• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Hukum bila terjadi pelanggaran atas hak merek dalam

3.1 Hubungan Hukum Antara Pemberi Waralaba Dengan Penerima

3.2.2 Akibat Hukum bila terjadi pelanggaran atas hak merek dalam

Seperti perjanjian pada umumnya ada kemungkinan terjadi wanprestasi di dalam pelaksanaan perjanjian waralaba. Wanprestasi terjadi ketika salah satu pihak tidak memenuhi ataupun melaksanakan kewajiban sebagaimana tertera dalam perjanjian waralaba. Bentuk-bentuk wanprestasi yang dilakukan para pihak dalam perjanjian waralaba tergantung kepada siapa yang melakukan wanprestasi tersebut. Jika karena adanya wanprestasi, salah satu pihak merasa dirugikan maka pihak yang dirugikan tersebut dapat menuntut pihak yang wanprestasi untuk memberikan ganti rugi kepadanya. Kemungkinan pihak yang dirugikan mendapat ganti rugi ini merupakan perlindungan yang diberikan oleh hukum positif Indonesia47. Pengertian prestasi menurut Pasal 1234 KUH Perdata adalah, “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”. Sebaliknya dianggap wanprestasi bila seorang:

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukanya;

2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;

3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; atau

4. Melakukan sesuatu yang menurut kontrak tidak boleh dilakukannya.

Suatu perjanjian/kontrak/perikatan yang dibuat oleh para pihak dapat memiliki akibat hukum. Akibat hukum dari suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata meliputi tiga macam yaitu:

a) Perjanjian bersifat mengikat para pihak. Hal ini senada dengan bunyi Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan “Semua perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Ketentuan ini mengisyaratkan betapa kuatnya kedudukan hukum suatu perjanjian meskipun perjanjian tersebut dibuat oleh para pihak yang bukan tergolong pejabat publik. b) Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan kata sepakat kedua

belah pihak, atau berdasarkan alas an-alasan yang dibenarkan oleh undang-undang. Ketentuan ini dimaksudkan agar setiap orang yang membuat perjanjian harus

47http://prasetyohp.wordpress.com/problematika-perlindungan-merek-di-indonesia/,diakses tanggal 27

lii

berkomitmen penuh untuk melaksanakan semua isi perjanjian dan tidak mudah mempermainkan sebuah permainan.

c) Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Perjanjian yang tidak didasari iktikad baik misalnya didasari motif penipuan dan atau penggelapan, dapat berpotensi untuk dinyatakan batal demi hukum karena melanggar salah satu asas

perjanjian yaitu “sebab yang halal”. Jika unsur penipuan dan penggelapan tersebut

dapat dibuktikan maka pelakunya dapat dikenai sanksi pidana penjara sesuai aturan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.48

Suatu kontrak/perjanjian/perikatan dapata berakhir atau hapus karena berbagai macam sebab, berakhirnya kontrak dapat digolongkan menjadi 12 sebab yaitu: (a) pembayaran, (b) novasi atau pembayaran utang, (c) kompensasi atau perjumpaan utang, (d) konfusio atau percampuran utang, (e) pembebasan utang, (f) kebatalan atau pembatalan, (g) berlaku syarat batal, (h) jangka waktu kontrak telah berakhir, (i) dilaksanakannya obyek perjanjian, (j) kesepakatan kedua belah pihak, (k) pemutusan kontrak secara sepihak, dan (l) adanya putusan pengadilan49. Berakhirnya suatu kontrak/perjanjian juga dapat terjadi karena faktor Pembatalan Kontrak sebagaimana datur dalam Pasal 1446 hingga Pasal 1456 KUH Perdata. Pembatalan kontrak dapat disebabkan karena: (a) adanya perjanjian yang dibuat oleh orang-orang yang belum dewasa dan atau dibawah pengampuan, (b) tidak mengindahkan bentuk perjanjian yang dipersyaratkan dalam undang-undang, (c) adanya cacat kehendak seperti kekhilafan, paksaan, dan penipuan.50

Berdasar ketentuan dalam klausul-klausul yang telah dibuat dan disepakati oleh masing-masing pihak yang tertuang kedalam Perjanjian Waralaba (Franchise Agreement) antara PT Sumber Alfaria Trijaya, Tbk dengan CV. Sumber Wonorejo (SAT-SWO/WL/JBR/IX/2014/008) disebutkan bahwa kualifikasi jenis merek yang digunakan dalam perjanjian waralaba ini ialah penggunaan merek jasa. Pengertian merek jasa menurut pasal 1 angka 3 menyebutkan,

“Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama- sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.”

