• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. SUKU BANGSA NIAS DI KAMPUNG SUSUK

3.2. Alasan Suku Bangsa Nias Bermigrasi ke Kota Medan,

Potret kemajemukan budaya karena adanya perpindahan penduduk secara masif tersebut dapat ditemukan salah satunya di Kota Medan. Kota Medan, ibu kota Propinsi Sumatera Utara, adalah sebuah kota yang tumbuh pesat sejak pertengahan abad ke-19 sebagai sebuah kota berpenduduk majemuk baik dari kalangan penduduk pribumi maupun imigran dari kawasan Asia seperti Cina, India, Arab dan imigran dari kawasan Asia Tenggara. Gerak perpindahan kaum migran ke Kota Medan tidak lepas dari tarikan magnit pertumbuhan Kota ini sebagai sentral kemajuan ekonomi sehingga dijadikan sebagai tempat tujuan baru yang menjanjikan harapan untuk perbaikan hidup. Sudah luas diketahui bahwa Kota Medan dan Tanah Deli (Sumatera Timur) pada umumnya yang pernah dijuluki sebagai “Het Dollar Land” berkembang sangat cepat sejak pertengahan abad ke-19 seiring dengan perkembangan industri perkebunan (mulanya perkebunan tembakau) yang dirintis oleh Jacobus Nienhys sejak 1863.

Buruh-buruh dari Cina, India dan Pulau Jawa ketika itu didatangkan dalam jumlah besar oleh pengusaha-pengusaha perkebunan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Selain mereka yang didatangkan sebagai kuli, migran lain

pun terus berdatangan ke kota ini untuk tujuan berdagang dan mengisi berbagai lowongan pekerjaan yang tersedia (Lubis, 2009).

Kota Medan Sebagai Tujuan Pendatang dari Bermacam Suku Bangsa

Awalnya penduduk asli kota Medan adalah suku bangsa melayu, dimana tempat masyarakat tersebut berlokasi di daerah medan puteri, pemukiman yang pertama sekali berada di daerah tersebut bernama ’kampung medan’. Daerah tersebut merupakan tempat bertemu aliran sungai Deli dan Babura, dahulu dipergunakan sebagai pelabuhan air bagi suku bangsa Melayu.

Pada tahun 1823, seorang pegawai Inggris bernama John Anderson datang mengunjungi Kota Medan, yang pada saat itu masih memiliki penduduk sekitar 200 orang. Tahun 1865, pemerintah Belanda datang ke Medan dan membuat perjanjian dengan Sultan Deli untuk membangun perkebunan tembakau di sekitar Kota Medan. Dampak dari perjanjian tersebut, banyak investor asing yang menamakan modalnya untuk usaha perkebunan, kemudian pembangunan perkebunan tersebut menyebabkan banyak terjadi perpindahan penduduk dari provinsi lain ke Medan (ke daerah Deli). Untuk meningkatkan hasil usaha perkebunan tembakau tersebut, pemerintah Belanda banyak mengalami tenaga kerja dari Pulau Jawa, dan berdampak merangsangkan penduduk dari luar daerah berdatangan ke Kota Medan.

Sejak beberapa tahun Indonesia merdeka, pertumbuhan penduduk disebabkan oleh pendatang terus meningkat. Pendatang-pendatang tersebut berasal dari desa yang terletak pada provinsi lain di Indonesia bahkan juga pendatang dari negara lain. Keadaan demikian menyebabkan Kota Medan menjadi

daerah perkotaan yang dihuni oleh berbagai suku bangsa dengan latar belakang yang berbeda (heterogen). Masing-masing suku bangsa hidup dengan caranya sendiri. Tempat tinggal mereka cenderung mengelompok sehingga muncul pemukiman-pemukiman yang dihuni oleh masyarakat dengan suku bangsa yang sama.

