• Tidak ada hasil yang ditemukan

n. Teks Akademik Tergolong ke dalam Genre Faktual bukan Genre Fiksional Sebagian besar teks akademik yang dikutip sebagai tugas pada poin-poin di atas

Dalam dokumen PERTEMUAN 1 Menelusuri dan Menganalisis (Halaman 34-38)

35

faktual, bukan genre fiksional. Teks-teks tersebut dikatakan faktual, karena teks-teks tersebut ditulis berdasarkan pada kenyataan empiris, bukan pada rekaan atau khayalan (Martin, 1985b; Martin, 1992:562-563).

Dilihat dari segi genre makro dan genre mikro, teks-teks akademik yang dijadikan tugas tersebut dapat digolongkan ke dalam genre makro artikel ilmiah atau artikel jurnal. Sebagai artikel ilmiah, teks-teks tersebut mengandung beberapa genre mikro sekaligus, antara lain deskripsi, eksplanasi, prosedur, eksposisi, dan diskusi. Terdapat kecenderungan bahwa setiap subbab atau setiap tahap dalam struktur teks pada artikel mengandung genre mikro yang berbeda, sesuai dengan karakteristik subbab-subbab tersebut.

(1) Teks berikut ini diolah dari buku yang berjudul Sistem politik Australia. Teks tersebut berisi usulan tentang perlunya pembentukan Konstitusi Australia. Tunjukkan bahwa teks tersebut tergolong ke dalam genre faktual tertentu, dan jelaskan struktur teks yang mewadahi usulan tersebut dengan menamai setiap tahapan yang ada dalam struktur teks tersebut. Sebutkan alasan yang diajukan bahwa usulan itu penting. Untuk membantu Anda dalam mengindentifikasi genre teks tersebut, perlu disampaikan bahwa Paragraf 3 merupakan penegasan kembali gagasan yang diusulkan pada Paragraf 1.

(2) Dengan cara yang sama, identifikasilah apakah teks yang berjudul

“Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak UMKM” pada Petikan 2 juga

tergolong ke dalam genre faktual tertentu. Jelaskan pula strutur teks yang membentuk teks tersebut.

Petikan 1

PERLUNYA PEMBENTUKAN KONSTITUSI AUSTRALIA

Tujuan utama pembentukan Konstitusi Australia sebenarnya diawali oleh munculnya berbagai harapan dan keinginan untuk melindungi dan memajukan kepentingan bersama dari masing-masing koloni Australia. Bersamaan dengan itu, terdapat beberapa faktor lain yang menyumbang kepada keinginan yang mengarah kepada diperlukannya suatu kesatuan di antara pemerintahan-pemerintahan koloni tersebut. Faktor pertama adalah melindungi perekonomian Australia melalui kebijakan pengetatan keuangan. Dalam hal ini, Pemerintah Federal ternyata mampu mengatur sebuah kebijakan keuangan yang seragam, termasuk mendirikan sebuah Bank Persemakmuran (Commonwealth Bank). Faktor kedua adalah masalah pertahanan. Pemerintahan-pemerintahan koloni mengkhawatirkan adanya kekuatan-kekuatan besar yang akan mengancam keamanan Australia dengan membentuk koloni-koloni yang berdekatan dengan wilayahnya. Dalam berbagai waktu, negara-negara besar, seperti Jerman, Rusia, Perancis, dan Jepang, telah memperlihatkan kecenderungan tersebut dengan mendirikan koloni-koloni di pulau-pulau yang berdekatan dengan Australia. Faktor selanjutnya adalah masalah pembatasan imigrasi. Terdapat tuntutan mengenai perlunya satu kebijakan imigrasi yang dapat melindungi kaum buruh Australia. Soal ini dimulai dengan kebijakan Australia Putih (white Australia policy) berdasarkan UU Imigrasi 1901. Faktor yang terakhir berkaitan dengan masalah nasionalisme. Ketika itu muncul perasaan bahwa rakyat Australia perlu membangun jati diri mereka sendiri dan harus bangga terhadap jati diri mereka.

