• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB EMPAT PENUTUP

2. Bagi Akademisi

− Diharapkan kepada pihak kampus dan perpustakaan, agar dapat menambah dan memperbanyak buku-buku tentang hukum jinayat dan buku Qanun Aceh untuk bahan bacaan serta wawasan mahasiswa dan juga sebagai referensi-referensi penelitian sebagai perbandingan.

− Penulis menyarankan kepada pihak dekan Fakultas Syari’ah agar sudi kiranya mempublikasikan skripsi ini baik dalam bentuk buku, majalah, jurnal dan lainnya, sehingga karya ini bisa di jadikan sebagai bahan rujukan, baik dikalangan dosen maupun mahasiswa yang ada di lingkungan kampus UIN Ar-raniry khususnya Fakultas Syari’ah.

Inilah saran-saran yang dapat penulis ambil dari karya ilmiah ini, semoga karya ilmiah ini bermamfaat, diberkati Allah SWT, dan menjadi bahan rujukan untuk kajian seterusnya, Aamiin.

15

Dalam hukum Islam, perzinaan dianggap sebagai suatu perbuatan yang sangat terkutuk, pendapat ini disepakati oleh ulama, kecuali perbedaan hukumnya. Menurut sebagian ulama tanpa memandang pelakunya, baik dilakukan oleh orang yang belum menikah atau orang yang telah menikah, selama persetubuhan tersebut berada di luar kerangka pernikahan, hal itu disebut sebagai zina dan dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Juga tidak mengrangi nilai pemidanaanya, walaupun hal itu dilakukan secara sukarela atau suka sama suka.18

Abu Zahrah mengatakan bahwa, zina adalah hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah, dilakukan dengan sadar dan tanpa adanya unsur subhat.19Adapun Abdul Qadir Audah berpendapat

bahwa zina ialah hubungan badan yang diharamkan dan disengaja oleh pelakunya.20

Zina juga berarti aktivitas seksual yang melibatkan organ reproduksi yang diharamkan, membangkitkan nafsu syahwat serta menetapkan adanya had. Meskipun memasukkan pucuk atau kadar tertentu dari penis seorang lelaki, sekalipun impoten, berkondom, ke dalam lubang vagina atau lubang anus laki-laki atau perempuan yang tidak halal.21

18

Muslim Zainuddin, Problematika Hukuman Cambuk di Aceh, (Banda Aceh: Dina Syariat Islam Aceh, 2012), hlm. 29-30.

19Ibid.

20M. Harun Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika Offset), hlm. 18.

2.1. Legalitas Hukum Zina

Banyak fuqaha’ yang berpendapat bahwa penetapan hukuman berzina dilakukan secara bertahap, sama seperti proses pengharaman khamr dan penetapan kewajiban puasa. Dimasa awal, hukuman zina berbentuk penyiksaan, ejekan dan

kecaman.22 Allah SWT berfirman, (An-Nisa’: 16)

Èβ#s%©!$#uρ$yγÏΨ≈uŠÏ?ù'tƒöΝà6ΖÏΒ$yϑèδρèŒ$t↔sù(χÎ*sù$t/$s?$ysn=ô¹r&uρ(#θàÊ̍ôãr'sù!$yϑßγ÷Ψtã3¨βÎ)©!$#tβ$Ÿ2$\/#§θs?

$¸ϑ‹Ïm§‘∩⊇∉∪

Artinya: “Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji diantara kamu,

maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertobat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka.” (An-Nisa’: 16)

Tahapan berikutnya adalah ditahan di dalam rumah. Allah SWT berfirman,

ÉL≈©9$#uρšÏ?ù'tƒsπt±Ås≈x ø9$#ÏΒöΝà6Í←!$|¡ÎpΣ(#ρ߉Îηô±tFó™$$sù£ÎγøŠn=tãZπyèt/ö‘r&öΝà6ΖÏiΒ(βÎ*sù(#

ρ߉Íκy− ∅èδθä3Å¡øΒr'sù’ÎûÏNθã‹ç6ø9$#4®Lym£ßγ8©ùuθtFtƒßNöθyϑø9$#÷ρr&Ÿ≅yèøgs†ª!$#£çλm;Wξ‹Î6y™∩⊇∈

