BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Alasan Jaksa Penuntut Umum Dalam Mengajukan
dalam perkara tindak pidana yang mengakibatkan kematian
bedasarkan alasan pembelaan terpaksa (noodweer)?
2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menentukan suatu putusan
lepas dari segala tuntutan hukum dalam tindak pidana yang mengakibatkan kematian bedasarkan alasan pembelaan terpaksa (noodweer)?
C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada pokok permasalahan sebagaimana yang telah diuraikan diatas, maka tujuan penelitian ini dilaksanakan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui alasan jaksa penuntut umum dalam mengajukan
tuntutan pidana dalam perkara tindak pidana yang mengakibatkan
kematian bedasarkan alasan pembelaan terpaksa (noodweer).
2. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menentukan suatu
putusan lepas dari segala tuntutan hukum dalam tindak pidana yang mengakibatkan kematian bedasarkan alasan pembelaan terpaksa (noodweer).
D. Tinjauan Pustaka
Muara dari seluruh proses persidangan perkara pidana adalah
pengambilan keputusan hakim atau sering disebut dengan istilah “Putusan Pengadilan” atau lebih sering disebut dengan putusan saja. Pasal 1 butir
11 KUHAP menyebutkan bahwa: “Putusan Pengadilan merupakan
pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dalam sidang terbuka. Putusan pengadilan merupakan proses yang terjadi dalam pemeriksaan persidangan, pemeriksaan itu sendiri terdiri dari: pemeriksaan saksi-saksi,
pemeriksaan terdakwa, pemeriksaan alat-alat bukti. 7
1. Jenis-Jenis Putusan Pada Peradilan Pidana:
a. Putusan bebas dari segala dakwaan (vrijspraak)
Pasal 191 (1) KUHAP berbunyi:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan persidangan, kesalahan atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.
Putusan bebas dapat terjadi jika dakwaan penuntut umum tidak terbukti berati bahwa apa yang diisyaratkan oleh Pasal 183
KUHAP tidak dipenuhi, yaitu karena: 8
a. Tiada sekurang-kurangnya dua alat bukti, yang sah yang
disebut dalam Pasal 184 KUHAP. Jadi misalnya hanya ada
7
Martiman Prodjohamidjojo, 1983, Putusan Pengadilan, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 13.
8
satu saksi saja atau hanya keterangan terdakwa saja tanpa di kuatkan dengan alat bukti lain.
b. Meskipun terdapat alat bukti yang sah, akan tetapi hakim tidak
mempunyai keyakinan atas kesalahan terdakwa . misalnya, terdapat dua keterangan saksi, akan tetapi hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa.
c. Jika salah satu unsur tidak terbukti .
b. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht
vervolging)
Pasal 191 ayat (2) KUHAP berbunyi:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.
Putusan lepas dari segala tututan hukum dapat terjadi apabila:
a. Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara
sah dan meyakinkan menurut hukum, tetapi perbuatan tersebut bukanlah merupakan tindak pidana.
b. Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi
amar putusan hakim melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum karena adanya pembenar seperti terdakwa dalam keadaan:
a) Keadaaan memaksa (overmacht), Pasal 48 KUHP;
c) Melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan perundang-undangan, Pasal 50 KUHP;
d) Melakukan perintah jabatan yang sah, Pasal 51 KUHP.
Jika keadaan terdakwa seperti yang dirumuskan di atas maka perbuatan terdakwa tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatan tersebut sudah terbukti dan telah memenuhi delik pidana.
c. Putusan pemidanaan (veroordeling)
Pasal 193 ayat (1) KUHAP berbunyi:
“ jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan
menjatuhakan putusan pengadilan pemidanaan.”
Putusan pemidanaan dapat terjadi apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Majelis hakim berpendapat, bahwa: 9
1) Perbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan jaksa penuntut
umum dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum;
2) Perbuatan terdakwa tersebut merupakan ruang lingkup tindak
pidana; dan
3) Dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta-fakta di
persidangan.
9
Lilik Mulyadi, 2007, Putusan Hakim dalam Perkara Pidana, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 157-158.
Pengertian tersebut kiranya penulis dapat memahami bahwa proses peradilan pidana merupakan akhir dari sebuah proses penegakan hukum
tindak kejahatan yang dilakukan oleh manusia (person). Mengadili dalam
peradilan pidana bukanlah sesuatu terhadap hal-hal yang berada di luar diri terdakwa. Mengadili adalah proses yang telah susah payah telah terjadi di
antara manusia dengan manusia (person by person). Mengadili merupakan
pergulatan antara lahir dan batin seorang hakim sebagai dewa penegak hukum dalam mewujudkan hukum. Hakim adalah seorang ahli hukum, dia menjadi seorang ahli hukum karena dia telah mempelajari hukum selengkap-lengkapnya demi terciptanya keadilan yang seadil-adilnya.
