• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK

D. Akibat Hukum Pengangkatan Anak

Ter Haar menyebutkan bahwa anak angkat berhak atas warisan sebagai anak, bukannya sebagai orang asing. Sepanjang perbuatan ambil anak (adopsi) telah menghapuskan perangainya sebagai “orang asing’ dan menjadikannya perangai “anak” maka anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak. Itulah titik pangkalnya hukum adat. Namun boleh jadi, bahwa terhadap kerabatnya kedua orangtua yang mengambil anak itu anak angkat tadi tetap asing dan tidak mendapat apa-apa dari barang asal daripada bapa atau ibu angkatnya atas barang-barang mana kerabat-kerabat sendiri tetap mempunyai haknya yang tertentu, tapi ia mendapat barang-barang (semua) yang diperoleh dalam

38

J.Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, h.202.

perkawinan. Ambil anak sebagai perbuatan tunai selalu menimbulkan hak

sepenuhnya atas warisan.39

Wirjono Prodjodikoro berpendapat pada hakekatnya seorang baru dapat dianggap anak angkat, apabila orang yang mengangkat itu memandang dalam

lahir dan batin anak itu sebagai anak keturunannya sendiri.40

d. Hubungan marga, gelar, kedudukan adat; dalam hal ini anak tidak akan mendapat marga, gelar dari orangtua kandung, melainkan dari orangtua angkat.

Pengadilan dalam praktek telah merintis mengenai akibat hukum didalam pengangkatan antara anak dengan orangtua sebagai berikut:

a. Hubungan darah : mengenai hubungan ini dipandang sulit untuk memutuskan hubungan anak dengan orangtua kandung.

b. Hubungan waris : dalam hal waris secara tegas dinyatakan bahwa anak sudah tidak akan mendapatkan waris lagi dari orangtua kandung. Anak yang diangkat akan mendapat waris dari orangtua angkat.

c. Hubungan perwalian : dalam hubungan perwalian ini terputus hubungannya anak dengan orangtua kandung dan beralih kepada orangtua angkat. Beralihnya ini, baru dimulai sewaktu putusan diucapkan oleh pengadilan. Segala hak dan kewajiban orangtua kandung beralih kepada orangtua angkat.

41

Staatblad 1917 No. 219 menentukan bahwa akibat hukum dari perbuatan pengangkatan anak adalah sebagai berikut :

39

B. Ter Haar, Asas-asas Dan Susunan Hukum Adat, Terjmahan oleh K. ng. Soebakti Poesponot, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, h. 247.

40

R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1976, h. 29.

41

M. Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau dari segi Hukum, Akademika Pressindo, Jakarta, 1985, h. 21.

a) Pasal 11 : “anak adopsi secara hukum mempunyai nama keturunan dari orang yang mengadopsi”.

b) Pasal 12 ayat 1 : “anak adopsi dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari

orang yang mengadopsi. Konsekwensinya anak adopsi menjadi ahli waris dari orang yang mengadopsi”.

Konsekwensinya anak angkat menjadi ahli waris dari orang yang mengadopsi. Konsekwensi lebih lanjut adalah karena dianggap dilahirkan dari perkawinan orang yang mengadopsi, maka dalam keluarga orangtua yang mengangkat, anak yang diangkat berkedudukan sebagai anak sah dengan segala

konsekwensi lebih lanjut.42

1. Apabila adopsi dilakukan sebelum keluarnya UU No. 1 tahun 1974, maka

akibat hukumnya tunduk kepada KUHPerdata yang meliputi:

Bila anak adopsi dianggap dilahirkan dari perkawinan orangtua angkat dan anak yang diangkat berkedudukan sebagai anak sah maka akibat hukumnya adalah sebagai berikut :

a. Kekuasaan orangtua terhadap pribadi anak, yaitu orangtua wajib

memelihara dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa (Pasal 298 ayat 2 KUHPerdata). Sepanjang perkawinan bapak dan ibu tiap-tiap anak sampai ia menjadi dewasa, tetap dibawah kekuasaan orangtua sepanjang kekuasaan orangtua itu belum dicabut (Pasal 299 KUHPerdata)

42

J. Satrio, Hukum keluarga Tentang kedudukan Anak Dalam Undang-undang, Citra Aditya, Bandung, 2000, h. 236.

b. Kekuasaan orangtua terhadap harta kekayaan anak, yaitu terhadap anak yang belum dewasa, maka orangtua harus mengurus harta kekayaan anak itu (Pasal 307 KUHPerdata)

c. Hak dan kewajiban anak terhadap orangtua, yaitu tiap-tiap anak, dalam

umur berapapun wajib menaruh kehormatan dan keseganan terhadap bapak dan ibunya serta berhak atas pemeliharaan dan pendidikan.

