• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK DAUN TEMBAKAU TERHADAP

TERHADAP BAKTERIS. aureusDANE. coli

Pengujian aktivitas antibakteri oleh ekstrak daun tembakau dapat dilakukan dengan mengukur daya hambat pertumbuhan bakteri S. aureus dan E. coli. Hal itu dapat diketahui melalui pengukuran diameter zona bening yang terbentuk di sekitar sumur pada agar yang diisikan ekstrak sampel. Pengukuran itu bertujuan mengetahui potensi senyawa bioaktif pada ekstrak daun tembakau dalam menghambat pertumbuhan bakteri uji.

Hasil penelitian tentang parameter aktivitas antibakteri pada ekstrak etanol daun tembakau yang dapat disajikan hanya untuk sampel A (yaitu daun tembakau yang dipetik dari batang tembakau bagian atas dan tengah). Sementara itu, pengujian parameter daya aktivitas antibakteri terhadap ekstrak etanol daun tembakau sampel B pada tahap penelitian ini tidak diuji lanjut karena data yang diperoleh kurang layak sedangkan kendala waktu tidak memungkinkan untuk melakukan pengujian ulang.

Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun tembakau sampel A dilakukan dengan mengukur diameter zona hambat pada berbagai konsentrasi ekstrak etanol (20% b/v, 40% b/v, 60% b/v, 80% b/v, dan 100% b/v) sehingga diperoleh nilai daya hambat tumbuh bakteri. Zona hambat tersebut berupa zona bening yang merupakan zona yang tidak ditumbuhi oleh bakteri. Selain itu digunakan pula kontrol positif (tetrasiklin) dan kontrol negatif (DMSO). Tetrasiklin yang digunakan dalam penelitian ini tergolong senyawa antibiotik yang menghambat bakteri dengan cara merusak mekanisme sintesis protein pada sel bakteri. Penggunaan tetrasiklin sebagai kontrol positif tersebut dikarenakan daya spektrum menghambatnya yang luas yaitu terhadap bakteri Gram negatif dan positif (Fardiazetal. 1987). Sementara itu, pengunaan DMSO sebagai pelarut dan kontrol negatif didasarkan atas sifatnya yang dapat melarutkan senyawa hidrokarbon

Sampel B

Sampel A

(Merck 1986) seperti senyawa bioaktif dalam daun tembakau tanpa berpengaruh terhadap pengujian aktivitas antibakteri ekstrak sampel.

Perlakuan diberikan terhadap bakteri ujiS. aureus(Gram positif) danE. coli(Gram negatif).

Kekuatan daya hambat terhadap bakteri tersebut dapat dinilai dari ukuran zona bening yang terbentuk yaitu daerah yang tidak ditumbuhi oleh bakteri (Kusumaningjati 2009). Penentuan sifat daya hambat bakteri pada penelitian ini didasarkan pada ketentuan Davis-Stout bahwa daya hambat bakteri tergolong sangat kuat bila bernilai >20 mm, kuat bila bernilai 10-20 mm, sedang bila bernilai 5-10 mm, dan tergolong lemah bila bernilai <5 mm. Tabel 6 menunjukkan kekuatan aktivitas antibakteri oleh ekstrak etanol daun tembakau sampel A berdasarkan pengukuran diameter zona hambat yang terbentuk pada pengujian daya hambat tumbuh bakteri.

Tabel 6. Diameter zona hambat (mm) ekstrak etanol daun tembakau sampel A terhadap bakteri

S. aureusdanE. coli

Perlakuan S. aureus E. coli

Kontrol (+) / Tetrasiklin 10% 29.5 37 Kontrol (-) / DMSO 0 0 Konsentrasi ekstrak 20% (b/v) 4 4 Konsentrasi ekstrak 40% (b/v) 6 6 Konsentrasi ekstrak 60% (b/v) 6 6 Konsentrasi ekstrak 80% (b/v) 7 8 Konsentrasi ekstrak 100% (b/v) 7 8

Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa ekstrak etanol daun tembakau sampel A memiliki kemampuan antibakteri terhadapS. aureus danE. coli dengan adanya zona hambat terbentuk (Gambar 6). Pada konsentrasi 20%, daya hambat ekstrak etanol daun tembakau sampel A terhadap S. aureus dan E. coli tergolong lemah (4 mm). Sementara itu, daya hambat ekstrak etanol daun tembakau sampel A terhadap S. aureus dan E. coli tergolong sedang pada konsentrasi 40%-100% b/v. Dengan demikian, ekstrak etanol daun tembakau pada rentang konsentrasi 20-100% b/v tidak memiliki aktivitas yang kuat dalam menghambat bakteri S. aureusmaupunE. coli(5-10 mm).

