• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

4.1 Hasil Percobaan I: Uji kecernaan Se

4.3.2 Aktivitas enzim dan kadar hormon

Aktivitas enzim GPx hati dan SOD hati disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Aktivitas enzim GPx hati dan SOD hati juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda

Penambahan Se (mg/kg)

Parameter GPx hati

(mU/mg protein) SOD hati (unit)

0 684,24+25,92a 47,37+3,53a 0,5 Selenite - - 1 Selenite - - 2 Selenite - - 4 Selenite - - 1 Se-Met 675,41+384,02a 51,50+9,37a 2 Se-Met 668,98+4,32a 48,59+5,26a 4 Se-Met 644,22+4,77a 52,31+0,00a

*)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang sama pada setiap lajur yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

Tabel 8 menunjukkan bahwa pada penambahan selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan, nilai aktivitas GPx hati dan SOD hati juvenil kerapu bebek tidak berbeda dari ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se. Sementara itu, pada pemberian sodium selenite, tingkat kematian yang tinggi (Tabel 6) menyebabkan jumlah ikan tidak mencukupi untuk kebutuhan pengukuran parameter aktivitas GPx hati dan SOD hati.

Aktivitas enzim GPx plasma, SOD plasma, dan rasio T3/T4 disajikan pada Gambar 4, 5, dan 6 berikut:

Gambar 4. Aktivitas enzim GPx plasma juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda

Gambar 5. Aktivitas enzim SOD plasma juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 A kt iv itas GPx p lasm a (m U/m g p ro te in ) Penambahan Se (mg/kg) 0 5 10 15 20 25 30 A kt iv itas S OD p lasm a ( u n it) Penambahan Se (mg/kg)

Gambar 6. Rasio T3/T4 juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda

Gambar 4, 5, dan 6 di atas, secara umum memperlihatkan pola yang relatif sama, yaitu pemberian selenometionin memberikan pengaruh yang lebih baik pada juvenil kerapu bebek dibandingkan dengan sodium selenite. Aktivitas enzim GPx plasma (Gambar 4) dan rasio T3/T4 (Gambar 6) terlihat semakin meningkat dengan makin meningkatnya kadar Se di pakan yang bersumber dari selenometionin, dan nilai tertinggi didapatkan pada dosis 4 mg Se/kg pakan. Sebaliknya, pada pemberian sodium selenite, jumlah ikan tidak mencukupi kebutuhan untuk pengukuran parameter. Aktivitas enzim SOD plasma seperti terlihat pada Gambar 5 menunjukkan bahwa nilainya sama untuk semua tingkatan pemberian selenometionin (dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan) dan kelompok ikan tanpa penambahan Se.

4.3.3 Gambaran darah

Pengamatan gambaran darah juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda disajikan pada Tabel 9 dan 10.

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 R asi o T3/T4 Penambahan Se (mg/kg)

Tabel 9. Total eritrosit (TE), kadar hemoglobin (Hb), dan kadar hematokrit (Ht) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda Penambahan Se (mg/kg) Parameter TE (x 106 sel/mL) Hb (g %) Ht (%) 0 0,96+0,06a 4,27+0,46a 16,63+1,45a 0,5 Selenite - - - 1 Selenite - - - 2 Selenite - - - 4 Selenite - - - 1 Se-Met 1,18+0,22a 4,37+0,45a 19,50+6,92a 2 Se-Met 1,15+0,45a 4,30+1,10a 21,26+1,66a 4 Se-Met 1,19+0,29a 4,33+0,79a 19,80+2,28a

*)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang sama pada setiap lajur yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0.05)

