• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV AKSI REFLEKSI : ANALISIS PEMBERDAYAAN

B. Ajaran Agama yang Tidak Diajalankan dengan Benar

Organisasi Keagamaan seperti Majlis Ulama

Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan lain-lainnya telah mengeluarkan fatwa bahwa politik uang di dalam pemilihan umum adalah haram. Keharaman politik uang ini disamakan hukumnya dengan riswah (suap) yang dalam hokum Islam adalah haram. Dasar hokum yang dignakan adalah sebuah hadits Nabi, dari Tsauban ra dia berkata: ”Rasulullah saw melaknat orang yang melakukan suap dan orang yang menerima suap serta orang yang menjadi perantara antara penyuap dan penerima suap.” (Hadits Riwayat Ahmad). Dengan terang Hadits diatas menginformasikan bahwa praktik suap adalah perbuatan yang melanggar agama. Islam menempatkan penyuapan sebagai perbuatan yang dilaknat. Dalam satu tarikan nafas Hadits di atas menegaskan bahwa yang terlaknat itu yang meyuap, penerima suap, juga orang yang menjadi perantara terjadinya penyuapan.

Penelitian Wahid (2011) menyatakan bahwa tidak

ada perbedaan di kalangan ulama mengenai haramnya risywah. Di dalam ayat Al-Quran memang tidak disebutkan secara khusus istilah suap-menyuap atau risywah. Namun Imam al-Hasan dan Said bin Zubair menafsirkan ungkapan al-Quran yaitu `akkâlûna li al-suhti` sebagai risywah atau suap. Sebagaimana dalam QS. Al-Maidah : 42, “mereka itu

175

adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi)

datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka

putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau beRpalinglah dari mereka”. Kalimat `akkâlûna li al-suhti` secara umum memang sering diterjemahkan dengan memakan harta yang haram. Namun konteksnya menurut kedua ulama tadi adalah memakan harta hasil suap-menyuap atau risywah. Jadi risywah (suap menyuap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah Swt dalam firman-Nya: QS al-Baqarah [2]: 188, “Dan Janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui “. Selain itu ada banyak sekali dalil dari al-Sunnah yang mengharamkan suap-menyuap dengan ungkapan yang sharîh. Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: “Allah melaknat penyuap dan penerima suap dalam hukum (pemerintahan)” (HR Ahmad, Abu Dawud dan al-Tirmidzi).

Dari paparan tersebut di atas jelaslah bahwa Islam mengharamkan politik uang yang disamakan dengan riswah

atau suap menyuap. Berbagai dalih yang disampaikan ke

176

‘uang haram’ hanyalah rekaan dan buatan manusia, yang bersandar pada adanya maslahat/manfaat sekilas yang bisa dijangkau oleh akal. Tidak jarang, hawa nafsu manusia turut terlibat di dalamnya. Padahal, telah jelas pula bagi kita bahwa akal manusia tidak memiliki otoritas untuk menetapkan apakah suatu benda atau perbuatan tertentu itu halal atau haram. Mereka mengira bahwa apa yang telah dilakukannya itu adalah kebaikan di sisi Allah, meski berasal dari harta yang telah diharamkan.

Dalam fenomena politik uang yang diterima masyarakat seakan-akan memberikan keuntungan atau kemaslahatan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat. keuntungan tersebut memang secara langsung bisa dirasakan oleh masyarakat. pemberian seperti uang tunai, sembako dan bantuan pembangunan fasilitas umum memang secara langsung bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. tetapi, dalam jangka panjang pemberian atau politik uang tersebut banyak membawa kemudharatan. Karena, akibat yang ditimbulkan adanya politik uang lebih besar bahayanya dari manfaatnya.

