksi sistem agroforestri tersebut; (d) sistem agroforestri diakui lebih komplek sehingga lebih sulit diterapkan, apalagi dengan pengetahuan petani yang terbatas dibandingkan pada sistem pertanian monokultur; dan (e) keengganan sebagian besar petani untuk menggantikan tanaman pertanian/pangan dengan tanaman pohon atau sebaliknya, yang Iebih bemilai ekonomis.

Dengan tingkat pengetahuan yang memadai, sebenarnya kelemahan- kelemahan sistem agoforestri tersebut di atas dapat dikendalikan sebagian atau seluruhnya dengan jalan (Nair I989c; Chundawat dan Gautam 1993): (a) penggunaan pohon kacangan atau tanaman berbuah polong yang sedikit dalam menghambat sinar matahari, sehingga kebutuhan cahaya untuk tanaman pangan dapat terpenuhi; (b) pemilihan tanaman pohon dengan sistem perakaran dalam, sehingga mengurangi persaingan hara dan air dengan tanaman pangan di sekitar permukaan atau tanah lapisan atas; dan (c) jarak tanaman pohon yang dibuat lebih lebar, sehingga mengurangi persaingan cahaya matahari, hara dan air tanah dengar, tanaman pangan.

Tujuan akhir program agroforestri adalah juga meningkatkan kesejahteraan rakyat petani terutama yang di sekitar hutan, yaitu dengan memprioritaskan partisipasi aktif masyarakat dalam memperbaiki keadaan lingkungan yang rusak

26

dan berlanjut dengan memeliharanya (Departemen Kehutanan 1997). Beberapa jenis tanaman yang cocok untuk ditanam dengan sistem agroforestri (Mandagi 2000) :

a. Padi (Oryza sativa)

Padi gogo atau padi ladang termasuk dalam famili Gramineae. Padi gogo dapat tumbuh pada keinggian 0.2-500 mdpl pada suhu 24°C – 26 °C. Distribusi CH lebih penting dari CH total dimana kebutuhan CH adalah 100 mm/hari. Padi ladang ditanam pada bulan November/Desember. Pemakaian pupuk adalah 100 kg urea dan 150 kg TSP. Produksi padi gogo lebih rendah daripada padi sawah yaitu 2.1 ton/ha.

b. Jagung (Zea mays L.)

Jagung termasuk dalam famili Gramineae. Jagung dapat tumbuh pada ketinggian 0 – 3700 mdpl pada daerah kering dengan CH 250 mm/tahun sampai daerah basah dengan CH 5000 mm/tahun. Tanaman jagung dapat tumbuh pada tanah pasir sampai tanah liat di daerah datar sampai lereng yang curam. Sangat rentan terhadap udara dingin dan tidak cocok pada suhu rata- rata di bawah 15°C. Kebutuhan pupuk adalah 200 kg urea, 200 kg TSP dan 50 kg KCL. Jagung ditanam pada dua musim pada bulan Oktober dan Februari tapi kadangkala dapat ditanam pada bulan Juni. Varitas lokal membutuhkan benih 40 -50 kg/ha, varitas unggul memerlukan 30 kg/ha. Umur panen jagung adalah 70-120 hari.

c. Jambu mete (Anacardium occidentale)

Tanaman ini termasuk dalam famili Anacardiaceae. Jambu mete adalah tanaman keras yang tahan terhadap kekeringan, tumbuh dengan subur pada berbagai macam iklim dan kondisi tanah dan dapat tumbuh pada ketinggian

0 – 1 150 mdpl, tetapi paling baik di dataran rendah. Curah hujan 500 – 3 600 mm/tahun, paling baik pada tanah yang berpasir dengan drainase

yang baik namun juga bisa tumbuh pada perbukitan yang terlalu kering dan berbatu untuk ditanami tanaman lain. Jarak tanam 3m x 3m, setelah berumur 10 tahun dapat dijarangkan sampai 6m x 6m. Pemanfaatan tanaman sela dapat dilakukan sampai dua tahun. Hasil ekonomis dapat diperoleh setelah tahun ketiga namun produksi penuh diperoleh baru pada tahun ke sepuluh dan terus berproduksi sampai 20 tahun. Produksi kacang mete minimal 10 kg/pohon

d. Kakao (Theobroma Cacao L.)

Tanaman Kakao termasuk dalam famili Sterculiaceae yang tumbuh di hutan tropis dengan habitat asli hutan tropis dengan naungan pohon-pohon yang tinggi, curah hujan tinggi, suhu sepanjang tahun relatif sama serta kelembaban tinggi dan relatif tetap, tetapi dalam habitat ini tanaman kakao akan menghasilkan sedikit bunga dan buah meskipun pohon tumbuh tinggi. Usaha tani kakao selalu menghadapi resiko kegagalan akibat serangan hama dan penyakit serta kondisi musim yang tidak mendukung produksi. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan tumpang sari. Tanaman yang biasa ditanam bersama kakao adalah kelapa yang berperan sebagai tanaman penaung atau dapat pula dengan sistem agroforestri dengan kombinasi tanaman Jati, kakao, lamtoro dan pisang dengan jarak tanam tertentu. Kakao biasanya

28

ditanam dengan jarak tanam 3 x 3 m atau 4 x 2 m, tanaman penaungnya yaitu kelapa ditanam dengan jarak tanam 10 x 10 m atau 12 x 4 m.

e. Jati (Tectona grandis)

