• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

C. Akuntansi Persediaan

1. Biaya-Biaya Yang Berhubungan Dengan Persediaan

Menurut Skousen (2001:521) mengemukakan : ”Biaya persediaan terdiri dari seluruh pengeluaran, baik yang lansung maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan pembelian, persiapan dan penempatan persediaan untuk dijual. Dalam kasus bahan baku atau barang yang dibeli untuk dijual kembali, biaya termasuk harga pembeliaan, pengiriman, penerimaan, penyimpanan dan seluruh biaya yang terjadi sampai barang siap untuk dijual”.

Dari penjelasan diatas dapat dikemukakan adanya perolehan persediaan merupakan seluruh pengorbanan yang dilakukan sampai persediaan tersebut siap untuk dijual. Biaya yang berhubungan dengan persediaan pada perusahaan

dagang berbeda dengan perusahaan manufaktur. Pada perusahaan manufaktur biaya persediaan dimulai dengan biaya pengadaan bahan baku yang meliputi biaya pemesanan, biaya pembelian dan biaya penyimpanan. Kemudian biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan pengolahan bahan baku sampai menjadi barang jadi dan biaya penyimpanan persediaan barang jadi sampai barang tersebut terjual.

2. Sistem Pencatatan Persediaan

Sistem pencatatan persediaan merupakan pengelolaan persediaan melalui proses pencatatn sehingga data tentang persediaan dapat tersedia dengan benar. Adapun sistem pencatatan persediaan dapat digolongkan dengan dua cara, yaitu:

a. Sistem Periodikal b. Sistem Perpetual

Sistem Periodikal

Pada sistem ini tidak ada catatan rinci mengenai berapa banyak unit dari jenis persediaan tertentu yang telah terjual. Satu-satunya cara untuk bisa mengetahui persediaan apa yang terjual dan persediaan apa yang tersisa serta jumlahnya adalah dengan melakukan perhitungan fisik secara periodik. Pembelian dicatat dengan mendebit Pembelian dan mengkredit Kas atau Piutang Usaha dan mengkredit Penjualan. Dalam sistem periodik, persediaan akhir hanya diketahui dari perhitungan fisik.

Mengenai sistem periodikal ini Niswonger (1997:392) mengemukakan sebagai berikut: “Apabila sistem persediaan periodik yang digunakan setiap terjadi penjualan, hanya pendapatan dari penjualan itu yang dicatat. Pada

saat penjualan itu tidak dibuat jurnal untuk mencatat harga pokok barang yang dijual. Akibatnya harus diadakan perhitungan fisik untuk menentukan harga pokok pada akhir periode”.

Dari pengertian dan ilustrasi di atas dapat dijelaskan bahwa semua pemasukan barang (pembelian) dan semua pengeluaran barang (penjualan) tidak dibukukan ke dalam perkiraan Inventory dari barang yang bersangkutan.

Sistem Perpetual

Dalam sistem persediaan perpetual setiap terjadi mutasi barang dilakukan pencatatan setiap jenis barang yang terjual. Jumlah persediaan barang dagang pada awal periode akuntansi mengindikasikan jumlah stok pada tanggal tersebut. Pembelian dicatat dengan mendebit Persediaan Barang Dagang dan mengkredit Kas atau Utang Usaha. Pada tanggal penjualan, harga pokok barang yang terjual dicatat dengan mendebit Harga Pokok Penjualan dan mengkredit Persediaan Barang Dagang. Dengan sistem perpetual dapat diketahui barang yang terjual dan jumlah barang yang seharusnyamasih ada dalam persediaan setiap waktu.

Bila dihubungkan dengan pengawasan persediaan maka sistem pencatatan perpetual dapat menentukan setiap transaksi persediaan akan langsung berpengaruh pada perkiraan persediaan, sehingga jumlah persediaan dapat diketahui setiap saat baik jumlah kuantitas unit maupun total nilai dari setiap jenis persediaan ataupun setiap tingkat harga perolehan yang berbeda.

Adikoesoemah dan Manaris (1997:131) mengemukakan sebagai berikut: “Jika dipergunakan sistem perpetual inventory, maka pada setiap transaksi penjualan harus dicatat harga pokok dari bahan-bahan yang dijual sehingga pada setiap saat dapat diketahui jumlah harga pokok dan

barang yang sudah dijual, maupun jumlah harga pokok dari barang-barang yang belum dijual, yang masih ada dalam persediaan”.

