• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Hukum Penggandaan Karya Cipta Lagu

Makin cepat terjadi perubahan dalam kehidupan masyarakat maka akan semakin cepat pula berkembang tuntutan dari masyarakat untuk membuat suatu peraturan yang diharapkan mampu mengatasi setiap persoalan yang timbul akibat perubahan tersebut. Salah satu perubahan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia yaitu munculnya permasalahan yang berkaitan dengan penggandaan karya cipta lagu yang dilakukan oleh orang – orang yang tidak bertanggung jawab. Penggandaan karya cipta lagu tanpa persetujuan dari pencipta atau pemegang Hak Cipta merupakan tindakan yang dianggap melanggar hukum.

Penggandaan karya cipta lagu tanpa seijin pemiliknya merupakan tindakan yang merugikan hak – hak dari pencipta ataupun pemegang Hak Cipta. Seseorang yang menggandakan atau memperbanyak hasil karya 91 Ibid,

92 Yoan Nursari Simanjuntak, 2006, Hak Desain Industri (Sebuah Realitas Hukum

atau ciptaan orang lain secara tidak sah dianggap telah melakukan tindakan pelanggaran HAM khususnya hak untuk memperoleh manfaat dari hasil ciptaannya. Penggandaan karya cipta lagu atas ijin pencipta ataupun atas ijin pemilih hak yang bersangkutan maka dikategorikan sebagai penggandaan atau perbanyakan yang legal atau sah, sedangkan penggandaan karya cipta lagu tanpa ijin pemilik hak yang bersangkutan maka dikategorikan sebagai penggandaan yang tidak sah atau illegal.

Memperbanyak lagu melalui HP dengan fasilitas MP3 merupakan hal yang umum dilakukan dikalangan masyarakat, namun apabila dikaji dari segi hukum merupakan suatu pelanggaran. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 12 ayat (1) UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta yang menentukan Dalam undang – undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:

a. Buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis orang lain;

b. Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu; c. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;

d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;

e. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pantomim;

seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan; g. Arsitektur; h. Peta; i. Seni batik; j. Fotografi; k. Sinematografi;

l. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.

Mengkaji dari ketentuan tersebut diatas, maka dapat dilihat bahwa lagu merupakan salah satu hasil karya cipta yang dilindungi oleh pemerintah. Dalam penerapan ketentuan ini tentu diperlukan dukungan dari berbagai pihak agar penerapan hukumnya lebih efektif. Dari pihak pemerintah harus lebih tegas dalam menerapkan sanksi bila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan ini, dari pihak masyarakat juga seyogyanya mempunyai kesadaran untuk tidak melakukan tindakan yang tergolong tindakan melawan hukum, begitu juga pemegang Hak Cipta harus lebih waspada agar hasil ciptaannya tidak diperbanyak dengan cara melawan hukum. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pemegang Hak Cipta adalah mendaftarkan hasil ciptaannya kepada instansi terkait.

Ada beberapa ciptaan yang dilindungi dan dijamin oleh hukum dalam pelaksanaannya untuk menghindari terjadinya tindakan pelanggaran HAM oleh orang yang tidak berhak. Beberapa pelanggaran yang tidak dianggap

sebagai pelanggaran Hak Cipta diatur dalam Pasal 15 UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta yang menentukan Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta :

a. Penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta;

b. Pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan;

c. Pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan :

(1). Ceramah yang semata – mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau

(2). Pertunjukkan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;

d. Perbanyakan suatu ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille guna keperluan para tuna netra, kecuali jika perbanyakan itu bersifat komersial;

e. Perbanyakan suatu ciptaan selain program komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apapun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau

pendidikan, dan pusat dokumentasi yang nonkomersial semata – mata untuk keperluan aktivitasnya;

f. Perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti ciptaan bangunan;

g. Pembuatan salinan cadangan suatu program komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata – mata untuk digunakan sendiri.