48Iswi Hariyani & R. Serfianto D.P, Op. Cit, hlm.86 49Ibid, hlm.88

liii

Berbagai hal yang mengatur tentang merek jasa dalam perjanjian waralaba tersebut disebutkan kedalam ketentuan Pasal 20 yang berisi;

“Pasal 20.1 Penerima Waralaba wajib untuk menggunakan Merek Jasa milik Pemberi Waralaba dalam setiap aktifitas Gerai.”

“Pasal 20.2 Penerima Waralaba tidak diperkenankan dengan cara apapun menjual, mendaftarkan atau mengalihkan Merek Jasa tersebut, sehingga seolah-olah menjadi milik Penerima Waralaba atau pihak ketiga.”

“Pasal 20.3 Pemberi Waralaba berhak setiap saat, berdasarkan atas kebijaksanaanya sendiri melakukan perubahan dan/atau modifikasi terhadap setiap bagian dari Merek Jasa, termasuk tetapi tidak terbatas pada huruf, logo dan warna.”

Juga dijelaskan isi Lampiran 2 yang ada dalam Perjanjian Waralaba (Franchise Agreement) antara PT Sumber Alfaria Trijaya, Tbk dengan CV. Sumber Wonorejo (SAT-SWO/WL/JBR/IX/2014/008) memuat segala ketentuan mengenai cirri khas khusus serta trade mark atau faktor pembeda yang ada dalam merek jasa yang dimiliki oleh Pihak Pemberi Waralaba yakni mengenai berbagai ketentuan kombinasi warna- warna, kata-kata, huruf maupun logo dari karakteristik yang dimiliki oleh merek jasa tersebut.

Perjanjian Waralaba (Franchise Agreement) antara PT Sumber Alfaria Trijaya, Tbk dengan CV. Sumber Wonorejo (SAT-SWO/WL/JBR/IX/2014/008) memuat klausul tentang hal-hal yang diklasifikasikan sebagai wanprestasi yang dilakukan oleh Penerima Waralaba selama Perjajian Waralaba berjalan, klausul-klausul tersebut dicantumkan dalam Pasal 23 Perjanjian Waralaba (Franchise Agreement) antara PT Sumber Alfaria Trijaya, Tbk dengan CV. Sumber Wonorejo (SAT-SWO/WL/JBR/IX/2014/008). Mengenai pelanggaran atas hak merek dalam hal ini Merek Jasa dari Pemberi Waralaba yang dilakukan pihak Penerima Waralaba dalam Perjanjian Waralaba tersebut terdapat dalam ketentuan Pasal 23.1 Huruf E yang berbunyi:

“Penerima Waralaba menyalahgunakan, memberikan lisensi kepada pihak ketiga untuk menggunakan Merek Jasa atau mengalihkan secara tanpa hak atau dengan cara apapun meletakan beban atas Merek Jasa.”

Pasal 23.2 Perjanjian Waralaba (Franchise Agreement) antara PT Sumber Alfaria Trijaya, Tbk dengan CV. Sumber Wonorejo (SAT-SWO/WL/JBR/IX/2014/008) memberikan penjelasan lebih lanjut tentang akibat hukum apabila terjadi pelanggaran atas hak merek yang dilakukan Penerima Waralaba, yakni pihak Pemberi Waralaba

liv

selaku pihak yang dirugikan atas pelanggaran atas hak merek tersebut mempunyai hak dan wewenang untuk dapat mengakhiri Perjanjian Waralaba tersebut. Pasal 23.2 menyebutkan:

“Dalam hal Penerima Waralaba melakukan wanprestasi, Pemberi Waralaba dapat mengakhiri Perjanjian ini dengan tidak mengurangi pemenuhan kewajiban Penerima Waralaba yang telah timbul sebelum berakhirnya Perjanjian.”

