• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN DAN METODE

5. Aktifitas senyawa dan enzim antioksidan

Daun tanaman seberat 0,2 g ditambahkan 50 mM Bufer Fosfat (pH 7.0), 1% (w/v) polyvinyl polypyrrolydone dan 2 mM asam askorbat (ASA). Sampel dihaluskan dalam mortar sampai diperoleh homogenat sebanyak 4 ml. Homogenat disentrifuse pada 15.000 g selama 30 detik pada suhu 4 0C. Selanjutnya supernatan dipisahkan dan siap dianalisis.

a. Enzim Glutation Peroxidase (GPX)

Pengamatan aktifitas enzim GPX dilakukan berdasarkan metode yang dilakukan oleh Jiang dan Huang (2001). Untuk mengukur aktivitas enzim GPX, maka 0,5 ml supernatan hasil ekstraksi ditambahkan kedalam tabung reaksi yang telah diisi 0,2 M Bufer fosfat (pH 7,0), 0.5 mM EDTA, 10 mM NaNO3 0,1 ml, 10 mM GSH 0,1 ml, 1.6 mM NADPH 0,1 ml, dan 2,5 unit GR

0,1 ml. Tabung diletakkan pada alat spektrofotometer, selanjutnya pada tabung ditambahkan 4 mM H2O2 0,1 ml dan diukur tingkat oksidasi

NADPH.

Aktivitas GPX ditentukan melalui pengukuran menggunakan spektrofotometer berdasarkan kepada oksidasi NADPH pada panjang gelombang 340 nm. Aktivitas enzim diekspresikan sebagai nmol dari NADPH yang dioksidasi per mg protein per menit

b. Enzim Glutation Reduktase (GR)

Pengamatan aktifitas enzim GPX dilakukan berdasarkan metode yang dilakukan oleh Cakmak dan Marschner (1993). Untuk mengukur aktivitas enzim GR, 0,15 ml supernatan ditambahkan kedalam tabung reaksi yang telah berisi 1 mM EDTA, 0,5 mM Glutation disulfida (GSSG), 0,15 mM NADPH dan 100 mM buffer Sodium Fosfat (pH 7,8). Selanjutnya diukur tingkat oksidasi NADPH yang terjadi menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 340 nm

17

Aktivitas GR ditentukan melalui pengukuran menggunakan spektrofotometer berdasarkan kepada oksidasi NADPH pada panjang gelombang 340 nm. Aktivitas enzim diekspresikan sebagai nmol dari NADPH yang dioksidasi per mg protein per menit.

c. Enzim Superoxida Dismutase (SOD)

Pengamatan aktifitas enzim SOD dilakukan berdasarkan metode yang dilakukan oleh Jiang dan Huang (2001). Untuk mengukur aktivitas enzim SOD, 0,05 ml supernatan ditambahkan kedalam tabung reaksi yang telah berisi 0,2 mL EDTA 0,1 M, 0,1 mL Nitroblue tetrazolium (NBT), serta buffer fosfat 0,0067 M pada pH 7,8. hingga diperoleh campuran sebanyak 3 ml.

Setelah itu campuran tersebut diinkubasikan kedalam kotak cahaya dengan diberi penerangan lampu Neon 20 watt selama 3 menit, dimana sebelumnya kotak telah dipanaskan selama 15 menit. Setelah itu campuran ditambahkan 0,05 ml riboflavin 0,12 mM dan diinkubasikan kembali. Pengukuran dilakukan setiap 1 menit dengan mengukur tingkat absorbansinya pada panjang gelombang 560 nm.

6. Analisis prolin

Analisis prolin dilakukan menggunakan metode modifikasi Bates (1973), dengan menggunakan spektrofotometer dengan prolin murni sebagai standar. Asam ninhydrin disiapkan sebagai pereaksi dengan melarutkan 1 g ninhidrin dalam 30 ml asam asetat glasial dan 20 ml 6 mol asam asetat. Larutan didinginkan dan disimpan selama 24 jam hingga pereaksi ini siap digunakan. Daun sampel tanaman sebanyak 0,05 g, diekstraksi dalam 10 ml asam sulfosalisilik 3% menggunakan mortar, lalu disentrifuse dengan kecepatan 6000 rpm selama 5 menit dan diambil supernatannya.

