• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Alasan Penjatuhan Putusan Lepas dari Segala Tuntutan

1. Alasan Pelepasan dari Segala Tuntutan Hukum

1. Alasan pelepasan dari segala tuntutan hukum dalam KUHAP dan RUU KUHAP

Putusan lepas dari segala tuntutan hukum disebabkan karena terdakwa terbukti melakukan perbuatan, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana. Ketika hakim berpendapat bahwa peristiwa- peristiwa yang ada dalam

49

surat dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, namun yang terbukti itu tidak merupakan suatu kejahatan atau pelanggaran, maka terdakwa dalam putusan hakim harus dilepas dari segala tuntutan hukum, sebagaimana disebutkan pada pasal 191 ayat (1) KUHAP. Sebenarnya, jika perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa bukan tindak pidana baik itu kejahatan maupun pelanggaran, maka seharusnya sejak permulaan hakim tidak menerima tuntutan jaksa (niet ontvankelijk verklaring van het openbare ministrie). 50 Hal ini kemudian dijawab oleh putusan H. R. tanggal 30 April 1849 W 6498, yang mengatakan bahwa jka suatu dakwaan perbuatan yang didakwakan tersebut bukan merupakan suatu delik, maka hakim harus memutuskan pembebasan dari tuntutan, dan bukan pembatalan terdakwa.51

Hakim yang memeriksa perkara tersebut harus memperhatikan isi surat dakwaan untuk bisa membuat kesimpulan. Karena surat dakwaan merupakan dasar penting hukum acara pidana, karena berdasarkan hal yang dimuat dalam surat itu, hakim akan memeriksa suatu perkara. Pemeriksaan didasarkan kepada surat dakwaan dan menurut Nederburg, pemeriksaan tidak batal jika batas- batas dilampaui, namun putusan hakim hanya boleh mengenai peristiwa- peristiwa yang terletak dalam batas itu.

Jadi dapat kita simpulkan bahwa kalaupun ternyata perbuatan terdakwa bukan merupakan tindak pidana, maka tuntutan jaksa tetap tidak bisa ditolak.

52

50

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Op. Cit., halaman 288.

Jadi, berdasarkan rumusan surat dakwaan dibuktikan kesalahan terdakwa. Pemeriksaan sidang tidak boleh menyimpang dari apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan. Persidangan tidak boleh melakukan

51

Martiman Prodjohamidjojo, Membuatt Surat Dakwaan, (Ghalia Indonesia : Jakarta, 2002), halaman 44.

52

pemeriksaan terhadap kejahatan dan keadaan lain. Itulah sebabnya undang- undang mewajibkan penuntut umum untuk menyusun rumusan surat dakwaan yang yang jelas, supaya mudah mengarahkan jalnnya pemeriksaan sidang. Ketika berdasarkan surat dakwaan, ternyata peristiwa- peristiwa yang terbukti di persidangan menunjukkan bahwa apa yang didakwakan terhadap terdakwa bukan merupakan perbuatan pidana, maka terdakwa akan dilepas dari segala tuntutan hukum. Barangkali hanya berupa quasi tindak pidana, seolah- olah penyidik dan penuntut umum melihatnya sebagai perbuatan tindak pidana.53

Berbeda dengan putusan pembebasan terdakwa, yang menyatakan bahwa terdakwa diputus bebas dari tuntutan hukum yang diancamkan oleh pasal pidana yang didakwakan kepadanya. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum ini, terdakwa bukan dibebaskan dari ancaman pidana, akan tetapi ‘dilepaskan dari penuntutan’. Jadi, seperti telah disebutkan di awal bahwa ketika perbuatan yang didakwakan terhadap seorang terdakwa terbukti, namun ternyata perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana, maka terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum. dan juga masih diberi kemungkinan untuk mengajukan kasus tersebut dalam peradilan perdata.

Ada kalanya, terdakwa yang diputus lepas dari segala tuntutan hukum, dapat dituntut di hadapan sidang peradilan perdata.

54

Pengaturan mengenai alasan penjatuhan putusan lepas dari segala tuntutan ini lebih dipertegas lagi dalam RUU KUHAP. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum dicantumkan dalam pasal 187 ayat (3) RUU KUHAP, yang pada dasarnya menyebutkan :

53

Yahya Harahap, Loc. Cit. 54

“Jika hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi ada dasar peniadaan pidana, terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.