Tabel 9 menunjukkan bahwa pada pemberian selenometionin, nilai total eritrosit tertinggi didapatkan pada ikan yang diberi pakan dengan penambahan 4 mg Se/kg pakan, dan diikuti secara berturut-turut oleh penambahan 1 mg Se/kg pakan, 2 mg Se/kg pakan, dan terendah pada ikan tanpa penambahan Se. Nilai kadar hemoglobin tertinggi didapatkan pada penambahan 1 mg Se/kg pakan, dan diikuti secara berturut-turut oleh penambahan 4 mg Se/kg pakan, 2 mg Se/kg pakan, dan terendah pada ikan tanpa penambahan Se. Sementara itu, nilai hematokrit tertinggi didapatkan pada penambahan 2 mg Se/kg pakan, dan diikuti secara berturut-turut oleh penambahan 4 mg Se/kg pakan, 1 mg Se/kg pakan, dan terendah pada ikan tanpa penambahan Se. Namun, hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) pada ketiga parameter gambaran darah tersebut. Sebaliknya, pada pemberian sodium selenite, jumlah ikan tidak mencukupi kebutuhan untuk pengukuran parameter.

Tabel 10. Jumlah limfosit, monosit, neutrofil, dan indeks fagositik (IP) juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda

Penambahan Se (mg/kg)

Differensial leukosit

IP (%) Limfosit (%) Monosit (%) Neutrofil (%)

0 73,87+3,63a 15,76+2,80a 10,37+1,38a 15,67+2,31b 0,5 Selenite - - - - 1 Selenite - - - - 2 Selenite - - - - 4 Selenite - - - - 1 Se-Met 71,95+6,61a 17,16+2,66a 10,90+3,97a 22,67+3,21a 2 Se-Met 71,45+8,93a 16,74+7,47a 11,82+2,98a 22,33+4,93a 4 Se-Met 70,97+2,44a 17,53+1,95a 11,50+4,38a 26,00+3,61a

*)Huruf superskrip di belakang nilai standar deviasi yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05)

Tabel 10 menunjukkan bahwa pada pemberian selenometionin, jumlah limfosit, monosit, dan neutrofil juvenil kerapu bebek tidak dipengaruhi oleh pakan uji, tetapi perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada nilai indeks fagositik. Indeks fagositik juvenil kerapu bebek cenderung makin meningkat dengan makin meningkatnya dosis penambahan selenometionin. Penambahan 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan nilainya lebih tinggi dan berbeda nyata dari kelompok ikan tanpa penambahan Se. Sementara itu, pada ikan yang diberi sodium selenite, nilai keempat parameter tersebut tidak ada. Hal ini disebabkan oleh jumlah ikan yang tidak mencukupi kebutuhan untuk pengukuran keempat parameter tersebut.

4.3.4. Retensi Se

Hasil perhitungan retensi Se disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Rataan nilai retensi Se juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan dosis dan sumber Se berbeda

Gambar 7 menunjukkan bahwa pada pemberian selenometionin, nilai retensi Se juvenil kerapu bebek cenderung makin meningkat dengan makin meningkatnya dosis penambahan selenometionin. Retensi Se tertinggi didapatkan pada penambahan 4 mg Se/kg pakan dengan nilai yang berbeda nyata dari perlakuan lain. Sementara itu, pada penambahan sodium selenite, jumlah ikan tidak mencukupi kebutuhan untuk pengukuran parameter retensi Se sehingga tidak memiliki nilai. Secara umum terlihat bahwa sumber Se terbaik adalah selenometionin dan perlakuan terbaik adalah penambahan 4 mg Se/kg pakan.

4.4 Pembahasan Percobaan II: Penentuan dosis optimal dan sumber Se terbaik

4.4.1 Kinerja pertumbuhan

Pertumbuhan didefinisikan sebagai perubahan ukuran, dengan variabel yang mengalami perubahan dapat berupa panjang atau dimensi fisik lainnya, termasuk volume, bobot atau massa, baik pada keseluruhan tubuh organisme atau pada berbagai jaringan. Perubahan itu juga bisa berkaitan dengan kandungan protein, lemak, atau komponen kimia lainnya dari tubuh; perubahan kandungan

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 R e te n si S e ( % ) Penambahan Se (mg/kg) a b b b

kalori (energi) dari keseluruhan tubuh, atau dari komponen jaringannya (Weatherley & Gill 1987).

