• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBATALAN PERKAWINAN TERHADAP PERKAWINAN SEDARAH MENURUT UU NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

2.1. Per kawinan Sedar ah Menurut Undang-Undang Per kawinan No.1 Tahun 1974

Keluarga adalah kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami,istri,dan anak yang berdiam dalam satu tempat tinggal.ini pengertian keluarga dalam arti sempit.apabila dalam satu tempat tinggal itu berdiam pula pihak lain sebagai akibat adanya perkawinan, maka terjadilah kelompok anggota keluarga yang terdiri dari orang-orang yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan karena perkawinan darah. Ini pengertian keluarga dalam arti luas. Keluarga dalam arti luas banyak terdapat dalam masyarakat kita.

Hubungan keluarga dan hubungan darah adalah dua pengertian yang berbeda. Hubungan keluarga adalah hubungan dalam kehidupan keluarga, yang terjadi karena hubungan perkawinan dan karena hubungan darah. Hubungan keluarga karena perkawinan disebut juga hubungan semenda, misalnya mertua , ipar , anak tiri, menantu. Antara suami atau istri dan mereka ini tidak ada hubungan darah, tetapi hubungan keluarga. Hubungan keluarga karena pertalian darah,misalnya bapak, ibu, nenek,

puyang ( lurus ke atas), anak, cucu, cicit (lurus ke bawah), saudara kandung dan anak-anak saudara kandung ( ke samping )26

Sedangkan Hubungan darah adalah pertalian darah antara orang yang satu dan orang lain karena berasal dari leluhur yang yang sama (ketunggalan leluhur). Hubungan darah itu ada dua garis, yaitu hubungan darah menurut garis lurus ke atas dan ke bawah, dan hubungan darah menurut garis ke samping. Hubungan darah menurut garis lurus ke atas disebut “leluhur”, sedangkan hubungan darah menurut garis lurus ke bawah disebut “keturunan”. Hubungan darah menurut garis ke samping adalah pertalian darah antara orang bersaudara dan keturunannya.

Daftar yang menggambarkan ketunggalan leluhur antara orang-orang yang mempunyai pertalian darah disebut “silsilah”. Dari satu silsilah dapat diketahui jauh dekatnya hubungan darah antara orang yang lain dari leluhur yang sama. Jauh dekat hubungan darah itu dapat dinyatakan dengan istilah-istilah atau sebutan dalam hubungan keluarga.

Istilah-istilah atau sebutan dalam hubungan keluarga itu menunjukkan tingkat atau derajat hubungan darah. Istilah-istilah atau sebutan dan tingkat hubungan darah itu adalah sbb:

1. Hubungan darah antara anak dan ayah/ibu disebut hubungan satu tingkat;

2. Hubungan darah antara anak dan nenek/kakek disebut hubungan dua tingkat;

3. Hubungan darah antara anak dan puyang disebut hubungan tiga tingkat;

4. Hubungan darah antara ayah/ibu dan anak disebut hubungan satu

26

tingkat;

5. Hubungan darah antara ayah/ibu dan cucu disebut hubungan dua tingkat;

6. Hubungan darah antara ayah/ibu dan cicit disebut hubungan tiga tingkat;

7. Hubungan darah antara saudara kandung disebut hubungan dua tingkat;

8. Hubungan darah antara anak dan paman/bibi disebut hubungan tingkat tingkat;

9. Hubungan darah antara anak dan anak paman/bibi disebut hubungan empat tingkat;

10. Hubungan darah antara saya dan anak saudara kandung saya (antara saya dan keponakan saya) disebut hubungan tiga tingkat:

11. Hubungan darah antara anak saya dan anak saudara kandung saya (antara anak saya dan keponakan saya) disebut hubungan empat tingkat;

Pada dasarnya jauh dekat hubungan darah mempunyai arti penting dalam hal perkawinan, pewarisan, dan perwalian dalam keluarga. Hubungan darah sampai batas tertentu menjadi halangan /rintangan pelangsungan perkawinan, misalnya hubungan darah satu tingkat,dua tingkat, tiga tingkat.

Demikian juga dengan urutan dalam pewarisan. Hubungan darah sampai batas tertentu menentukan urutan prioritas sebagai ahli waris. Misalnya dalam hal tidak ada hubungan darah satu tingkat)tak ada anak, tak ada lagi orang tua), maka hubungan dua tingkat berhak mewaris(saudara kandung,atau nenek almarhum).27

Demikian juga dalam hal perwalian. Hubungan darah sampai batas tertentu menentukan urutan prioritas menjadi wali. Misalnya dalam hal hubungan darah satu tingkat tidak ada, karena orang tua anak sudah meninggal semua, atau karena kekuasaan orang tua dicabut oleh

27

Pengadilan Negeri. Dalam hal ini hubungan darah dua tingkat (saudara kandung, nenek) berhak menjadi wali bagi anak.