Rumusan yang dimuat dalam RUU KUHAP ini sedikit berbeda dengan rumusan KUHAP, karna dalam KUHAP hanya disebutkan bahwa putusan lepas dari segala tuntutan hukum itu dapat dijatuhkan ketika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, tanpa menyebutkan hal apa yang dapat dijadikan alasan atau patokan bahwa suatu perbuatan yang terbukti itu bukanlah merupakan kategori suatu tindak pidana. Sementara dalam RUU KUHAP ini dengan tegas disebutkan bahwa ketika suatu perbuatan terbukti merupakan suatu tindak pidana, namun bila terdapat adanya alasan pembenar pidana, maka terdakwa dijatuhkan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum. Jadi, pada dasarnya ketentuan mengenai alasan yang dapat dijadikan dasar penjatuhan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum antara KUHAP dan RUU KUHAP tujuannya sama, hanya saja penyusunan substansinya berbeda, dengan maksud agar tidak terjadi kebingungan dalam menetapkan suatu keputusan pelepasan dari segala tuntutan hukum dalam pemeriksaan persidangan.

2. Alasan pelepasan dari segala tuntutan hukum dalam KUHP dan konsep KUHP baru

Hal kedua yang menyebabkan seorang terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum adalah adanya keadaan istimewa yang mengakibatkan bahwa terdakwa tidak dapat dijatuhi suatu hukuman pidana, alasan penghapus pidana yaitu adanya alasan pemaaf/ alasan pembenar.55

55

Djoko Prakoso, Loc. Cit.

Berkaitan dengan adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf ini, maka meskipun perbuatan seseorang itu telah

memenuhi isi rumusan undang- undang mengenai suatu tindak pidana, akan tetapi yang bersangkutan tidak dapat dihukum. Alasan pembenar dan alasan pemaaf ini adalah merupakan pembelaan dari pelaku terhadap tuntutan dari perbuatan pidana yang telah dilakukannya.56

Alasan penghapus pidana ini akan mengakibatkan bahwa pelaku tindak pidana tersebut tidak dipidana. Tidak dipidananya pelaku ini, menurut doktrin disebabkan oleh dua hal. Pertama karena tidak ada atau hilang/ hapus sifat mnelawan hukumnya perbuatan pelaku. Dalam KUHAP adanya alasan penghapus pidana ini akan menimbulkan dua bentuk putusan yaitu putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Alasan penghapus pidana yang mengakibatkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, karena perbuatan terdakwa (sebagai unsur objektif) bukan merupakan tindak pidana, meskipun terbukti. Dengan demikian putusan lepas ini menyangkut tentang perbuatan sebagai unsur objektif dari suatu tindak pidana.

57

Adapun yang menjadi alasan pembenar yang disebutkan dalam KUHP adalah sebagai berikut ini :58

a) Ketidakmampuan bertanggungjawab terdakwa (ontoerekeningsvatbaarheid)

Diatur dalam pasal 44 ayat (1), yang bunyinya sebagai berikut : “Tiada boleh dihukum barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit ingatan”.

Umumnya masyarakat menyebut dengan istilah ‘gila’, meskipun dalam rumusan pasal tersebut. Berdasarkan rumusan pasal tersebut, ada dua sebab yang menjadikan si pelaku tidak

56 H.M. Hamdan, halaman 21. 57 Ibid, halaman 39. 58

dapat dipertanggungjawabkan, yakni kurang sempurna akal dan sakit ingatan. Mengenai pengertian ‘kurang sempurna akalnya’ dan ‘sakit ingatan’ merupakan bidang psikiatri, sehingga untuk penanganannya, aparat penegak hukum seyogyanya meminta bantuan psikiater.59

Tidak mampu bertanggungjawab adalah keadaan yang menyebabkan syarat internal kesalahan tidak terpenuhi. Tidak mampu bertanggungjawab adalah ketidaknormalan ‘keadaan’ batin pembuat, karena cacat jiwa atau gangguan penyakit jiwa, sehingga padanya tidak memenuhi syarat untuk diperiksa apakah patut dicela atau tidak karena perbuatannya.

60

b) Adanya daya paksa (overmacht)

Dasar peniadaan pidana karena adanya daya paksa (overmacht) dirumuskan dalam pasal 48 KUHP yang menyatakan :

“Barangsiapa yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”.

Memorie Van Toelichting (MvT) mengatakan bahwa daya paksa adalah setiap dorongan, setiap paksaan, setiap kekuatan yang tidak dapat dilawan. Dari keterangan MvT tersebut, dapatlah diketahui bahwa daya paksa dapat terjadi karena tekanan psikis dan tekanan fisik. Dengan demikian haruslah ada hubungan causal yang sangat

59

Leden Marpaung, Asas- Teori- Praktik Hukum Pidana, (Sinar Grafika: Jakarta, 2008), halaman 53.

60

erat antara kekuatan paksaan tersebut terhadap perbuatan yang dilakukan.61

Daya paksa ini ada dua jenis yaitu : daya paksa absolut dan daya paksa relatif.