Artinya:“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah

ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya), kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya.” (An-Nisa’: 15)

Dalam tafsir Fi-Zhilalil Qu’ran dijelaskan bahwa sejak awal Islam memilih untuk mengucilkan dan menjauhkan wanita-wanita keji dari masyarakat, apabila telah terbukti bahwa mereka melakukan perbuatan keji itu (zina).23

Setelah kedua firman Allah tersebut dia atas, barulah turun firman (perintah) Allah yang mengatur tentang pengaharaman atau sanksi bagi pelaku zina. Persoalanpun jadi tuntas. Allah menunjukan jalan yang dimaksud, yaitu menghukum pezina bujang dengan 100 deraan (cambuk) dan pezina yang telah menikah dengan

rajam hingga mati.24 Yang mana hukuman tersebut berlandaskan kepada firman Allah

SWT dalam al-Quran, Qs. An-Nur: (2)

èπu‹ÏΡ#¨“9$#’ÎΤ#¨“9$#uρ(#ρà$Î#ô_$$sù¨≅ä.7‰Ïn≡uρ$yϑåκ÷]ÏiΒsπs0($ÏΒ;οt$ù#y_(Ÿωuρ/ä.õ‹è{ù's?$yϑÍκÍ5×πsùù&u‘’ÎûÈÏŠ«

!$#βÎ)÷ΛäΖä.tβθãΖÏΒ÷σè?«!$$Î/ÏΘöθu‹ø9$#uρ̍ÅzFψ$#(ô‰pκô¶uŠø9uρ$yϑåκu5#x‹tã×πx Í←!$sÛzÏiΒtÏΖÏΒ÷σßϑø9$#

∩⊄∪

Artinya: Perempuan dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari

keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya

23Sayyid Quthb, Tafsir Fi- Zhilalil Qur’an, jilid 2, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 299.

mencegah kamu untuk (menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.25

Tahapan tersebut dilakukan untuk mengikuti perkembangan masyarakat sehingga masyarakat dapat menerima hal itu dengan baik dan lapang dada. Adapun hukum itu ada karena untuk menjaga kesucian dan harga diri setiap muslim. Begitu juga, hal itu dilakukan agar tidak menyusahkan masyarakat dalam mengikuti perubahan hukuman yang ada sehingga mereka tidak mendapatkan kesulitan dalam menjalankan perintah agama.26

Dari tahapan-tahapan tersebut di atas dapat dipahami bahwa hukuman bagi pelaku zina tidaklah langsung kepada hukuman cambuk dan rajam, seperti yang kita ketahui bahwa hukuman bagi pelaku zina saat sekarang ini. Tetapi ada tiga tahapan, tahapan yang pertama ialah sanksi sosial, yang mana berupa ejekan atau kecaman dari orang-orang, dan sanksi yang kedua ialah dikurung di dalam rumah sampai ia menemui ajalnya, adapun sanksi yang terakhir dan berlaku sampai saat sekarang ini ialah seperti yang dijelaskan diatas 100 kali dera (cambuk) bagi pezina ghairu

muhsan dan rajam bagi pelaku zina yang berstatus muhsan.

2.2. Bentuk-Bentuk Hukuman

25Al-Bukhari, Sahih Al- Bukhari, Jilid IV, hlm. 2733

Dalam fiqih jinayah dijelaskan bahwa kategori pelaku zina dibagi kepada dua

macam, yaitu pezina Muhsan dan pezina tidak muhsan (ghairu muhsan). 27

1. Hukum bagi pezina Muhsan

Pezina muhsan ialah orang yang sudah baliq, berakal, merdeka, dan sudah pernah bercampur dengan jalan yang sah. Dalam buku bidayatul mujtahid wa

nahyatul Muqtasid menerangkan bahwa pezina muhsan adalah zina yang dilakukan

oleh laki-laki dan perempuan yang sudah berkeluarga (bersuami/beristri).