Berdasarkan Pasal 8 UUP, perkawinan dilarang antara dua orang yang:

1. Berhubungan darah dalan garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas; 2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara

saudara, antara seorang dengan seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;

4. Berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan; 5. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan

dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;

6. Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau praturan lain yang berlaku dilarang kawin.

Dari adanya penjelasan 1,2 tersebut diatas dapat dipahami bahwa perkawinan dilarang terhadap orang yang memiliki hubungan darah sedangkan dari penjelasan 3,4,5 dan 6 dibawah ini dapat dipahami bahwa perkawinan juga dilarang terhadap mereka yang mempunyai hubungan keluarga

Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 39 ayat (1), (2), dan (3) Perkawinan dilarang antara seorang pria dan seorang wanita disebabkan :

1. Karena pertalian nasab :

a. Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya;

b. Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu; c. Dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya 2. Karena pertalian kerabat semenda :

a. Dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya;

b. Dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya; c. Dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali

putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu Dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.

3. Karena pertalian sesusuan :

a. Dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;

b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;

c. Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah;

d. Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;

Dari penjelasan UUP & KHI bisa disimpulkan

Perkawinan sedarah merupakan perkawinan antara dua orang yang memiliki hubungan darah atau pertalian darah antara orang yang satu dan orang lain karena berasal dari leluhur yang sama, serta berasal dari satu keluarga yang sama,oleh karena itu perkawinan tidak boleh dilakukan.

Seperti yang telah kita tahu bahwa saat ini perkawinan sedarah merupakan perkawinan yang dilarang baik menurut agama maupun menurut undang-undang yang telah diatur oleh negara, pada kenyataanya perkawinan sedarah tetap saja masih ada seperti yang terjadi di desa plumbungan Kecamatan Sukodono, Kabupaten Sidoarjo oleh kakak beradik yang dilahirkan dari ibu kandung yang sama.

Perkawinan sedarah bisa saja terjadi karena kekacauan dalam hubungan antara satu dengan yang lain dalam suatu keluarga. Misalnya, kakak beradik yang sudah lama terpisah, yang selanjutnya bertemu dan menikah namun tidak tahu jika mereka sebenarnya bersaudara. Perkawinan sedarah ini biasanya terjadi karena adanya beberapa faktor antara lain : 1. Kemiskinan

Kemiskinan yang absolut menyebabkan seluruh anggota keluarga suami isteri dan anak-anak tidur dalam satu tempat tidur. Bila satu waktu seorang ayah bersentuhan dengan anak perempuannya yang masih gadis, maka ada kemungkinan salah satu dari keduanya bisa terangsang yang akhirnya terjadi hubungan seksual, paling tidak kontak seksual.

2. Kekurangan pergaulan (kuper)

Kekurangan pergaulan yang dimana pada keluarga tertentu dilarang bergaul dengan dunia luar. Kadang-kadang ada juga penyebab dimana satu keluarga dilarang menikah diluar kalangannya agar semua harta yang dimiliki tidak keluar dari keluarga besarnya. Ada juga kemungkinan diharapkan supaya turunan mereka lebih asli sebagai bangsawan

3. Salah satu anggota keluarga tidak berfungsi

Pada incest antara ayah-anak perempuan cukup sering terjadi karena ibu yang tidak berfungsi. Dalam keadaan misalnya ibu yang invalid, sakit berat, maka seluruh kebutuhan seksual ayah, akhirnya akan tertuju kepada anak perempuannya.

2.2. Pr osedur Pembatalan Per kawinan Sedar ah

Berdasarkan pasal 23 UU Perkawinan yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu;

1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri 2. Suami atau istri,

3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan, 4. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat(2) pasal 16 Undang-undang ini dan

setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

a. Bagi para pihak yang akan mengajukan permohonan pembatalan perkawinan sedarah dilakukan di Instansi Pengadilan setempat; 1) Bagi yang beragama Islam dapat mengajukan permohonan

pembatalan di Pengadilan Agama setempat

2) Bagi yang beragama Non Muslim ( UU No.7/1989 pasal 73 ) dapat mengajukan permohonan pembatalan di Pengadilan Negeri 3) Kemudian para pihak yang berkepentingan mengajukan

permohonan secara tertulis atau lisan kepada Ketua Pengadilan ( HIR pasal 118 ayat (1)/Rbg pasal 142 ayat (1)), sekaligus membayar uang muka biaya perkara kepada Bendaharawan Khusus.