Pada percobaan ini, kinerja pertumbuhan yang digambarkan melalui parameter-parameter seperti terlihat pada Tabel 6, secara umum menunjukkan bahwa penambahan Se dari sumber organik (selenometionin) lebih baik dibandingkan dengan Se anorganik (sodium selenite). Pada Tabel 6 terlihat bahwa nilai tingkat kelangsungan hidup juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan sodium selenite dosis 0,5, 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan, sedangkan kelompok ikan tanpa penambahan Se nilainya tidak berbeda dengan penambahan selenometionin. Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup juvenil kerapu bebek makin menurun dengan makin meningkatnya dosis sodium selenite. Kematian ikan mulai terlihat pada hari ke-9 sebanyak 1 ekor pada pemberian sodium selenite dosis 4 mg Se/kg pakan. Selanjutnya, kematian ikan terjadi setiap hari pada seluruh perlakuan penambahan sodium selenite sampai dengan akhir pemeliharaan (hari ke-40). Penambahan sodium selenite dosis 0,5 mg Se/kg pakan yang telah menyebabkan kematian 97,22% pada akhir pemeliharaan diduga adalah dosis yang sudah menyebabkan keracunan.

Tingginya tingkat kematian ikan pada pemberian sodium selenite disebabkan karena pada dosis berlebih, selenite dapat menjadi pro-oksidan (Sphallholz 1997; Stewart et al. 1999). Pro-oksidan adalah zat kimia yang dapat meningkatkan aktivitas proses oksidasi. Proses oksidasi menghasilkan radikal bebas, di antaranya superoksidasi (O2-), hidrogen peroksida (H2O2), radikal hidroksil (.OH), nitrik oksida (NO.), dan lain-lain. Radikal bebas adalah suatu molekul yang elektron yang terletak pada lapisan paling luar tidak mempunyai pasangan (Anonim 2010b). Adanya molekul dengan elektron yang tidak berpasangan ini membuat mereka sangat reaktif. Reaktif artinya mereka mempunyai spesifisitas yang rendah sehingga mampu bereaksi dengan molekul- molekul yang berada di sekitarnya. Molekul-molekul tersebut termasuk protein, lipid, karbohidrat, dan DNA. Reaktif juga berarti mereka tidak bertahan lama dalam bentuk asli karena untuk mempertahankan kestabilan molekul, mereka

harus mengambil satu elektron dari molekul yang lain. Artinya, radikal bebas menyerang molekul stabil yang berada di dekatnya dan mengambil elektron dari molekul tersebut. Molekul yang diambil elektronnya kemudian juga menjadi radikal bebas dan mengambil elektron dari molekul lain, begitulah seterusnya sampai terjadi kerusakan sel. Karena molekul-molekul yang sangat reaktif ini sebagian besar berasal dari oksigen maka secara umum molekul-molekul tersebut disebut reactive oxygen species (ROS). Dalam keadaan normal, radikal bebas yang terbentuk dapat dinetralisir oleh antioksidan, tetapi bila kadar ROS yang toksik melebihi pertahanan antioksidan endogen maka akan terjadi suatu keadaan yang disebut stres oksidatif. Pada tahap ini, kelebihan radikal bebas dapat bereaksi dengan sel lipid, protein dan asam nukleat sehingga menyebabkan kerusakan lokal, bahkan dapat sampai terjadi disfungsi organ dan kematian pada organisme.