3.3 Upaya Yang Bisa Ditempuh Oleh Pemberi Waralaba Atas Pelanggaran Hak Merek Yang Telah Dilakukan Penerima Waralaba

Sistem hukum Indonesia memang belum terdapat yang secara khusus mengatur tentang penyelesaian perselisihan dalam waralaba dan pilihan forum penyelesaiannya. Didalam perjanjian waralaba, biasanya ada klausul yang mengenai penyelesaian sengketa. Dijelaskan dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba bahwa dalam perjanjian waralaba sedikitnya memuat klausul tentang penyelesaian sengketa. Untuk menyelesaikan sengketa dalam perjanjian waralaba terdapat klausul pilihan hukum atau pilihan forum apabila terjadi perselisihan. Pilihan hukum merupakan hal yang penting dalam suatu perjanjian waralaba, jika terjadi sengketa serta tempat hukum mana yang dipilih untuk menyelesaikan perselisihan- perselisihan yang timbul. Selain ada pilihan hukum terdapat pula pilihan forum yang dimungkinkan penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau penyelesaian sengketa berdasarkan proses litigasi.

Pada dasarnya setiap perjanjian ataupun perjanjian waralaba sekalipun itu bentuknya yang dibuat para pihak dalam perjanjian harus dapat dilakukan dengan sukarela dan beritikad baik dalam perjanjian tersebut, namun dalam keberlangsungan prakteknya perjanjian yang dibuat para pihak tersebut seringkali dilanggar. Para pihak seringkali tidak memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian, padahal ketentuan-ketentuan tersebut telah diketahui dan disepakati oleh para pihak. Tetapi dalam kenyataanya para pihak tersebut yang seringkali melanggar ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian tersebut. Para pihak seakan-akan lupa serta tidak mengindahkan akan hak, wewenang, maupun kewajiban yang harus dilakukan oleh para pihak sehingga melahirkan suatu keadaan yang disebut wanprestasi atau ingkar janji yang dapat merugikan salah satu pihak sehingga menyebabkan suatu perselisihan hukum atau sengketa diantara para pihak yang ada dalam perjanjian tersebut.

lv

Sengketa bisnis yang mungkin timbul dapat perjanjian waralaba dapat terjadi antara pemberi waralaba (franchisor) dengan penerima waralaba (franchisee), sengketa bisnis bisa saja terjadi berkenaan dengan praktik pelaksanaan isi perjanjian waralaba yang dinilai tidak sesuai dengan kesepakatan. Penyelesaian sengketa bisnis (sengketa perdata), termasuk penyelesaian sengketa bisnis perjanjian waralaba terkait bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual yaitu hak merek dapat dilakukan melaui pengadilan (litigasi) maupun diluar pengadilan (non-litigasi).51

3.3.1 Upaya Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan (Litigasi)

Penyelesaian sengketa bisnis melalui pengadilan dapat dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata melalui pengadilan yang berwenang, jika sengketa tersebut menyangkut perjanjian waralaba, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri. Pada perjanjian waralaba yang dibuat dalam bentuk standar biasanya juga dicantumkan tentang klausul tentang cara penyelesaian sengketa dan pengadilan yang dipilih. 52Karena gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri, maka tata cara pengajuan gugatannya menggunakan hukum acara yang berlaku atau digunakan di lingkungan peradilan umum.53

Mengenai langkah awal yang mendahului suatu pemeriksaan di pengadilan yang pertama adalah pemenuhan seluruh syarat formil dan materiil suatu surat gugatan dimana jika syarat ini telah dipenuhi maka proses selanjutnya adalah pendaftaran surat gugatan tersebut ke bagian kepaniteraan pengadilan yang mempunyai kewenangan mengadili perkara tersebut, berikutnya penggugat membayar biaya perkara yang telah ditentukan besarnya oleh pengadilan negeri/niaga dan kemudian mendapat nomer register dari bagian kepaniteraan, perkara diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk mendapatkan penetapan siapa yang akan menjadi majelis hakim tersebut menentukan jadwal persidangan akan dimulai, dan majelis hakim akan memerintahkan panitera untuk menugaskan kepada jurusita memanggil para pihak pada hari yang telah ditetapkan sebagai hari persidangan.54