Hal itu dimungkinkan karena rentang konsentrasi 20% b/v hingga 100% b/v tersebut terlalu rendah bagi senyawa antibakteri pada daun tembakau untuk bekerja optimal. Pada konsentrasi tersebut kemungkinan telah terbentuk kompleks protein dengan senyawa antibakteri melalui ikatan yang lemah dan segera mengalami peruraian. Akibatnya senyawa antibakteri belum mampu mengkoagulasi protein serta melisis sel bakteri. Dengan demikian, daun tembakau lokal asal Temanggung memiliki aktivitas antibakteri yang rendah, tidak sekuat daun tembakau jenis Prilep (Palicet al.2002) dan Oltja (Stojanovicet al.2000) dalam menghambat bakteriS. aureus

(15.2 mm & 15.0 mm) maupunE. coli(15.4 mm & 15.0 mm).

Kemungkinan lainnya yang menjadi penyebab lemahnya daya hambat tumbuh bakteri S. aureus dan E. coli oleh ekstrak etanol tembakau adalah faktor kemurnian konsentrasi ekstrak yang digunakan. Nilai konsentrasi ekstrak yang digunakan sebagai sampel uji diduga masih mengandung air sehingga konsentrasi sebenarnya yang digunakan lebih rendah daripada nilai yang digunakan dalam pengujian. Dengan demikian, adanya kandungan air dalam ekstrak berpengaruh negatif pada kemampuan hambat tumbuh bakteriS. aureusdanE. coli.

Nilai daya hambat tumbuh bakteriS. aureus danE. colioleh ekstrak etanol daun tembakau menunjukkan nilai yang secara umum lebih rendah (<10 mm) bila dibandingkan dengan senyawa atsiri dan polifenol daun tembakau. Nilai daya hambat tumbuh bakteri oleh senyawa atsiri daun tembakau jenis Prilep dapat mencapai 15.2 mm dan 15.0 mm terhadap bakteri S. aureus dan E. coli (Palic et al. 2002). Sementara itu, nilai daya hambat tumbuh bakteri oleh senyawa polifenol daun tembakau dapat mencapai 17.6 mm dan 20.2 mm terhadap bakteriS. aureus dan E. coli (Wang 2008). Dengan demikian, penggunaan ekstrak kasar etanol daun tembakau tidak mampu memberikan pengaruh aktivitas antibakteri yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan ekstrak yang telah dimurnikan menjadi flavonoid dan polifenol.

Hal itu berbeda dengan kontrol positif (tetrasiklin 10%) yang memberikan nilai diameter zona bening pada S. aureus dan E. coli sebesar 29 mm dan 37 mm yang keduanya memiliki aktivitas antibakteri yang tergolong sangat kuat. Adanya ukuran diameter zona hambat bakteri oleh tetrasiklin sebagai kontrol positif dikarenakan keunggulannya sebagai antibiotik berspektrum luas. Sementara itu, kontrol negatif (DMSO) tidak menunjukkan adanya zona bening yang berarti bahwa peranannya sebagai pelarut tidak berdampak pada pengaruh aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun tembakau.

Data pada tabel 6 juga menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak 20%-60% b/v memiliki aktivitas antibakteri yang sama terhadap kedua bakteri uji (S. aureus dan E. coli). Pada konsentrasi yang tinggi (60%-80% b/v) terlihat perbedaan daya hambat ekstrak terhadap kedua jenis bakteri uji. Pada konsentrasi itulah, senyawa bioaktif ekstrak dapat berpenetrasi optimal ke dalam sel bakteri dan membuatnya lisis.

Gambar 6. Zona hambat ekstrak etanol daun tembakau sampel A terhadap bakteri S. aureusdan

E. coli

Ekstrak etanol daun tembakau sampel A pada konsentrasi 80% b/v dan 100% b/v memiliki aktivitas antibakteri yang lebih baik terhadapE. coli (8 mm) dibandingkan S. aureus (7 mm) berdasarkan diameter zona bening yang terbentuk (Gambar 6). Hal itu dipengaruhi oleh adanya sifat dinding sel bakteri Gram negatif (E.coli) yang lebih tipis (5-80 nm) dibandingkan dengan Gram positif (10-15 nm). Perbedaan ketebalan tersebut menyebabkan bakteri Gram negatif lebih mudah untuk dihambat aktivitasnya dengan cara merusak dinding sel bakteri (Pelczar & Chan 1998).

