• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

1.6 Kebaruan

Kebaruan penelitian adalah mengkaji suplementasi mineral Se dalam pakan buatan pada pertumbuhan dan daya tahan tubuh juvenil kerapu bebek, dan melihat distribusi Se dalam berbagai organ/jaringan tubuh ikan.

Gambar 1. Kerangka pemikiran peningkatan daya tahan tubuh dan pertumbuhan juvenil kerapu bebek yang diberi pakan dengan penambahan Se Pakan dengan suplementasi Se Ikan Kualitas air Kadar Se organ Iodotironin deiodinase Manaj. pakan Manaj. KA Kadar Se opt ? Glutation peroksidase Thioredoksin reduktase Selenoprotein P, W 15 kda-selenoprotein Respon s imun Pembe ntukan T3 dari T4? Pertumbuhan Viabilitas P r o d u k s i TKH 6

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebutuhan nutrisi ikan kerapu bebek (C. altivelis)

Pakan merupakan komponen utama yang dibutuhkan oleh ikan untuk menjaga kelangsungan hidup dan pertumbuhannya. Kelengkapan nutrisi dalam pakan mutlak diperlukan untuk menjaga agar pertumbuhan ikan dapat berlangsung secara normal. Kebutuhan nutrisi yang meliputi protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral pada ikan berbeda menurut jenis dan ukurannya (Gatlin 2002).

Protein adalah bahan organik utama dalam tubuh ikan, dan kandungannya dapat mencapai 65-70% dari bobot total tubuh (Wilson 2002). Protein berperan dalam pembentukan jaringan baru pada masa pertumbuhan dan reproduksi, mengganti jaringan yang rusak dan memelihara jaringan yang telah ada, pembentukan enzim dan hormon, pengatur berbagai metabolisme dalam tubuh, dan sebagai sumber energi. Kebutuhan ikan akan protein dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain ukuran ikan, suhu air, kandungan energi dalam pakan yang dapat dicerna, dan kualitas protein. Kerapu bebek yang merupakan ikan karnivor membutuhkan kandungan protein pakan yang lebih tinggi daripada ikan omnivor dan herbivor, dan kebutuhannya menurun dengan meningkatnya ukuran ikan. Kebutuhan protein ikan karnivor berkisar 40-55%, sedangkan ikan herbivor dan omnivor berkisar 25-40%. Shiau dan Lan (1996) melaporkan bahwa kebutuhan protein pada pembesaran ikan kerapu malabar (Epinephelus malabaricus) adalah 44%, sedangkan juvenil kerapu Epinephelus coloides membutuhkan protein optimal 48% (Luo et al. 2004).

Lemak merupakan sumber energi yang nilainya paling tinggi dan sangat efektif untuk ikan dibandingkan dengan karbohidrat (Williams et al. 2006). Selain sebagai sumber energi, lemak juga mempunyai fungsi sebagai sumber asam lemak. Kebutuhan ikan akan asam lemak esensial berbeda untuk setiap spesies. Perbedaan kebutuhan terutama dihubungkan dengan habitat ikan. Ikan laut membutuhkan asam lemak omega-3 HUFA yang terdiri dari asam eikosapentanoat (EPA, 20:5n-3) dan asam dokosaheksanoat (DHA, 22:6n-3)

(Sargent et al. 2002), sedangkan ikan air tawar membutuhkan asam lemak linoleat 18:2n-6 atau linolenat 18:3n-3 atau kombinasi keduanya. Pada umumnya ikan tidak mampu mensintesis asam-asam lemak linoleat dan linolenat sehingga keberadaannya dalam pakan mutlak diperlukan. Fungsi penting lain lemak adalah sebagai media transpor senyawa-senyawa yang larut dalam lemak, sebagai bagian dari struktur membran sel, dan sebagai prekursor senyawa-senyawa penting, misalnya hormon dan pigmen (Jobling 1994). Kebutuhan lemak ikan kerapu bebek berkisar 15-30% bergantung pada komposisi asam lemaknya (Williams et al. 2004).