Sedangkan Skousen (2001:516) secara singkat mengemukakan: “Sistem persediaan perpetual sistem persediaan dimana detail pencatatan pembelian dan penjualan dibuat”.

Pada sistem pencatatan perpetual tidak diadakan jurnal penyesuaian karena jumlah persediaan akhir langsung dapat diketahui serta bagian persediaan yang telah menjadi biaya (harga pokok penjualan) juga dapat diketahui.

Dari pengertian dan ilustrasi di atas dapat dijelaskan bahwa semua pemasukan barang (pembelian) dan semua pengeluaran barang (penjualan) dibukukan ke dalam perkiraan Inventory dari barang yang bersangkutan, masing-masing sebesar harga pembeliannya. Dengan demikian perkiraan Inventory senantiasa menunjukkan keadaan jumlah sisa persediaan barang yang masih ada, beserta mutasi perubahannya. Oleh sebab itu dengan hanya melihat catatan dalam perkiraan ini perusahaan sudah dapat mengetahui beberapa sisa persediaan yang masih ada di gudang tanpa harus menghitung dan menilai secara fisik.

3. Metode Penilaian Persediaan

Tujuan penilaian persediaan adalah untuk menentukan berapakah nilai persediaan yang akan dicantumkan ke dalam laporan keuangan yakni Neraca dan Laporan Laba Rugi. Agar suatu laporan menggambarkan nilai realisasi bersih maka harus ditetapkan secara konsisten dan sesuai dengan penilaian persediaan yang berlaku umum.

Dalam penilaian persediaan, baik pencatatan menurut sistem perpetual maupun sistem periodikal, keduanya akan menghadapi masalah penilaian persediaan, karena pada umumnya harga pembelian barang berubah.

Sistem perpetual akan memiliki kelemahan penilaian pada setiap kali perusahaan melakukan pembelian, perusahaan harus menghitung harga pokok penjualannya. Sedangkan sistem periodikal akan memiliki kelemahan pada penilaian pada setiap akhir periode. Hal ini disebabkan karena pada akhir periode tersebut perusahaan harus menghitung harga pokok penjualan melalui suatu jurnal penyesuaian yang didasarkan pada hasil perhitungan persediaan secara fisik.

Untuk dapat memahami metode penilaian persediaan tersebut, ada beberapa metode penilaian persediaan yang dapat dikenal sebagai berikut:

a. Metode Identifikasi Spesifik b. Metode Rata-Rata Tertimbang c. Metode First In First Out (FIFO) d. Metode Last In First Out (LIFO)

e. Metode Lower Of Cost Or Market (LOCOM) f. Metode Base Stock

g. Metode Gross Profit

h. Metode Lieftinck Last In First Out (LILIFO)

a. Metode Identifikasi Spesifik

Menurut cara ini,setiap barang yang dibeli perusahaan dan dimasukkan ke gudang penyimpanan, diberi tanda pengenal, dimana dalam tanda pengenal tersebut dicantumkan harga pembelian barang yang bersangkutan. Metode

identifikasi spesifik membutuhkan sebuah cara untuk mengidentifikasi biaya historis dari setiap unit persediaan.

b. Metode Rata-Rata Tertimbang

Metode ini di dasarkan pada asumsi bahwa barang yang terjual harus dibebankan pada biaya rata-rata sesuai dengan unit yang dibeli pada tiap harga. Niswonger (1997:398) merumuskan metode rata-rata tertimbang sebagai berikut:

“Metode rata-rata tertimbang (weighted avarage method) didasarkan atas asumsi bahwa harga pokok harus dibebankan ke pendapatan menurut harga rata-rata tertimbang per unit dari barang yang dijual. Harga pokok rata-rata tertimbang per unit digunakan juga untuk menentukan harga pokok barang yag masih ada dalam persediaan. Harga pokok rata-rata tertimbang per unit diperoleh dari hasil bagi antara jumlah harga pokok barang yang tersedia untuk dijual dalam satu periode tertentu dengan jumlah unitnya”.

Sedangkan Skousen (2001:526) mengemukakan secara singkat mengenai metode rata-rata tertimbang sebagai berikut: “ Metode nilai rata-rata merupakan metode penilaian persediaan yang memasukkan nilai rata-rata yang sama terhadap setiap unit yang terjual dan terhadap setiap item di dalam persediaan”.