Hal ini diperkuat oleh hasil pengujian histopatologi yang menunjukkan terjadinya kerusakan pada organ hati, ginjal, dan usus ikan pada pemberian sodium selenite mulai dari dosis 0,5–4 mg Se/kg pakan, seperti terlihat pada Gambar berikut:

8.a. Hati mengalami nekrosis secara ektenstif. (1) vakuolisasi sel epitel hati; (2) vena centralis mengalami dilatasi; dan (3) infiltrasi sel mononuklear. B1

8.b. Hati mengalami nekrosis hepatik. (1) portal tract; (2) vena centralis; (3) haemorrhagi; dan (4) nekrosis sel epitel hati. C2

8.c. Usus mengalami nekrosis saluran pencernaan. (1) villi mucosa; (2) villi mucosa mengalami nekrosis dan desquamasi; dan (3) tunika muscularis. D3

8.d. Ginjal mengalami nephritis haemorrhagika. (1) Glomerulus; (2) tubulus proximalis mengalami dilatasi; (3) infiltrasi sel mononuklear; dan (4) haemorrhagika interstitialis. E2

Gambar 8. Beberapa contoh organ juvenil kerapu bebek yang mengalami kerusakan. Keterangan: B adalah penambahan sodium selenite dosis 0,5 mg Se/kg pakan, C adalah penambahan 1 mg Se/kg pakan, D adalah penambahan 2 mg Se/kg pakan, E adalah penambahan 4 mg Se/kg pakan, sedangkan 1, 2, dan 3 adalah ulangan

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat toksisitas Se dalam bentuk sodium selenite pada beberapa spesies ikan. Hasilnya menunjukkan bahwa dosis sodium selenite yang menyebabkan keracunan pada ikan nilainya bervariasi di antara spesies. Penambahan sodium selenite dosis 3–5 mg Se/kg pakan dalam waktu yang lama (lebih dari 20 minggu) menyebabkan keracunan pada ikan

2 1 3 1 2 3 4 1 2 3 1 2 3 4

rainbow trout (Salmo gairdneri) (Hamilton 2004; Hilton et al. 1980). Peneliti lain melaporkan bahwa gejala toksisitas terlihat pada pemberian sodium selenite dosis 13 mg Se/kg pakan pada ikan rainbow trout, 15 mg Se/kg pakan pada channel catfish, 9,16 mg Se/kg pakan pada juvenil abalon, dan 13 dan 26 µg Se/g pakan pada ikan Chinook salmon (Hilton et al. 1980; Gatlin & Wilson 1984; Wang et al. 2012; Hamilton et al. 1986).

Hasil yang berbeda terlihat pada penambahan Se dalam bentuk selenometionin yang menunjukkan kecenderungan tingkat kelangsungan hidup makin meningkat dengan makin meningkatnya penambahan dosis Se, meskipun secara statistik nilainya tidak berbeda nyata dari perlakuan tanpa penambahan Se. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan selenometionin sampai dengan dosis 4 mg Se/kg pakan belum menyebabkan keracunan bagi juvenil kerapu bebek.

Tingkat kelangsungan hidup yang tinggi dan tidak dipengaruhi oleh penambahan dosis Se dalam bentuk selenometionin disebabkan karena selenometionin mengandung asam amino sehingga dapat bergabung dengan protein tubuh dan memungkinkan untuk disimpan dan dilepaskan kembali jika diperlukan. Burk (1976) melaporkan bahwa selenometionin mempunyai dua jalur metabolisme utama, yaitu metionin dan selenium sehingga memungkinkan dicerna dan diserap dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan Se dari sumber lain.

Hasil yang sama dengan percobaan ini didapatkan oleh Lin dan Shiau (2005), yaitu penambahan selenometionin dalam pakan juvenil kerapu malabar (Epinephelus malabaricus) sampai dengan dosis 5 mg Se/kg pakan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kelangsungan hidup dengan nilai 95,83–100%. Tashjian et al. (2006) juga melaporkan bahwa pemberian Se dalam bentuk selenometionin dosis 0,4, 9,6, 20,5, 41,7, 89,8, dan 191,1 mg Se/kg pakan selama 8 minggu masa pemeliharaan tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada tingkat kelangsungan hidup juvenil white sturgeon (Acipenser transmontanus) dengan nilai rata-rata 99%.