Pezina muhsan juga dapat di definisikan sebagai zina yang pelakunya berstatus suami, istri, duda, ataupun janda. Artinya, pelaku adalah orang yang masih dalam status pernikahan atau pernah maenikah secara sah.28

Hukuman bagi pelaku zina yang berstatus muhsan disini para ulama selain Khawarij bersepakat adalah dirajam dengan batu hingga mati dan hukum ini tidak membedakan antara pezina laki-laki dan pezina wanita.29. Hal ini berdasarkan sejumlah dalil dari as-Sunnah yang mutawatir, dalil ijma’, serta dalil logika.30

Adapun hadits Nabi adalah sebagai berikut:

27Ida Noverayanti, “Hukuman Bagi Pelaku Zina Dewasa Dengan Anak-Anak (Perbandingan Fiqh Jinayah Dan Qanun No. 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat” (Skripsi tidak publikasi), Fakultas Syariah, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, 2017, hlm. 3.

28M. Harun Irfan dan Masyrofah, Fiqh…, hlm. 20.

29Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 4, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2012), hlm. 128

َلﺎَﻗ ُﻪْﻨَﻋ ُﻪﻠﻟا َﻲِﺿَر دﻮُﻌْﺴَﻣ ِﻦْﺑا ِﻦَﻋ

:

ﻢﻠﺳَو ِﻪْﻴَﻠَﻋ ﷲا ﻰﻠَﺻ ِﻪﻠﻟا ُلﻮُﺳَر َلﺎَﻗ

:

َِﳛ َﻻ

ُمَد ﻞ

ٍﻢِﻠْﺴُﻣ ٍئِﺮْﻣا

ِﺑ ُﺲْﻔَـﻨﻟاَو ِﱐاِﺰﻟا ُﺐﻴﺸﻟا ثَﻼَﺛ ىﺪْﺣ ِﺈِﺑ ﻻِإ ﻪﻠﻟا ُلﻮُﺳَر ْﱐَأَو ُﻪﻠﻟا  ﻻِإ َﻪَﻟِإ َﻻ ْنَأ ُﺪَﻬْﺸَﻳ

ِﻪِﻨﻳِﺪِﻟ ُكِرﺎﺘﻟاَو ِﺲْﻔَـﻨﻟﺎ

ِﺔَﻋﺎَﻤَﺠْﻠِﻟ ُقِرﺎَﻔُﳌا

)

ِﻪْﻴَﻠَﻋ ٌﻖَﻔَـﺘُﻣ

) (

ﻢﻠﺴﻣ و يرﺎﺨﺒﻟا ﻩور

(

Artinya: Dari Ibnu Mas’ud ra dia berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Tidak halal

(menumpahkan) darah seorang muslim yang bersaksi bahwasanya tidak ada tuhan selain Allah Swt dan bahwasanya aku adalah utusan Allah kecuali terhadap salah satu dari tiga orang, yaitu orang yang telah menikah berzina, jiwa dengan jiwa membunuh (pembunuh), dan orang yang meninggalkan agamanya (murtad) yang memisahkan diri dar jama’ah(Mutaffaq Alaih)(Riwayat Bukhari dan Muslim).31

Begitu juga dengan kisah Ma’iz r.a., yang diriwayatkan dari berbagai jalur. Dalam riwayat tersebut diterangkan bahwa Ma’iz r.a mengaku dihadapan Rasulullah Saw bahwa dirinya telah berzina, lalu beliaupun memerintahkan supaya iya dirajam.32

Juga terdapat dalil lain mengenai hukuman rajam berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Imron bin Husoin r.a., katanya:

ِﻬﻠﻟا ِﱯَﻧ ْﺖَﺗَأ ُﺔَﻨْـﻴَﻬَﺟ ْﻦِﻣ ًةَأَﺮْﻣِا  نَأ ،ٍﲔِﺼَﺣ ِﻦْﺑ َناَﺮْﻤِﻋ ْﻦَﻋَو

ﻢﻠَﺳَو ﻪﻴَﻠﻋ ﻪﻠﻟا ﻞ

ﻟا َﻦِﻣ ﻰَﻠَـﺒُﺣ َﻲِﻫَو

ﺎَﻧﺰ

ْﺖَﻟﺎَﻘَـﻓ

:

ِﻪﻠﻟا ِﱯَﺗﺎَﻳ

!