Karbohidrat merupakan salah satu sumber energi yang murah bagi ikan, tetapi kemampuan untuk memanfaatkannya berbeda antarspesies. Meskipun ikan karnivor yang hidup di air laut tidak mampu memanfaatkan dengan baik karbohidrat dalam pakan dibandingkan dengan ikan herbivor dan omnivor yang disebabkan saluran pencernaannya yang relatif pendek, berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa keberadaan karbohidrat dalam pakan mutlak diperlukan (Usman 2002). Kebutuhan karbohidrat pada ikan karnivor berkisar 10-20% (Watanabe 1988), sedangkan ikan herbivor dan omnivor dapat memanfaatkan karbohidrat secara optimal pada kisaran 30-40% (Furuichi 1988). Giri et al. (1999) melaporkan bahwa kebutuhan karbohidrat ikan kerapu tikus berbobot 5-10 g adalah 10-14%.

Beberapa mikronutrien, seperti vitamin dan mineral, dapat ditambahkan dalam pakan ikan dengan kadar tertentu sebagai dasar pemenuhan kebutuhan ikan untuk tumbuh dan menjaga kesehatan (peningkat daya tahan tubuh). Vitamin adalah senyawa organik yang sangat kompleks dan diperlukan dalam jumlah yang sangat kecil untuk pertumbuhan normal, reproduksi, kesehatan, dan metabolisme pada umumnya. Vitamin C, misalnya, dibutuhkan oleh juvenil kerapu bebek (bobot rata-rata 13,5 g) sebanyak 3 mg/100 g pakan dalam bentuk askorbil magnesium fosfat (AMP) (Giri et al. 1999). Hasil penelitian Subyakto (2000) menunjukkan bahwa pakan yang ditambahkan vitamin C dalam bentuk L- ascorbyl-2-phosphate-magnesium (APM) sebesar 25 mg/kg pakan merupakan perlakuan terbaik bagi pertumbuhan juvenil kerapu tikus.

Mineral diperlukan dalam pakan ikan, meskipun dalam jumlah yang relatif sedikit, tetapi sangat penting untuk mempertahankan kondisi tubuh yang normal, untuk proses respirasi, osmoregulasi, mekanisme homeostasis, dan pembentukan kerangka tulang. Dari 15 unsur yang dibutuhkan dalam jumlah kecil dan dianggap penting bagi hewan, termasuk ikan, peran fisiologi dari kekurangan unsur-unsur kromium, kobalt, tembaga, iodine, besi, mangan, molibdenum, selenium, zinc, dan fluorin telah diketahui dengan baik (Lall 2002). Namun, kebutuhan mineral- mineral tersebut untuk ikan kerapu bebek belum banyak diteliti. Salah satu yang telah diteliti adalah kebutuhan juvenil kerapu bebek atas mineral Fe oleh Setiawati (2010) dan diperoleh hasil bahwa suplementasi Fe dalam pakan mampu memperbaiki vitalitas dan imunitas ikan; dan kadar Fe 100 ppm dalam pakan memberikan potensi tumbuh dan peningkat daya tahan tubuh ikan lebih baik pada paparan perubahan kondisi lingkungan.

2.2 Mineral selenium (Se) dan kebutuhannya

Tidak seperti kebanyakan hewan-hewan terestrial, ikan mempunyai kemampuan untuk menyerap beberapa unsur-unsur anorganik tidak hanya dari pakan, tetapi juga dari lingkungan eksternalnya, baik pada air tawar maupun air laut (Lall 2002). Namun, mineral melalui pakan lebih efektif dan sangat dibutuhkan untuk kehidupan ikan (Andersen et al. 1996). Seperti disebutkan sebelumnya, salah satu mineral yang dibutuhkan oleh ikan adalah Se.

Peran biokimia Se masih menjadi tanda tanya sampai ditemukan bahwa Se menjadi bagian integral dari enzim glutation peroksidase (Rotruck et al. 1973). Enzim ini mengkatalis reaksi-reaksi penting untuk konversi hidrogen peroksida dan lipid peroksida menjadi air dan asam lemak alkohol dengan menggunakan glutation tereduksi, yang dengan demikian melindungi membran sel dari kerusakan oksidatif. Pengaruh protektif Se dan senyawa-senyawa yang mengandung Se melawan toksisitas logam-logam berat, seperti cadmium dan merkuri telah juga dilaporkan.

Berdasarkan bentuk atau sumbernya, Se terbagi menjadi Se anorganik (selenite dan selenate) dan Se organik (selenometionin, selenosistein, dan selenosistine) (Anonim 2010b). Kebutuhan Se menentukan pertumbuhan optimum

dan aktivitas glutation peroksidase plasma. Kebutuhan Se optimal berkisar 0,15- 0,38 mg Se/kg pakan, dalam bentuk sodium selenite, untuk rainbow trout (Hilton et al. 1980), 0,25 mg Se/kg pakan, dalam bentuk sodium selenite, untuk channel catfish (Gatlin & Wilson 1984), 0,7 mg Se/kg pakan, dalam bentuk selenometionin, untuk ikan kerapu malabar (Epinephelus malabaricus) (Lin & Shiau 2005), dan 1,408 mg Se/kg pakan, dalam bentuk sodium selenite, pada juvenil abalon (Holiotis discus hannai Ino) (Wang et al. 2012).

Selenium tersebar secara luas dengan konsentrasi yang kecil, baik di dalam air tawar maupun air laut. Selenium juga terdapat secara alami dalam pakan dan bahan-bahan pakan dalam kompleks organik, utamanya dalam bentuk selenometionin, selenium-metil selenometionin, selenosistine, dan selenosistein. Kandungan Se bahan pakan yang berasal dari tumbuhan bervariasi berdasarkan tingkat dan biological availability Se dalam tanah pada berbagai lokasi geografis (Lall 2002).

Beberapa peneliti telah membandingkan penggunaan Se dalam bentuk anorganik dan organik dengan hasil yang bervariasi. Wang dan Lovel (1997) mendapatkan bahwa channel catfish yang memakan Se dari sumber organik (selenometionin dan selenoyeast) mempunyai pertumbuhan yang lebih baik dan aktivitas enzim glutation peroksidase yang lebih tinggi daripada yang memakan Se dari sumber anorganik (sodium selenite, Na2SeO3). Hasil yang sama didapatkan oleh Paripatananot dan Lovel (1997) yang menemukan bahwa Se dari selenometionin lebih available dari pada sodium selenite. Rider et al. (2009) juga menyimpulkan bahwa Se organik (selenoyeast) mempunyai beberapa keuntungan dibanding dengan sodium selenite dalam hal meningkatnya retensi Se, menurunnya kehilangan Se di tubuh selama stres, dan meningkatnya kapasitas untuk meningkatkan aktivitas glutation peroksidase selama stres.

Hasil yang berbeda ditemukan oleh Lorentzen et al. (1994) yang mendapatkan bahwa pemberian Se dalam bentuk sodium selenite (Na2SeO3) dan selenometionin pada Atlantik salmon tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada pertumbuhan bobot atau aktivitas glutation peroksidase hati pada penambahan 1 atau 2 mg Se/kg pakan. Demikian pula ditemukan bahwa aktivitas glutation peroksidase plasma dan hati tidak berbeda pada Atlantik salmon yang

memakan 1 mg Se/kg pakan dalam bentuk sodium selenite (Na2SeO3), selenometionin, selenosistein, atau tepung ikan (Bell & Cowey 1989).

Pada crucian carp (Carassius auratus gibelio), pemberian Se anorganik dalam bentuk Se nanopartikel (nano-Se) dan organik (selenometionin) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pada bobot akhir, laju pertumbuhan relatif, aktivitas glutation peroksidase, namun nano-Se lebih efektif daripada organik selenometionin dalam meningkatkan kandungan Se otot (Zhou et al. 2009).

Jaramillo et al. (2009) mendapatkan bahwa bioavailability selenometionin 3,3 kali lebih tinggi dari pada sodium selenite untuk juvenil hybrid striped bass berdasarkan konsentrasi Se seluruh tubuh. Selanjutnya dikatakan bahwa pakan yang mengandung 21,2 mg Se/kg sodium selenite menyebabkan pertumbuhan terhambat dan tingkat kematian yang tinggi.

2.3 Metabolisme Se

Asam-asam selenoamino adalah bentuk utama Se dalam pakan, yang mana Se mengganti sulfur dalam selenometionin pada protein umum dalam bahan- bahan makanan yang berasal dari tumbuhan dan hewan, dan selenosistein pada selenoenzim dalam bahan-bahan makanan yang berasal dari hewan (Thomson 2007). Metabolisme Se mencakup penyerapan, transportasi, distribusi, ekskresi, retensi, dan transformasi ke bentuk aktif.

Selenium utamanya diserap dalam duodenum. Selenometionin dan metionin membagi mekanisme transpor aktif yang sama, tetapi sedikit diketahui tentang transportasi selenosistein. Penyerapan bentuk anorganik, seperti selenite dan selenate, terjadi melalui mekanisme pasif. Selenometionin diserap hampir 100%, sedangkan penyerapan Se anorganik bervariasi bergantung pada faktor luminal. Selenium bentuk organik, terutama L-selenometionin lebih mudah diserap oleh tubuh daripada bentuk anorganik. Hal ini disebabkan karena Se bentuk organik mengandung asam amino sehingga dapat bergabung dengan protein tubuh dan memungkinkan untuk disimpan dan dilepaskan kembali jika diperlukan. D-selenometionin didegradasi menjadi Se anorganik. Oleh karena itu, bioavailability-nya hanya 1/5 dari L-selenometionin, sedangkan selenium

anorganik langsung didegradasi sehingga tidak dapat disimpan (Anonim 2010b). Penyerapan Se tidak dipengaruhi oleh status Se, yang menunjukkan bahwa tidak ada pengaturan homeostasis dalam penyerapannya.

Sedikit diketahui tentang transportasi Se dalam tubuh, walaupun tampaknya dialirkan berikatan dengan protein plasma (Thomson 2007). Selanjutnya dikatakan bahwa selenoprotein P dalam plasma telah menunjukkan bahwa transportasinya bersama protein, dan plasma juga mengandung GPx ekstraseluler, tetapi bobot molekul bentuk-bentuk Se ini lebih kecil sehingga lebih memungkinkan berperan dalam transportasi protein. Strain dan Cashman (2002) menyatakan bahwa Se bentuk anorganik secara pasif dialirkan melewati usus brush border, sedangkan bentuk organik (selenometionin dan mungkin selenosistein) secara aktif ditransportasikan, dan ketika sampai pada aliran darah, Se sebagian besar ditransportasikan berikatan dengan protein (terutama very low- density β-lipoprotein, VLDL, dan sedikit berikatan dengan albumin) untuk disimpan dalam berbagai organ. Hati dan ginjal adalah organ target utama ketika jumlah Se yang masuk tinggi, tetapi pada saat jumlahnya sedikit, kandungan Se di hati menjadi berkurang. Jantung dan otot adalah organ target yang lain. Mekanisme transportasi sejauh ini masih belum jelas, tetapi ada hipotesis yang menyatakan bahwa Se masuk ke sel darah merah melalui proses difusi dan kemudian dibawa ke seluruh tubuh. Di dalam darah, Se terikat pada lipoprotein seperti VLDL atau LDL (Anonim 2010b).

Selenium dalam jaringan-jaringan hewan terdapat dalam satu kumpulan dengan protein, dan hadir dalam dua bentuk utama. Pertama adalah selenosistein, yang hadir sebagai bentuk aktif Se dalam selenoprotein. Kedua adalah selenometionin, yang mana tidak spesifik bergabung pada tempat metionin dalam berbagai protein, tidak diatur oleh status Se pada hewan.

Tingkat Se pada jaringan dipengaruhi oleh konsumsi pakan. Bentuk Se yang diberikan juga mempengaruhi retensi Se, dengan selenometionin lebih efektif dalam meningkatkan level Se daripada sodium selenite atau selenate. Baik Se bentuk anorganik maupun organik berubah bentuk menjadi selenide. Selenite dan selenate berubah menjadi selenide, demikian pula selenosistein organik secara langsung berubah menjadi selenide; sedangkan selenometionin berubah menjadi

selenosistein terlebih dahulu, kemudian menjadi selenide. Selenide (bentuk oksidasi -2) berubah menjadi selenosistein pada tRNA dan residu selenosisteinil digabungkan ke dalam bentuk aktif selenoprotein oleh UGA kodon yang spesifik terhadap selenosistein. Selenometionin yang bergabung tidak spesifik ke dalam protein berkontribusi terhadap Se jaringan, yang mana tidak dengan segera tersedia untuk sintesis bentuk-bentuk Se fungsional sampai dikatabolisasi.

Urin adalah jalan utama ekskresi Se, diikuti oleh feses yang mana terutama adalah Se yang tidak terserap. Homeostasis Se tercapai melalui pengaturan ekskresi ini. Penelitian-penelitian tentang keseimbangan menunjukkan bahwa konsumsi Se dalam wilayah yang luas (jumlah yang berlebih), jumlah ekskresi melalui urin ini mencapai 50-60% dari total Se yang diekskresikan. Berikut ini adalah skema metabolisme selenium:

Dokumen terkait