Laju pertumbuhan harian juvenil kerapu bebek, seperti terlihat pada Tabel 6 menunjukkan pola yang sama dengan tingkat kelangsungan hidup, yaitu penambahan Se dalam bentuk selenometionin memberikan pertumbuhan yang

lebih tinggi dibandingkan dengan sodium selenite. Hasil yang sama didapatkan pada channel catfish (Wang & Lovel 1997; Paripatananot & Lovel 1997). Meskipun demikian, penambahan selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan pada percobaan ini tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada laju pertumbuhan harian. Hal ini memberi gambaran bahwa penambahan selenometionin sampai dengan dosis 4 mg Se/kg pakan belum mampu meningkatkan laju pertumbuhan harian juvenil kerapu bebek sehingga untuk meningkatkannya diperlukan peningkatan dosis selenometionin.

Berdasarkan Tabel 6, nilai konsumsi pakan juvenil kerapu bebek pada pemberian selenometionin lebih tinggi dibandingkan dengan sodium selenite. Pada penambahan selenometionin dosis 2 dan 4 mg Se/kg pakan menunjukkan konsumsi pakan tertinggi, disusul dosis 1 mg Se/kg pakan, dan tanpa penambahan Se. Kenyataan ini memberi gambaran bahwa pada penambahan selenometionin sampai dengan dosis tertentu, konsumsi pakan ikan makin meningkat seiring dengan makin meningkatnya dosis Se di pakan. Konsumsi pakan yang tinggi mengindikasikan ikan menyukai pakan yang diberikan sehingga peluang untuk dicerna dan diserap oleh ikan semakin besar. Hal ini yang mendukung efisiensi pakan dan retensi lemak (Tabel 6) yang merupakan parameter kinerja pertumbuhan nilainya lebih tinggi pada ikan yang diberi pakan bersuplemen selenometionin dosis 4 dan 2 mg Se/kg pakan dibandingkan dengan perlakuan lain.

Pada pemberian selenometionin, nilai efisiensi pakan dan retensi lemak tertinggi didapatkan pada juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan 4 dan 2 mg Se/kg pakan, dan terendah pada penambahan 1 mg Se/kg pakan dan tanpa penambahan Se. Seperti halnya konsumsi pakan, nilai efisiensi pakan dan retensi lemak makin meningkat dengan makin meningkatnya dosis Se di pakan. Hasil berbeda didapatkan oleh Jaramillo et al. (2009), yaitu penambahan selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada pertambahan bobot dan rasio efisiensi pakan juvenil hybrid striped bass.

Pada percobaan ini, pemberian Se dalam bentuk selenometionin memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada retensi protein juvenil kerapu

bebek. Nilai retensi protein tertinggi didapatkan pada ikan yang diberi pakan dengan penambahan 4 mg Se/kg pakan, diikuti secara berturut-turut oleh penambahan 2 mg Se/kg pakan, 1 mg Se/kg pakan, dan terendah pada kelompok ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se. Ketiga perlakuan yang disebutkan terakhir nilainya tidak berbeda nyata. Hasil ini memperlihatkan bahwa retensi protein juvenil kerapu bebek makin meningkat dengan makin meningkatnya penambahan selenometionin di pakan sampai dengan dosis 4 mg Se/kg pakan. Hal ini disebabkan sumber Se yang digunakan adalah selenometionin yang merupakan Se bentuk organik. Selenium organik mengandung asam amino sehingga dapat bergabung dengan protein tubuh dan memungkinkan untuk disimpan dan dilepaskan kembali jika diperlukan (Anonim 2010b). Dengan demikian, peningkatan dosis penambahan selenometionin sampai dosis tertentu dapat meningkatkan jumlah protein yang tersimpan. Nilai retensi protein yang didapatkan pada percobaan ini mendukung nilai kinerja pertumbuhan yang lain, yaitu konsumsi pakan, efisiensi pakan, dan retensi lemak yang menunjukkan nilai tertinggi didapatkan pada pemberian selenometionin dosis 4 mg Se/kg pakan. Seperti penjelasan di awal, pertumbuhan organisme dapat pula diindikasikan oleh perubahan kandungan protein, lemak, atau komponen kimia lainnya dari tubuh. Dengan demikian, peningkatan retensi protein ini memberi gambaran meningkatnya pertumbuhan ikan.