ﻪﻠﻟا  ِﱯَﻧ ﺎَﻋَﺪَﻓ ،ﻲَﻠَﻋ ُﻪْﻤِﻗَﺄَﻓ ،اﺪَﺣ ُﺖْﺒَﺻَأ

ﻢﻠَﺳَو ﻪﻴَﻠﻋ ﻪﻠﻟا ﻞ

ﺎَﻬـﻴِﻟَو

.

َﻞﻘﻓ

:

ْﻦِﺴْﺣَأ

ُﰒ ،ﺎَﻬَـﺑﺎَﻴِﺋ ﺎَﻬْـﻴَﻠَﻋ ْﺖﻜُﺸَﻓ ﺎَِ َﺮَﻣَﺄَﻓ َﻞَﻌَﻔَـﻓ ﺎَِ ِﲏِﺘْﺋﺎَﻓ ْﺖَﻌَﺿَو اَذِﺈَﻓ ﺎَﻬْـﻴَﻟِإ

َﻞﻘﻓ ،ﺎَﻬْـﻴَﻠَﻋ ﻰﻠَﺻ ُﰒ ،ْﺖَِﲨُﺮﻓ ﺎَِَﺮَﻣَأ

31Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Bulughul Maram, Terj. Abu Firly Bassam Taqiy, (Jakarta: PT. Fathan Prima Media, 2014), hlm. 309.

َﺮَﻤُﻋ

:

َﻞَﻘَـﻓ ؟ْﺖَﻧَز ْﺪَﻗَو ِﻪﻠﻟا َِﱯَﻧ ﺎَﻳ َﻪْﻴَﻠَﻋ ﻰﻠَﺼُﺗَأ

:

َﻮَﻟ ِﺔَﻨﻳِﺪَﻣْا ِﻞْﻫَأ َْﲔِﻌْﺒَﺳ َْﲔَـﺑ ْﺖَﻤﺴُﻗ ْﻮَﻟ ًﺔَﺑْﻮَـﺗ ْﺖَﺑﺎَﺗ ْﺪَﻘَﻟ

َدﺎَﺟ ْنَأ ْﻦِﻣ َﻞَﻀَﻓَأ ْتَﺪَﺟَو ْﻞَﻫَو ْﻢَﻬْـﺘَﻌِﺳ

؟ِﻪﻠِﻟﺎَﻬِﺴْﻔَـﻨَـﺑ ْت

)

َﻢِﻠْﺴَﻣ ُﻩَوَر

(

Artinya: “suatu ketika seorang wanita Bani Juhainah datang menemui Nabi Swa,

dalam keadaan hamil karena zina. Wanita ini berkata “wahai Nabi Allah saya telah melakukan kesalahan, jatuhkanlah hukuman terhadap saya.” Lalu Rasulullah memanggil penjaga wanita ini dan bersabda: “layanilah dia dengan baik, setelah dia melahirkan anaknya bawalah dia kepada saya. “perintah baginda ini dilaksanakan dan kemudian baginda memerintahkan agar pakaian waita ini diikatkan (supaya tidak berselek semasa dirajam). Lalu Rasulullah memerintahkan agar wanita itu dirajam. Wanita itupun dirajam. Setelah itu bagindapun menyembahyangkannya. Umar berkata “wahai Nabi Allah adakah engkau menyembahyangkan wanita yang telah berzina ini?” baginda bersabda “wanita ini telah bertaubat. Sekiranya taubatnya dibahagiakan kepada 70 orang penduduk madinah, niscaya mencukupi mereka. Adakah yang lebihbaik dari pada seseorang yang mengorbankan dirinya karena Allah?.(HR. Muslim) lafaz

ini ada pada Imam Muslim No. Hadis 1240.33

Umat Islam berijma’ logika menghendaki pemberlakuan hukuman semacam ini. Karena zina yang dilakukan orang yang berstatus muhsan (sudah menikah) sangat buruk dan tercela, sehingga berhak mendapatkan balasan hukuman dunia yang sangat berat.34

33Ibnu Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram, Terj: Khalifaturahman dan Haeruddin, (Jakarta: Gema Insani, 2013). hlm. 546.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukuman bagi pelaku zina yang berstatus muhsan ialah dirajam yaitu, pelaku dilempari batu hingga meninggal tanpa membedakan antara pezina laki-laki dan pezina perempuan. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa ketetapan tersebut telah disepakati oleh ulama (jumhur).