2. Apabila adopsi dilakukan setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, maka

akibat hukumnya tunduk kepada UU No. 1 Tahun 1974 yang meliputi:

a. Hak dan kewajiban orangtua terhadap anak, yaitu :

Didalam Pasal 45 dinyatakan bahwa :

a) Kedua orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak

mereka sebaik-baiknya.

b) kewajiban orangtua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini

berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdidri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orangtua putus.

Didalam Pasal 47 dinyatakan bahwa :

“Salah seorang atau kedua orangtua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orangtua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas atau saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal :

2. Ia berkelakuan buruk sekali.

b. Kewajiban orangtua terhadap harta benda anak, yaitu:

Pasal 48 UU No.1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa : “orangtua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum melangsungkan perkawinan kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya”.

c. Hak dan kewajiban anak terhadap orangtua, yaitu selain berhak atas

pemeliharaan dan pendidikan juga mempunyai kewajiban sebagaimana yang diatur dalam Pasal 46 UU No. 1 Tahun 1974 yaitu:

1. Anak wajib menghormati orangtua dan mentaati kehendak mereka

yang baik.

2. Jika anak telah dewasa ia wajib memelihara menurut kemampuannya

orangtua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka memerlukan bantuannya.

Akibat hukum Pengangkatan anak yaitu timbul hubungan keperdataan meliputi nafkah, pemelihraan anak dan waris antara anak yang iangkat dengan orangtua angkat.

BAB III

PELAKSANAAN PENGANGKATAN DAN KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM HUKUM ADAT TIONGHOA

A. Masyarakat Tionghoa di Kota Medan

a. Sejarah Masyarakat Tionghoa di Kota Medan

Di Sumatera Utara khusunya di kota Medan, orang-orang China lebih suka disebut dengan orang Tionghoa, yang menunjukkan makna kultural dibandingkan dengan penyebutan orang China, yang lebih menunjukkan makna geografis. Namun, dalam kehidupan sehari-hari kedua istilah ini sama-sama dipergunakan. Sementara bahasa yang umum digunakan adalah bahasa suku Hokkian bukan bahasa Mandarin. Namun kedua bahasa itu juga dipraktikkan dan diajarkan kepada generasi-generasi Tionghoa yang lebih muda.

Umumnya orang-orang Tionghoa di Sumatera Utara sebagai pedagang. Mereka dikenal ulet berusaha dan memiliki jaringan yang baik sesamanya, sehingga ada kalanya pribumi “iri hati” terhadap keberhasilan mereka di bidang ekonomi ini. Adapun pola tempat tinggal orang-orang Tionghoa di Sumatera Utara, khususnya sebagai pedagang adalah menempati rumah-rumah dan sekaligus menjadi toko atau tempat berniaga. Bagi masyarakat pribumi orang- orang Tionghoa ini dianggap memiliki sifat tertutup (eksklusif) dan kurang mau bersosialisasi. Namun sebenarnya masyarakat Tionghoa ini ingin pula dipandang

sebagai bagian yang integral dari warga negara Indonesia pada umumnya, dan jangan dibatasi akses sosial mereka.

Sebuah artikel dengan judul “Cina Medan: Tinjauan Sosio Historis” yang ditulis oleh Z. Pangaduan Lubis di harian Mimbar Umum, Medan, berisikan pernyataan bahwa dalam cerita lama, pada abad ketujuh disebutkan bahwa Raja Sanjaya pernah menaklukkan Negeri Poloan yang terletak di Berawan. Ia menyebutkan pula bahwa dalam catatan sejarah yang ditulis oleh Cu Pan Ci, terdapat nama negeri Poloan yang terletak di Berawan itu. Lebih jauh lagi Dada Meuraxa mengemukakan bahwa kemungkinan negeri Poloan itulah yang kemudian hari dikenal sebagai Kota China yang terletak di Paya Pasir dekat Hamparan Perak itu. Diperkirakan Kota China itu masih berdiri sampai abad ketujuh. Kemudian pada abad itu pula ditaklukan oleh Raja Sanjaja. Perkiraan yang demikian ini didukung oleh kenyataan bahwa pada mata uang kuno yang ditemukan di bekas Kota China itu tertera tarikh 800 Masehi.