Glikogen merupakan bentuk simpanan karbohidrat dalam hati dan otot. Berdasarkan Tabel 7, pada pemberian selenometionin, dengan makin meningkatnya kadar Se di pakan, kadar glikogen hati dan glikogen otot juvenil kerapu bebek cenderung makin meningkat pula. Meskipun demikian, nilai glikogen hati tidak berbeda nyata antara ikan yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan dan ikan tanpa penambahan Se. Sementara itu, glikogen otot pada ikan yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang diberi pakan tanpa penambahan Se. Nilai glikogen otot pada ketiga dosis penambahan selenometionin tersebut tidak berbeda nyata. Peningkatan kadar glikogen otot juvenil kerapu bebek dengan pemberian selenometionin menunjukkan tingginya simpanan glukosa. Simpanan

glukosa ini sewaktu-waktu dapat digunakan kembali terutama ketika suplai karbohidrat dari luar berkurang. Selain itu, kerapu bebek merupakan ikan karnivor yang kurang mampu memanfaatkan karbohidrat dari pakan sebagai sumber energi sehingga simpanan glukosa di otot dan hati semakin penting artinya. Sebaliknya, pada pemberian sodium selenite, jumlah ikan pada akhir pemeliharaan tidak mencukupi untuk kebutuhan analisis glikogen hati dan otot. Pada penambahan sodium selenite dosis 0,5 dan 1 mg Se/kg pakan tingkat kematian mencapai 97,22%, sedangkan dosis 2 dan 4 mg Se/kg pakan tingkat kematian mencapai 100% pada akhir percobaan.

Untuk mengestimasi pertumbuhan, penggunaan nilai rasio RNA/DNA merupakan metode yang cukup akurat, selain juga dapat menjadi indikator status nutrisi ikan (Rooker & Holt 1996). Tabel 7 menunjukkan bahwa pada pemberian selenometionin, nilai rasio RNA/DNA juvenil kerapu bebek cenderung makin meningkat dengan makin meningkatnya dosis penambahan Se di pakan. Meskipun demikian, nilainya tidak berbeda nyata antara pemberian selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan dengan kelompok ikan tanpa penambahan Se. Hasil ini sejalan dengan nilai laju pertumbuhan harian dan tingkat kelangsungan hidup (Tabel 6) dan kadar glikogen hati (Tabel 7).

4.4.2 Aktivitas enzim dan kadar hormon

Peran biokimia Se masih menjadi tanda tanya sampai ditemukan bahwa Se menjadi bagian integral dari enzim glutation peroksidase (GPx) (Rotruck et al. 1973). Enzim ini mengkatalis reaksi-reaksi penting untuk konversi hidrogen peroksida dan lipid peroksida menjadi air dan asam lemak alkohol dengan menggunakan glutation tereduksi, yang dengan demikian melindungi membran sel dari kerusakan oksidatif. Nilai aktivitas enzim GPx dapat memberi gambaran status Se di dalam tubuh organisme. Fungsi penting lain Se adalah menjadi bagian dari Iodotironin Deiodinase (ID), suatu enzim yang berperan sebagai katalisator dalam pembentukan T3 (bentuk aktif hormon tiroid) dari T4 (Brown & Arthur 2001).