P.A.F. Lamintang mengemukaan bahwa untuk menjatuhkan suatu hukuman itu tidak cukup apabila disitu hanya terdapat suatu tindak pidana melainkan harus juga ada seorang yang dapat dihukum. Seseorang tersebut tidak dapat dihukum apabila tindak pidana yang telah ia lakukan itu
besifat melawan hukum (wederrechtelijk) dan ia telah lakukan baik
dengan sengaja maupun tidak sengaja.10
Soal keberanian hakim dalam memberikan suatu putusan maka sebenarnya untuk menanggulangi kejahatan. Demikian pula mengenai
kebebasan hakim, seperti ditulis oleh Eddy Djunedi demikian: 11
“Kebebasan hakim untuk menjatuhkan pidana adalah bedasarkan
pemikiran modern dalam ilmu kriminologi yang dipengaruhi ilmu
10
P.A.F. Lamintang dalam P.A.F Lamintang, 1979, Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.183.
11
Edy Djunedi dalam Gregorius Aryadi, 1995,Putusan Hakim Dalam Perkara Pidana, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, hlm.16.
psikologi dan ilmu sosial lainnya yang menegasakan bahwa dalam
menjatuhkan putusan hakim haruslah mempergunakan asas
individualisasi, sesuai dengan tindak pidana dan pelakunya, kemudian menentukan putusan yang paling tepat sesuai dengan fakta-fakta yang ada.”
Sejalan dengan keterangan di atas Andi Hamzah berpendapat demikian: 12
Penjatuhan pidana atau pemidanaan merupakan konkritisasi atau realisasi peraturan perundang pidana dalam undang-undang yang merupakan sesuatu yang abstrak. Karena Abstak itulah hakim diberikan kebebasan, keberanian, secara bijaksana untuk menilai dan menentukan pidana yang tepat bagi setiap perkara. Dengan keleluasan hakim maka tidak jarang hakim memberikan putusan yang berbeda-beda meskipun dalam kasus sejenis.
Soejono Koesoemo Sisworo juga berpendapat bahwa: 13
“Hakim yang besar adalah hakim yang putusannya merupakan pancaran
hati nuraninya, yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum dan ilmu hukum, yang mengandung penalaran belandasakan filsafat dan teori hukum, yang dapat dipahami dan diterima para pencari keadilan pada
khususnya.”
Mengenai jenis-jenis putusan hakim dalam peradilan pidana maka terdapat 2 jenis putusan yang tidak terdapat unsur pemidanaan yakni
putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum
12
Andi Hamzah dalamIbid, hlm. 31.
13
(onslag van recht vervolging), maka hapusnya sifat melawan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang berkaitan dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. putusan lepas dapat terjadi apabila seseorang yang secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana namun tidak dapat dipidana karena berkaitan dengan alasan pengahapusan pidana.
Alasan pengahapusan pidana tersebut memungkinkan orang yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik pidana, tetapi tidak dipidana.
Alasan-alasan pengahapusan pidana ini dibedakan menjadi: 14
a. Alasan pembenar : yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan
hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh pelaku menjadi perbuatan yang patut dan benar.
b. Alasan pemaaf : yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan
pelaku. Jadi perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tetap merupakan perbuatan melawan hukum, tetapi pelaku tidak dipidana karena tidak ada unsur kesalahan.
c. Alasan penghapus penuntutan : di sini yang menjadi soal bukan ada
alasan pembenar maupun alasan pemaaf, tetapi atas dasar kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan, karena yang menjadi pertimbangan adalah kepentingan umum.
Mengenai alasan pengahapus pidana meliputi alasan pembenar dan
pemaaf. Dibedakannya alasan pembenar dan pemaaf karena keduanya
14
mempunyai fungsi dan norma yang berbeda. Bahkan Wilson mengatakan
terdapat moral force yang berbeda pada kedua defence tersebut. Adanya
alasan pembenar berujung pada “pembenaran” atas tindak pidana yang yang dilakukan, sedangkan adanya alasan pemaaf berdampak pada “pemaafan” pembuatnya sekalipun telah melakukan tindak pidana yang
melawan hukum.15
Hapusnya sifat melawan hukum berkaitan dengan adanya alasan
pembenar, artinya jika alasan sifat melawan hukum suatu perbuatan hapus maka terdakwa harus dijatuhi putusan lepas dari segala tuntutan hukum oleh hakim karena perbuatan yang dilakukan dipandang sebagai perbuatan yang dapat dibenarkan. Alasan pembenar dapat terjadi jika memenuhi salah satu unsur berikut, yaitu:
1) Keadaan memaksa (overmacht);
2) Pembelaan terpaksa (noodweer);
3) Adanya suatu peraturan perundang-undangan;
4) Melaksanakan perintah jabatan.