Berdasarkan rumusan di atas maka penetapan biaya persediaan dengan menggunakan cara ini adalah persediaan yang ada di gudang dihitung harga rata-ratanya. Jadi apabila setiap kali terjadi pembelian, dengan harga pokok persatuannya berbeda dari harga rata-rata persediaan yang ada di gudang, maka harus dilakukan perhitungan harga pokok rata-rata persatuan yang baru. Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang pemakaian metode rata-rata tertimbang

Januari 3 persediaan 750 kg @ Rp. 110 Januari 12 pembelian 90 Kg @ Rp. 105 Januari 18 penjualan 500 Kg Januari 20 pembelian 650 Kg @ Rp.105 Januari 21 penjualan 300 Kg Januari 27 pembelian 750 Kg @ Rp.100 Januari 30 penjualan 750 Kg

Dengan menggunakan metode rata-rata tertimbang, maka persediaan akhir dapat dilihat pada table 1 sebagai berikut:

TABEL 1

Metode Penilaian: Rata-rata tertimbang

Tgl

Kuantitas Harga Jumlah Kuantitas Harga Jumlah Kuantitas Harga Jumlah

Per Kg Per Kg Per Kg

Rp Rp Rp Rp Rp Rp 3 750 110 82,500 12 900 105 94,500 - - - 1,650 107.27 177,000 18 - - - 500 107.27 53,635 1,150 107.27 123,365 20 650 105 68,250 - - - 1,800 106.45 191,615 21 - - - 300 106.45 31,935 1,500 106.45 159,680 27 750 100 75,000 - - - 2,250 104.30 234,680 30 - - - 750 104.30 78,225 1,500 104.30 156,455

Pembelian Penjualan Sisa

c. Metode FIFO (First In First Out)

Menurut cara ini, barang yang masuk (dibeli) lebih awal, dianggap dikeluarkan (dijual) lebih awal pula. Niswonger (1997:396) mengemukakan sebagai berikut: “ Metode first-in first-out (fifo) untuk menetapkan harga

pokok persediaan didasarkan atas asumsi bahwa harga pokok harus dibebankan pada pendapatan sesuai dengan urutan pembelian barang tersebut. Jadi, persediaan yang masih ada dianggap berasal dari pembelian barang terakhir”.

Sedangkan Mardiasmo (1995:120) mengemukakan sebagai berikut: “Menurut metode yang dikenal dengan singkatan MPKP atau FIFO ini unit barang yang dijual atau dikeluarkan pertama kali dibebani dengan harga pokok dari pembelian yang pertama kali”.

Pada hakekatnya kebanyakan perusahaan cenderung untuk menjual barang menurut urutan pembelian, hal ini terutama untuk barang dagangan yang mudah rusak dan barang-barang yang corak atau modelnya sering berubah.

Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai metode ini maka dapat dilihat pada tabel 2 dari ilustrasi berikut sesuai dengan transaksi sebelumnya.

TABEL 2

Metode Penilaian: FIFO ( First In First Out)

Tgl

Kuantitas Harga Jumlah Kuantitas Harga Jumlah Kuantitas Harga Jumlah

Per Kg Per Kg Per Kg

Rp Rp Rp Rp Rp Rp 3 750 110 82,500 - - - - - 750 110 82,500 12 900 105 94,500 - - - 900 105 94,500 18 - - - 500 110 55,000 250 110 27,500 - - - - - 900 105 94,500 20 - - - - - - 250 110 27,500 - - - - - 900 105 94,500 650 105 68,250 - - - 650 105 68,250 21 - - - 250 110 27,500 850 105 89,250 - - 50 105 5,250 650 105 68,250 27 - - - - - - 850 105 89,250 - - - - - 650 105 68,250 750 100 75,000 - - - 750 100 75,000 30 - - - 750 105 78,750 100 105 10,500 - - - - - 650 105 68,250

Pembelian Penjualan Sisa

d. Metode LIFO ( Last In First Out)

Menurut cara ini, barang yang masuk (dibeli) lebih awal, dianggap dikeluarkan (dijual) lebih akhir. Dengan demikian sisa persediaan barang pada akhir periode adalah barang-barang yang masuknya (dibeli) paling awal. Niswonger (1997:397) merumuskan metode LIFO sebagai berikut: “ Untuk menetapkan harga pokok persediaan di dasarkan atas anggapan bahwa harga pokok barang dari pembelian terakhir harus dibebankan ke pendapatan. Jadi, persediaan yang ada dianggap berasal dari harga pokok paling awal”.