2. Hukum bagi pezina tidak muhsan (ghairu Muhsan)

Pezina gairu muhsan ialah orang yang tidak mencukupi syarat-syarat zina muhsan, yaitu gadis dan bujang.35Dan juga pezina ghairu muhsan dapat diartikan sebagai zina yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang belum menikah (gadis/jejaka).36 Artinya pelaku belum pernah menikah secara sah dan tidak sedang baerada dalam ikatan pernikahan.37

Adapun hukuman bagi pezina yang berstatus ghairu muhsan ada dua macam, yaitu:

a) Cambuk seratus kali secara merata di seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kemaluan, agar setiap tubuh mendapat haknya.

b) Pengasingan selama satu tahun.

Paraulama sepakat hukuman bagi pezina ghairu muhsan didera seratus kali (100 kali cambukan). Hal ini berdasarkan kepada firman Allah dan hadits Nabi Saw:

1. Firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 2 sebagaimana yang telah

35Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2017), hlm. 436.

36 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (terj: Abdul Rasyad

Shiddiq), (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2013), hlm. 686.

Dijelaskan diatas tentang hukuman pelaku zina, apabila orang Islam sudah aqil

balig, merdeka bukan muhsan, yaitu wajib dicambuk seratus kali, bahkan

pelaksanaannya harus disaksikan oleh orang-orang yang beriman.

2. Hadis Rasulullah Saw, dari ‘Ubadah bin Samit ra.38 Di dalam hadis yang sebagaimana dijelaskan diatas, hukuman bagi pezina ghair muhsan adalah jilid seratus kali dan pengasingan selama satu tahun.

Namunulama berbeda pendapat mengenai hukum pengasingan, apakah hukuman dera dan pengasingan kedua-duanya bisa dijatuhkan kepada pelaku perzinaan yang masih lajang (ghair muhsan) sekaligus.39

Ulama Hanafiyah mengatakan, hukuman pengasingan tidak dapat ditambahkan kepada hukuman dera. Sebab Allah SWT menjadikan dera sebagai keseluruhan hukuman had zina. Sehingga jika seandainya kita juga mewajibkan hukuman pengasingan disamping hukuman dera, itu berarti hukuman dera adalah hanya sebagian dari hukuman had, sehingga hal ini merupakan bentuk penambahan terhadap nash, sementara penambahan seperti ini berarti sebuah bentuk penasakhan nash. Selain itu, pengasingan menjadikan pelaku zina berpotensi untuk melakukan

38Irfan Hidayat, “Hukum Pengasingan Bagi Pezina Ghair Muhsan (Study Perbandingan

Antara Mazhab Hanafi Dan Syafi’i” (Skripsi tidak dipublikasi), Fakultas Syariah, UIN Ar-Raniry,

Banda Aceh, 2014. hlm. 45.

39Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jild 7, (Jakarta: Gema Insani, 2007). hlm. 315.

perzinaan lagi, karena ia berada di tempat pengasingan jauh dari keluarga, kerabat, dan kenalan sehinga ia tidak khawatir kena malu.40

Hukuman pengasingan tersebut adalah kewenangan menjatuhkan hukuman pengasingan diserahkan kepada imam atau pemimpin, sehingga jika ia melihat adanya kebaikan dan kemaslahatan untuk menjatuhkan hukuman pengasingan kepada pelaku, maka ia mengasingkannya, sebagaimana juga imam mengambil

kebijaksanaan untuk memenjarakan orang tersebut hingga dia bertobat.41

Sementara itu, imam Malik mengatakan silelaki diasingkan selama satu tahun, yakni dipenjara dikawasan dimana dia diasingkan. Sedangkan si perempuan tidak diasingkan karena dikhawatirkan akan berzina lagi akibat pengasingan tersebut.42

Sedangkan ulama Syafi’iyah dan ulama Hanabilah mengatakan, pelaku dihukum dera dan sekaligus dihukum dengan diasingkan selama satu tahun kesuatu kawasan dengan jarak yang sudah memperbolehkan untuk mengqashar shalat.