51Ibid, hlm.121 52ibid

53Djamal, 2009, “Hukum Acara Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Indonesia” Bandung: Rieneka Cipta,

Hlm.34

lvi

Menurut ketentuan Pasal 7 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 tahun 2008 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan, pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi. Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi sesuai Perma No. 01 Tahun 2008 ini kepada para pihak yang bersengketa. Apabila para pihak sepakat atau setuju untuk melakukan mediasi yang ditawarkan oleh majelis hakim maka para pihak berhak memilih mediator dan dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator.55

Pasal 13 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 tahun 2008 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan, menyebutkan:

“Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim. Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari. Jika diperlukan dan dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak, mediasi dapat dapat dilakukan secara jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi.”

Akan tetapi bilamana upaya mediasi tersebut tidak berhasil menyelesaikan permasalahan antar masing-masing pihak selanjutnya akan dibacakan surat gugatan.

Pada tahap awal pemeriksaan dipersidangan, dimungkinkan hal-hal yang berhubungan dengan perubahan surat gugatan atau pencabutan surat gugatan. Pada sengketa Hak Atas Kekayaan Intelektual juga dimungkinkan pihak yang dirugikan mengajukan permohonan penetapan sementara pengadilan atau disingkat PSP yang merupakan suatu bentuk upaya hukum yang bersifat sementara (provisionil) dan dapat dimohonkan didalam suatu sengketa Hak Atas Kekayaan Intelektual oleh pihak yang merasa dilanggar haknya dengan tujuan untuk mencegah kerugian yang lebih besar pada pihak tersebut dan mencegah berlanjutnya pelanggaran.56 Hakim untuk mendapatkan gambaran yang tidak sepihak, dengan pengertian hanya dari pihak penggugat, hakim

55http://hukum.kompasiana.com/2011/02/23/prosedur-mediasi-di-pengadilan-

berdasarkan-perma-nomor-01-tahun-2008/ diakses tanggal 27 November 2014

lvii

memberikan kesempatan kepada tergugat untuk mengajukan jawaban terhadap segala dalili-dalil yang dikemukakan oleh pihak penggugat. Ada 2 (dua) macam jawaban tergugat dipersidangan, yaitu :

1. Jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara yang sering disebut tangkisan (eksepsi)

2. Jawaban tergugat yang langsung mengenai pokok perkara (verwer ten principle)57

Pada saat jawab menjawab tidak saja antara surat jawaban yang diajukan guna menanggapi dalil-dalil gugatan penggugat, melainkan juga pada saat pengajuan duplik yang merupakan hak tergugat sebagai tanggapan atas replik penggugat yang merupakan tanggapan penggugat atas jawaban tergugat dalam persidangan. Replik adalah jawaban atau tanggapan dari penggugat baik tertulis maupun lisan yang diajukan kepersidangan yang merupakan hak penggugat (boleh digunakan, boleh juga tidak) sebagai jawaban atau tanggapan dari penggugat untuk menguatkan dalili-dalil gugatannya serta bertujuan untuk mematahkan dan menolak alasan-alasan yang dikemukakan tergugat dalam jawabanya. Duplik adalah jawaban atau tanggapan dari tergugat baik tertulis maupun lisan yang diajukan kepersidangan yang merupakan hak tergugat sebagai jawaban atau tanggapan serta bertujuan untuk mematahkan dan menolak alasan-alasan yang dikemukakan penggugat dalam replik.58

Setelah proses jawab-menjawab dilalui maka akan masuk pada proses pembuktian, dimana para pihak diberi kesempatan untuk membuktikan dalil-dalil yang pernah dikemukakan pada tahap jawab-menjawab. Tujuan pembuktian adalah untuk mencapai putusan yang dapat dirasakan adil bagi para pihak yang berperkara, karena pembuktian itu secara tidak langsung merupakan sarana bagi hakim untuk mengkonsituir didalam membuat putusan. Dalam hal tahap pemeriksaan bukti telah dilakukan, maka dilanjutkan dengan tahap kesimpulan para pihak. Yang selanjutnya apabila telah dilakukan maka dilanjutkan dengan pembacaan putusan majelis hakim atas perkara yang bersangkutan.