Menurut Everett S. Lee (dalam Munir, 2000:120) ada 4 (empat) faktor yang menyebabkan orang mengambil keputusan untuk melakukan migrasi, yaitu: 1. Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal

2. Faktor-faktor yang terdapat di tempat tujuan 3. Rintangan-rintangan yang menghambat 4. Faktor-faktor pribadi

Di setiap tempat asal ataupun tujuan, ada sejumlah faktor yang menahan orang untuk tetap tinggal di situ, dan menarik orang luar luar untuk pindah ke tempat tersebut; ada sejumlah faktor negatif yang mendorong orang untuk pindah dari tempat tersebut; dan sejumlah faktor netral yang tidak menjadi masalah dalam keputusan untuk migrasi. Selalu terdapat sejumlah rintangan yang dalam keadaan- keadaan tertentu tidak seberapa beratnya, tetapi dalam keadaan lain dapat diatasi. Rintangan-rintangan itu antara lain adalah mengenai jarak, walaupun rintangan "jarak" ini meskipun selalu ada, tidak selalu menjadi faktor penghalang. Rintangan-rintangan tersebut mempunyai pengaruh yang berbeda-beda pada orang-orang yang mau pindah. Ada orang yang memandang rintangan-rintangan tersebut sebagai hal sepele, tetapi ada juga yang memandang sebagai hal yang berat yang menghalangi orang untuk pindah. Sedangkan faktor dalam pribadi

mempunyai peranan penting karena faktor-faktor nyata yang terdapat di tempat asal atau tempat tujuan belum merupakan faktor utama karena pada akhirnya kembali pada tanggapan seseorang tentang faktor tersebut, kepekaan pribadi dan kecerdasannya.

Tahap awal berada di daerah tujuan bermigrasi merupakan kehidupan “asing“ yang memerlukan proses adaptasi bagi seorang atau sekelompok orang migran. Dalam konteks kehidupan sosial ekonomi, adaptasi diartikan sebagai upaya mengatasi masalah lingkungan alam, sosial dan jasmani dalam rangka memenuhi syarat-syarat dasar guna kelangsungan kehidupan (Suparlan, 1981). Migrasi ke kota identik dengan melakukan kontak terhadap suatu sistem sosial ekonomi yang sudah relatif mapan.

Di tinjau dari sisi migran, paling tidak ada tiga fokus kajian sosiologis dan sosial psikologis yang harus dihadapi dalam rangka keberlangsungan migrasi (Pelly, 1994). Fokus pertama adalah masalah keberlangsungan dalam menghadapi berbagai tantangan serta mendapatkan kesempatan pekerjaan di daerah tujuan. Fokus kedua, corak dan proses penyesuaian diri dalam lingkungan sosial yang serba baru. Fokus ketiga, kemungkinan kelanjutan atau keterputusan hubungan sosio-kultural dan ekonomi dengan daerah asal dan kemungkinan bertahan atau terleburnya identitas kultural lama ke dalam ikatan baru. Proses pada ketiga fokus di atas tidak akan terlepas dari benturan-benturan. Oleh karena itu, sebagai proses adaptasi berlangsung dalam suatu perjalanan waktu yang tidak dapat diperhitungkan dengan tepat. Kurun waktunya bisa cepat, lambat, atau justru berakhir dengan kegagalan. Artinya kontak sosial tidak mencapai hubungan lebih

lanjut. Selain itu dapat ditarik juga beberapa faktor pokok pendorong terjadinya migrasi selain pendapat dari Lee adalah:

1. Proses kemiskinan di desa.

2. Lapangan kerja yang hampir tidak ada. 3. Pendapatan yang rendah.

4. Keamanan.

5. Adat istiadat yang ketat. 6. Melanjutkan pendidikan.

Dari pernyataan di atas tiga hal pertama adalah yang sangat mendasar dalam membuat keputusan untuk berimigrasi dari desa ke kota. Dapat diketahui bahwa desa yang perekonomiannya masih subsisten dan sangat didominasi oleh sektor pertanian dan hasilnya sangat dipengaruhi jumlah tenaga kerja, iklim, luas tanah, sehingga hasilnyapun sangat terbatas dan mengakibatkan pendapatan rendah.

Selain itu mobilitas seorang dari desa ke kota juga ditentukan oleh faktor jarak, biaya dan informasi antartempat asal dengan kota daerah tujuan berjarak jauh juga mendorong seseorang akan melakukan mobilitas permanen (migrasi), bila berjarak sedang akan menghasilkan mobilitas menginap/mondok, bila berjarak dekat cukup dilakukan secara ulang alik/commuting (Mantra, 1991).