Imam asy-Syaukani mengatakan “yang jelas, kesimpulannya adalah bahwa hadits-hadits mengenai diberlakukannya hukuman pengasingan telah melampaui batas kemasyhuran yang diperhitungkan dan di syariatkan oleh ulama Hanafiah untuk

hadits yang memuat hukum tambahan yang tidak tercantum di dalam al-Quran.43

40Ibid.

41Ibid.,hlm. 316.

42Ibid.

Dengan keterangan ini jelaslah bahwa seseorang tidak bisa dikenai hukuman dera dan hukuman rajam sekaligus berdasarkan kesepakatan mazhab empat. Sementara ulama Zhahiriyah mengatakan, seseorang bisa dikenakan hukuman dera dan rajam sekaligus.44

Syariat Islam telah menetapkan tiga jenis hukuman untuk jarimah zina, yaitu:dera (Jilid), pengasingan (taghrib), dan rajam (dilempari batu). Hukuman ini ditinjau dari sasaran hukum. 45yaitu:

a) Hukuman Jilid (cambuk atau dera),

Menurut Maulana Muhammad Ali, Jilid berasal dari bahasa Arab yaitu jalada, artinya memukul atau melukai kulit, oleh karena itu, jalada atau dera hukuman yang terasa pada kulit hal ini lebih banyak ditujukan untuk memberi efek malu terhadap si terhukum. Hukuman cambuk berarti suatu hukuman yang di jatuhkan kepada seseorang yang melakukan perzinaan terhadap orang-orang yang belum pernah melaksanakan nikah dengan hukuman masing-masing seratus kali cambuk, baik pezina itu laki-laki maupun perempuan.46

b) Hukuman Pengasingan

Pengertian pengasingan menurut syara’ adalah mengeluarkan atau mengusir orang yang berbuat zina dari kediamannya ke tempat lain yang biasa disebut pengasingan. Sedangkan pengasingan yang penulis maksud adalah seseorang

44Ibid.

45H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jalarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 28-29.

diasingkan dari kampung halamannya kedaerah lain, sebab telah melanggar hukum perzinaan, sesuai dengan jarak yang telah ditetapkan dalam hukum islam. Karena

pengasingan merupakan hukuman kedua bagi pelaku zina.47

c) Hukuman rajam

Menurut A. Hanafi , rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempari dengan batu dan sejenisnya. Atau dalam pengertian lain rajam adalam membunuh orang yang

berzina dengan cara melempari dengan batu dan ditujukan kepada pezina muhsan .48

d) Hukuman harta, yaitu hukuman yang dikenakan kepada harta, seperti diyat, denda, dan perampasan.

Dari uraian di atas maka penulis menyimpulkan secara umum bahwa ulama sepakat atas hukuman dera (cambuk) yang dijatuhkan atas pezina Ghairu muhsan apabila terpenuhinya syarat dan ketentuan yang telah dijelaskan di atas., namun ulama berbeda pendapat mengenai hukuman pengasingan bagi pezina yang ghairu

muhsan. Ulama Hanafiah mengatakan bahwa hukuman pengasingan tersebut tidak

dapat ditambahkan atas hukuman dera, karena menurut mereka dera adalah keseluruhan sanksi atas had zina. Jadi apabila ditambah dengan hukuman pengasingan tersebut maka itu termasuk penambahan terhadap nash.