4) Kemudian Pemohon dan Termohon harus datang menghadiri sidang Pengadilan berdasarkan Surat Panggilan dari Pengadilan, atau dapat juga mewakilkan kepada kuasa hukum yang ditunjuk (UU No.7/1989 pasal 82 ayat (2), PP No. 9/1975 pasal 26,27 dan 28 Jo HIR pasal 121,124 dan 125)

a) Pemohon dan Termohon secara pribadi atau melalui kuasanya wajib membuktikan kebenaran dari isi (dalil-dalil) permohonan pembatalan perkawinan/tuntutan di muka Sidang Pengadilan berdasarkan alat bukti berupa surat-surat, saksi-saksi, pengakuan salah satu pihak, persangkaan hakim atau sumpah salah satu pihak (HIR pasal 164/Rbg pasal 268). Selanjutnya hakim memeriksa dan memutus perkara tersebut.

b) Pemohon atau Termohon secara pribadi atau masing-masing menerima salinan putusan Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap.

5) Setelah Pemohon dan Termohon menerima Akta Pembatalan Perkawinan dari Pengadilan, kemudian Pemohon dan Termohon meminta penghapusan pencatatan perkawinan di buku register Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil (KCS) Setempat.

b. Batas Waktu Pengajuan

1. Ada batas waktu pengajuan pembatalan perkawinan. Untuk perkawinan ( misalnya seorang suami atau istri apabila pada waktuberlangsungnya perkawinan telah terjadi salah sangka mengenai diri sendiri atau suami), pengajuan itu dibatasi hanya dalam waktu enam bulan setelah perkawinan terjadi. Jika sampai lebih dari enam bulan anda masih hidup bersama sebagai suami istri, maka haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dianggap gugur ( pasal 27 UU No. 1 tahun 1974 ). 2. Sementara itu, tidak ada pembatasan waktu untuk pembatalan

perkawinan yang telah menikah lagi tanpa sepengetahuan suami maupun istri. Kapanpun dapat mengajukan pembatalannya. c. Pemberlakuan Pembatalan Perkawinan

1. Batalnya perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat

berlangsungnya perkawinan.

2. Keputusan tidak berlaku surut terhadap :

a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. b. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik;

c. kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yan lebih dahulu.

Orang-orang ketiga lainya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.( pasal 28 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 ).

BAB III

AKIBAT HUKUM PEMBATALAN PERKAWINAN TERHADAP PERKAWINAN SEDARAH MENURUT UU NO.1 TAHUN 1974

3.1. Akibat Hukum Pembatalan Per kawinan Sedar ah Menur ut Perspektif UU No.1 Tahun 1974 dan Perspektif KHI

Berbeda dengan pencegahan, masalah pembatalan perkawinan merupakan masalah yang telah diatur di dalam fikih Islam yang dikenal dengan sebutan nikah al-batil sebagaimana telah disinggung diawal pembahasan ini. Di dalam pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974 dinyatakan dengan tegas:

Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Di dalam penjelasanya kata”dapat” dalam pasal ini bisa diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.

Istilah”batal”-nya perkawinan dapat menimbulkan salah paham, karena terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal (nietig) tersebut. Batal berarti nietig zonder kracht (tidak ada kekuatan) zonder waarde (tidak ada nilai). Dapat dibatalkan berarti nietig verklaard, sedangkan absolut nietig adalah pembatalan mutlak.28

28

Martiman Prodjohamidjodjo, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia legal Center Publising Jakarta, 2002 h 25

Istilah dapat dibatalkan dalam Undang-undang ini berarti dapat difasidkan jadi relatif nietig. Dengan demikian perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena adanya pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu.29

Ada kesan pembatalan perkawinan ini terjadi karena tidak berfungsinya pengawasan baik dari pihak keluarga atau pejabat berwenang sehingga perkawinan itu terlanjur terlaksana kendati setelah itu ditemukan pelanggaran terhadap Undang-undang perkawinan atau hukum munakahat. Jika ini terjadi maka Pengadilan Agama dapat membatalkan perkawinan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan. Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami dan istri dan orang-orang yang memiliki kepentingan langsung terhadap perkawinan tersebut.

Sampai di sini suatu perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh pengadilan. Secara sederhana ada dua sebab terjadinya pembatalan perkawinan. Pertama, pelanggaran prosudural perkawinan. Kedua, pelanggaran terhadap materi perkawinan. Contoh pertama, misalnya tidak terpenuhinya syarat-syarat wali nikah, tidak dihadiri para saksi dan alasan prosudural lainya. Sedangkan yang kedua contohnya

adalah perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman, terjadi salah sangka mengenai calon suami dan istri.30

Untuk lebih rincinya sebab-sebab terjadinya pembatalan perkawinan tersebut dapat dilihat di bawah ini baik menurut UU No.1 Tahun 1974 ataupun menurut KHI.

Adapaun perkawinan yang dapat dibatalkan adalah seperti yang terdapat di dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagai berikut:

Pasal 22

Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pasal 24

Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 26

1. Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalanya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri, jaksa dan suami atau istri.