Setelah dipisahkan, supernatan diterra sebanyak 10 ml, 2 ml cairan sampel diambil dan direaksikan dengan 2 ml asam ninhidrin dan 2 ml asam asetat glasial. Setelah itu tabung reaksi dipanaskan selama 1 jam pada suhu 100 0C, kemudian proses reaksi diakhiri dalam ice-bath. Campuran ini selanjutnya diekstraksi dengan 4 ml toluen, dikocok menggunakan test tube stirrer selama 15 – 20 detik. Larutan toluen dipisahkan dari endapan yang terbentuk, lalu diukur absorbansinya

18

= ( µg prolin/ml x ml toluen) / 115,5 µg/ µmol (g sampel) / 5

= µ mol prolin / g bobot basah

pada panjang gelombang 520 nm, untuk blanko digunakan toluen. Konsentrasi prolin ditentukan dari kurva standar dan dihitung berdasarkan berat segar yaitu :

[

7. Analisis klorofil

Analisis klorofil dilakukan ketika tanaman yang diberi perlakuan cekaman sudah mencapai tahap kritis yaitu pada hari ke 14 sebelum dilakukan recovery. Daun tanaman diambil dan ditimbang menggunakan timbangan analitik seberat 0,05 g, lalu daun dihaluskan menggunakan mortar setelah ditambahkan 2 ml aseton 80%. Selanjutnya homogenat diambil sebanyak 2 ml dan dimasukkan kedalam mikrofilter dan di sentrifuse pada 5.410 g selama 20 detik untuk memisahkan supernatan dari bahan tanaman (daun). Ekstraksi dilakukan beberapa kali sampai bahan tidak berwarna lagi. Supernatan ditera sebanyak 10 ml dan diamati menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 645 nm untuk mengamati klorofil A dan 663 nm untuk klorofil B.

Kandungan klorofil A dan B diketahui dengan menggunakan rumus : klorofil A (mg/mg sampel) = {(12,7 x A 663) – (2,69 x A 645)} x Fp

Bobot sampel (mg)

klorofil B (mg/mg sampel) = {(22,9 x A 645) – (4,68 x A 645)} x Fp Bobot sampel (mg)

dimana Fp (faktor pengencer) = 10 ml x 1 liter

1000 ml

8. Produksi

Nilai produksi hasil tanaman diamati setelah dilakukan panen ketika tanaman sudah menunjukkan gejala matang fisiologis. Pengamatan yang dilakukan adalah :

a. Jumlah polong isi pertanaman b. Jumlah polong hampa

c. Jumlah biji pertanaman d. Bobot total biji

19

HASIL DAN PEMBAHASAN

Respon Pertumbuhan Tanaman

Dari enam varietas yang diamati, terlihat perbedaan pertumbuhan antara kedelai varietas budidaya dengan kedelai liar. Kedelai liar memiliki pertumbuhan yang lebih lambat, waktu berbunga yang lebih panjang, serta memiliki morfologi batang dan daun yang lebih kecil dibandingkan varietas budidaya. Akan tetapi kedelai liar memiliki ketahanan yang lebih baik menghadapi cekaman kekeringan. Hal ini ditunjukkan dari lamanya tanaman mencapai fase kritis setelah diberi perlakuan cekaman kekeringan yang mencapai 24 hari setelah perlakuan, berbeda dengan tanaman budidaya yang sudah memasuki fase kritis setelah 14 hari perlakuan. Oleh sebab itu terjadi waktu pengamatan yang berbeda antara varietas kedelai budidaya dan kedelai liar.