62

c) Adanya pembelaan terpaksa (noodweer)

Daya paksa absolut adalah suatu keadaan dimana paksaan dan tekanan yang sedemikian kuatnya pada diri seseorang, sehingga ia tidak dapat lagi berbuat sesuatu yang lain selain apa yang dipaksa dilakukan atau apa yang terjadi, baik oleh perbuatan manusia maupun alam. Sedangkan daya paksa relatif adalah suatu paksaan yang sedemikian rupa menekan seseorang sehingga ia berada dalam suatu keadaan yang serba salah, suatu keadaan mana memaksa dia mengambil suatu sikap dan berbuat yang pada kenyataannya melanggar Undang- undang, yang bagi setiap orang normal tidak akan mengambil sikap dan berbuat lain berhubung dengam resiko dari pilihan perbuatan lain itu lebih besar \terhadap dirinya. Inilah daya paksa yang dimaksudkan dalam pasal 48. Mengorbankan kepentingan hukum yang lebih kecil demi untuk melindungi atau mempertahankan kepentingan hukum yang lebih besar, adalah prinsip dari daya paksa menurut arti pasal 48.

Pembelaan terpaksa ini dirumuskan dalam pasal 49 ayat (1) KUHP sebagai berikut :

“Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri atau orang lain,

61

Adami Chazawi, Op. Cit., halaman 29. 62

kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena adanya serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum pada ketika itu juga”.

Dari rumusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa perbuatan orang yang memenuhi unsur- unsur pasal 49 ayat (1) tersebut di atas, pada kenyataannya memenuhi rumusan tindak pidana tertentu. Akan tetapi dengan dasar pembelaan terpaksa, perbuatan yang pada kenyataannya bertentangan dengan undang- undang itu telah kehilangan sifat melawan hukum, oleh sebab itu kepada pembuatnya tidak dipidana.

Para pakar pada umumnya memberi arti noodweer dengan pembelaan terpaksa. Istilah ini berasal dari doktrin, yang menetapkan syarat pokok yaitu :63

(1) Harus ada serangan, yang memenuhi syarat : harus mengancam, dan datang dengan tiba- tiba serta serangan tersebut harus melawan hukum (wederrechtelijk);

(2) Terhadap serangan itu perlu dilakukan pembelaan diri, yang memenuhi syarat : merupakan pembelaan terpaksa, dilakukan dengan serangan setimpal, dan harus dilakukan untuk membela diri sendiri atau orang lain.

d) Adanya pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodwerexes) Hal ini diatur dalam pasal 49 ayat (2) KUHP, yang bunyinya sebagai berikut :

“Tiada boleh dihukum barang siapa melampaui batas pembelaan yang perlu jika perbuatan itu dilakukannya karena sangat panas hatinya (guncang jiwanya) disebabkan serangan itu”.

Menurut doktrin, unsur- unsur noodwerexes ini adalah sebagai berikut :64

63

(1) Melampaui batas pembelaan yang perlu;

(2) Tekanan jiwa hebat terbawa oleh perasaan sangat panas hati;

(3) Hubungan kausal antara serangan dengan perasaan panas hati.

e) Karena menjalankan perintah Undang- Undang (wettelijk voorschrift)

Hal ini diatur dalam pasal 50 KUHP, yang berbunyi :

“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan Undang- undang tidak dipidana”.

Yang dimaksud dengan ketentuan undang- undang adalah semua peraturan- peraturan yang dibuat oleh kekuasaan yang berwenang untuk maksud tersebut menurut undang- undang. Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan adalah perbuatan mana yang pada dasarnya jika tidak ada undang- undang yang memberi kewenangan untuk melakukannya adalah merupakan sebuah tindak pidana. Kemudian, yang dimaksud dengan menjalankan perintah undang- undang adalah tentang apa yang bukan sekedar mengenai melaksanakan perbuatan yang sesuai dengan kewenangan yang diberikan undang- undang saja, akan tetapi termasuk juga segala perbuatan yang dilakukan berdasarkan wewenang yang diberikan oleh undang- undang itu.

Kemudian perbuatan itu ada batasnya, tidaklah boleh melakukn semau- maunya perbuatan, melainkan haruslah sepanjang memang diperlukan, seimbang dan layak untuk

64

dilakukan demi pelaksanaan kewenangan yang diberikan undang- undang tersebut.65

f) Karena melaksanakan perintah jabatan yang sah (ambtelijk bevel)

Hal ini diatur dalam pasal 51 ayat (1) KUHP, yang bunyinya yaitu sebagai berikut :

“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”.

Ketentuan ini sama dengan alasan peiadaan pidana oleh sebab menjalankan perintah undang- undang sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Artinya, keduanya adalah berupa perbuatan yang boleh dilakukan sepanjang menjalankan kewenangan berdasarkan perintah undang- undang maupun perintah jabatan.66

Menurut Prof. Satochid Kartanegara, pelaksanaan perintah itu harus juga seimbang, patut, dan tidak boleh melampaui batas- batas keputusan pemerintah.67

g) Karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan iktikad baik (een onbevoegd ambtelijk bevel)

Hal ini dirumuskan dalam pasal 51 ayat (2) KUHP, yang bunyinya sebagai berikut :

“Perintah jabatan yang tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali apabila yang menerima perintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”.