47Ibid...,

2.3. Tujuan Hukuman bagi pelaku zina

Bila berbicara mengenai hukuman, asosiasi yang ada senatiasa tertuju kepasa suatu seperangkat ketentuan hukum yang memiliki sanksi serta tujuan pemberian sanksinya. Dalam hukum Islam, jenis-jenis sanksi bagi pelaku jarimah hudud telah disebutkan dengan jelas demikian pula halnya dengan jarimah qishas-diyat. Sedangkan jarimah ta’zir diserahkan kepada pengusa untuk menentukan jenis, bentuk dan ukuran sanksinya.

Tujuan pemberian hukumandalam hukum Islam adakalanya diterangkan langsung dalam nash al-Quran atau sunnah. Sebagai contoh adalah tujuan hukuman qhisas, langsung diterangkan Allah dalam firmanNya:

“Dan dalam qhisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertaqwa”

Ibnu katsir menafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa penerapan hukuman qhisas mempunyai hikmah yang sangat besar untu menjaga kehidupan manusia, dimana pembunuhan juga dibalas dengan pembunuhan, sehingga orang jadi takut untuk membunuh karena nanti ia akan di bunuh pula. Dengan demikian daya preventif hukuman qhsas ini sangat efektif.

Dalam hukum Islam kajian terhadap tujuan ditetapkan suatu hukum, termasuk masalah pidana (Jarimah) dikhususkan dalam pembahasan maqasidal-Syari’ah dan

maslahah. Penjabaran dari kedua tujuan tersebut dapat dilihat pada ketentuan Allah

belum kawin (ghairu muhsan) dan rajam bagi yang sudah kawin (muhsan) bertujuan

untuk menjaga nasab dan menghindari dari penyakit yang berbahaya.49

Wahbah az-Zuhaili juga menerangkan beberapa tujuan ditetapkannya hukuman bagi pelaku zina, yaitu: melindungi nasab, menghindari pelanggaran nama baik seseorang, mencegah pelaku melakukan perusakan badan atau kejiwaan orang lain. Bahkan perzinaan terkadang mengakibatkan subjek atau objek pelaku (perempun atau laki-laki) divonis hukuman mati.50

Al-Yasa’ Abubakar menjelaskan bahwa para ulama menyimpulkan ada beberapa tujuan pemidanaan dalam al-Quran (ajaran Islam), yang masing-masing tujuan tersebut dapat berdiri sendiri atau gabungan dari beberapa tujuan tersebut yaitu:51

a) Pembalasan atas kejahatan atau perbuatan pidana yang dilakukan; b) Memberi efek jera, sehingga tidak lagi mengulangi perbuatan pidana; c) Mendidik dan meperbaiki pelaku perbuatan pidana;

d) Ada juga yang menyatakannya untuk melindungi masyarakat, yang sebetulnya juga menjadi tujuan dari tiga tujuan sebelumnya.

Sistem pemidanaan yang berlaku dalam hukum pidana nasional memang harus diakui belum dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi pembinaan prilaku, karena ditinjau dari segi efek jera ternyata hukuman penjara belum begitu

49Muslim Zainuddin, Problematika Hukuman…, hlm. 17-18.

50Wahbah az-Zuhaili, Fiqh…, hlm. 263.

menjadi shock teraphybagi para pelaku tindak pidana, hal ini terbukti dengan banyaknya pelaku kejahatan yang telah menjalani hukuman penjara kemudian mengulangi kembali perbuatannya, bahkan banyak yang diantaranya keluar masuk penjara karena sistem pembinaan yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan ketika menjalani hukuman tidak mampu merubah perilaku para nara pidana menjadi lebih baik.52

Dampak buruk perbuatan zina ditimpakan secara khusus pada pelakunya dan secara umum kepada umat manusia. Bahaya zina pada kasat mata tidak satupun orang yang dapat mengingkari baik orang yang beriman atau tidak beriman, sebab dampak buruk perbuatan keji itu sudah nyata. Diantara bahaya perbuatan zina tersebut ialah:53

Jika dilihat dari aspek medis (ilmu kedokteran) zina memiliki banyak konsekuensi, diantaranya:

1. Penyakit menular seksual (PMS) 2. Infeksi

3. Infertilitas 4. Kanker 5. HIV / AIDS

6. Penderita penyakit kelamin Herves

52Muslim Zainuddin, Problematika Hukuman Cambuk di Aceh, (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Aceh, 2011), hlm. 6.