Muhamad Djumhana berpendapat doktrin – doktrin yang berkembang dalam perlindungan Hak Cipta diantaranya yaitu Doktrin Publisitas;

Making Available Right dan Merchandising Right; Doktrin Penggunaan Yang

Pantas; Doktrin Kerja Atas Dasar Sewa; Perlindungan (Hak) Karakter; Pengetahuan Tradisional dalam Lingkup Keterkaitan Hak Cipta; Cakupan – Cakupan Baru Dalam Perlindungan Hak Cipta; Software Free,

Copyleft, Open Source.93

Wyasa Putra dkk berpendapat secara umum masyarakat negara – negara berkembang sangat potensial menjadi pelanggar Hak Cipta. Pendukungnya antara lain, adalah : faktor ekonomi, seperti ketidakmampuannya membeli produk barang asli, kemajuan teknologi, misalnya mudahnya menggandakan buku – buku dengan mesin photo copy, serta kuatnya konsep kepemilikan secara komunal dalam masyarakat, adanya anggapan bahwa hasil karya cipta adalah untuk kepentingan banyak orang dan bukan hanya untuk kepentingan individu semata. Sementara itu negara – negara maju yang masyarakatnya sudah banyak menghasilkan karya intelektual, serta didukung dengan kesadaran hukum yang tinggi dibidang hukum HKI, merasa sangat dirugikan atas kasus – kasus pelanggaran karya intelektual, termasuk didalamnya pelanggaran Hak Cipta.94

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai pelanggaran Hak Cipta apabila perbuatan tersebut melanggar hak khusus dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta, yaitu :

93 Muhamad Djumhana I, 2006, Op. Cit, hal 37

94 Ida Bagus Wyasa Putra dkk, 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, PT. Refika Aditama, Bandung, hal 120

a. Dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan.

b. Dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mendengarkan, atau menjual kepada umum ciptaan hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait.

c. Dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu Program Komputer.

d. Dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan setiap ciptaan yang bertentangan dengan kebijaksanaan Pemerintah di bidang agama, pertahanan dan keamanan negara, kesusilaan, serta ketertiban umum setelah mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta.

e. Dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak atau mengumumkan potret seseorang atau tanpa izin ahli warisnya.

f. Dengan sengaja dan tanpa hak merubah suatu ciptaan walaupun Hak Ciptanya telah diserahkan kepada pihak lain tanpa persetujuan Pencipta atau tanpa persetujuan ahli warisnya bila pencipta sudah meninggal dunia.

g. Dengan sengaja dan tanpa hak merubah atau meniadakan informasi manajemen hak Pencipta.

h. Dengan sengaja dan tanpa izin Pencipta, merusak, meniadakan, atau membuat tidak berfungsi sarana kontrol teknologi sebagai pengaman Hak Cipta.

i. Dengan sengaja melanggar peraturan perizinan dan persyaratan produksi yang ditetapkan oleh instansi berwenang terhadap ciptaan yang menggunakan sarana produksi berteknologi tinggi, khususnya di bidang cakram optic (optical disc).

Penggandaan karya cipta lagu ini secara tidak sah selain melalui kaset, CD, VCD bahkan sudah mulai dilakukan melalui MP3 yang dapat mentransfer lagu atau musik melalui Hand Phone (HP). Hal ini dapat mengakibatkan kerugian bagi pemilik Hak Cipta karena mereka tidak dapat menikmati nilai ekonomis dari karya ciptanya karena penggandaan karya cipta lagu tersebut dilakukan tanpa seijin pemilik hak yang sah. Seiring perkembangan teknologi, perbanyakan karya cipta lagu dapat dilakukan melalui media HP dengan fasilitas MP3. Lagu dapat di transfers dari HP yang satu ke HP yang lainnya.

Terkait dengan tindakan penggandaan karya cipta lagu yang dilakukan tanpa seijin pemilik Hak Cipta atau tanpa seijin pencipta akan dikenakan sanksi seperti yang diatur dalam Pasal 72 ayat (1) UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta yang menentukan Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing – masing paling singkat 1(satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7(tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Dalam Hak Cipta berlaku delik biasa yang berbeda dengan kelompok HKI lainnya seperti Merek, Paten, Desain Industri dan lain – lain yang menggunakan delik aduan. Jadi setiap pelanggaran Hak Cipta akan langsung ditindak oleh pihak Kepolisian tanpa rekomendasi dari pemegang Hak Cipta. Ancaman pidana dalam pelanggaran Hak Cipta tetap menekankan pada aspek hukuman badan, disamping meningkatkan

jumlah pidana denda yang berbeda dari bidang – bidang hak kekayaan intelektual lainnya.