Faktor-Faktor Penduduk Bermigrasi

Di samping faktor-faktor pendorong di atas maka di lain pihak terdapat faktor-faktor penarik penduduk untuk melakukan migrasi. Daerah perkotaan merupakan tujuan yang utama penduduk melakukan migrasi. Kota memiliki

faktor-faktor penarik sehingga penduduk meninggalkan desanya. Adapun faktor- faktor penarik penduduk untuk melakukan migrasi disebabkan adanya anggapan bahwa :

a. penghasilan di kota lebih besar

b. di kota banyak tersedia lapangan pekerjaan c. di kota pengalaman lebih berkembang

d. di kota tersedia hiburan-hiburan serta fasilitas-fasilitas lainnya.

Motif-Motif Migrasi

Pengaruh utama dari migrasi biasanya secara langsung mengikuti proses alam. Karena migrasi merupakan perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat yang lain, maka migrasi itu akan mendistribusikan penduduk. Dalam banyak hal distribusi penduduk yang senantiasa berubah, pada hakekatnya jauh lebih penting dibandingkan dengan migrasi itu sendiri, karena distribusi tersebut akan menambah masalah kebijaksanaan umum

Apabila di pandang dari sudut yang lain maka program perkembangan atau pembangunan ekonomi juga cenderung ikut menambah proses perpindahan penduduk yang menimbulkan bertambahnya volume migrasi. Migrasi selalu bersifat selektif dan migrasi tidak memindahkan seluruh penduduk (kecuali dalam hal yang jarang sekali), tetapi hanya menyangkut beberapa kategori penduduk tersebut.

Migrasi dan Perubahan Masyarakat

Migrasi selalu melibatkan perubahan-perubahan dalam beberapa sub- sistem lain dalam masyarakat. Perpindahan dalam ruang ditentukan oleh beberapa perubahan, atau terjadi bersamaan dengan datangnya perubahan, atau terjadi bersamaan dengan datangnya perubahan. Migrasi dapat dikategorikan sebagai mata rantai dalam proses perubahan masyarakat. Migrasi mempunyai saling hubungan yang tidak dapat dipisahkan dalam proses perubahan. Misalnya, migrasi bisa mengakibatkan perubahan pendapatan dan perubahan pendapatan juga dapat menyebabkan migrasi. Biasanya selalu ada korelasi antara mobilitas geografis (perubahan pendapatan bisa menjadi salah satu unsurnya), dan kedua proses sosial itu tidak dapat dipisahkan. Orang-orang mungkin berpindah, karena perubahan- perubahan dalam kedudukan sosial mereka; dan perubahan-perubahan dalam kedudukan sosial mungkin diakibatkan oleh mobilitas geografis. Dalam hal ini dapat dikemukakan, bila telah terjadi mobilitas maka subsistem-subsistem yang lainnya akan ikut berubah. Oleh karena itu alasan suku bangsa Nias melakukan migrasi ke Kota Medan khusunya Kampung Susuk alasannya antara lain:

A. Alasan Geografis

Sebagian besar areal tanah di Kabupaten Nias adalah areal pertanian. Dari areal pertanian atau perkebunan mereka diubah menjadi lokasi perumahan penduduk, disamping itu banyak penduduk yang tidak lagi mengerjakan lahan pertanian atau kebunnya, karena dirasakan hasil yang tidak memuaskan dan ketiadaan tenaga kerja yang mengelola lahan tersebut. Dengan kenyataan demikian banyak penduduk yang enggan untuk mengerjakan lahan pertanian

mereka dan mencari pekerjaan disekitar daerah tersebut, namun karena alternatif mata pencaharian di desa mereka tidak tersedia oleh karena itu, beberapa penduduk terutama di golongan usia produktif mencari pekerjaan di luar desa.

Alternatif kota yang dipilih adalah kota yang dekat dengan pulau Nias dan pastinya menjanjikan pekerjaan yang lebih layak tentunya. Kota tersebut mereka pilih adalah Kota Medan, karena lokasinya yang tidak terlalu jauh, sama- sama masih dalam satu pulau Sumatera, hanya menyeberang lewat sibolga, mereka sudah sampai di wilayah Provinsi Sumatera Utara. Kota Medan merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia selain daripada Jakarta, Bandung, Surabaya. Jadi tidak heran banyak suku bangsa Nias yang bermigrasi ke Kota Medan dengan harapan mendapat kehidupan yang lebih baik dengan cara mencari pekerjaan di luar dari pekerjaan bertani dan berkebun. Tidak heran suku bangsa Nias ada yang berhasil di perantauan ada juga yang makin buruk dari keadaan sebelumnya di kampung (Pulau Nias). Semua itu tergantung dari keterampilan yang mereka punya sebagai bekal di kota besar.