65

Adami Chazawi, Op. Cit., halaman 58. 66

Ibid. 67

Dalam hal menjalankan perintah jabatan yang tidak sah ini, ada syarat yang harus dipenuhi agar orang yang menjalankan perintah yang tidak sah dengan iktikad baik itu tidak dipidana, adalah syarat subjektif dan syarat objektif.

Syarat subjektif yang dimaksud adalah dengan iktikad baik mengira bahwa perintah itu adalah sah. Syarat ini terletak pada sikap batin si penerima perintah. Sedangkan syarat objektif yang dimaksud adalah pada kenyataannya pelaksanaan perintah itu masuk dalam bidang tugas pekerjaannya. Artinya ada hubungan antara jabatannya dengan tugas pekerjaan suatu jabatan.

Oleh adanya alasan ‘tidak mengetahui’ bahwa perintah itu tidak sah dengan iktikad baik, maka tidak dipidananya orang yang melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah dengan iktikad baik ini adalah masuk pada alasan pemaaf.68

Berbeda dengan KUHP, dalam RUU KUHP, perumusan mengenai alasan peniadaan pidana ini dibedakan secara tegas antara alasan pemaaf dan alasan pembenar. Kelompok alasan pembenar ada pada paragraf 8 mulai pasal 31 sampai dengan pasal 35, yaitu sebagai berikut :

a) Melaksanakan perintah peraturan perundang- undangan,

yang disebutkan pada pasal 31 : tidak dipidana setiap orang yang melakukan perbuatan yang melakukan perbuatan yang dilarang untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang- undangan; b) Melaksanakan perintah jabatan,

68

yang disebutkan pada pasal 32 : tidak dipidana setiap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang untuk melaksanakan perintah jabatan;

c) Keadaan darurat,

yang disebutkan pada pasal 33 : tidak dipidana setiap orang yang melakukan tindak pidana karena keadaan darurat;

d) Pembelaan terpaksa,

yang disebutkan pada pasal 34 : tidak dipidana setiap orang yang terpaksa melakukan tindak pidana karena pembelaan terhadap serangan atau ancaman segera yang melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan, kesusilaan, harta benda sendiri atau orang lain;

e) Tidak adanya sifat melawan hukum,

yang disebutkan pada pasal 35 : tidak dipidana apabila dalam suatu perbuatan tidak ada alasan pembenar sebagaimana disebutkan dalam pasal 11 ayat (2) RUU KUHP ini, yang pada intinya menyiratkan bahwa sifat melawan hukum itu termasuk pula sifat melawan hukum materiil.

Sedangkan kelompok alasan pemaaf ditempatkan pada paragraf 5, pasal 42 sampai dengan pasal 46, yaitu sebagai berikut :

a) Tidak mengetahui bahwa keadaan tersebut merupakan unsur tindak pidana,

yang disebutkan pada pasal 42 : tidak dipidana, jika seseorang tidak mengetahui atau sesat mengenai keadaan yang merupakan unsur

tindak pidana atau berkeyakinan bahwa perbuatannya tidak merupakan suatu tindak pidana, kecuali ketidaktahuan, kesesatan, atau keyakinannya itu patut dipersalahkan kepadanya;

b) Dipaksa kekuatan yang tidak dapat ditahan,

yang disebutkan pada pasal 43 : tidak dipidana seseorang yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan, ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat dihindari;

c) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas,

yang disebutkan pada pasal 44 : tidak dipidana setiap otang yang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang langsung disebabkan kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan seketika atau ancaman serangan yang segera;

d) Melaksanakan perintah jabatan tanpa wewenang dengan iktikad baik,

yang disebutkan pada pasal 45 : tidak dipidana seseorang yang melakukan perintah jabatan yang tanpa wewenang dan orang yang diperintahkan melaksanakan dengan iktikad baik mengira bahwa perintah tersebut diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya

e) Tidak ada kesalahan, menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, atau retardasi mental, belum mencapai umur 12 tahun, sebagaimana disebutkan dalam pasal 46.

Alasan peniadaan pidana yang disebutkan dalam konsep KUHP baru ini memuat hal- hal baru yang tidak disebutkan sebelumnya dalam KUHP. Jadi, konsep KUHP baru ini lebih luas, dan memudahkan dalam mengkategorikan hal- hal yang merupakan alasan pembenar dan alasan pemaaf.

B. Upaya Hukum yang dapat Dilakukan terhadap Putusan Lepas dari

Dokumen terkait