Pelaksanaan putusan pengadilan dapat dilakukan apabila putusan pengadilan itu telah berkekuatan hukum tetap, yaitu apabila tidak ada pengajuan upaya hukum atas putusan tersebut dari pihak lawan atau telah diterima baik oleh para pihak. Putusan deklatoir, yang hanya sekedar menerangkan atau menetapkan suatu keadaan saja tidak perlu dieksekusi, demikian pula dengan putusan konstitutif, yang menciptakan atau

57ibid, hlm. 58 58ibid, hlm.60

lviii

menghapuskan suatu keadaan tidak perlu dilaksanakan. Putusan yang perlu dieksekusi adalah putusan comdemnatoir yaitu putusan yang berisi penghukuman, dimana pihak yang kalah dihukum untuk melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu, dimana dalam hal ini termasuk putusan pada sengketa dalam perjanjian waralaba terkait hak merek dimana putusannya bersifat comdemnatoir.

3.2.2 Upaya Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan (Non-Litigasi)

Penyelesaian sengketa diluar pengadilan (non-litigasi) didasarkan pada isi perjanjian waralaba yang dibuat para pihak, dimana dalam praktek biasa diatur dalam salah satu klausul isi pasal terakhir dalam perjanjian waralaba yang dibuat para pihak, dimana dalam praktek biasa diatur dalam salah satu klausul isi pasal terakhir dalam perjanjian waralaba yang dapat dilakukan dengan menggunakan musyawarah dimana dalam Alternatif Penyeleaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR) yang telah memiliki dasar hukum yang kuat sejak diterbitkannya Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, diamana penggunaan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang paling banyak digunakan saat ini adalah: Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase dan Pendapat Mengikat.59

Negosiasi dalam bahasa sehari-hari sering kita dengar padanannya dengan istilah

“berunding” atau “musyawarah”, dimana orang yang mengadakan perundingan disebut

negosiator. Negosiasi secara umum diartikan sebagai upaya penyelesaian sengketa tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerjasama yang lebih harmonis dan kreatif.60 Melalui negosiasi para pihak yang bersengketa atau berselisih paham dapat melakukan suatu proses penjajajakan kembali akan hak dan kewajiban para pihak dengan atau melalui suatu situasi yang sama-sama menguntungkan, dengan melepaskan atau memberikan kelonggaran atas hak-hak tertentu berdasarkan pada asas timbal balik.61

Negosiasi apabila mengalami kegagalan, maka para pihak yang bersengketa dapat menempuh cara lanjutan yaitu mediasi. Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netral, dan tidak membut keputusan dan kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang

59Iswi Hariyani, R.Serfianto, Op. Cit, Hlm.122 60ibid, Hlm.124

lix

fasilitator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran, dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat. Upaya mediasi antar kedua belah pihak yang bersengketa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah (mediator), yang dapat diambil dari orang yang netral yang dinilai arif dan bijaksana serta memahami pokok sengketa yang dipermasalahkan. Mediator dalam sengketa waralaba dapat diambilkan dari pejabat Negara trkait atau pimpinan asosiasi waralaba.62

Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa dengan menyerahkannya kepada suatu komisi orang-orang yang bertugas untuk menguraikan atau menjelaskan fakta- fakta dan (biasanya setelah mendengar para pihak dan mengupayakan agar mereka mencapai suatu kesepakatan), membuat usulan-usulan untuk suatu penyelesaian, namun keputusan tersebut tidak mengikat. Konsiliasi dengan mediasi memiliki kesamaan dan perbedaan, kesamaan keduanya adalah sama-sama melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa secara damai sedangkan perbedaannya adalah pada keterlibatan pihak ketiga atau penengah; pada konsiliasi, penengah hanya bertindak sebagai fasilitator yang hanya mempertemukan para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, sedangkan pada mediasi penengah berusaha secara aktif membantu para pihak yang bersengketa menemunkan dan menawarkan solusi yang tepat dan bermanfaat.63

Sengketa bisnis waralaba apabila tidak berhasil diselesaikan dengan cara negosiasi, mediasi, atau konsoliasi, dapat diselesaikan lebih lanjut dengan cara arbitrase. Arbitrase berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yaitu:

“Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”

Berdasarkan pengertian isi Pasal tersebut maka penyelesaian dengan cara arbitrase harus didasarkan pada perjanjian arbitrase, perjanjian arbitrase menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah:

“Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak

62Iswi Hariyani, R.Serfianto, Op. Cit, Hlm.125 63Ibid, Hlm.128

lx

sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase sendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.”