B. Alasan Ekonomi

Keterbatasan lapangan kerja mengakibatkan penduduk usia produktif melakukan migrasi ke daerah-daerah lain dari Kabupaten Nias yang bekerja sebagai tukang becak di Kota Medan. Oleh karena tingkat pendidikan penduduk yang rendah, sebagian besar penduduk hanya mencari pekerjaan-pekerjaan di sektor informal, sementara di Kabupaten Nias sebagai suatu Kabupaten yang baru berkembang, lapangan pekerjaan yang baik bersifat formal, seperti sektor pemerintahan dan sektor swasta, maupun informal belum banyak tersedia

sehingga tidak dapat menurunkan angka pencari kerja di Kabupaten Nias dari tahun ke tahun selain itu juga pasca-tsunami yang membuat Pulau Nias belum tertata rapi dari segi perekonomiannya.

Pada sektor informal, lapangan pekerjaan yang banyak tersedia di Kabupaten Nias hanya terbatas pada pekerjaan sebagai buruh tani, pedagang kaki lima dan tukang becak yang bersifat subsisten. Dari pernyataan tersebut maka mereka memilih bermigrasi ke kota besar dan memilih Kota Medan untuk dijadikan sebagai alternatif kota bermigrasi dan juga karena jaraknya yang dekat dari Pulau Nias dan menurut mereka di sana cukup menjanjikan kehidupan yang lebih baik daripada sebelumnya. Di kota besar seperti Kota Medan mereka dapat memeperoleh pekerjaan yang lebih menjanjikan seperti banyakya terdapat pabrik- pabrik, bisa juga berdagang, tukang becak, ataupun wirausaha lainnya. Dengan banyaknya pekerjaan yang menjanjikan mereka maka mereka berpikir ekonomi juga akan lebih bertambah. Selain itu juga hasil studi yang dilakukan Naim (dalam Mulyadi, 2002) atas suku Minangkabau mengungkapkan adanya kecenderungan suku Minangkabau untuk bermigrasi telah berakar dan melembaga dalam sistem sosial suku bangsa tersebut, dan ditemukan bahwa keputusan bermigrasi ditentukan oleh faktor-faktor yang menekan di daerah asal dan faktor sosial budaya. Setelah keputusan itu dibuat baru ditentukan kemana arah berimigrasi yang akan dituju. Penelitian Suharso (dalam Mulyadi, 2002) memperkuat pendapat adanya kaitan antara migrasi dengan aspek ekonomi; dikatakannya bahwa sebagian orang bermigrasi dikarenakan tidak memiliki tanah dan pekerjaan

tetap. Jadi tujuan utamanya untuk mendapatkan pekerjaan dan memperoleh uang yang banyak.

C. Alasan Sosial

Adanya migrasi Suku bangsa Nias selain dari faktor geografis, ekonomi, juga dipengaruhi oleh faktor pribadi migran itu sendiri. Artinya seorang migran Nias (Niha Sikoli) melakukan migrasi karena dipengaruhi oleh hubungan antara migran dengan kondisi sosial di lingkungan tempat tinggal migran. Hubungan antara migran dengan kondisi sosial tempat tinggalnya dapat berupa hubungan positif dan hubungan yang negatif. Hubungan positif yaitu hubungan yang memberikan suatu keuntungan bagi si migran, sedangkan hubungan negatif adalah hubungan yang merugikan si migran atau ketidakserasian migran dengan penduduk di lingkungan tempat tinggal asalnya.

Faktor sosial yang dapat digolongkan dengan hubungan positif yaitu adanya pandangan masyarakat suku bangsa Nias terhadap orang yang melakukan migrasi ke seberang, bahwa orang yang merantau (mukoli) dianggap telah mempunyai pengalaman/wawasan yang lebih luas, mempunyai harta dan uang banyak. Hal ini terlihat bila ada migran yang kembali ke Nias dengan penampilan yang relatif lebih baik dari penduduk setempat. Di desanya migran tersebut menceritakan pengalamannya kepada teman-teman maupun anggota keluarganya terutama bagi golongan usia produktif untuk mencoba ikut merantau.