Perlakuan cekaman kekeringan yang diberikan kepada tanaman menyebabkan terjadinya perubahan morfologi yang berbeda pada tiap varietas. Perubahan morfologi akibat cekaman kekeringan biasanya sangat tergantung pada faktor waktu terjadinya cekaman dan besarnya perlakuan cekaman (Keles dan Oncel 2002).

Dari data pertumbuhan vegetatif tanaman pada umur 65 hari setelah tanam pada penelitian ini, secara umum antar tidak terjadi interaksi antara faktor varietas yang digunakan dan faktor cekaman kekeringan yang diberikan pada semua pengamatan. Dari pengamatan, varietas menunjukkan berbeda nyata pada pengamatan tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah daun trifoliat, bobot kering tajuk, serta panjang dan bobot kering akar. Adapun faktor cekaman kekeringan, perbedaan hanya terjadi pada bobot kering tajuk dan bobot kering akar.

Tidak terjadinya interaksi antara varietas dan faktor cekaman kekeringan pada penelitian ini, diduga karena cekaman diberikan pada saat tanaman sudah mulai memasuki pertumbuhan generatif (7 minggu setelah tanam), sehingga pertumbuhan vegetatif tanaman hampir mencapai maksimal, sehingga perlakuan cekaman yang diberikan tidak berpengaruh nyata terhadap peubah pengamatan.

Cekaman kekeringan dapat mengurangi pertumbuhan tanaman. Besarnya penurunan pertumbuhan sangat tergantung pada besarnya cekaman yang diterima

20

dan waktu terjadinya cekaman pada tanaman. Tanaman memiliki berbagai mekanisme untuk menghindari diri dari kondisi cekaman yang dihadapi, seperti mengurangi kehilangan air melalui transpirasi dengan penutupan stomata, dan memperbesar penyerapan air dengan meningkatkan pertumbuhan akar. Cekaman kekeringan menyebabkan penutupan stomata yang menyebabkan terhambatnya proses fotosintesis dan secara langsung akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. (Taiz dan Zeiger 2002).

Sebagian penelitian telah membuktikan bahwa cekaman kekeringan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan, diantaranya penelitian Blanco et al. (2002) pada tanaman cistus albidus yang membuktikan bahwa perlakuan cekaman kekeringan menyebabkan pengurangan tinggi tanaman, jumlah daun dan bobot kering akar.

Tinggi tanaman (cm)

Secara umum perlakuan cekaman kekeringan akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman. Hambatan pertumbuhan disebabkan oleh berkurangnya tekanan turgor sel akibat menurunnya potensial air sehingga proses pembesaran dan pemanjangan sel akan terhambat (Levitt 1980).

Sidik ragam terhadap pengamatan tinggi tanaman menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada perlakuan kekeringan dan interaksi antara faktor perlakuan cekaman kekeringan dan varietas yang diamati. Sidik ragam hanya berbeda nyata pada faktor varietas yang digunakan (tabel sidik ragam pada Lampiran 3).

Untuk perlakuan varietas yang digunakan, diketahui bahwa varietas yang memiliki pertumbuhan tertinggi ditunjukkan oleh varietas V2 dengan 175,5 cm, tidak berbeda nyata dengan seluruh varietas budidaya lainnya seperti varietas V1 yang memiliki tinggi 159,7 cm. Perbedaan tinggi tanaman hanya terjadi pada kedelai liar yang memiliki tinggi tanaman 123,2 cm, seperti terlihat pada Tabel 1.

21

Tabel 1. Data pertumbuhan tinggi tanaman (cm) umur 65 hari pada perlakuan kontrol dan cekaman kekeringan

Tinggi Tanaman (cm) Varietas

Kontrol Cekaman Rerata % Kontrol

V1 (Tidar) 141,3 178,0 159,7 ab 125,9 V2 (Pangrango) 187,0 164,0 175,5 a 87,7 V3 (Krakatau) 170,7 165,3 168,0 a 96,9 V4 (Burangrang) 166,7 160,0 163,4 a 95,9 V5 (Panderman) 171,7 161,0 166,4 a 93,8 V6 (Liar) 118,3 128,0 123,2 b 108,2 Rerata 159, 3 a 152,7 a 96,7

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf a=5%.