Menurut Achmad Zen Umar Purba, alasan dipertahankannya status delik biasa pada Hak Cipta disebabkan beberapa karakter khusus Hak Cipta, antara lain :

- Hak Cipta lahir bukan karena pendaftaran;

- Karya cipta yang dilindungi, apalagi berkat perkembangan teknologi mutakhir, sangat rentan untuk dibajak;

- Keinginan para pelaku di bidang karya cipta agar terhadap Hak Cipta dihukum seberat – beratnya. 95

Undang - Undang Hak Cipta menempatkan tindak pidana Hak Cipta sebagai delik biasa yang dimaksudkan untuk menjamin perlindungan yang lebih baik dari sebelumnya, dimana sebelumnya tindak pidana Hak Cipta dikategorikan sebagai delik aduan. Perubahan sifat delik ini adalah merupakan kesepakatan masyarakat yang menyebabkan suatu pelanggaran bisa diperkarakan ke Pengadilan secara cepat dan tidak perlu menunggu pengaduan terlebih dahulu dari pemegang Hak Cipta.

Perkembangan masyarakat yang begitu pesat diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akan menimbulkan proses perubahan kehidupan, keadaan ini memerlukan pengaturan agar perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia dapat dikendalikan secara teratur. Pembentukan suatu produk hukum harus mampu mengimbangi kepentingan masyarakat yang semakin kompleks.

Muhammad Siddiq mengungkapkan kecenderungan produksi peraturan yang makin lama makin kompleks inilah yang mendorong munculnya gejala “hiperregulasi”. Gejala ini sudah muncul mulai akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Sebagai respons terhadap kekecewaan umum terhadap fenomena kapitalisme klasik dan liberalisme yang didasarkan atas paham individualisme yang ekstrim, umat manusia dengan antusiasnya 95 Achmad Zen Umar Purba, 2005, Op. Cit, hal 135

mengembangkan aliran pemikiran sosialisme yang menjadi landasan berkembangnya gagasan mengenai welfare state atau negara kesejahteraan.96

Muhammad Siddiq juga berpendapat dalam paham welfare state, berbagai persoalan – persolan sosial dan ekonomi yang dimasa sebelumnya dianggap sebagai wilayah pasar bebas yang tidak boleh diintervensi oleh kekuasaan negara, maka atas pengaruh sosialisme itu diharuskan menjadi perhatian penting yang harus diurus juga oleh negara dengan penuh tanggung jawab. Untuk mengatasi segala kerumitan yang timbul dalam dinamika masyarakat, maka mau tidak mau masyarakat dipaksa untuk membuat segala macam aturan yang memang dibutuhkan. Makin kompleks skala dan dimensi perubahan itu terjadi, makin meningkat pula kebutuhan akan norma pengatur dan pengendali itu berkembang.97

Henc van Maarseven dan Ger van der Tang mengungkapkan :

the energy which many states have expended on amending or renewing their constitutions in recent decades requires an explanation. That explanation is to be found in the functions which constitutions fulfil. Constitutions can be used by numerous political systems and cater to a multitude of political needs. Constitutions can therefore be termed “multivalent” political instruments, and as such they naturally arouse curiosity as to the specific contributions which they make to given political systems. This curiosity can usually be satisfied in the case of a particular constitution since the national literature on the subject often contains an abundance of conjectures and suppositions about the functions of the constitution.98

