• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Faktor-faktor terjadinya Konflik

C. Bentuk-bentuk Perlawanan

2. Akkeke batu (Menambang batu)

Bukit batu di sekitar kebun tebu memang tidak dilirik oleh pihak perusahaan, namun masyarakat sebagian menjadikan menambang batu sebagai lahan ekonomi. Beberapa diantaranya mampu menghidupi keluarganya dari hasil pekerjaan tersebut dengan penghasilan Rp 200.000,- selama dua hari. Pendapatan itu mereka peroleh dikala cuaca yang bersahabat, dengan tekstur batu yang mendukung, banyak diantaranya yang

83 hanya berhasil memperoleh Rp 200.000,- selama tiga hari bahkan lebih lama lagi.

Gambar 3. Menambang batu

Masyarakat yang disamping berprofesi petani memanfaatkan waktunya untuk menambang batu. Hingga saat ini perusahaan sendiri terlihat tidak mempermasalahkan aktivitas terebut, karena hasil aktivitas menambang batu secara bebas diangkut oleh para penyuplai bahan bangunan. Mengingat lahan yang bebatuan juga tidak bisa dijadikan lahan perkebunan, sehingga proses penambangan batu juga sesuai dengan kondisi yang diharapkan petani.

“itu suamiku kasian, kalau siang mi itu dari kebun pergimi menggali batu, biasa berduaki dengan sepupunya. Kalau berduaki cepatki juga dapat satu mobil truk, jadi kadang satu hari dapat maki Rp 100.000, itu tommi dipake beli ikan, uang jajannya anakku..” (Daeng Pati, 54 tahun)

84 Strategi hidup yang dilakukan beberapa petani telah banyak melakukan pekerjaan rangkap demi mencukupi kebutuhanya. Menambang batu memang pekerjaan yang sangat berat sehingga berdasarkan observasi dan wawancara hanya sekitar 10 hingga 20 orang yang melakukan aktivitas ini.

Mereka melakukan pekerjaan tersebut karena faktor ekonomi dan ada unsur ingin menguasai lahan. Lahan yang sudah kedalaman batunya sudah beberapa meter akan di timbun dan ditanami tanaman musiman seperti pepaya, pisang, lada, serai dan sebagainya bahkan beberapa diantaranya membangun rumah persinggahan. Hal ini merupakan aktivitas terbuka yang jelas-jelas mengklaim wilayah sendiri tanpa persetujuan dari perusahaan.

Bukan hanya lahan banjir yang kurang dilirik oleh perusahaan, melainkan daerah bukit dengan tumpukan bebatuan juga terbaikan. Masyarakat yang berpikir kreatif dan memanfaatkan peluang tersebut membuatnya untung lebih dimana ia bisa menjual batu tersebut, sekaligus menguasai lahan itu pasca melakukan penambangan. Menambang batu merupakan aktivitas yang sangat membantu pendapatan masyarakat. Bahkan beberapa warga telah mendirikan rumah-rumah kebun dan tinggal menetap hanya karena untuk mendapatkan hasil tambang yang banyak. Sambil berkebun setiap hari sebagian masyarakat juga menyisihkan waktunya untuk mengumpulkan batu yang layak dijual.

85 3. Mencuri aset perusahaan

Para pekerja musiman berasal dari daerah sekitar perusahaan yang juga rata-rata memiliki lahan yang dikontrak. Tentunya rekam aksi pekerja tidak jauh dari kasus penggelapan fasilitas maupun bahan-bahan untuk keperluan perkebunan. Seperti penyembunyian sisa pupuk di kebun, pengiritan solar pada daerah wilayah penyiraman perkebunan, dll. Sehingga berdampak pada sektor perkebunan. Pada musim kemarau pipa juga menjadi salah satu peralatan yang sering di lokasi penyiraman. Ironisnya ini kadang dilakukan oleh para pekerja musiman bahkan mandor itu sendiri. Sehingga sanksi kerasnya bagi para pekerja yang melakukan hal tersebut adalah pemecatan.