Sampai saat ini belum ada lembaga arbitrase yang secara khusus mengatur tentang penyelesaian sengketa dibidang waralaba, maka para pihak dapat menggunakan lembaga arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang didirikan oleh kamar dagang dan industri Indonesia (KADIN)64. Penyelesaian sengketa dengan arbitrase ini dipimpin oleh seorang arbiter atau wasit yaitu seorang atau lebih yang dipilih para pihak yang bersengketa atau ditunjuk oleh Pengadilan Negeri atau ditunjuk oleh lembaga arbitrase untuk memberikan putusan yang berkaitan dengan sengketa tertentu yang penyelesaianya disepakati untuk diserahkan melalui arbitrase.65

Cara yang terakhir adalah dengan Pendapat Mengikat (legal binding opinion) yaitu salah satu bentuk penyelesaian sengketa alternative yang dilakukan para pihak dengan cara meminta pendapat para ahli yang berkompeten dengan pokok masalah yang dipersengketakan. Pendapat mengikat pada saat ini telah mulai dipraktikan dalam penyelesaian sengketa perdata yang khusus terjadi dibidang pasar modal oleh Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI), pendapat mengikat juga telah dipraktikan dibidang perdagangan berjangka komoditi oleh Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI).66

Mengenai ketentuan penyelesaian sengketa dalam upaya yang bisa ditempuh oleh pemberi waralaba atas pelanggaran hak merek yang telah dilakukan penerima waralaba, metode yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa antara para pihak dalam Perjanjian Waralaba (Franchise Agreement) antara PT Sumber Alfaria Trijaya, Tbk dengan CV. Sumber Wonorejo (SAT-SWO/WL/JBR/IX/2014/008) adalah dengan menggunakan metode non litigasi , yaitu dengan cara melakukan msyawarah. Sesuai dengan ketentuan Pasal 27.2 Perjanjian Waralaba (Franchise Agreement) antara PT Sumber Alfaria Trijaya, Tbk dengan CV. Sumber Wonorejo (SAT- SWO/WL/JBR/IX/2014/008) yang menyebutkan:

“Semua perselisihan yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan Sistem, Panduan dan Perjanjian ini akan diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat.”

64ibid, Hlm.130 65ibid, Hlm.133 66ibid, Hlm.124

lxi

Lebih lanjut apabila musyawarah tidak menyelesaikan sengketa maka penyelesaian perselisihan tersebut para pihak setuju menyelesaikannya melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), ketentuan ini sesuai dengan isi dari Pasal 27.3 Perjanjian Waralaba (Franchise Agreement) antara PT Sumber Alfaria Trijaya, Tbk dengan CV. Sumber Wonorejo (SAT-SWO/WL/JBR/IX/2014/008) yang berbunyi:

“Apabila penyelesaian musyawarah tidak dapat dicapai, Para Pihak menyetujui untuk menyelesaikannya melalui Badan Arbitrase Nasional (BANI) di Jakarta dengan menggunakan peraturan, prosedur dan ketentuan arbitrase pada BANI.”

Tentang penjelasan penyelesaian perselisihan yang dituangkan dalam Pasal 27 Perjanjian Waralaba (Franchise Agreement) antara PT Sumber Alfaria Trijaya, Tbk dengan CV. Sumber Wonorejo (SAT-SWO/WL/JBR/IX/2014/008) yakni memprioritaskan penyelesaian perselisihan antar pihak dengan cara musyawarah mufakat, tentunya dengan tujuan agar permasalahan cepat terselesaikan tanpa banyak menghabiskan biaya yang besar serta waktu penyelesaian perselisihan yang tidak berlarut-larut. Kemudian apabila penyelesaian perselisihan dengan cara musyawarah mufakat tersebut tidak berhasil menyelesaikan permasalahan, selanjutnya para pihak

Dokumen terkait