36

Dengan demikian, tujuan perumusan konstitusi yang terutama untuk membentuk suatu pemerintahan yang bersifat nasional, dan pada saat yang bersamaan melindungi kepentingan-kepentingan koloni masing-masing, dan sedapat-dapatnya, melestarikan basis kekuasaan mereka di koloni-koloni tersebut. (Diolah dan ditulis ulang dari Sistem Politik Australia, Hamid, 1999: 2-3)

Petikan 2

MENINGKATKAN KEPATUHAN WAJIB PAJAK UMKM

Sebagaimana usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di banyak negara, UMKM Indonesia juga memainkan peranan signifikan bagi perekonomian nasional. Di Indonesia, jumlah UMKM mencapai 56 juta unit dan menyumbang sekitar 60 persen dari total GDP dan menampung 97 persen dari total tenaga kerja pada tahun 2012. Meski UMKM berperan dominan terhadap perekonomian nasional, apabila dikaitkan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan, terlihat bahwa kepatuhan pajak UMKM masih belum memadai. Meski jumlah UMKM di atas 50 juta unit, jumlah pembayar pajak “orang pribadi” yang memiliki NPWP masih sekitar 20 juta. Mengapa tingkat kepatuhan pajak tersebut masih rendah? Ada beberapa alasan mengapa pembayar pajak UMKM belum secara maksimal berkontribusi dalam penerimaan pajak.

Pertama, usaha dengan karakteristik tersebut mengalami kendala utama dalam bidang administrasi. Secara umum perkembangan UMKM dimulai dari usaha perorangan, yang jika berkembang, berbentuk badan dengan skala kecil menengah. Beban administrasi yang kompleks akan meningkatkan biaya kepatuhan pajak yang dapat menurunkan daya saing UMKM. Hal ini berdampak terhadap tingkat kepatuhan pajak yang rendah. Kedua, tarif pajak tidak kompetitif bagi pembayar pajak UMKM dibandingkan dengan non-UMKM. Sebagai contoh, bagi para pelaku UMKM pajak merupakan komponen biaya dalam penghitungan sederhana. Jika tingkat keuntungan sebelum pajak 10 persen dengan Pajak Penghasilan (PPh) 1 persen dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 3 persen , akan dihasilkan keuntungan 6 persen.

Dengan penghitungan sederhana ini, para pengusaha UMKM akan mudah melaksanakan pemenuhan kewajiban pajaknya, di samping–tentu saja–memprediksi keuntungan yang dapat direalisasikan. Sebaliknya, jika tarif pajak terlalu tinggi, misalnya total PPN dan PPh 11 persen, dengan tingkat keuntungan yang sama, memungkinkan timbulnya ketidakpatuhan karena cost dan revenue sudah tidak match.

Ketiga, etika dan lingkungan mempengaruhi tingkat kepatuhan pembayar pajak UMKM. Hal ini dapat disebabkan oleh ketidakjujuran wajib pajak UMKM atau pengaruh keluarga dan lingkungan.

Keempat, kemungkinan untuk terdeteksi aparat pajak. Dengan adanya kemungkinan diperiksa atau terdeteksi atas kewajiban pajak yang ada, berdampak terhadap tingkat kepatuhan pembayar pajak.

Perpajakan atas UKM terdiri atas dua jenis pajak utama yang memiliki peran signifikan, yaitu PPh dan PPN, dengan PPh sebagai pajak dominan. Berdasarkan PP No 46/2013, wajib pajak dengan peredaran usaha di bawah Rp 4,8 miliar dikenakan PPh 1 persen dari total peredaran usaha dan bersifat final. Pelaku UMKM tidak harus menghitung secara tepat keuntungan yang dihasilkan karena pajak tersebut bersifat final sehingga tidak dipengaruhi oleh jumlah keuntungan yang dihasilkan.

Ini berarti pembayar pajak di sektor ini dipermudah, baik dari segi administrasi maupun tarif yang kompetitif. Namun, PPN masih menjadi kendala mengingat pelaku UMKM mempunyai kewajiban sebagai pengusaha kena pajak dengan peredaran usaha di atas Rp 600 juta.