Kita sering kehilangan beberapa peralatan perkebunan, biasanya sih pipa, karena pipa yang digunakan mesin untuk membasahi lahan kalau musim kemarau. Tapi pernah ada mandor kebun yang kedapatan dengan pekerja juga mencuri pupuk dan langsung dipecat. Sering terjadi begitu akibatnya terhambat juga aktivitas perawatan kebun (Vera, 30 tahun).

Ini menjadi bahan pelajaran bagi perusahaan ketika sedang melakukan penyiraman di lahan. Dimana mereka tidak hanya pada keutuhan peralatan namun juga pada orang yang dipekerjakan, dan seharusnya selektif dalam memilih pekerja.

86 Gambar 4. Pipa tidak terurus

Rombongan dari pekerja musiman yang bertugas untuk memupuk tanaman tebu seringkali melakukan kecurangan seperti menyimpan sebagian pupuk di tengah lahan perkebunan sehingga sinder dan mandor tidak menyadarinya. Para pekerja juga melakukan pengiritan pupuk yang mereka berikan kepada tebu, sehingga pembagian pupuk tersebut meski sedikit mereka tetap mendapatkan jatah. Tidak hanya itu, kelompok kerja yang bertugas membersihkan gulma, seringkali memotong rumput dengan dirangkai dengan tanaman tebu. Sehingga sebagian gugusan tanaman kadang hilang diiris benda tajam. Kita juga penting melihat dari segi pemberian upah dari pihak perusahaan, dimna para buruh digaji Rp 30.000 perhari dengan lama bekerja dari pukul 08.00 hingga 15.00 sore. Bisa dibayangkan berapa banyak waktu yang dihabiskan dengan upah yang

87 dianggap tidak sebanding dengan pekerjaannya. Hal ini sejalan dengan pembicaraan nonformal dengan Daeng Sari (46 tahun) bahwa,

Lasiapa nigappa punna tallung puloja gajita siallo, na nampapa baribbasa ninjama, na sassampa nimmotere. Nammpa sallo njo nampa nigappa gajia kamase…ia tomminjo pupuka andalangta biasa… ahahaha manna tak lima litereja…yang penting nia… artinya Berapa banyak kita dapat kalau cuma Rp 30.000 gaji perhari, dari pagi hingga gelap baru pulang. Terus gaji juga lama baru diterima kasian… ia pupuk jadi andalan biasa… ahahaha biar hanya lima liter saja…yang penting ada…

Dilain sisi para kelompok penjaga mesin untuk penyiraman tebu pada musim kemarau, kadang memperoleh kesempatan membawa pulang sisa penggunaan bahan bakar. Beberapa penjaga juga kadang jaim dengan membawanya secara sengaja dengan alasan akan digunakan ketika ia membajak sawah nanti. Hal ini berdampak pada kondisi perkebunan yang membutuhkan air, dimana sebagian lahan bisa saja tidak terserap air dan menghambat pertumbuhan tebu.

Biasana angngalle tongki solara manna sikeddeja, ka lanai ancinikki…? punna niboli ia jinjo sindereka angngallei nampa katte poso ajjaga, gajia tena tonja na siapa..edd… artinya Biasanya mengambil solar biar sedikit, siapa yang liatki…? Kalau di simpan sinder yang ambil itu, gaji juga tidak seberapa… edd (Daeng Tinggi, 39 tahun)

Percakapan resisten seperti itu memang rata-rata dilatari oleh gaji yang kurang dengan masa kerja yang cukup lama. Mereka yang melakukan penggelapan fasilitas perusahaan di dasari oleh faktor gaji yang juga kadang lama baru diterima oleh pekerja. Daeng Tinggi yang juga merupakan

88 pekerjaan musiman tidak hanya sebatas mengambil bahan bakarnya namun juga rasa ketidak nyamannya dengan sikap sinder yang juga mengambil bahan bakar sisa yang ada.

Dokumen terkait