Perbedaaan tinggi tanaman antar tiap varietas yang digunakan diduga lebih banyak disebabkan oleh faktor genetis tanaman, dimana varietas kedelai budidaya memiliki pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan kedelai liar. Adapun perlakuan cekaman kekeringan yang diberikan tidak berbeda nyata dari tanaman kontrol diduga disebabkan perlakuan yang diberikan selama 14 hari dilakukan ketika tanaman sudah memasuki fase pertumbuhan generatif sehingga sel meristem sudah tidak aktif membelah dan energi tanaman lebih banyak terpakai untuk pembentukan bunga dan polong yang telah menjadi sink dari fotosintat.

Perlakuan cekaman kekeringan diduga akan sangat berpengaruh bila tanaman masih dalam tahap pertumbuhan vegetatif, seperti hasil penelitian Keles dan Oncel (2002) pada tanaman gandum dimana cekaman kekeringan dan salinitas akan sangat berpengaruh terhadap terhambatnya pemanjangan pucuk (tinggi tanaman).

Jumlah cabang tanaman

Sidik ragam terhadap pengamatan jumlah cabang menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada perlakuan kekeringan dan interaksi antara faktor perlakuan cekaman kekeringan dan varietas yang diamati. Sidik ragam hanya berbeda nyata pada faktor varietas yang digunakan (tabel sidik ragam pada Lampiran 3).

Pengamatan pertumbuhan vegetatif untuk jumlah cabang sebagaimana terlihat pada Tabel 2, diketahui bahwa rata-rata jumlah cabang terbanyak dimiliki oleh kedelai V6 sebanyak 6,4 cabang, sedangkan varietas yang memiliki jumlah

22

cabang terkecil adalah V2 dengan 2,8 cabang dan tidak berbeda nyata dibandingkan dengan semua varietas budidaya.

Tabel 2. Data pertumbuhan jumlah cabang tanaman umur 65 hari pada perlakuan kontrol dan cekaman kekeringan

Jumlah Cabang Varietas

Kontrol Cekaman Rerata % Kontrol

V1 (Tidar) 3,0 3,0 3,0 b 100,0 V2 (Pangrango) 2,3 3,3 2,8 b 142,9 V3 (Krakatau) 3,3 3,7 3,5 b 110,0 V4 (Burangrang) 2,7 2,7 2,7 b 100,0 V5 (Panderman) 3,0 3,0 3,0 b 100,0 V6 (Liar) 7,0 5,7 6,4 a 80,9 Rerata 3,5 a 3,6 a 107,3

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf a=5%.

Perbedaan banyaknya jumlah cabang antara kedelai liar dan kedelai budidaya diduga lebih banyak disebabkan oleh faktor genetis tanaman, dimana dari hasil pengamatan jumlah cabang varietas budidaya hanya berjumlah 2 - 4 cabang, berbeda nyata dengan kedelai liar. Adapun perlakuan cekaman kekeringan yang diberikan tidak mempengaruhi pembentukan cabang tanaman.

Menurut Adisarwanto (2005), cabang tanaman kedelai akan muncul di batang tanaman dan jumlah cabang tergantung dari varietas dan kondisi tanah, tetapi ada beberapa varietas kedelai yang tidak bercabang. Jumlah cabang tidak mempunyai hubungan yang signifikan dengan jumlah biji yang diproduksi, artinya walaupun tanaman memiliki jumlah cabang yang banyak belum tentu menghasilkan produksi yang tinggi.

Jumlah daun trifoliat

Untuk pengamatan terhadap jumlah daun trifoliat, sidik ragamnya menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada perlakuan kekeringan dan interaksi antara faktor perlakuan cekaman kekeringan dan varietas yang diamati. Sidik ragam hanya berbeda nyata pada faktor varietas yang digunakan (tabel sidik ragam pada Lampiran 3).