37

Apabila merujuk peraturan yang berlaku, yakni UMKM dengan peredaran di bawah Rp 4,8 miliar wajib memungut PPN 10 persen, bagi UMKM hal ini menjadi beban. Di sini tarif pajak dan kesederhanaan administrasi menjadi isu utama yang dapat berimplikasi terhadap ketidakpatuhan wajib pajak UMKM, belum lagi ketidakjujuran pembayar pajak. Kebijakan dalam PP No 46/2013 dan PMK No 197/2013, tidak saja membawa angin segar bagi pelaku UMKM dengan tarif yang kompetitif, tetapi juga kesederhanaan dalam pemenuhan kewajiban pelaporan pajak tahunan. Karena itu, kombinasi tentang PPh 1 persen dan peningkatan batasan untuk jadi PKP adalah solusi yang selaras menunjang tingkat kepatuhan wajib pajak UMKM.

Sebagai contoh, wajib pajak UMKM yang memiliki usaha di atas 600 juta dan di bawah Rp 4,8 miliar tidak punya beban untuk dikenai PPN 10 persen karena dapat memilih untuk tak menjadi PKP. Mengingat secara umum pelaku UMKM kesulitan dalam administrasi, PPN yang seharusnya dibebankan kepada pembeli akan menjadi beban penjual.

Dengan logika sederhana, dapat dipahami bahwa pada jumlah keuntungan yang sama dengan pajak yang harus dibayar akan sulit didapatkan kejujuran dari pembayar pajak. Hal ini dapat berpotensi meningkatkan ketakpatuhan pembayar pajak dari sektor UMKM karena PPN tidak berfungsi sebagai credit method tetapi menjadi bagian dari harga pokok penjualan. Dengan demikian, kedua peraturan tersebut tidak saja dapat meningkatkan tax compliance pembayar pajak UMKM, tetapi juga meningkatkan daya saing UMKM yang berarti menunjang perekonomian nasional.

Akhirnya, pengawasan atas kewajiban pajak UMKM serta kebijakan yang pro UMKM akan menekan tax compliance cost dan mendorong kepatuhan pembayar pajak. Peningkatan kepatuhan pembayaran pajak berarti peningkatan penerimaan pajak dan penurunan tingkat ketidakjujuran pembayar pajak. (Diolah dari: “Pajak dan UMKM”, http://opinikompas.blogspot.co.id/2014/03/ pajak-dan-umkm.html, Inasius, 2014).

2. Menyajikan Teks Akademik dalam Berbagai Genre Makro

Buku yang ada di tangan Anda ini tidak menyajikan semua genre makro yang disebutkan pada Subbab C.2 di atas, tetapi hanya genre makro ulasan buku, proposal (baik proposal penelitian maupun proposal kegiatan), laporan (baik laporan penelitian maupun laporan kegiatan), dan artikel ilmiah. Sebagai pemahaman awal, pada subbab ini, Anda diajak untuk mengidentifikasi genre mikro yang terdapat di dalam masing- masing genre makro tersebut melalui contoh-contoh yang dicuplikkan dari genre-genre makro. Pendalaman lebih lanjut terhadap setiap genre mikro yang berada di masing- masing genre makro itu akan Anda lakukan pada Bab II sampai dengan Bab V.

Pernahkah Anda mempertanyakan bahwa ulasan buku, proposal penelitian atau proposal kegiatan, laporan penelitian atau laporan kegiatan, serta artikel ilmiah ditata menurut struktur teks dan pilihan leksikogramatika tertentu? Pembahasan secara mendalam tentang hal tersebut pada masing-masing genre makro itu akan disajikan pada Bab II sampai dengan Bab V. Pada subbab ini, Anda hanya diajak untuk mencermati contoh-contoh cuplikan dari masing-masing genre itu dengan mengenali struktur teksnya dan genre-genre mikro yang terkandung di dalamnya.

38

Dalam dokumen PERTEMUAN 1 Menelusuri dan Menganalisis (Halaman 34-38)