Pergantian dinasti yang terjadi di China menyebabkan adanya pula perubahan sikap para pemegang kekuasaan negeri itu terhadap daerah lain seperti pada masa kekuasaan Dinasi Ming (1368-1644) yang berkuasa di Negeri China, yang tidak bermaksud memperluas teritorialnya dengan menaklukkan daerah lain seperti Kubilai Khan sebelumnya. Akan tetapi ia mengembangkan usaha perdagangan negerinya dengan daerah lain. Sehingga pada masa kekuasaannya arus perdagangan antara Negeri China dengan daerah lain sangat lancar. Sejak itu hampir semua pelabuhan yang terdapat di kepulauan Indonesia dan kawasan- kawasan Asia Tenggara tidak luput disinggahi oleh kapal-kapal dagang China.

Lancarnya arus perdagangan ini adalah karena perlindungan keamanan dari raja- raja China terhadap pedagang-pedagangnya dari ancaman-ancaman bajak laut maupun di pelabuhan-pelabuhan yang mereka singgahi dengan mengikutsertakan beberapa regu tentara di kapal-kapal dagang tersebut. Di samping itu, akibat terjadinya pergantian dinasti yang memegang kekuasaan di Negeri China dan buruh China dari Singapura, dan antara tahun 1888-1931 terhitung lebih kurang 305.000 orang tenaga buruh China yang didatangkan dari Singapura dan Pulau Jawa. Orang-orang Tionghoa ini akhirnya melepaskan diri dari kerja di perkebunan dan sebagian besar di antaranya menjadi pedagang di pedesaan- pedesaan sekitar perkebunan tersebut, atau mencari pekerjaan lain ke Sumatera Utara, dan banyak pula di antara mereka bekerja sebagai tukang maupun nelayan (Tengku Luckman Sinar 1991:200).

Sumatera Utara sendiri pada waktu itu telah banyak ditempati orang-orang China, dengan memiliki pemuka-pemuka golongan yang diakui pemerintah Hindia Belanda sendiri. Seperti pada tahun 1880, sewaktu Tjong A Fie menyusul kakaknya ke Medan, didapati kakaknya telah menjadi pemuka golongan China, dengan pangkat luitenant, yakni pangkat yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda. Tjong A Fie sendiri pun akhirnya juga menjadi pemuka masyarakat China di Medan dengan pangkat majoor, dan meninggal pada tahun 1921. Tjong A Fie adalah seorang China perantaun yang memiliki harta yang banyak di Medan, Jakarta, serta Singapura (Tengku Luckman Sinar 1991:2003). Tjong A Fie juga senang terhadap kesenian seperti seni Melayu Deli. Dia juga membangun mesjid di daerah Petisah.

b. Sistem Kekerabatan Masyarakat Tionghoa di Kota Medan

Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam masyarakat adat di Indonesia dikenal 3 (tiga) macam sistem kekerabatan, yaitu:

a. Sistem Kekerabatan Patrilineal

Sistem kekerabatan patrilineal berarti pertalian kekerabatan yang didasarkan atas garis keturunan bapak. Sebagai konsekuensinya anak laki- laki lebih utama daripada anak wanita, sehingga apabila suatu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki akan melakukan pengangkatan anak laki- laki. Pada sistem kekerabatan patrilineal ini, pada umumnya berlaku adat perkawinan dengan pembayaran jujur. Seorang perempuan setelah perkawinannya, di lepaskan dari hubungan kekeluargaan kerabat aslinya dan masuk menjadi anggota kerabat suaminya. Anak-anak yang lahir dari perkawinan itu juga masuk dalam lingkungan kekeluargaan ayahnya. Sistem ini digunakan di daerah Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Bengkulu, Seram, Nusa Tenggara, Bali dan Irian.