Dari hasil pengamatan jumlah daun trifoliat, diketahui jumlah rerata daun terbanyak ditunjukkan oleh V3 sebagai varietas moderat cekaman kekeringan sebanyak 20,2 helai pada kondisi cekaman, jumlah ini berbeda nyata dengan varietas (V4) yang memiliki rata-rata 13,5 helai, seperti terlihat pada Tabel 3.

23

Tabel 3. Data pertumbuhan jumlah daun trifoliat tanaman umur 65 hari pada perlakuan kontrol dan cekaman kekeringan.

Jumlah Daun Trifoliat Varietas

Kontrol Cekaman Rerata % Kontrol

V1 (Tidar) 17,7 17,0 17,4 ab 96,2 V2 (Pangrango) 19,0 13,3 16,2 ab 70,2 V3 (Krakatau) 19,3 21,0 20,2 a 108,6 V4 (Burangrang) 14,7 12,3 13,5 b 84,1 V5 (Panderman) 18,7 14,3 16,5 ab 76,8 V6 (Liar) 23 15,3 19,2 ab 66,6 rerata 18,7 a 15,5 a 83,75

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf a=5%.

Pertumbuhan sel tanaman akan menurun sebagai respon tanaman menghadapi cekaman kekeringan karena perkembangan sel berhubungan dengan ketersediaan air di dalam sel dan akan berhubungan dengan tekanan turgor sel. Sel turgor dapat menurun akibat kekeringan sehingga menghambat pembentukan dan pembesaran daun. Sel daun dapat berkembang kembali dengan menggunakan 50 – 60% air dari total air batang (Levitt 1980).

Kedelai merupakan tanaman indeterminan, sehingga ketika terjadi cekaman kekeringan akan menyebabkan tanaman mengurangi jumlah daun, sehingga secara tidak langsung menyebabkan terjadinya penurunan jumlah dan pertumbuhan rata-rata tanaman. Berkurangnya pembentukan daun tanaman pada kondisi kekeringan merupakan mekanisme tanaman untuk menghindari kehilangan air yang akan terjadi bila tanaman memiliki daun dalam jumlah yang besar (Taiz dan Zeiger 2002). Perbandingan antara kedelai budidaya dan kedelai liar yang terkena cekaman kekeringan dapat dilihat pada Gambar 3.

24

Gambar 3. Perbedaan respon tanaman kedelai varietas budidaya (Glycine max (L.) merr ) dan kedelai liar (Glycine tomentella) menghadapi perlakuan cekaman kekeringan pada hari ke 10.

Perbedaan jumlah daun antar varietas ini menunjukkan bahwa sebagian besar varietas budidaya adalah tipe “drought avoidance” sebagaimana ciri yang dikemukakan oleh Levitt (1980) bahwa tanaman golongan “avoidance water spender” akan mengurangi berat dan jumlah daun yang dimilikinya untuk mengurangi besarnya kehilangan air dari tanaman.

Bobot kering tajuk tanaman (g)

Secara umum cekaman kekeringan akan menghambat pertumbuhan tanaman sehingga akan mengurangi jumlah biomas yang dihasilkan. Hal ini disebabkan cekaman kekeringan akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman akibat terhambatnya proses pembelahan sel

Untuk pengamatan terhadap bobot kering tajuk, sidik ragamnya menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada perlakuan kekeringan dan varietas yang diamati, akan tetapi tidak terjadi interaksi antara faktor perlakuan cekaman kekeringan dan varietas (tabel sidik ragam pada Lampiran 3). Untuk hasil pengamatan terhadap bobot kering tajuk tanaman dapat dilihat pada Tabel 4.