2. Hak untuk membatalkan oleh suami atau istri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama

30

Hamiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, h 106-114

sebagai suami istri dan dapat memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbarui supaya sah.

Pasal 27

1. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.

2. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau istri.

Selanjutnya berkenaan dengan pihak-pihak yang berkualitas sebagai penggugat dalam perkara pembatalan perkawinan adalah:31

Pasal 23

Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu”:

1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri; 2. Suami atau istri;

3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; 4. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 Undang-undang ini

dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Adapun menyangkut saat mulai berlakunya pembatalan perkawinan dimuat dalam pasal 28 ayat 1, Batalnya suatu perkawinan

31

dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

Sedangkan menurut perspektif KHI yang terdapat dalam pasal 70 dinyatakan perkawinan batal ( batal demi hukum ) apabila :

1. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raj’i

2. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya

3. Seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istrinya tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya

4. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan mennurut pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu :

a. Berhubungan darah dalam garis lurus kebawah atau keatas

b. Berhubungan darah dalam garis lurus keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya

c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu dan ayah tiri

dan bibi atau paman sesusuan

e. Istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan akan dari istri atau istri-istrinya

Selanjutnya pada pasal 71 KHI dijelaskan perkawinan yang dapat dibatalkan :

1. Bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:

2. Seorang suami melakukan poligami tanpa ijin Pengadilan Agama 3. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih

menjadi istri pria yang mafqud ;

4. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain; 5. Perkawinnan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagimana

ditetapkan pasal 7 Undang-undang No. 1 Tahun 1974

6. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;

7. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan. Pasal 72 KHI

1. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang emlanggar hukum;

2. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri.

Selanjutnya berkenaan dengan pihak-pihak yang dapat membatalkan perkawinan adalah :

Pasal 73 KHI

Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah :

1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dan kebawah dari suami atau istri

2. Suami atau istri :

3. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut UU ;

4. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacad dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum islam dan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67

Menyangkut saat mulai berlakunya pembatalan perkawinan tampaknya bunyi pasal KHI sama dengan UU Perkawinan

Pasal 74 ayat 2 KHI

Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawninan.

Jelaslah bahwa KHI secara ekplisit mengandung dua pengertian pembatalan perkawinan yaitu, perkawinan batal demi hukum seperti yang termuat pada pasal 70 dan perkawinan yang dapat dibatalkan ( relatif ) seperti yang terdapat pada pasal 71.

3.2.Akibat Hukum Pembatalan Per kawinan Sedar ah

Bahwa suatu pembatalan perkawinan akibat adanya perkawinan sedarah menimbulkan suatu akibat hukum yang berdampak terhadap istri dan suami serta terhadap anak karena, anak yang dihasilkan dari perkawinan yang sah menurut hukum ialah anak yang lahir dari suatu perkawinan yang sah, sedangkan akibat hukum terhadap harta bersama secara hukum tidak dapat dibagi dua karena pembagian harta bersama hanya bisa diperoleh dari adanya perceraian sedangkan pembatalan perkawinan merupakan suatu peniadaan suatu pernikahan oleh karena itu secara tidak langsung pernikahan tersebut tidak pernah terjadi atau tidak pernah ada suatu.

Seperti yang telah diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 28 ayat (2) dinyatakan :

Keputusan tidak berlaku surut terhadap :

1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

2. Suami atau istri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yan lebih dahulu.

3. Orang-orang ketiga lainya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Sedangkan menurut KHI seperti yang terdapat pada pasal 75 dan 76 dijelaskan :

Pasal 75 KHI :

Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap: 1. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami istri murtad; 2. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut ;

3. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan memepunyai kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 76 KHI menyatakan :

Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Dengan demikian jelaslah pembatalan perkawinan tidak berpengaruh terhadap status anak yang telah mereka lahirkan.

Apabila suami istri tersebut beritikad baik dalam melangsungkan perkawinan mereka, maka walaupun perkawinan dibatalkan, tetap mempunyai akibat-akibat yang sah terhadap mereka dan anak-anak mereka ( pasal 95 B.W. )

Pernyataan yang dilakukan dengan putusan hakim hanya mempunyai akibat-akibat hukum setelah pembatalan itu, sehingga keputusan tersebut pada umumnya berlaku sebagai pembubaran perkawinan karena perceraian atau sebagai pembubaran perkawinan setelah adanya pisah meja dan tempat tidur.

Sebelum itu, perkawinan memepunyai akibat sebagai perkawinan yang sah, misalnya bila mereka tidak membuat perjanjian kawin, maka

terjadilah kebersamaan harta perkawinan secara bulat. Dengan dibatalkannya perkawinan, maka harta bersama tersebut dibagi dua atas

Dokumen terkait