Bali yang sistem kekeluargaannya bersifat patrilineal hanya anak laki-laki mewarisi harta warisan. Demikian pula isteri tidak termasuk ahli waris hanya saja ia harus terjamin belanja hidupnya. Adapun di Batak, di Lampung dan di Gayo (Aceh Tengah) anak perempuan yang sudah kawin secara jujur, karena ia tidak terlepas dari keluarga asalnya tidak lagi mendapat warisan dari orang tuanya. Namun di daerah Gayo dikenal

adanya kawin angkap, anak perempuan itu tetap dalam lingkungan keluarga orang tuanya dan suaminya harus ikut isteri. Dalam hal ini anak perempuan itu tetap menjadi ahli waris tuanya bersama-sama ahli waris lain.

b. Sistem Kekerabatan Matrilineal

Sistem kekerabatan matrilineal adalah merupakan kebalikan dari sistem kekerabatan patrilineal. Sistem kekerabatan matrilineal adalah sistem kekerabatan yang didasari oleh garis keturunan ibu. Sebagai konsekuensinya dari sistem kekerabatan ini adalah mengutamakan anak- anak perempuan daripada anak-anak laki-laki. Dalam sistem kekerabatan

matrilineal ini pada umumnya berlaku adat perkawinan semenda, yang

setelah perkawinan si suami mengikuti isteri. Namun suami tetap menjadi anggota kerabat ibunya. Sistem ini dipakai pada daerah Minangkabau, Enggano dan Timor Timur.

Minangkabau yang sifat kekeluargaannya keibuan, bila seorang ayah meninggal dunia maka anak-anaknya tidak mendapat warisan karena antara ayah dan anak-anaknya tidak ada hubungan kekeluargaan, yang menjadi ahli warisnya adalah anak-anak dari saudara perempuan ayah

yang meninggal.43

c. Sistem Kekerabatan Parental.

Oleh karena itu sering terjadi apabila seorang ayah ingin melimpahkan harta kepada anak-anaknya, dilakukan dengan melalui lembaga hibah atau dengan cara wasiat.

43

Ismuha, Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris Menurut Kitab Undang-undang

Sistem kekerabatan parental adalah sistem kekerabatan yang didasarkan atas garis keturunan bapak dan ibu. Dalam sistem kekerabatan ini, antara anak

laki-laki dan anak perempuan tidak dibedakan dalam pewarisan.44

Perkawinan yang terjadi dalam sistem parental ini, pada umumnya berlaku

adat perkawinan mentas, yang setelah perkawinan suami isteri hidup bersama

secara mandiri. Suami istri bebas memilih akan menetap di tempat suami atau di tempat isteri atau membangun kehidupan baru lepas dari pengaruh kerabat isteri maupun suami, bahwa mengenai kedudukan isteri atau suami dalam masyarakat yang bersifat kekeluargaan parental, pada hakekatnya tidak ada perbedaan dalam keluarga masing-masing. Malahan dengan terjadinya perkawinan baik isteri maupun suami keluarganya bertambah, sebab selain tetap dalam keluarga semula juga dianggap masuk menjadi keluarga pihak suami atau pihak isteri.

Sistem ini dipergunakan di daerah Aceh, Sumatera Selatan, Riau, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain.

45

Berkaitan dengan sistem kekerabatan tersebut di atas, maka peranan anak sebagai penerus keturunan mempunyai arti yang sangat penting. Misalnya pada masyarakat Minangkabau, peranan anak wanita lebih penting dari pada anak laki- laki yang menganut sistem kekerabatan matrilineal. Demikian pula sebaliknya pada masyarakat Bali yang menganut sistem kekerabatan patrilineal, maka anak laki-laki memegang peranan yang penting dibandingkan anak wanita. Atas dasar inilah apabila dalam suatu keluarga tidak mempunyai anak kandung, maka upaya

44

Hilman Hadikusuma,Op.Cit, hal. 24

45

yang dilakukan untuk mempertahankan dan melanjutkan garis keturunan dari masing-masing sistem kekerabatan itu adalah dengan pengangkatan anak.