Sedangkan Skousen (2001:528) mengemukakan sebagai berikut: “metode Last In First Out ( LIFO). Suatu metode penilaian persediaan yang mengasumsikan produk yang terjual adalah unit yang paling akhir dibeli atau dimanufactur”.

Selain itu Theodorus (2000:37) mengemukakan bahwa, metode LIFO dianggap cocok apabila:

1. Inventory terdiri dari barang-barang homogeny.

2. Barang-barang ini merupakan bagian yang penting dalam cost dari produk akhir yang dihasilkan.

3. Inventory ini besar jumlahnya dihubungkan dengan total asset perusahaan.

4. Perputaran inventory ini adalah lambat, umumnya karena diperlukan waktu untuk melakukan processing.

5. Perubahan dalam harga-harga bahan baku cenderung dicerminkan secara cepat di dalam harga barang-barang.

Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang pemakaian metode LIFO dapat kita lihat pada tabel 3 dari ilustrasi berikut sesuai dengan transaksi terdahulu.

e. Metode Lower Of Cost Or Market (LOCOM)

Metode LOCOM (Lower Of Or Market) merupakan cara penilaian persediaan akhir yang berdasarkan harga mana yang lebih rendah antara harga pasar dengan harga pembelian barang tersebut. Sehingga pada penilaiannya tidak hanya berdasarkan harga historis barang yang akan dinilai tetapi diperlukan suatu pengamatan harga pasar yang dilakukan oleh perusahaan sebagai pembanding

dalam menetapkan nilai persediaan akhir. Sebagai contoh, harga komputer dan printer secara dramatis turun belakangan ini. Sementara persediaan akhir komputer dan printer yang ada, masih dengan harga lama. Dengan keadaan ini, maka digunakan harga penggantian untuk menilai barang-barang tersebut. Harga penggantian yang digunakan haruslah tidak lebih tinggi daripada nilai bersih yang dapat direalisasi (harga tertinggi) dan tidak lebih rendah dari nilai bersih yang dapat direalisasi setelah dikurangi keuntungan normal (harga terendah). Nilai bersih yang dapat direalisasi merupakan harga jual yang diharapkan setelah dikurangi dengan biaya penjualan.

Dalam menerapkan metode LOCOM ada beberapa hal yang perlu di perhatikan:

1. Menggunakan nilai pasar :

a. Menggunakan harga pengganti bila harga tersebut terletak di antara harga tertinggi dan terendah.

b. Menggunakan harga terendah bila harga pengganti lebih kecil dari harga terendah.

c. Menggunakan harga tertinggi bila harga penggantian lebih tinggi dari harga tertinggi

2. Membandingkan nilai pasar dengan harga perolehan dan memilih jumlah yang lebih rendah.

Sebagai illustrasi, dimisalkan sisa persediaan akhir barang adalah sebagai berikut:

Pasar ( Rp/Kg)

Jenis Barang Jumlah Harga Harga Harga Bersih Harga bersih yang dapat

( Kg ) Beli Penggantian yang dapat direalisasi dikurangi

direalisasi Laba Normal

Gula pasir Kualitas 1 10,000 170 160 150 100 Kualitas 2 8,000 210 180 230 160 Beras Kualitas 1 30,000 260 210 310 220 Kualitas 2 20,000 190 160 340 250

Dari data di atas, akan ditunjukkan bagaimana LOCOM diterapkan ke setiap jenis persediaan yang terpisah dan ke jumlah persediaan akhir secara keseluruhan.

Jenis Barang Jumlah Harga Harga

( Kg ) Perolehan (Rp) Pasar (Rp) Gula Pasir Kualitas 1 10.000 10.000 x 170 = 1.700.000 10.000 x 150 = 1.500.000 Kualitas 2 8.000 8.000 x 210 = 1.680.000 8.000 x 180 = 1.440.000 Beras Kualitas 1 30.000 30.000 x 260 = 7.800.000 30.000 x 220 = 6.600.000 Kualitas 2 20.000 20.000 x 190 = 3.800.000 20.000 x 250 = 5.000.000 14.980.000 14.540.000 Dari data di atas dapat dilihat bahwa harga pasar lebih rendah dari harga perolehan, sehingga nilai persediaan akhir akan dinilai sebesar harga pasar.