Pembelaan terpaksa merupakan salah satu diantara alasan
pembenar, dalam pembelaan terpaksa itu sendiri ada beberapa hal pokok yakni adanya serangan yang bersifat melanggar hukum, adanya serangan yang bersifat seketika dan pembelaan yang dilakukan bersifat perlu. Terhadap serangan tersebut tidak serta merta semua serangan dilakukan pembelaan yakni hanya serangan yang seketika yang mengancam bagi diri
15
sendiri, orang lain, harta benda sendiri maupun orang lain. Sebagaimana dalam ketentuan Pasal 49 ayat (1) KUHP yang berbunyi:
“tidak dipidana, barang siapa melakukan tindakan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun untuk orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat yang melawan hukum pada saat itu.” Tidak berhenti pada Pasal 49 ayat (1) KUHP pada Pasal 49 ayat (2) KUHP pun menyebutkan sebagai berikut:
“Pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan, tidak dipidana.”
Subtansial pengaturan norma Pasal 49 ayat (2) terkait dengan pengaturan norma pada ayat (1), oleh karena itu pada hakikatnya sama yaitu mengenai pembelaan terpaksa hanya saja pada ayat (2) terdapat unsur melampaui batas, melampaui batas disini dapat diartikan bahwa perbuatan melawan hukum yang tidak dikehendaki oleh pelaku. Perbuatan yang melampaui batas tersebut contohnya seseorang wanita yang
melakukan noodweer karena hendak di perkosa oleh seorang laki-laki,
namun wanita tersebut melihat gunting dan menghunus ke perut laki-laki tersebut hingga tewas. Perbuatan tersebut termasuk kedalam tindak pidana yang mengakibatkan kematian.
Tindak pidana yang mengakibatkan kematian tergolong kedalam
kejahatan yang sangat berat karena akibat dari perbuatan tersebut mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. hilangnya nyawa seseorang ini mengakibatkan adanya korban jiwa sehingga menjadikan hal berat bagi
Hakim dalam menerapkan hukuman yang pantas bagi pelaku, di lain pihak seseorang melakukan melakukan tindakan tersebut semata-mata untuk
melakukan pembelaan terpaksa (noodweer).
Pada dasarnya tidak semua perbuatan yang seketika itu dapat
dilakukan pembelaan ada tiga keadaan yang diperlukan untuk menetukan adanya pembelaan terpaksa:
a. Perbuatan yang dilakukan haruslah terpaksa untuk pembelaan yang
perlu.
b. Pembelaan hanya dilakukan terhadap kepentingan-kepentingan yang
ditentukan dalam undang-undang:
1) Diri;
2) Kehormatan kesusilaan
3) Harta benda sendiri atau orang lain.
c. Harus adanya serangan atau ancaman serangan yang melawan seketika
Roeslan Saleh, mengatakan dalam bukunya Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana beserta penjelasannya, sebagai berikut: 16
Hal pertama : Adanya keseimbangan antara pembelaan yang dilakukan dengan serangan yang datang seketika. Untuk suatu hal yang kecil saja kemudian tidak boleh membunuh atau melukai orang. Jadi asas keseimbangan merupakan asas disini.
16
Roeslan Saleh dalam Roeslan Saleh, 1987, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dengan Penjelasannya, Aksara Baru, Jakarta hlm.87.
Hal kedua : Diri berati badan. Kehormatan adalah kekhususan dari penyerangan badan, yaitu penyerangan badan contohnya pemerkosaan, pembunuhan.
Hal ketiga : Harus ada serangan atau ancaman serangan yang melawan
hukum dan seketika. Jadi serangan yang harus dilawan itu mempunyai tiga syarat: (1) serangan seketika itu; (2) ancaman serangan seketika itu; (3) bersifat melawan hukum.
Penjelasan di atas tersebut dapat disimpulkan bahwa hakim dalam
memeriksa perkara pidana berkaitan dengan tindak pidana yang
mengakibatkan kematian bedasarkan pembelaan terpaksa akan
berkonfrontrasi dengan berita acara penyidikan (BAP) yang dibuat oleh penyidik kepolisian, surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum, dengan laporan-laporan ahli jika ada, keterangan saksi dan keterangan terdakwa dalam muka persidangan, dan segala sesuatu yang didengar, dilihat dan dirasakan oleh hakim akan menjadi sebuah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta merta menurut cara yang diatur dalam undang-undang sehingga kita menyebut pernyataan hakim ini sebagai putusan pengadilan seperti yang dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (11) KUHAP.