25

Tabel 4. Data pertumbuhan bobot kering tajuk tanaman (g) umur 65 hari pada perlakuan kontrol dan cekaman kekeringan

Bobot Kering Tajuk Tanaman (g) Varietas

Kontrol Cekaman Rerata % Kontrol

V1 (Tidar) 4,3 3,3 3,8 b 76,8 V2 (Pangrango) 5,5 4,2 4,9 a 75,9 V3 (Krakatau) 4,7 3,7 4,2 ab 77,2 V4 (Burangrang) 4,6 3,9 4,3 ab 85,6 V5 (Panderman) 5,6 4,1 4,9 a 72,7 V6 (Liar) 1,1 1,15 1,1 c 95,4 Rerata 4,3 a 3,4 b 80,6

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf a=5%.

Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa tanaman kedelai yang memiliki nilai bobot kering tajuk terbesar dimiliki oleh varietas V2 dan V5 yaitu masing- masing seberat 4,9 g, tidak berbeda nyata dengan varietas budidaya yang ada, kecuali varietas V1 yang memiliki bobot kering tajuk sebesar 3,8 g. Adapun tanaman yang memiliki bobot kering tajuk terendah adalah kedelai liar (V6) sebesar 1,1 g.

Secara umum perlakuan cekaman menyebabkan terjadinya penurunan bobot tajuk tanaman yang mengalami cekaman kekeringan dibandingkan tanaman kontrol sebesar 19,4%. Penurunan tertinggi terjadi pada varietas V5 sebesar 27,3%, sedangkan varietas yang memiliki penurunan terendah ditunjukkan oleh kedelai liar (V6) sebesar 4,6%.

Terjadinya perbedaan nilai bobot kering tajuk selain disebabkan oleh terhambatnya laju pertumbuhan dan perkembangan tanaman, juga disebabkan faktor genetis tanaman. Kedelai liar yang memiliki nilai bobot kering tajuk terkecil, disebabkan karena secara genetis kedelai liar memiliki morfologi yang lebih kecil dibandingkan varietas budidaya. Akan tetapi kedelai liar yang termasuk toleran cekaman kekeringan, dapat mempertahankan pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga tidak terjadi penurunan yang besar ketika mengalami cekaman kekeringan.

Pembesaran sel sangat sensitif terhadap cekaman kekeringan, hal ini tidak terlepas dari terhambatnya proses biokimia dan molekuler yang terjadi akibat berkurangnya kandungan air didalam tanaman. Cekaman kekeringan menyebabkan terjadinya penurunan nilai pertumbuhan rata-rata tanaman.

26

Terhambatnya pertumbuhan antara lain disebabkan terhambatnya berbagai proses penting seperti biosintesis dinding sel dan membran, pembelahan sel dan sintesis protein. Setiap gram pembentukan bahan organik penyusun tanaman rata-rata membutuhkan 500 g air yang diabsorbsi oleh akar ditransportasikan ke seluruh bahagian tanaman (Taiz dan Zeiger 2002).

Terjadinya penurunan bobot kering tajuk pada tanaman juga disebabkan oleh berkurangnya aktifitas fotosintesis akibat menutupnya stomata. Fotosintat hasil fotosintesis merupakan sumber energi untuk proses pertumbuhan dan pembesaran sel tanaman. Transpor fotosintat melalui floem juga membutuhkan air, sehingga cekaman kekeringan menyebabkan pasokan fotosintat didalam tanaman menjadi terhambat (Taiz dan Zeiger 2002)

Penutupan stomata menyebabkan berkurangnya aktifitas fotosintesis tidak lepas dari aktifitas kerja Asam Absisik (ABA) yang merupakan hormon tanaman yang sangat berperan ketika tanaman mengalami cekaman kekeringan dengan menginduksi penutupan stomata (Sharp 2002).

Rendahnya potensial air tanah ketika terjadinya cekaman kekeringan menyebabkan berkurangnya serapan hara akibat menurunnya kandungan hara yang tersedia di dalam tanah yang dapat diserap akar tanaman. Unsur hara dan mineral tanah merupakan bahan penyusun utama dari bahan organik tanaman, sehingga berkurangnya suplai hara yang larut bersama air yang diserap akar secara langsung akan mengurangi bobot kering tanaman.