Sistem kekerabatan ini juga mempengaruhi sistem hukum perkawinannya, seperti masyarakat yang menganut sistem kekerabatan matrilineal perkawinannya bersistem perkawinan semenda dimana pelamaran dilakukan oleh pihak wanita kepada pihak pria dan setelah perkawinan suami mengikuti tempat kedudukan dan kediaman isteri. Sebaliknya jika sistem kekerabatan patrilineal, hukum perkawinannya bersistem perkawinan jujur dimana pelamaran dilakukan oleh pihak pria kepada pihak wanita dan setelah perkawinan isteri mengikuti tempat kedudukan dan kediaman suami. Demikian pula suatu masyarakat yang menganut kekerabatan parental, maka sistem hukum perkawinannya bebas dimana pelamaran dilakukan oleh pihak pria dan setelah perkawinan kedua suami isteri

bebas menentukan tempat kedudukan dan kediaman mereka.46

B. Jenis-Jenis Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat Tionghoa

Dulu masyarakat Tionghoa menganut sistem kekerabatan patrilineal. Tetapi sekarang ini, masyarakat Tionghoa terutama Tionghoa peranakan khususnya di Kota Medan, menganut sistem kekerabatan parental.

Dalam tradisi Tionghoa ada 3 jenis pengangkatan anak :

1. Anak tersebut anak yatim piatu tidak diketahui nama marganya, nama

orangtuanya. Biasanya jenis seperti ini kita berhak memberi nama anak tersebut dan memberi nama marganya dia sebagai anggota keluarga kita.

46

2. Anak tersebut anak yatim piatu ada nama marganya, jenis ini tidak perlu diberi nama marganya tinggal kasih namanya, dia masih bisa tinggal dalam lingkungan keluarga kita.

3. Anak yang di kwepang atau anak asuh. Kategori anak asuh adalah anak yang

punya orangtua dan punya nama marganya dan nama sendiri, biasanya anak yang di kwepang masih tinggal bersama orangtua aslinya, dan memanggil keluarga kita sebagai anggota keluarga dalam. Contoh si A di kwepang sama keluarga B. Si A tetap memanggil papa dan mama kandungnya sendiri biasanya AI atau Ithio (bibi atau paman). Sementara di dalam keluarga si B ia

memanggil Papa dan Mama dalam artian memiliki dua orangtua. 47

Tradisi Tionghoa, anak yang kurang sehat (kwepang) adalah “anak yang kondisi badannya kurang sehat atau tidak cocok dengan orangtuanya menurut perhitungannya, biasanya menitip anak asuh tujuannya adalah agar si anak bisa tumbuh dengan sehat dan masih menghormati kedua orangtuanya sendiri dan

orangtua asuhnya”.48

Biasanya dalam tradisi Tionghoa ada jenis kwepang kepada para dewata terutama Dewi laut atau Ma Cho Po, tujuannya adalah agar si anak dilindungi

47

Wawancara dengan Halim Loe, Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Kota Medan, di Medan tanggal 24 November 2011

48

Wawancara dengan Halim Loe, Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Kota Medan, di Medan tanggal 24 November 2011

oleh Ma Cho Po dalam perjalanan hidupnya tidak mengalami gangguan dari segi

kesehatan, makhluk halus dan sebagainya sampai ia dewasa.49

1. Demi pendidikan dan nama depan anak, juga demi kesehatan si anak

Ada 2 (dua) alasan utama urusan angkat anak di budaya Tionghoa yaitu sebagai berikut :

2. Karena alasan adanya unsur si anak dengan orangtuanya yang menurut

perhitungan tidak terdapat kecocokan atau saling terjadi perselisihan.50

Kondisi pertama itu biasanya anak dari keluarga yang miskin, mencari ayah angkat dari keluarga yang berkecukupan. Atau juga berpengharapan biar anaknya pintar, dicari ayah angkatnya yang berpendidikan tinggi. Orangtua yang takut kehilangan anaknya karena menurut perhitungannya pendek umur maka dicari orang lain yang dianggap berbadan sehat dan panjang umur.