Setiap putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan yang
menjadikan dasar untuk mengadili yang mengandung legal justice, moral
hakim atas putusannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, pencari keadilan, masyarakat, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum pada umumnya.
E. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian normatif yaitu penelitian hukum yang meletakan hukum sebagai sebuah bangunan norma. Norma yang dimaksud adalah peraturan perundang-undangan, putusan
pengadilan, asas-asas, perjanjian serta doktrin.17 Penulis juga
mengumpulkan dan menggabungkan data yang didapat melalui literature dan undang-undang serta media elektronik dan melalui
wawancara dengan narasumber berkaitan dengan pokok
permasalahan.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan ialah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan, literature, arsip, dan dokumen yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat antara lain:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia;
2) UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana;
17
Mukti Fajar dan Yuliato Achmad, 2007, Dualisme Penelitian Hukum, Fakultas Hukum UMY, Yogyakarta, hlm.25.
3) Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor: 1002/Pid.B/2008/PN.Smg;
4) Putusan Pengadilan Negeri Kandangan Nomor:
29/Pid.B/2014/PN.Kgn.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menjelaskan
bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku, laporan penelitian, jurnal ilmiah dan tulisan-tulisan lain.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan
hukum yang memperjelas atau memberikan petunjuk bahan primer dan sekunder tentang informasi yang erat kaitannya dalam membantu proses ini, yaitu: kamus hukum, dan kamus bahasa Indonesia.
3. Narasumber
Narasumber adalah seorang yang memberikan pendapat atas objek yang kita teliti. Penggunaan narasumber disini untuk melengkapi data sekunder dalam objek yang hendak diteliti, dalam hal ini Bapak Dhudi Hadiyan selaku Jaksa Pratama pada Kejaksaan Negeri Sleman dan Bapak Ayun Kristianto selaku Hakim pada Pengadilan Negeri Sleman.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Penelitian kepustakaan, yaitu dengan mempelajari peratuiran
perundang-undangan, selain itu juga mengutip dari teori-teori yang berhubungan dengan penelitian ini.
b. Wawancara, yaitu dilakukan dengan memberikan daftar pertanyaan baik lisan maupun tulisan kepada narasumber dalam hal ini Bapak Dhudi Hadiyan selaku Jaksa Pratama pada Kejaksaan Negeri Sleman dan Bapak Ayun Kristianto selaku Hakim pada Pengadilan Negeri Sleman.
5. Analisis Data
Analisis data dilaksanakan secara deskkriptif kualitatif, yaitu mengelompokkan data dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian dengan bertitik tolak pada permasalahan kemudian hasilnya disusun secara sistematis sehingga menjadi data yang konkrit.
a. Kualitatif, metode pengelompokan dan menyeleksi data yang
diperoleh dari lapangan menurut dan kebenarannya, kemudian dihubungakan dengan teori-teori yang diperoleh dari studi kepustakaan, sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan.
b. Deskriptif, yaitu metode analisis dengan memilih data yang
menggambarkan keadaan sebenarnya dilapangan. Dalam analisis ini menggunakan cara berpikir induktif, yaitu menyimpulkan hasil penelitian dari yang sifatnya khusus ke hal yang sifatnya umum.
F. SISTEMATIKA PENULISAN SKRIPSI
Pada bab pendahuluan berisi penyajian materi
sebagaimana diuraikan dalam bagian pokok usulan penelitian. Bab pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi.
Pada bab ini menguraikan tinjauan putusan hakim dalam peradilan pidana yang terdiri dari pengertian putusan hakim, tujuan putusan hakim, jenis-jenis putusan hakim pada peradilan pidana, syarat sahnya putusan hakim pada peradilan pidana, transparansi dan akuntabilitas putusan hakim.
Pada bab ini menguraikan tentang pengertian tindak pidana, jenis-jenis tindak pidana, tindak pidana yang mengakibatkan kematian, pengertian pembelaan terpaksa, syarat pembelaan terpaksa dalam tindak pidana yang mengakibatkan kematian, pembelaan terpaksa sebagai upaya pembelaan yang sah
BAB I
BAB II
Pada bab ini tentang penyajian data dimana berisi fakta atau data yang sudah dikumpulkan dan relevan serta melakukan pengkajian terhadap penelitian yang didapat yang berisi tentang alasan jaksa penuntut umum dalam mengajukan tuntutan pidana dalam perkara tindak pidana
yang mengakibatkan kematian bedasarkan alasan
pembelaan terpaksa dan pertimbangan hakim dalam menentukan suatu putusan lepas dari segala tuntutan hukum dalam tindak pidana yang mengakibatkan kematian bedasarkan alasan pembelaan terpaksa.