Levitt (1980) menyatakan bahwa air berfungsi sebagai pelarut gas-gas, garam-garam dan zat-zat terlarut yang bergerak ke dalam sel tanaman. Ketersediaan air tanah -0,1 sampai -10 bar esensial bagi setiap proses peningkatan ketersediaan hara.

Hara yang paling nyata dipengaruhi oleh kandungan air tanah adalah nitrat, sulfat, yang merupakan dekomposisi bahan organik tanaman. Kandungan air tanah mempengaruhi transpor hara ke permukaan akar dengan cara mempengaruhi laju difusi dan aliran massa air ke akar. Berbagai percobaan dengan unsur hara makro (N, P, dan K) serta sekunder (Ca, Mg, dan S) memperlihatkan bahwa penurunan suplai air mengakibatkan peningkatan yang

27

nyata pada konsentrasi N, penurunan yang nyata pada konsentrasi K dan pengaruh yang bervariasi untuk konsentrasi P, Ca, dan Mg dalam tanaman.

Pertumbuhan dan respon akar

Panjang akar menunjukkan hasil yang berbeda nyata, dimana tiap varietas kedelai memiliki respon panjang akar yang beragam ketika menghadapi perlakuan cekaman kekeringan, sebagaimana terlihat pada Tabel 5. Pengamatan terhadap panjang akar, sidik ragamnya menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada perlakuan kekeringan dan interaksi antara faktor perlakuan cekaman kekeringan dan varietas yang diamati. Sidik ragam hanya berbeda nyata pada faktor varietas yang digunakan (tabel sidik ragam pada Lampiran 3).

Pada pengamatan ini, perlakuan cekaman kekeringan tidak menyebabkan perbedaan yang signifikan antara tanaman perlakuan dan tanaman kontrol, walau secara umum perlakuan cekaman kekeringan cendrung menyebabkan terjadinya peningkatan panjang akar.

Tabel 5. Panjang akar pada perlakuan kontrol dan cekaman kekeringan Panjang Akar (cm)

Varietas

Kontrol Cekaman Rerata % Kontrol

V1 (Tidar) 45,80 51,08 48,44 b 111,54 V2 (Pangrango) 45,23 46,15 45,69 bc 102,03 V3 (Krakatau) 46,10 44,60 45,35 bc 96,75 V4 (Burangrang) 38,07 42,08 40,08 c 110,55 V5 (Panderman) 50,30 47,30 48,80 b 94,04 V6 (Liar) 53,58 61,83 57,71 a 115,40 Rerata 46,51 a 48,84 a 105,00

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf a=5%.

Dari Tabel 5 terlihat bahwa pada kondisi cekaman kekeringan varietas V6 sebagai varietas toleran cekaman kekeringan memiliki sistem perakaran yang terpanjang (57,71 cm). Nilai panjang akar kedelai liar berbeda nyata dengan varietas budidaya yang ada. Pada varietas budidaya, akar terpanjang ditunjukkan oleh varietas V5 sebesar 48,80 cm walau tidak berbeda nyata dengan varietas lainnya seperti V1, V2 dan V3 masing-masing memiliki panjang 48,44 cm, 45,69 cm dan 45,35 cm, akan tetapi berbeda nyata dengan varietas V4 yang memiliki nilai panjang akar terpendek yaitu 40,08 cm.

28

Pemanjangan akar pada tanaman yang mengalami cekaman kekeringan akan mempengaruhi bobot kering akar yang dimiliki tanaman. Pengamatan terhadap bobot kering akar, sidik ragamnya menunjukkan hasil yang berbeda nyata pada perlakuan kekeringan dan varietas yang diamati. Sidik ragam menunjukkan tidak berbeda nyata pada interaksi antara faktor perlakuan cekaman kekeringan dan faktor varietas yang digunakan (tabel sidik ragam pada Lampiran 3).