Tanaman jati umumnya tersebar di kawasan Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat (Sumbawa), Maluku dan Lampung. Tanaman ini umumnya dapat tumbuh di ketinggian di bawah 700 mdpl dan tumbuh pada tanah-tanah vulkanis (abu, breksi) maupun tanah-tanah sedimen (formasi kapur dan napal) dan pada tanah-tanah alluvial berbagai asal, syarat yang lebih berat adalah terhadap keadaan fisik tanah dimana dia hanya tumbuh baik pada tanah-tanah sarang tetapi tidak terlalu kering dan agak basah dan aerasinya baik. Tanaman jati dibiakkan dengan mempergunakan biji atau dengan trubusan, tetapi yang lazim dilakukan adalah dengan menugal biji langsung di lapangan. Penanaman biji biasanya dilakukan pada awal musim hujan. Pada setiap ajir diletakkan tiga (3) benih dengan jarak antar benih 25 cm Benih ditanamkan pada bekas tangkai ke bawah sedalam 1 cm. Jarak antara ajir, yang juga merupakan jarak tanam bervariasi , tergantung pada bonita tanahnya. Untuk tanah berbonita 2-2.5 dipakai jarak tanam 1x 2 meter, pada bonita 3 dapat dipilih jarak tanam 1 x 2.5 meter dan pada bonita 3.5 ke atas digunakan jarak tanam 3 x1 meter.

Tanaman jati dan tanaman sela akan berada dalam pemeliharaan petani selama 2 tahun sejak masa tanam jati. Pemeliharaan yang dilakukan meliputi : penyiangan, penyulaman, pemangkasan tanaman sela apabila tajuknya terlalu menaungi tanaman jati dan pemangkasan cabang dan ranting tanaman jati yang berdekatan dengan permukaan tanah.

Penjarangan pertama yang dilakukan tergantung kepada keadaan bonita tanahnya,berkisar antara umur 3 -5 tahun, kemudian 3 tahun sekali sampai umurnya lebih kurang 15 tahun. Setelah itu dijarangi setiap 5 tahun sekali sampai umur 30 tahun dan selanjutnya dijarangi 10 tahun sekali.

f. Akasia (Acacia auriculiformis, A. Cunn.)

Tanaman akasia termasuk dalam famili Leguminosae. Tanaman ini dapat tumbuh pada ketinggian sampai 600 mdpl dengan CH 1500-1800 mm/tahun dengan enam bulan kering, suhu 26°C sampai di atas 30°C . Tidak membutuhkan persyaratan yang tinggi baik terhadap tanah maupun iklim. Dapat tumbuh di tanah yang dangkal maupun dalam, pada lokasi padang alang-alang dan rumpun kering, seringkali pada tanah miskin unsur hara tetapi pohon ini menghasilkan nodul-nodul akar dan seringkali bisa bertahan hidup pada tanah dengan kandungan nitrogen dan bahan organik yang sangat rendah. Di Indonesia ditanam pada lereng yang tidak stabil untuk menjaga erosi dan direkomendasikan untuk tanah-tanah yang paling miskin. Mempunyai kapasitas untuk menghasilkan kayu bakar yang baik pada tanah miskin bahkan pada daerah-daerah dengan musim kemarau yang panjang. Jika pohon dipanen sekelompok tunas baru muncul dengan begitu cepat bahkan pada tanah-tanah

marjinal. Daur berkisar antara 8-10 tahun dengan riap 23 m3/ha/tahun. Di

Indonesia dan Malaysia riap tahunan adalah 17-20 m3/ha, rotasi 10-12 tahun.

Bahkan pada tanah subur produksi mencapai 10 m3/ha/tahun pada kondisi

yang lembab (Panel on Firewood Crops 1981; Direktorat Penghijauan dan Pengendalian Perladangan 1987; dan Direktorat Reboisasi 1995).

30

Kegiatan agroforestri merupakan bentuk kegiatan proyek CDM kehutanan yang memiliki potensi yang sangat besar, karena kegiatan ini merupakan bentuk kegiatan yang sudah banyak dilaksanakan oleh masyarakat. Sementara luas lahan yang layak di luar kawasan juga cukup besar. Hasil kajian di Lampung

menunjukkan bahwa sistem agroforestri kebun (home garden system, HGS) yang

berumur 30 tahun memiliki kandungan karbon sekitar 219-220 t C ha-1. Bahkan

walaupun hasil kayunya diambil secara periodik, kandungan karbonnya masih

tetap tinggi yaitu mencapai 184 t C ha-1, jauh lebih tinggi dari lahan alang-alang

atau semak belukar yang kandungan karbon maksimum sekitar 35 tC ha-1

(Roshetko et al. 2002). Hasil analisis kandungan karbon terhadap lima jenis pool

karbon (Carbon pools), biomass bagian atas, akar, sarasah, tanaman bawah, dan

karbon tanah pada 19 jenis sistem agroforestri kebun umur 13.4 tahun diperoleh

bahwa total kandungan karbonnya rata-rata sekitar 107 t C ha-1 dengan simpangan

baku sekitar 8.1 t C ha-1 (Tabel 3).

Tabel 3. Kandungan Karbon di Lima Jenis Pool Karbon pada Sistem

Agroforestri Kebun (home garden system) Umur Rata-rata 13.4 Tahun.

Jenis pool karbon Rata-rata kandungan karbon (t C ha-1)

Simpangan baku (t C ha-1)

Biomass bagian atas 35.2 21.0

Akar 8.8 5.3

Sarasah 2.0 1.2

Tanaman bawah 0.3 0.07

Tanah 60.8 4.4

TOTAL 107.1 8.1

Sumber: Roshetko et al. (2002)

Dokumen terkait