Menurut Halim Loe, upacara pengangkatan itu taroh 1 meja, disebutnya

ganpanzi, di atasnya ada teko arak, cagkir, hiolo, lilin. Anak yang mau diangkat

anak dibimbing kepada orangtua angkatnya dan kasih anak, makanan terus bilang “ayah angkat silahkan minum dan makan”. Orang yang mengangkat anak terus kasih nama kepada anak angkat itu. Orangtua anak angkat itu memberi celana, ikat pinggang kepada orangtua angkat anaknya. Orangtua angkat itu kasih baju untuk anak angkatnya, dibajunya ditaruh 1 (satu) jarum yang artinya secara tulus hati mengangkat itu anak, dan terkadang dikasih bawang yang bunyinya chong

49

Wawancara dengan Halim Loe, Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Kota Medan, di Medan tanggal 24 November 2011

50

Wawancara dengan Halim Loe, Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Kota Medan, di Medan tanggal 24 November 2011

yang senada dengan chongming yang artinya pintar. Berharap anak angkatnya

menjadi pintar.51

Menurut Ong Boon Kok, pengangkatan anak dilakukan setelah kedua pihak menyetujui adanya pengangkatan anak, kemudian terpenuhi syarat-syarat pengangkatan anak, lalu anak yang akan diangkat serta orangtua angkat akan pergi ke klenteng untuk disumpah. Namanya sumpah “angkat anak”. Bila anak yang diangkat ternyata agamanya berbeda dengan orangtua angkat, maka anak tersebut harus masuk agama orangtua angkatnya terlebih dahulu. Kemudian kepada anak yang akan diangkat dikasih gelang warna-warni yang tebuat dari kain oleh seorang Bhik-Hu yang menyaksikan dan sekaligus sebagai saksi pengangkatan anak tersebut sebagai tanda anak telah sah diangkat oleh orangtua

angkat.52

Ritual pengangkatan anak dalam budaya Tionghoa tergantung dari agamanya masing-masing. Mayoritas keturunan Tionghoa tergantung Tionghoa menganut agama Budha & Kong Fu Cu tapi ada juga yang beragama Islam,

Khatolik, Hindu, dan Protestan.53

Setelah proses pengangkatan anak melalui upacara adat, biasanya masyarakat Tionghoa yang melakukan pengangkatan anak akan membuat akta

51

Wawancara dengan Halim Loe, Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Kota Medan, di Medan tanggal 24 November 2011

52

Wawancara dengan Ong Boon Kok, Tokoh Masyarakat Adat Tionghoa Kota Medan, di Medan tanggal 17 Februari 2012

53

Wawancara dengan Halim Loe, Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Kota Medan, di Medan tanggal 24 November 2011

pengangkatan anak dihadapan notaris untuk digunakan sebagai alat bukti bahwa

telah terjadi pengangkatan anak.54

Menurut Ong Boon Kok, Setelah melalui proses pengangkatan anak dengan upacara adat di klenteng, biasanya kalau anak itu berasal dari bukan keluarga orangtua angkat atau lingkungan luar, maka langkah selanjutnya dibuatlah acara syukuran dikalangan keluarga yang menandakan bahwa anak tersebut telah diangkat oleh orangtua yang bersangkutan. Tapi kalau anak berasal dari keluarga dekat orangtua angkat, maka tidak diadakan acara syukuran, malahan dilakukan secara diam-diam. Kemudian ada juga sebagian masyarakat yang melakukan pengangkatan anak dihadapan notaris. Sebagai alat bukti yang

sah bahwa pengangkatan anak telah dilakukan.55

C. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak Dalam Hukum Adat Tionghoa

Dalam masyarakat Tionghoa, untuk melaksanakan pengangkatan anak

maka syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:56

a. Adanya suami istri

Syarat ini merupakan syarat utama dalam hal pengangkatan anak, sebab yang benar-benar menghendaki seorang anak suatu keluarga (suami isteri) yang

54

Wawancara dengan Halim Loe, Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Kota Medan, di Medan tanggal 24 November 2011

55

Wawancara dengan Ong Boon Kok, Tokoh Masyarakat Adat Tionghoa Kota Medan, di Medan tanggal 17 Februari 2012

56

Wawancara dengan Ong Boon Kok, Tokoh Masyarakat Adat Tionghoa Kota Medan, di Medan tanggal 17 Februari 2012

pada lazimnya belum mempunyai anak, sehingga berniat untuk mengangkat anak dengan maksud untuk dijadikan sebagai anak mereka.

Dokumen terkait