Dari data bobot kering akar pada Tabel 6 diketahui bahwa bobot kering akar terbesar ditunjukkan oleh varietas V2 sebesar 2,54 g, walau tidak berbeda nyata dengan pengamatan pada varietas V1, V3, dan V5 yang masing masing memiliki nilai 2,21 g, 2,18 g, dan 2,04 g, akan tetapi berbeda nyata pada varietas V4 yang memiliki bobot kering akar 1,29 g. Adapun bobot kering akar terkecil dimiliki oleh kedelai liar sebesar 0,56g. .

Tabel 6. Bobot kering akar pada perlakuan kontrol dan cekaman kekeringan Bobot Kering Akar (g)

Varietas

Kontrol Cekaman Rerata % Kontrol

V1 (Tidar) 2,74 1,69 2,21 a 61,66 V2 (Pangrango) 3,00 2,08 2,54 a 69,55 V3 (Krakatau) 2,58 1,78 2,18 a 69,09 V4 (Burangrang) 1,43 1,16 1,29 b 81,28 V5 (Panderman) 2,36 1,73 2,04 a 73,37 V6 (Liar) 0,71 0,40 0,56 c 56,91 Rerata 2,13 a 1,47 b 68,64

Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf a=5%.

Perbedaan panjang dan bobot akar ini menunjukkan bahwa tiap varietas memiliki respon akar yang berbeda menghadapi cekaman kekeringan dan dapat menggambarkan sistem perakaran yang dimiliki tanaman. Kedelai liar walau memiliki panjang akar terpanjang, akan tetapi ia justru memiliki bobot akar terkecil. Hal ini menunjukkan bahwa kedelai liar memiliki sistem perakaran yang sangat kecil dan lebih banyak memiliki rambut akar yang halus. Hal ini berbeda dengan varietas lainnya seperti V2 yang memiliki panjang akar yang relatif pendek tetapi memiliki bobot akar terbesar, yang menunjukkan bahwa varietas ini memiliki sistem perakaran yang banyak dan besar.

Perbandingan pertumbuhan dan respon akar tanaman yang diberi perlakuan cekaman kekeringan dan kontrol dapat dilihat pada Gambar 4.

29

Gambar 4. Perbedaan perakaran tanaman kontrol dan perlakuan cekaman kekeringan pada varietas budidaya V1

Kemampuan tanaman untuk merespon kondisi cekaman kekeringan diantaranya dengan melakukan perpanjangan akar sangat diperlukan sebagai upaya untuk memperbesar penyerapan air dari partikel tanah sampai lapisan yang paling bawah yang masih menyimpan air.

Pemanjangan akar pada kondisi cekaman kekeringan dimungkinkan karena tanaman memiliki mekanisme pengaturan perbandingan pertumbuhan tajuk akar (root and shoot ratio). Pada kondisi cekaman kekeringan tanaman akan menahan laju pertumbuhan tajuk dengan mensintesis hormon retardan pertumbuhan yang menghambat pertumbuhan tajuk, sehingga memperbesar laju pertumbuhan akar. Mekanisme ini dilakukan tanaman untuk mencegah besarnya kehilangan air dari tanaman, sebab untuk perpanjangan akar diperlukan lebih sedikit air dibandingkan pemanjangan pucuk yang akan memperbesar proses respirasi dengan pembentukan daun. Proses pemanjang akar juga akan dapat menjangkau volume tanah yang lebih besar sehingga lebih banyak menyerap air (Levitt 1980).

30

Terhambatnya pembesaran daun akan mengurangi konsumsi karbon dan energi tanaman, sehingga sebagian besar porsi asimilat tanaman akan didistribusikan menuju sistem perakaran untuk menunjang pertumbuhan akar (Taiz dan Zeiger 2002).

Perbedaan panjang akar pada penelitian ini diduga juga dipengaruhi oleh suhu rumah kaca yang mencapai 30 – 40 oC, seperti hasil penelitian Keles dan

Dokumen terkait