Pada percobaan ini terlihat bahwa aktivitas enzim GPx hati juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg

Se/kg pakan nilainya tidak berbeda dari kelompok ikan tanpa penambahan Se. Dengan kata lain, penambahan selenometionin sampai dengan dosis 4 mg Se/kg pakan belum mampu meningkatkan aktivitas enzim GPx hati. Hasil yang sama diperlihatkan oleh aktivitas enzim superoksida dismustase (SOD) hati, meskipun ada kecenderungan nilainya makin meningkat dengan makin meningkatnya dosis penambahan selenometionin di pakan. SOD adalah enzim yang berperan dalam mereduksi superoksida (O2-) menjadi H2O2, sementara GPx mereduksi H2O2 menjadi H2O. Kedua enzim antioksidan tersebut bekerja dengan sistem umpan balik.

Aktivitas enzim GPx plasma juvenil kerapu bebek seperti terlihat pada Gambar 4 menunjukkan bahwa pada pemberian selenometionin, nilainya mengalami peningkatan dengan makin meningkatnya dosis penambahan Se di pakan, dan nilai tertinggi didapatkan pada penambahan 4 mg Se/kg pakan. Sebaliknya, pada penambahan sodium selenite, jumlah ikan tidak mencukupi kebutuhan untuk pengukuran parameter. Gambar 5 menunjukkan bahwa pada pemberian selenometionin, aktivitas enzim SOD plasma juvenil kerapu bebek nilainya sama, baik pada penambahan selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan, maupun tanpa penambahan Se. Sebaliknya, pada pemberian sodium selenite, jumlah ikan tidak mencukupi kebutuhan untuk pengukuran SOD plasma sehingga nilainya tidak ada.

Gambar 6 menunjukkan bahwa pada pemberian selenometionin, nilai rasio T3/T4 juvenil kerapu bebek makin meningkat dengan makin meningkatnya kadar Se di pakan, dan nilai tertinggi didapatkan pada penambahan 4 mg Se/kg pakan. Tingginya nilai rasio T3/T4 mengindikasikan bahwa aktivitas enzim iodotironin deiodinase (ID) pada perlakuan ini lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa fungsi ID yang merupakan salah satu selenoprotein adalah sebagai katalisator pembentukan T3 dari T4. Aktivitas ID yang tinggi juga memungkinkan T3 yang terbentuk semakin banyak. T3 sendiri adalah bentuk aktif hormon tiroid yang mempunyai fungsi khusus dalam mengatur pertumbuhan. Secara umum, hasil ini sejalan dengan nilai efisiensi pakan, retensi lemak, dan retensi protein seperti terlihat pada Tabel 6.

4.4.3 Gambaran darah

Pada percobaan ini parameter gambaran darah yang diamati meliputi total eritrosit, kadar hemoglobin, persentase hematokrit, differensial leukosit, dan indeks fagositik. Hasil pengamatan gambaran darah juvenil kerapu bebek disajikan pada Tabel 9 dan 10. Pada Tabel 9 terlihat bahwa penambahan selenometionin tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada total eritrosit, kadar hemoglobin, dan kadar hematokrit juvenil kerapu bebek. Hasil yang sama diperlihatkan oleh jumlah limfosit, monosit, dan neutrofil (Tabel 10). Sementara itu, indeks fagositik juvenil kerapu bebek dipengaruhi oleh pakan uji yang ditambahkan dengan selenometionin. Nilai indeks fagositik makin meningkat dengan makin meningkatnya dosis penambahan selenometionin di pakan. Indeks fagositik juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan selenometionin dosis 1, 2, dan 4 mg Se/kg pakan nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok ikan tanpa penambahan Se. Kenyataan ini memberi gambaran bahwa penambahan selenometionin ke dalam pakan juvenil kerapu bebek sampai dengan dosis tertentu dapat meningkatkan respons imunitas ikan. Hal ini dimungkinkan karena indeks fagositik adalah nilai yang menunjukkan aktivitas fagositosis. Fagositosis adalah salah satu mekanisme

Dokumen terkait