Adanya aktivitas antibakeri pada pengujian ekstrak etanol daun tembakau sampel A terhadap

S. aureusdanE. colididuga dipengaruhi oleh kandungan senyawa antibakteri berupa komponen

S. aureus E. coli 20% 40% 60% 20% 40% 60% 100% 60% 80% 100% 60% 80%

bioaktif pada sampel. Hasil pengujian fitokimia sebelumnya membuktikan bahwa ekstrak etanol daun tembakau sampel A mengandung alkaloid, flavonoid, terpenoid, dan steroid. Senyawa- senyawa tersebut bersifat antibakteri dengan mekanisme penghambatan pertumbuhan bakteri yang khas sesuai dengan karateristiknya masing-masing.

Pada prinsipnya, mekanisme kerja senyawa alkaloid sebagai antibakteri adalah kemampuannya mengganggu sintesis DNA dan dinding sel (Cowan 1999). Namun demikian, penggunaan kadar alkaloid yang berlebihan dapat menimbulkan resistensi mikroorganisme sasaran. Resistensi merupakan masalah individual epidemilogi yang menggambarkan ketahanan mikroba terhadap antibiotik tertentu yang dapat berupa resistensi alamiah hidup (Setiabudy dan Gan 1995), resistensi karena adanya faktor R pada sitoplasma (resistensi ekstrak kromosomal) atau resistensi karena pemindahan gen yang resistensi atau faktor R atau plasmid (Wattimenaet al1991).

Senyawa lainnya pada ekstrak daun tembakau pada penelitian ini yang juga diduga berperan sebagai antibakteri adalah flavonoid. Flavonoid merupakan golongan terbesar senyawa fenol (Middleton dan Chitan 1994). Harborne (1993) menyatakan bahwa flavonoid pada tumbuhan berfungsi untuk mengatur pertumbuhan, mengatur fotosintesis, mengatur kerja antibakteri, dan antivirus, serta mengatur kerja antiserangga. Hal itu dikarenakan flavonoid memiliki spektrum aktivitas antibakteri yang luas dengan mengurangi kekebalan pada organisme sasaran (Naidu 2000). Mekanisme antibakteri flavonoid ialah dengan cara membentuk senyawa kompleks terhadap protein ekstraseluler yang mengganggu integritas membran sel bakteri (Cowan 1999). Diketahui bahwa membran sitoplasma berperan mempertahankan bahan-bahan tertentu di dalam sel serta mengatur keluar masuknya bahan-bahan bagi sel. Membran berfungsi memelihara integritas komponen-komponen seluler. Zat antibakteri akan menyebabkan terjadinya kerusakan pada membran sel. Kerusakan pada membran ini mengakibatkan terganggunya pertumbuhan sel bahkan menyebabkan sel mati (Akiyama et al 2001). Selain itu Dwidjoseputro (1994) mengemukakan bahwa flavonoid merupakan senyawa fenol sementara senyawa fenol dapat bersifat koagulator protein.

Senyawa steroid dan terpenoid yang merupakan golongan minyak atsiri turut pula diduga sebagai senyawa yang berperan sebagai antibakteri. Nychas dan Tassou (2000) menyatakan bahwa minyak atsiri dapat menghambat enzim yang terlibat pada produksi energi dan pembentukan komponen struktural sehingga pembentukan dinding sel bakteri terganggu. Mekanisme kerusakan dinding sel disebabkan oleh adanya akumulasi komponen lipofilik yang terdapat pada dinding sel atau membran sel sehingga menyebabkan perubahan komposisi penyusun dinding sel. Minyak atsiri yang aktif sebagai antibakteri pada umumnya juga mengandung fenol yang merupakan gugus fungsi hidroksil (-OH) dan karbonil (Beuchat 1994). Turunan fenol berinteraksi dengan sel bakteri melalui proses adsorpsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Pada kadar rendah terbentuk kompleks protein fenol dengan ikatan yang lemah dan segera mengalami peruraian diikuti penetrasi fenol ke dalam sel dan menyebabkan presipitasi serta denaturasi protein. Pada kadar tinggi fenol menyebabkan koagulasi protein dan sel membran mengalami lisis (Parwata dan Dewi 2008).

V. SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait