• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akumulasi polimer cadangan pada kondisi nutrisi terbatas

PEMANENAN

ISOLASI

Tanpa Pelarut

• Pelarutan biomassa non- PHA

• Sentrifugasi/ultrafiltrasi

Dengan Pelarut

• Ekstraksi PHA dengan pelarut

• Presipitasi dengan metanol/ air

Gambar 4 Skema tahapan umum produksi PHA (Kessler et al. 2001). Dua jenis teknik kultivasi biasa nya digunakan. Pada percobaan batch, baik pertumbuhan sel dan pembentukan PHA dilakukan pada media yang sama. Pada percobaan bebas nitrogen, sel terlebih dahulu ditumbuhkan pada media kaya nutrisi kemudian diresuspensi ke dalam media yang kekurangan nitrogen dengan sumber karbon sesuai dengan yang diinginkan (Madison dan Huisman 1999). Namun demikian, secara teknis PHA dapat diproduksi dengan kultivasi batch

15

(curah), fed-batch (semi sinambung) maupun kontinyu (sinambung). Sistem fed- batch banyak diterapka n terutama untuk memicu peningkatan akumulasi PHA di dalam sel. Pada saat pergantian operasi dari batch ke fed -batch, densitas biomassa telah mencapai level yang tinggi dan konsentrasi substrat kunci menurun dan hampir habis. Level substrat pembatas yang rendah tersebut dipertahankan dengan pengumpanan perlahan substrat berkonsentrasi tinggi secara konstan (Nie lsen dan Villadsen 1993). Terkait dengan penggunaan glukosa sebagai sumber karbon bagi R. eutropha, beberapa strategi pengumpanan substrat telah dikembangkan selama kultivasi fed-batch untuk menjaga konsentrasi glukosa agar tetap berada dalam rentang yang optimal untuk akumulasi PHB (Lee dan Choi 2001).

Tanaka et al. (1993) menggunakan metode kultur dua tahap untuk menghasilkan PHB dari xilosa. Xilosa dikonversi menjadi L-asam laktat dan asam asetat oleh Lactococcus lactis IO-1, selanjutnya dikonversi menjadi PHB oleh R. eutropha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 10 g/L L-laktat dihasilkan 8,5 g/L biomassa R. eutropha dengan kadar PHB 55% selama 24 jam kultivasi .

Kim et al. (1994) memproduksi PHB dari R. eutropha dengan teknik kultur fed -batch secara otomatis dengan perlakuan pembatasan amonium. Konsentrasi glukosa pada kultur dikontrol pada kisaran 10-20 g/L menggunakan analisator glukosa secara on line dan berdasarkan data gas keluar yang diperoleh dari spektrometer massa. Konsentrasi akhir sel, konsentrasi PHB dan produktifitas PHB meningkat ketika pengumpanan amoniak dihentikan pada saat sel mencapai konsentrasi tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika pengumpanan amoniak dihentikan saat konsentrasi sel mencapai 70 g/L maka konsentrasi PHB dan total sel berturut-turut mencapai 121 g/L dan 164 g/L dalam waktu 50 jam kultivasi. Rendemen PHB maksimal yang dapat dicapai pada penelitian ini adalah 76% dari berat kering sel dengan produktifitas sebesar 2,42 g/L.jam dan rendemen sebesar 0,3 g PHB/g glukosa.

Ryu et al. (1997) memproduksi PHB pada bioreaktor 60 L secara fed- batch menggunakan sel R. eutropha berdensitas tinggi, glukosa sebagai sumber karbon dengan pembatasan fosfat dan nitrogen. Strategi pengumpanan dilakukan

berdasarkan pengontrolan konsentrasi oksigen terlarut. Dengan konsentrasi awal fosfat sebesar 5,5 g/L, konsentrasi akhir sel yang dihasilkan mencapai 281 g/L, konsentrasi PHB 232 g/L dan produktifitas PHB 3,14 g/L.jam.

Sang Yup Lee dalam serangkaian penelitiannya menggunakan R. eutropha

dan rekombinan E. coli dengan sistem kultivasi fed-batch. Pengumpanan substrat dilakukan berdasarkan pH disertai dengan pengontrolan kandungan oksigen terlarut untuk menghasilkan homopolimer PHB maupun kopolimer HB-HV dengan produktifitas yang lebih tinggi. Disertai dengan teknik isolasi PHA yang relatif murah, mudah dan ramah lingkungan menggunakan pelarut NaOH, Lee dan Choi (2001) mensimulasikan faktor -faktor tersebut sehingga biaya produksi PHB menjadi lebih rendah, yaitu US$ 3,31/kg.

Komersialisasi PHA dimulai oleh ZENECA-Inggris yang menggunakan mutan R. eutropha untuk memproduksi PHB dan PHBV berskala industri sejak tahun 1982 dengan merek BIOPOL. Sumber karbon yang digunakan adalah glukosa dengan fosfat sebagai nutrisi pembatas. Proses produksi menggunakan bioreaktor berskala 200 000 L dengan sistem kultivasi fed -batch dua tahap. Pada tahap pertama, sel ditumbuhkan pada media garam mineral dengan glukosa sebagai satu-satunya sumber karbon dan sumber energi serta dan sejumlah fosfat yang telah dihitung berdasarkan kebutuhan mikroba untuk memproduksi sejumlah biomassa tertentu. Sejalan dengan pertumbuhan kultur, fosfat dalam media semakin berkurang. Pada tahap kedua ketika fosfat berada dalam jumlah terbatas, sel mulai memproduksi dan menyimpan polimer. Pada saat tersebut, glukosa diumpankan ke dalam kultur kemudian kultivasi dilanjutkan sampai jumlah polimer yang diinginkan tercapai. Masing-masing tahap berlangsung kira-kira 48 jam dan berat kering biomassa akhir mencapai 100 g/L. Pada tahun 1996 produksi tersebut diteruskan oleh MONSANTO-Amerika Serikat namun kemudian terhenti pada tahun 1998 (Byrom 1990, 1992 dikutip oleh Kessler et al. 2001).

Produsen lain di Austria menggunakan Alcaligenes latus DSM1124 untuk memproduksi homopolimer PHB pada media garam mineral dengan sukrosa sebagai sumber karbon. Proses kultivasi dilakukan satu tahap secara fed -batch

17

produksinya dihentikan pada tahun 1993 (Byrom 1990, 1992 dikutip oleh Kessler

et al. 2001).

Prose Hilir PHA

Setelah tahap kultivasi, sel yang mengandung PHA harus dipisahkan dari

broth (media kultivasi) dengan berbagai prosedur konvensional seperti sentrifugasi, filtrasi atau flokulasi-sentrifugasi. Sel selanjutnya dipecah agar polimer di dalamnya dapat diisolasi (Kessler et al. 2001). Metode yang paling sering digunakan untuk mengisolasi PHA adalah ekstraksi polimer dari biomassa menggunakan pelarut (seperti: kloroform, metilen klorida, propilen karbonat, dikloroetan). Namun demikian, proses tersebut membutuhkan pelarut dalam jum lah besar. Pada proses ekstraksi PHB dengan pelarut kloroform, PHB yang diperoleh memiliki kemurnian tinggi dan tidak terjadi degradasi selama ekstraksi. Namun kelemahannya, diperlukan kloroform dalam jumlah besar karena larutan polimer yang mengandung PHB = 5% (b/v) bersifat sangat kental (viscous) sehingga proses operasinya menjadi sulit (Lee et al. 1999).

Beberapa metode lain juga dikembangkan, misalnya penggunaan sodium hipoklorit untuk memecah bahan-bahan sel non-PHA secara bertahap. Meskipun efektif, sodium hipoklorit dapat mendegradasi PHA sehingga menurunkan berat molekulnya (Kessler et al. 2001). Hahn et al. (1995) membandingkan penggunaan sodium hipoklorit dan dispersi sodium hipoklorit -kloroform untuk mengisolasi PHB yang disintesis oleh R. eutropha dan rekombinan E. coli. Tingkat degradasi PHB pada perlakuan dispersi sodium hipoklorit-kloroform lebih rendah jika dibandingkan dengan perlakuan sodium hipoklorit saja. Semakin tinggi konsentrasi hipoklorit yang digunakan, semakin kecil berat molekul PHB yang diperoleh.

Choi dan Lee (1999) telah me neliti kemampuan berbagai jenis bahan kimia untuk memecah bahan sel selain PHB, meliputi asam (HCl, H2SO4), alkali

(NaOH, KOH, NH4OH) dan surfaktan (ga ram sodium dioktilsulfosuksinat/AOT,

heksadeciltrimetilamonium bromida/CTAB, sodium dodesil sulfat/SDS, polioksietilen-p-tert-oktil fenol/Triton X-100 dan polioksietilen (20) sorbitan monolaurat/Tween 20). Meskipun SDS merupakan bahan kimia yang efisien

untuk isolasi PHB dari rekombinan E. coli namun harganya mahal dan limbahnya menimbulkan masalah baru.

NaOH dan KOH juga efisien dan ekonomis untuk isolasi PHB sehingga digunakan untuk optimasi kondisi isolasi. Pada perlakuan NaOH 0,2 N selama 1 jam, kultur dengan densitas sel 50 g/L dan rendemen PHB 77% dapat diperoleh dengan kemurnian 98,5%. Selanjutnya dibandingkan 2 metode, antara surfaktan- hipoklorit dan NaOH. Dengan proses kultivasi yang menghasilkan PHB 157 g/L, rendemen 77% dan produktifitas 3,2 g PHB/L.jam dipadukan dengan metode isolasi NaOH maka biaya produksi PHB dapat ditekan 25% lebih rendah menjadi US$ 3,66/kg dibandingkan dengan metode surfaktan-hipoklorit (Choi dan Lee 1999).

Lee et al (1999) melakukan pemecahan sel rekombinan E. coli yang mengandung 69% PHB dengan NaOH 0,2 N selama 1 jam pada suhu 30 oC dan PHB yang diperoleh menunjukkan kemurnian 97%. Jika waktu pemecahan (digestion) diperpanjang hingga 5 jam maka kemurnian PHB meningkat menjadi 98%, begitu juga jika konsentrasi NaOH ditingkatkan menjadi 2 N. Pemecahan bahan-bahan sel non-PHA dengan NaOH (NaOH digestion) memiliki beberapa kelebihan, yaitu (a) murah dan ramah lingkungan, (b) PHB yang diperoleh memiliki kemurnian tinggi (>98%) dan (c) selama proses ekstraksi tidak terjadi degradasi PHB.

Kinetika Kultivasi

Mikroba bila berada dalam suatu lingkungan akan tumbuh dan mempunyai aktifitas fisiologis sebagai respon terhadap lingkungan tersebut (Hartoto dan Sailah 1989). Kinetika pertumbuhan dan pembentukan produk menggambarkan kemampuan sel dalam merespon lingkungan (Wang et al. 1979). Pertumbuhan mikroba dicirikan dengan peningkatan massa sel dan atau jumlah sel. Pertumbuhan terjadi bila kondisi fisik dan kimiawi tercapai, misalnya suhu, pH dan keterse diaan nutrisi sesuai dengan kebutuhan mikroba. Fase -fase pertumbuhan mikroba pada kultivasi batch (Gambar 5) secara umum dijelaskan oleh Wang et al. (1979), Hartoto dan Sailah (1989) serta Mangunwidjaja dan Suryani (1994) sebagai berikut.

19

fase fase eksponensial fase stasioner

lag a

b

c

Gambar 5 Kurva pertumbuhan mikroba pada kultivasi batch (Wang et al. 1979) Pada fase lag (fase awal dan pe nyesuaian) yang merupakan masa penyesuaian mikroba sejak sel mikroba diinokulasi ke media biakan, massa sel meningkat tetapi tidak terjadi pembelahan sel. Oleh karena itu, X = Xo = tetap dengan Xo = konsentrasi sel pada t = 0.

Laju pertumbuhan, rx (g/L.j) = dx/dt = 0 ...(1)

Laju pertumbuhan spesifik, µ (j-1) = dx/dt .1/X = 0 ...(2) Ketika kultur mikroba dipindahkan ke lingkungan baru maka dibutuhkan penataan ulang terhadap komponen penyusun mikro dan makromolekularnya . Setelah fase adaptasi selesai, maka sel menuju fase pertumbuhan eksponensial (log/ logaritmik).

Pada fase eksponensial, jumlah sel meningkat pada laju konstan, laju pertumbuhan meningkat sebanding dengan X. Laju pertumbuhan spesifik tetap dan mencapai nilai maksimal (µm).

dx/dt . 1/X = µm

? 1/X. dx = ? µm . dt

Ln X2 – Ln X1 = µm (t2 - t1) ...(3)

Waktu generasi atau penggandaan (tg), yaitu waktu yang dibutuhkan untuk

menggandakan massa sel dua kali semula sehingga X2 = 2X1, dapat ditentukan

sebagai berikut :

Ln (2X1) – Ln (X1) = µm . tg

tg = ln 2/µm = 0,693 / µm ...(4)

Log (konsentrasi massa sel)

Waktu

Keterangan :

a.massa sel, tidak terjadi lisis

b.massa sel, terjadi lisis diikuti pertumbuhan

cryptic

c.jumlah sel hidup, terjadi lisis

Pada fase pelambatan, substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan mendekati habis dan terjadi penumpukan produk-produk penghambat sehingga terjadi penurunan laju pertumbuhan. Pada fase stasioner, konsentrasi biomassa mencapa i maksimal. Laju kematian sel sebanding dengan laju penggandaan sel. Oleh karena itu pertumbuhan berhenti dan menyebabkan terjadinya modifikasi struktur biokimiawi sel. Pada fase menurun laju kematian lebih cepat daripada laju penggandaan sel. Fase ini ditandai dengan berkurangnya jumlah sel hidup akibat terjadinya kematian yang diikuti autolisis oleh enzim selular. Wang et al.

(1979) menyatakan bahwa pada fase stasioner masih terjadi metabolisme dan akumulasi produk di dalam sel atau broth. Massa sel total mungkin konstan (Gambar 5a), akan tetapi jumlah sel hidup mungkin menurun (Gambar 5c). Dengan menurunnya jumlah sel hidup, maka terjadilah lisis sel sehingga massa sel menurun (Gambar 5b). Produk-produk lisis sel dalam media memungkinkan terjadinya periode pertumbuhan sekunder yang disebut pertumbuhan kriptik (cryptic).

Pertumbuhan dan pembentukan produk oleh mikroba merupakan proses biokonversi nutrisi menjadi massa sel dan metabolit (Wang et al. 1979). Yield

atau rendemen biomassa (Yx/s) dan rendemen produk (Yp/s) merupakan parameter

penting yang menggambarkan efisiensi konversi substrat menjadi biomassa dan produk. Parameter tersebut didefinisikan sebagai bobot biomassa atau produk yang terbentuk per bobot substrat yang dikonsumsi dalam selang waktu tertentu (Scragg 1991). ? X X- Xo Yx/s = = ...(8) ? S So – S ? P P - Po Yp/s = = ...(9) ? S So – S

dengan ? X dan ? P merupakan ju mlah sel dan produk yang terbentuk dengan dikonsumsinya substrat sebanyak ? S. Koefisien konversi nutrisi dalam substrat yang berhubungan dengan efisiensi penggunaan substrat dijelaskan dengan persamaan berikut :

21

Mangunwidjaja dan Suryani (1994) menyatakan bahwa hubungan kinetika pertumbuhan sel dan pembentukan produk tergantung pada peranan produk dalam metabolisme sel. Dalam hal ini dikenal tiga pola hubungan, yaitu :

1. Pola pertumbuhan berasosiasi dengan pembentukan produk yaitu laju pembentukan produk berbanding secara proporsional dengan laju pertumbuhan. dP/dt = a dx/dt atau rp = Yp/x . rx ...(5)

2. Pola pembentukan produk tak berasosiasi dengan pertumbuhan yaitu laju pembentukan produk cenderung berbanding secara proporsional dengan konsentrasi selular daripada dengan laju pertumbuhan. rp = ß X ...(6)

3. Pola campuran per tumbuhan berasosiasi dan tak berasosiasi yaitu laju pembentukan produk berbanding lurus dengan konsentrasi sel maupun laju pertumbuhan. rp = a rx + ß X atau rp/X = a µ + ß ...(7)

dengan dP/dt = rp : laju pembentukan produk, rx : laju pertumbuhan sel, Yp/x :

rendemen produk yang dihasilkan per biomassa terbentuk (g/g), a : tetapan pembentukan produk yang berasosiasi dengan pertumbuhan, ß: tetapan pembentukan produk yang tidak berasosiasi dengan pertumbuhan.

Kultivasi Fed-batch

Yoshida et al. (1973) seperti dikutip oleh Stanbury dan Whitaker (1984) memperkenalkan istilah fed-batch untuk menggambarkan kultur batch yang diumpan dengan media secara kontinyu atau terputus -putus tanpa pengambilan cairan kultur sehingga volume kultur semakin bertambah selama waktu kultivasi. Scragg (1991) mendefinisikan kultur fed-batch sebagai kultur dengan pasokan nutrisi secara kontinyu yang dapat dioperasikan dalam dua cara, yaitu dengan volume yang berubah-ubah dan dengan volume konstan. Tipe kultivasi ini dapat mencegah penghambatan substrat terhadap pertumbuhan dengan menambahkan substrat pada tahap batch dan dapat menyebabkan perubahan laju pertumbuhan secara periodik.

Pirt (1975) seperti dikutip oleh Trevan et al. (1987) menjelaskan kinetika kultivasi fed-batch sebagai berikut : pada saat pertumbuhan suatu organisme pada kultur batch dibatasi oleh konsentrasi salah satu substrat dalam media, maka konsentrasi biomassa pada fase stasioner, Xmaks, dije laskan dengan persamaan

berikut (dengan asumsi bahwa jum lah inokulum awal tidak signifikan dibandingkan dengan biomassa akhir) :

Xmaks ˜ Y. SR ...(11)

dengan Y = yield untuk substrat pembatas (g biomassa/g substrat yang dikonsumsi) dan SR = konsentrasi substrat dalam media.

Jika media segar ditambahkan ke dalam bejana kultivasi pada laju dilusi (D) yang lebih kecil daripada µmaks maka sebenarnya semua substrat akan

dikonsumsi saat diumpankan ke dalam sistem. Meskipun ju mlah biomassa dalam bejana bertambah seiring waktu kultivasi, namun sebenarnya konsentrasi sel (x) adalah konstan, yaitu dx/dt ˜ 0 dan oleh karena itu µ = D. Sistem tersebut dikatakan berada dalam keadaan quasi-steady state. Semakin bertambahnya waktu kultivasi dan volume kultur, maka laju dilusi akan menurun. Nilai D dijelaskan dengan persamaan berikut :

F

D = ... (12) Vo + F .t

dengan F = laju pengumpanan, Vo = volume awal kultur, t = waktu pengumpanan pada operasi fed -batch..

Kinetika Monod memperkirakan bahwa jika nilai D turun maka konsentrasi residu substrat juga akan menurun, sehingga akan menyebabkan peningkatan konsentrasi biomassa. Namun demikian, pada laju pertumbuhan yang lebih tinggi, konsentrasi substrat awal akan lebih besar daripada konsentrasi residu substrat dan peningkatan konsentrasi substrat tidak signifikan. Laju dilusi pada kultur fed -batch dapat dipertahankan konstan dengan meningkatkan laju pengumpanan secara eksponensial menggunakan sistem kontrol komputer (Trevan et al. 1987). Perbedaan mendasar antara keadaan steady state pada suatu kultur kemostat dengan keadaan quasi-steady state pada kultur fed -batch adalah bahwa µ konstan pada sistem kemostat, namun menurun pada sistem fed -batch

METODOLOGI

Metode Penelitian

Penelitian dibagi menjadi lima tahap, yaitu : (1) persiapan substrat, (2) kajian kinetika kultivasi batch, (3) kultivasi fed-batch dengan perlakuan variasi jenis substrat pengumpan, (4) pembatasan aerasi pada kultivasi fed -batch terpilih dan (5) karakterisasi PHA yang dihasilkan dari perlakuan terbaik. Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.

Persiapan Substrat

Pembuatan Hidrolisat Pati Sagu (Akyuni 2004)

Suspensi pati sagu dalam air 30% (b/v) diatur pH-nya 6-6,5 dengan menambahkan CaCO3 kemudian digelatinisasi sempurna dengan cara

memanaskan (70-80 oC) dan mengaduknya hingga kental dan bening. Likuifikasi dilakukan dengan menambahkan a-amilase sebanyak 1,75 U/g pati dan memanaskan (disertai pengadukan) suspensi pati yang telah tergelatinisasi pada suhu 90-95 oC selama 210 menit. Hasil likuifikasi selanjutnya disakarifikasi pada suhu 60 oC, pH 4-4,5 selama 48-60 jam pada inkubator goyang 150 rpm dengan menambahkan amiloglukosidase (AMG) sebanyak 0,3 U/g pati.

Hidrolisat hasil sakarifikasi dipanaskan pada suhu 105 oC selama 5 menit untuk menginaktifkan enzim. Untuk menjernihkan warna, hidrolisat ditambah arang aktif (1-2% bobot pati), dipanaskan 80 oC selama satu jam lalu disaring vakum. Hidrolisat pati sagu tersebut telah siap digunakan sebagai sumber karbon kultivasi dan dianalisis konsentrasi total gula (metode Fenol-Sulfat), total nitrogen (Kjeldahl), mineral (AAS/Spektofotometri Absorpsi Atom) (Apriyantono et al. 1989) dan profil gula (High Performance Liquid Chromatography/HPLC). Diagram alir pembuatan hidrolisat pati sagu dapat dilihat pada Gambar 7. Prosedur analisis total gula dan nitrogen secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1a dan 1b.

5

Gambar 6 D iagram alir penelitian.

Analisa hidrolisat sagu

Konsentrasi total gula (metode fenol sulfat), profil gula (HPLC), mineral (AAS), total N (Kjehldahl)

Kinetika kultivasi batch R. eutropha (labu kocok 250 ml, volume kerja 100 mL)

Perlakuan : [total gula] hidrolisat pati sagu 10, 20, 30, 40, 50 g/L

Kultivasi fed -batch (bioreaktor 2 L, volume kerja 1 L) Pengumpanan susbtrat pada awal fase stasioner :

F1 = media lengkap seperti tahap batch F2 = hidrolisat pati sagu

F3 = hidrolisat pati sagu + MgSO4

F4 = hidrolisat pati sagu + MgSO4 + (NH4)2HPO4

Karakterisasi PHA

Sifat termal (DSC), gugus fungsional (FTIR), kemurnian PHB (GC)

Luaran : [gula]terbaik,

Parameter : µmaks tertinggi

Luaran : jenis substrat terbaik,

Parameter: [PHA] dan kadar PHA dalam sel

Analisis sampel kultur:

[sel kering] dan [gula sisa] tiap 6 jam selama 48 jam kultivasi

Kinetika kultivasi batchR. eutropha pada konsentrasi

gula terpilih (bioreaktor 2 L, volume kerja 1 L) Analisis sampel kultur: [sel kering], [PHA] dan [gula

sisa] tiap 12 jam selama 96 jam kultivasi

Luaran : - fase stasioner, µmaks

- Yx/s,Yp/x, Yp / s, dS/dt, dP/dt, ?S/So

Analisis sampel kultur:

- [sel kering] dan [gula sisa] tiap 12 jam selama 96 jam kultivasi

- [PHA] jam ke-96

Pembatasan aerasi pada fase stasioner

Kultivasi fed- batch terbaik dengan dan tanpa pembatasan aerasi,

dibandingkan kultivasi batch dengan tanpa pembatasan aerasi

Analisis sampel kultur:

- [sel kering] dan [gula sisa] tiap 12 jam selama 96 jam kultivasi

- [PHA] jam ke-96

Persiapan substrat

Hidrolisis enzimatis pati sagu (a-amilase, AMG) Persiapan media dan kultur

Analisis hidrolisat sagu:

Konsentrasi total gula (metode Fenol -S ulfat), profil gula (HPLC), mineral (AAS), total N (Kjehldahl)

Evaluasi perlakuan terbaik

25

Gambar 7 Diagram alir pembuatan hidrolisat pati sagu secara enzimatis.

Uji iod positif Pati sagu pH diatur 6-6,5 Suspensi pati 30% Air CaCO3 a- amilase 1,75 U/g pH diatur 4-4,5 Sakarifikasi 60 oC, 48-60 jam, 150 rpm AMG 0,3 U/g HCl 0,2N

Inaktivasi enzim 105 oC ~ 5 menit

Penyaringan vakum Pemanasan 80 oC~ 1 jam Arang aktif 1-2%

negatif

Hidrolisat pati sagu Gelatinisasi

Persiapan Media dan K ultur

Kultur R. eutropha dipelihara dalam bentuk kering-beku. Kultur disegarkan setiap 2 minggu dengan menumbuhkannya pada media Nutrient Broth

(inkubasi 34 oC selama 24 jam). Formulasi media kultivasi per liter adalah X mL hidrolisat pati sagu dan Y g (NH4)2HPO4 sedemikian rupa sehingga rasio C/N

awal 10:1 dengan asumsi bahwa konsentrasi karbon pada hidrolisat sagu = 40% dari total gula dan konsentrasi N pada (NH4)2HPO4 adalah 21,21% (contoh

perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 2); 5,8 g K2HPO4; 3,7 g KH2PO4; 10

mL MgSO4 0,1 M; dan 1 mL larutan mikroelemen. Larutan mikroelemen terdiri

dari 2,78 g FeSO4.7H2O; 1,98 g MnCl2.4H2O; 2,81 g CoSO4.7H2O; 1,67 g

CaCl2.2H2O; 0,17 g CuCl2.2H2O dan 0,29 g ZnSO4.7H2O yang dilarutkan dalam

1 L HCl 1 N (Ayorinde et al. 1998). Sebelum digunakan, media disterilisasi pada suhu 121 oC selama 15 menit (sumber karbon dan sumber nitrogen disterilisasi dalam wadah yang terpisah untuk menghindari reaksi pencoklatan). Media didiamkan beberapa saat setelah disterilisasi sehingga suhunya 25-30 oC dan siap diinokulasi.

Untuk keperluan kultivasi, terlebih dahulu dilakukan propagasi kultur dengan menumbuhkan kultur segar R. eutropha ke dalam media steril (10% v/v) pada inkubator goyang 150 rpm, suhu 34 oC selama 24 jam. Komposisi media propagasi sama dengan media kultivasi sedangkan volume kultur propagasi 10% dari volume media kultivasi. Kultur hasil propagasi selanjutnya diinokulasikan ke dalam media kultivasi.

Kinetika Kultivasi Batch R. eutropha

Untuk mempelajari karakteristik dasar pertumbuhan sel pada hidrolisat pati sagu, kultur R. eutropha hasil propagasi ditumbuhkan secara batch selama 48 jam pada skala labu kocok 250 mL, volume kerja 100 mL media kultivasi (formulasi media seperti disebutkan di atas). Konsentrasi awal total gula hidrolisat pati sagu dalam media diatur sebesar 10, 20, 30, 40 dan 50 g/L, rasio C/N awal 10:1 , pH awal 6,9, suhu inkubasi 34 oC dan agitasi 150 rpm. Parameter yang diamati setiap selang waktu 6 jam adalah konsentrasi sel kering (metode gravimetri) dan konsentrasi gula sisa (metode Fenol-Sulfat). Konsentrasi total

27

gula yang memberikan nilai µmaks (laju pertumbuhan spesifik maksimal) tertinggi

dipilih untuk tahap berikutnya.

Selanjutnya R. eutropha ditumbuhkan secara batch selama 96 jam pada bioreaktor berkapasitas 2 L, volume kerja 1 L dengan konsentrasi gula terpilih, pH 6,9, suhu 34 oC, agitasi 150 rpm dan aerasi 0,2 vvm. Parameter yang diamati setiap 12 jam adalah konsentrasi sel kering, konsentrasi gula sisa dan konsentrasi PHA (metode NaOH digestion). Prosedur analisis pengukuran parameter dapat dilihat pada Lampiran 1a, 1c dan 1d.

Kadar PHA dalam sel merupakan persentase hasil pembagian konsentrasi PHA dengan konsentrasi sel kering. Pola pertumbuhan sel dan konsumsi gula diamati untuk menentukan mulai terjadinya fase stasioner ketika konsentrasi gula sisa hampir habis. Kinetika pertumbuhan sel, pembentukan produk PHA dan penggunaan substrat gula dievaluasi.

Kultivasi Fed-ba tch dengan Pengumpanan Berbagai Jenis Substrat

Pada tahap ini dilakukan pengumpanan pada awal fase stasioner dengan perlakuan 4 jenis substrat pengumpan, yaitu :

(1) media lengkap dengan komposisi dan volume sama dengan media pada tahap

batch (F1),

(2) larutan stok hidrolisat sagu dengan konsentrasi gula 300 g/L (F2),

(3) larutan stok hidrolisat sagu dengan konsentrasi gula 300 g/L + MgSO4.7H2O

8,57 g/L (F3) ,

(4) larutan stok hidrolisat sagu dengan konsentrasi gula 300 g/L + MgSO4.7H2O

8,57 g/L + (NH4)2HPO4 56,15 g/L (F4).

Kultivasi fed -batch dilakukan pada bioreaktor 2 L, volume kerja 1 L, pH 6,9, agitasi 150 rpm, suhu 34 oC dan aerasi 0,2 vvm. Metode pengumpanan F1, F2, F3 dilakukan berdasarkan Byrom (1990), yaitu substrat dumpankan pada saat mikroba diperkirakan memasuki fase pertumbuhan stasioner (ketika ketersediaan nutrisi menipis). Pada perlakuan F1, ke dalam kultur diumpankan media segar dengan komposisi dan volume sama dengan media yang digunakan pada awal kultivasi; volume awal media batch dan volume umpan masing-masing adalah 500 mL, kecepatan pengumpanan konstan 1 mL/menit. Pada perlakuan F2, F3

dan F4 ke dalam 1 L kultur batch diumpankan sejumlah substrat yang setara dengan 20 g gula per L kultur atau sekitar 66,7 mL larutan stok dengan kecepatan pengumpanan konstan 1,7 mL/menit. Pada perlakuan F4 dilakukan dua kali pengumpanan, yaitu pada jam ke-48 dan 96. Hal ini dilakukan berdasarkan metode yang dikembangkan oleh Hahn et al. (1995) yaitu pengumpanan berdasarkan pH kultur; jika pH kultur >6,9 (menandakan gula dalam media hampir habis dikonsumsi) maka ke dalam kultur diumpankan sejumlah larutan stok yang menghasilkan konsentrasi glukosa dalam kultur sekitar 20 g/L. Konsentrasi gula yang diumpan setara dengan 20 g gula/L kultur berdasarkan penelitian Kim et al. (1994) dan Braunegg et al. (1995) yang mengatur konsentrasi glukosa pada fase akumulasi polimer oleh R. eutopha pada rentang 10-20 g/L dan 5-20 g/L.

Pengamatan dilakukan tiap 12 jam selama 96 jam (untuk F1, F2, F3) dan 168 jam (untuk F4) meliputi konsentrasi sel kering dan konsentrasi gula sisa. Analisis konsentrasi PHA dan penghitungan kadar PHA dalam sel dilakukan pada akhir kultivasi. Perlakuan terbaik ditentukan berdasarkan konsentrasi PHA dan kadar PHA dalam sel yang tertinggi. Sebagai pembanding, digunakan data hasil kultivasi batch pada tahap sebelumnya.

Pembatasan Aerasi pada Kultivasi Fed-batch Terpilih

Pada tahap ini dilakukan kultivasi fed -batch dengan jenis substrat pengumpan terbaik hasil evaluasi tahap sebelumnya dengan pembatasan aerasi dan tanpa pembatasan aerasi (aerasi tetap 0,2 vvm). Pembatasan aerasi dilakukan

Dokumen terkait