Jika diterjemahkan pernyataan tersebut bermakna : energi yang telah dikeluarkan oleh banyak negara bagian untuk memperbaiki atau memperbaharui konstitusi/ perundang – undangan mereka akhir – akhir ini memerlukan suatu penjelasan. Penjelasan itu akan ditemukan pada fungsi – fungsi yang dipenuhi konstitusi. Konstitusi dapat digunakan oleh banyak sistem politik dan melayani berbagai keperluan politik. Konstitusi karenanya dapat disebut sebagai alat politik “multivalent” (banyak fungsi), dan juga konstitusi tersebut secara alami meningkatkan keingintahuan tentang 96 Muhammad Siddiq, 2009, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal 117

97 Ibid, hal 118

98 Henc van Maarseven dan Ger van der Tang, 1978, Written Constitutions ( A Computerized

kontribusi spesifik konstitusi yang mereka buat untuk sistem politik tertentu. Keingintahuan ini biasanya dapat dipuaskan dalam hal konstitusi tertentu karena pustaka nasional untuk topik tertentu seringkali mengandung sangat banyak spekulasi dan anggapan tentang fungsi konstitusi.

Menurut Soediman Kartohadiprodjo seperti dikutip oleh Arief Sidharta menyatakan pandangan hidup orang Barat yang disebut individualisme adalah pandangan yang ditumbuhkan pada zaman Renaissance yang kemudian memperoleh pengolahan dan perumusan kefilsafatan. Pandangan ini bertitik tolak dari keyakinan bahwa manusia itu diciptakan bebas dan sama, yang satu lepas dari yang lain, masing – masing dengan kekuasaan penuh. Sedangkan bangsa Indonesia menganut pandangan hidup yang titik tolaknya berbeda dari itu. Bangsa Indonesia berpandangan bahwa manusia itu diciptakan dalam kebersamaan dengan sesamanya; individu dan kesatuan pergaulan hidupnya (masyarakat) merupakan suatu kedwitunggalan.99

Setiap tindakan hukum yang dilakukan oleh masyarakat dalam suatu negara yang menganut konsep negara hukum pasti ada konsekuensi hukumnya, karena hukum memegang kedudukan tertinggi dalam negara tersebut. Termasuk juga apabila terjadi penggandaan karya cipta lagu secara tidak sah pasti akan ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku dalam negara yang bersangkutan. Penerapan konsep negara hukum antara negara yang satu dengan negara yang lain tentunya berbeda tergantung sistem hukum yang dianut oleh negara tersebut, namun tujuannya sama 99 Bernard Arief Sidharta,2000, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal 173

yaitu untuk mewujudkan kedamaian dalam kehidupan manusia dengan mengedepankan perlindungan terhadap HAM masyarakat di negara tersebut.

Mukthie Fadjar mengungkapkan dari latar belakang sejarah kelahirannya, konsep rechtsstaat atau rule of law sangat dipengaruhi oleh paham liberalisme dan individualisme yang merupakan falsafah yang dianut oleh kebanyakan negara – negara Barat. Namun demikian, cita – cita (idea) yang terkandung didalamnya sama yaitu menginginkan perlindungan terhadap hak – hak asasi manusia. Idea – idea itu bersifat universal yang merupakan milik umat manusia kapan dan dimanapun berada.100

Satjipto Rahardjo menyatakan esensi rechtsstaat terletak pada pemisahan antara struktur politik negara dari penataan hukum. Fungsi hukum yakni untuk menjamin kemerdekaan dan kepastian. Pemfungsian hukum yang demikian itu merupakan hasil karya dari golongan borjuis yang kemudian melahirkan negara hukum liberal. Di Inggris keadaannya berbeda, rule of law tidak dipisahkan dari struktur politik. Doktrin rule of law di Inggris tidak terpisah dari supremasi parlemen. Supremasi parlemen merupakan inti dari sistem konstitusi di negara itu. Parlemen memiliki kekuasaan demikian besar dan dapat melakukan apa saja, termasuk pada saat mewujudkan rule of law.101

100 Mukthie Fadjar, 2005, Op. Cit, hal 21

101 Satjipto Rahardjo, 2009, Lapisan – Lapisan Dalam Studi Ilmu Hukum, Bayumedia Publishing, Malang, selanjutnya disebut Satjipto RahardjoI, hal 65

Dokumen terkait