Menyajikan kesimpulan dimana pernyataan singkat tentang hasil akhir yang mengaitkan antara landasan teoritik yang dijadikan pijakan dengan hasil analisis data yang diperoleh. Bagian saran berisikan pernyataan bedasarkan analisis dan pertimbangan peneliti bagi semua pihak yang mempunyai kaitan dan kepentingan dalam obyek penelitian.
BAB V BAB IV
BAB II
PUTUSAN HAKIM DALAM PERADILAN PIDANA
A. Pengertian Putusan Hakim
Proses peradilan pidana merupakan suatu proses yang panjang dan berbeda dengan proses pada peradilan lainnya. Suatu proses yang panjang itu terbagi menjadi empat tahap yakni tahap penyelidikan dan penyidikan, tahap penuntutan, tahap pemeriksaan persidangan dan berakhir pada tahap pemberian putusan oleh Hakim, oleh sebab itu pemberian putusan pada peradilan pidana ini merupakan sebagai puncak dari peradilan pidana pada umumnya.
Istilah Putusan Hakim merupakan suatu istilah yang mempunyai makna penting bagi para pencari keadilan dalam peradilan pidana. Lebih jauh
bahwasanya istilah “putusan hakim” di satu pihak berguna bagi terdakwa
untuk memperoleh kepastian hukum tentang “statusnya” sedangkan di satu
pihak putusan hakim merupakan “mahkota” sekaligus “puncak” pencerminan
nilai-nilai keadilan; kebenaran hakiki; hak asasi manusia; penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim. Berikut beberapa definisi putusan
hukum pidana menurut para ahli dan KUHAP: 1
1
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indo nesia; Perspektif, Teoritis, Praktik, Teknik Membuat dan Permasalahnya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, hlm.129.
1. Laden Marpaung
Pengertian “putusan hakim” menurut Laden Marpaung bahwa:
“Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari sesuatu yang telah
dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tulisan maupun tulisan.”2
2. Lilik Mulyadi
Dengan berlandaskan pada visi teoritik dan praktik maka “putusan pengadilan” itu merupakan:
“Putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya, yang berisikan amar pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dibuat secara tertulis dengan tujuan untuk menyelesaikan perkara.”3
3. Bab 1 Pasal 1 Angka 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa “putusan pengadilan” sebagai: “pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta merta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Hemat Penulis dari penjelasan mengenai putusan hakim di atas dapat dikatakan bahwa putusan hakim merupakan “akhir” dari proses persidangan pidana pada tingkat pengadilan negeri telah selesai, oleh karena itu status dan
2
Laden Marpaung dalam Ibid, hlm. 129
3
langkah terdakwa pun menjadi jelas apakah menerima putusan atau menolak putusan tersebut dan melakukan langkah upaya hukum banding/kasasi, atau bahkan grasi. Selain itu karena putusan hakim merupakan mahkota dari puncak perkara pidana maka diharapkan pada putusan hakim ditemukan pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran dan kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan kepada para pencari keadilan, masyarakat pada umumnya serta Demi Keadilan Bedasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Terdapat dua jenis putusan hakim pada peradilan pidana yakni putusan yang bukan putusan akhir atau “putusan sela” dan “putusan akhir”, dalam praktiknya putusan yang bukan putusan akhir atau putusan sela dapat berupa penetapan oleh hakim sedangkan putusan akhir dapat terjadi setelah majelis hakim memeriksa terdakwa yang hadir dipersidangan sampai dengan pokok perkara selesai diperiksa.
Suatu putusan dapat terjadi karena munculnya fakta hukum di muka persidangan, fakta-fakta hukum tersebut muncul dari Penuntut Umum dalam surat dakwaan yang dibuatnya dan juga Sangkalan dari pihak Terdakwa/Penasihat Hukum dimana semuanya akan dilakukan pembuktian di muka persidangan. Fakta-fakta tersebut nantinya akan dipertimbangkan oleh majelis hakim secara matang yang kemudian akan diucapkan dalam persidangan terbuka dan kemudian biasa kita sebut sebagai sebuah putusan hakim, maka jika kita lihat proses majelis hakim dalam menjatuhkan sebuah putusan hakim akan digambarkan melaui bagan sebagai berikut:
Bagan 1 : Proses Penjatuhan Putusan Hakim Oleh Majelis Hakim Dalam