53www.uin-suska.ac.id, Tujuan Umum Tentang Zina dan Problematikannya”, Skripsi http://repository.uin-suska.ac.id/6475/3/BAB%20II.pdf. Tanggal 05 juli 2018

7. Penyakit Herves genetalis 8. Siklus virus penyakit gonore

9. Mengalami kudis yang parah di stadium 2

10. Stadium tiga, ditandai dengan pembengkakakn di tubuh.

Sedangkan dari aspek sosial psikologi, pelaku zina (seks bebas) akan mendapat beberapa konsekuensi diantaranya:

1. Kualitas mentalis pada penderita (pelaku) akan rendah bahkan cendrung memburuk.

2. Kualitas kesehatan reproduksi, ini erat kaitannya dengan dampak medis karena kondisi fisik alat reproduksinya tidak berfungsi dengan baik.

3. Kualitas pendidikan, apabila terjadi dalam suatu rumah tangga peran orang tua sebagai pendidik tidak berfungsi dengan baik karena mengalami kelainan psikis dan mental.

4. Kualitas partisipasi dalam pembangunan,pelaku zina tidak mampu mendukung dalam pembangunan sebab kondisi fisik, mental, dan sosial yang kurang baik.

Ibnu Taimiyah mengatakan diantara rahmat dan kasih sayang Allah Swt adalah, diberlakukannya hukum untuk berbagai kasus kejahatan yang terjadi di antara manusia, baik kejahatan terhadap jiwa (nyawa), kejahatan terhadap fisik , kejahatan terhadap kehormatan, kejahatan terhadap harta, kejahatan pembunuhan, kekerasan

fisik (melukai), kejahatan menuduh orang lain berbuat zina, dan kejahatan pencurian.54

Allah SWT memberlakukan berbagai bentuk hukuman atas berbagai bentuk kejahatan tersebut dengan sangat sempurna dan akurat yang mengandung kemaslahatan pencegahan, preventif dan menimbulkan efek jera. Namun semua itu tetap dilakukan secara proporsional dengan berlandaskan pada asas keadilan dan tidak melampaui batas-batas pencegahan yang berhak diterapkan kepada pelaku. Oleh sebab itu, Allah SWT tidak memberlakukan hukuman potong lidah atau hukuman mati atas perbuatan berbohong, tidak memberlakukan hukuman pengebirian atas perbuatan zina dan tidak pula memberlakukan hukuman mati atas kejahatan pencurian.55

Akan tetapi, Allah SWT memberlakukan hukuman bagi manusia atas berbagai kejahatan tersebut sesuai dengan Asma dan sifat-sifat Nya, seperti kebijaksanaan, rahmat, kasih sayang, kebaikan dan keadilan-Nya, agar berbagai musibah hilang, tidak ada ambisi dan dorongan untuk saling menganiaya, setiap manusia puas dan senang dengan apa yang telah diberikan kepadanya oleh Sang Pemilik dan Sang Penciptanya, sehingga ia tidak memiliki dorongan keinginan untuk merampas hak orang lain.56

54Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam…, hlm. 238.

55Ibid.

32

3.1.Profil Qanun Dan Enakmen

3.1.1. Qanun Aceh

1. Sejarah Singkat Pembentukan Qanun

Kata Qanun berasal dari bahasa Arab yang berarti Undang-undang. Qanun dapat juga bermakna Undang-undang sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. (Pasal 1

butir 21 UUPA),

57

Qanun dibuat oleh pemerintah Aceh dan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang di tanda tangani oleh Gubernur (tingkat provinsi) dan bupati atau walikota pada daerah tingkat dua. Dasar berlakunya Qanun adalah undang-undang tentang otonomi khusus Aceh. Dalam undang-undang nomor 18 disebutkan bahwa mahkamah syar’iyah akan melaksanakan syariat Islam yang di tuangkan ke dalam

Dokumen terkait