Keharaman politik uang, serta kemudharatan yang besar dibanding dengan kemaslahatan politik uang belum sepenuhnya disadari masyarakat secara luas. Ketidakpahaman dan ketidaksadaran masyarakat akan hal tersebut tidak semata-mata kesalahan masyarakat. para pemimpin agama

177

juga mempunyai kontribusi dalam peristiwa tersebut. Hal ini terbukti dengan masih maraknya politik uang meskipun organisasi keagamaan seperti NU telah mengeluarkan fatwa haram politik uang, tetapi seakan-akan tidak ada implikasi

positif terhadap fatwa tersebut. Kita patut mengapresiasi

fatwa itu. Setidaknya, NU sebagai lembaga keagamaan punya perhatian besar untuk menyelamatkan umatnya dari bahaya politik uang. Fatwa itu juga merupakan bentuk kontribusi NU dalam proses pendidikan politik bagi rakyat. Dengan begitu, kita berharap bahwa demokrasi kita makin berkualitas. Namun, muncul pertanyaan, “seberapa besar pengaruh fatwa NU tersebut dalam mencegah praktek politik uang?” Maklum, politik uang tak sekedar urusan moralitas belaka. Politik uang, seperti halnya korupsi, berakar pada sistim ekonomi-politik di Indonesia. Artinya, tak ada jaminan fatwa itu bisa efektif membuat orang takut melakukan politik uang.

Selain itu, pemberian mekanisme sanksi, misalkan

diskualifikasi, tak menjamin politik uang akan reda. Sebab, seperti juga korupsi, politik uang bisa dilakukan dalam bentuk terselubung. Ambil contoh, seorang kandidat petahana menjanjikan kenaikan gaji atau tunjangan kepada PNS. Janji itu diucapkan di sela-sela proses Pilkada. Janji politik semacam itu bisa dikategorikan sebagai politik uang. Sama halnya dengan iming-iming program Jaminan Kesehatan

178

Daerah (Jamkesda) di tengah-tengah Pilkada. Itu semua merupakan bentuk politik uang dalam bentuk terselubung.

Studi Yamamah (2010) mengemukakan bahwa para pemuka agama perlu menanamkan pemahaman bahwa menggunakan politik uang dalam proses pemilihan umum adalah sesuatu yang bersifat "najis". Dengan begitu, akan muncul rasa jijik di kalangan masyarakat untuk menerima sesuatu dalam sebuah proses demokrasi rakyat. Masyarakat kurang peduli dengan politik uang, bahkan terkesan mengharapkan sesuatu dari seorang tokoh yang sedang "bertarung" dalam proses demokrasi rakyat, seperti Pemilu dan pilkada. Hal itu disebabkan masyarakat tidak menyadari bahaya politik uang serta menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah. Itu karena masyarakat belum menganggap poilitik uang sebagai najis yang harus dijauhi. Salah satu penyebab munculnya fenomena itu karena tidak adanya larangan yang tegas dari pemuka agama, sekaligus menjelaskan hukum politik uang dalam pandangan agama. Apalagi, sebagian pemuka agama justru menyatakan boleh menerima pemberian seorang calon pejabat atau politisi meski pilihan politik yang diberikan tergantung pada hati nurani masing-masing. Itu ajaran yang tidak baik karena seolah-olah mengajarkan masyarakat untuk bersikap munafik. Untuk itu, pemuka agama perlu menanamkan pemahaman bahwa politik uang adalah najis yang harus dijauhi.

179

Para pemimpin organisasi keagamaan harus secara terus menerus, sistematis dan terencana melakukan penyebaran dan desiminasi informasi melalui berbagai saluran komunikasi, baik langsung maupun tidak langsung, memberikan pembinaan kepada umat. Agar umat benar-benar memahami dan menyadari akan bahaya politik uang. Dengan menghindarkan diri dari politik uang dalam setiap pemilhan umum, selain menjalankana ajaran agama yang merupakan amal sholeh dan mendapatkan pahala, juga akan membawa pada kehidupan politik yang ramah dan santun serta penuh dengan kedamaian. Dengan demikian, dalam satu perilaku sebagai pemilih cerdas (menolak politik uang) aka nada dua tujuan sekaligus yang dicapai, kaitu menjalankan ajaran agama dan membangun politik, pemilu dan demokrasi yang sehat. Hal ini lah yang seharusnya dikampanyekan secara terus menerus oleh para pemimpin organisasi keagamaan.

Dokumen terkait