f. Metode Base Stock

Metode base stock merupakan cara penilaian persediaan akhir yang berdasarkan pada suatu jumlah persediaan tertentu sebagai suatu persediaan dasar (base stock) beserta harganya. Jadi bilamana persediaan yang terdapat pada akhir periode jumlahnya ternyata lebih besar dari jumlah persediaan dasar

yang telah ditetapkan maka kelebihannya dinilai dengan harga pasar pada saat itu. Sedangkan bilamana persediaan akhir pada periode yang bersangkutan ternyata lebih kecil dari jumlah yang ditetapkan sebagai jumlah persediaan dasar maka selisih perbedaannya juga dinilai sesuai dengan harga pasar pada saat itu. Sebagai illustrasi dimisalkan perusahaan menetapkan Base Stock untuk persediaan akhir salah satu jenis persediaan sebesar 3000 Kg dengan harga Rp. 250/Kg, sedangkan harga pasar dari jenis persediaan tersebut adalah Rp. 260/Kg. Jadi apabila persediaan akhir aktual dari jenis persediaan tersebut sebesar 4.000 Kg, maka akan dinilai sebagai berikut:

3.000 Kg x Rp. 250 Rp. 750.000 1.000 Kg x Rp. 260 Rp. 260.000 +

Rp. 1.010.000

Sedangkan apabila persediaan akhit aktual dari jenis persediaan tersebut sebesar 2.500 Kg, maka akan dinilai sebagai berikut:

3.000 Kg x Rp. 250 Rp. 750.000 500 Kg x Rp. 260 Rp. 130.000 –

Rp. 620.000

g. Metode Gross Profit

Metode gross profit merupakan cara penilaian persediaan akhir yang berdasarkan selisih antara nilai barang yang siap untuk dijual (available for sale) dengan harga beli barang yang benar-benar terjual (cost of good sold). Adapun nilai barang yang siap untuk dijual tersebut adalah jumlah antara persediaan awal dengan jumlah pembelian bersih yang dilakukan selama periode tersebut. Sedangkan nilai barang yang benar-benar terjual dapat diperhitungkan dari

penjualan bersih selama periode tersebut dikurangi dengan laba kotor yang diperoleh pada periode tersebut. Sebagai illustrasi dimisalkan selama bulan Pebruari terjual barang dengan penjualan bersih sebesar Rp. 100.000.000, saldo persediaan 1 Pebruari sebesar Rp. 15.000.000. Pembelian bersih selama bulan Pebruari sebesar Rp. 65.000.000. Persentase margin kotor (secara historis) sebesar 40 % dari penjualan bersih, maka persediaan akhir dinilai sebagai berikut:

Penjualan bersih ………Rp. 100.000.000 Harga pokok yang dijual:

Persediaan awal ………….Rp 15.000.000 Pembelian bersih ……… ..Rp. 65.000.000 +

Jumlah harga pokok yang

Tersedia dijual ………… ..Rp. 80.000.000

Margin kotor:……..Rp. 100.000.000 x 40 % = …….……..Rp. 40.000.000 - Harga pokok barang yang dijual ………Rp. 60.000.000 Maka persediaan akhir …Rp. 80.000.000 – Rp. 60.000.000 = Rp. 20.000.000

h. Metode Lieftinck Last In First Out (LILIFO)

Metode LILIFO (Lieftinck Last In First Out) merupakan cara penilaian persediaan akhir yang berdasarkan jumlah persediaan awal suatu periode beserta harganya dijadikan persediaan dasar. Jadi bilamana persediaan akhir periode yang bersangkutan ternyata lebih besar jumlahnya dari jumlah persediaan dasar tersebut, maka kelebihannya dinilai berdasarkan harga pasar pada saat itu, namun apabila jumlah persediaan akhir dari periode yang bersangkutan ternyata lebih kecil dari jumlah persediaan dasar tersebut maka seluruh persediaan

tersebut dinilai sesuai dengan harga persediaan dasar tersebut. Sebagai illustrasi dimisalkan persediaan awal pada bulan Januari sebesar 20.000 Kg dengan harga Rp.250/Kg (sebagai persediaan dasar) dan harga pasar Rp. 260/Kg. Apabila persediaan akhir aktual sebesar 4.000 Kg, maka dinilai seharga harga dasar tersebut: 4.000 Kg x Rp 250 ….Rp. 1.000.000. Apabila persediaan akhir aktual sebesar 25.000 Kg. Maka persediaan akhir dinilai sebagai berikut:

20.000 x 250 Rp. 5.000.000 5.000 x 260 Rp. 1.300.000 +

Rp. 6.300.000

Dokumen terkait