Alasan lainnya lebih bersifat sosial adalah sebagai angkatan kerja yang masih muda, migran menyebutkan bahwa pekerjaan pertanian (terutama buruh tani) sebagai pekerjaan yang melelahkan dan bisa merusak penampilan karena

harus berhadapan dengan tanah dan sengatan matahari. Pekerjaan perkebunan rakyat yang dikerjakan secara manual, jauh dari sentuhan teknologi sebagai lambang modern. Pekerjaan ini tidak membutuhkan pendidikan dan keterampilan khusus. Setiap orang bisa melakukannya, sehingga nilai sosialnya rendah di mata anggota komunitas.

Penilaian yang tidak seimbang terhadap pekerjaan pertanian khususnya buruh tani, mendudukkan kelompok ini pada lapisan sosial yang rendah di masyarakatnya. Menurut migran, posisi ini mengurangi aksesnya terlibat aktif dalam kelompok-kelompok sosial seperti karang taruna, remaja masjid, kepanitiaan perayaan keagamaan, dan sebagainya. Penilaian status ini juga terlihat pada posisi tempat duduk ketika menghadiri perayaan atau pesta. Orang yang dipandang mempunyai status lebih tinggi seperti tokoh agama, guru atau pedagang diberi tempat duduk di depan. Migran merasa ada perubahan penilaian terhadap status mereka setelah bekerja di kota. Kasus paling nyata saat mudik, apabila menghadiri rapat/pertemuan sering dimintai pendapat berdasarkan pengalaman di kota. Dengan adanya pegalaman migran yang sukses dapat mempengaruhi seseorang untuk melakukan migrasi.

D. Alasan Lingkungan

Dalam perkembangan selanjutnya lingkungan telah banyak menjadi pendorong arus perantauan ini. Orang yang balik dari rantau banyak membawa perubahan-perubahan pada dirinya. Pakaiannya telah berganti mulai dari kopiah, baju, dan lain-lain. Gerakannya pun telah mengalami perubahan. Cara berjalan, baik melangkahkan kakinya dan ayunan tangannya sudah jauh bedanya dari

sebelumnya. Jelas sekali nampak dalam masyarakat orang-orang yang baru datang dari rantau dengan orang yang tinggal di kampung.

Para perantau bila kembali ke kampung banyak ditemukan berbincang- bincang di bale-bale. Di tempat ini secara tidak langsung dipamerkan hasil perantauan mereka serta pengalaman-pengalaman yang diperoleh selama di rantau. Di tempat ini pula mereka mengeluarkan uang untuk membeli makanan bagi orang yang duduk di bale, sehingga di tempat ini nampaknya terjadi persaingan tidak langsung antara para perantau sendiri mengenai keadaan masing- masing diperantauannya.

Orang yang duduk di bale terutama anak-anak muda banyak mendapat rangsangan dari kenyataan ini. Mereka mulai tergugah untuk mencoba merantau juga agar dapat memperoleh hasil yang demikian pula. Minat yang timbul dari hasil sanubari anak muda ini, banyak mendapat dorongan dari orang-orang yang baru kembali dari rantau. Petunjuk diberikan terutama mengenai tempat yang cocok untuk merantau dan lapanan kerja yang mungkin dapat dan baik dikerjakan di daerah tersebut. Terlebih-lebih bila yang hendak merantau itu adalah dari kerabatnya dengan dia, kecuali kalau tidak ada barulah mengambil orang lain.

Pada waktu perantauan baru ini menjadi pembantu pada seseorang, masalah gaji belum diperhatikan. Namun yang mereka perhatikan ialah untuk belajar usaha dan mencari pengalaman serta sekedar mendapat biaya makan untuk hidup. Setelah pengetahuan dan dirasa cukup untuk berdiri sendiri, ia mulai meminta kontrak ulang (meminta gaji). Selama kontrak kerja berlangsung yang diutamakan ialah menabung sebanyak mungkin dan mengusahakan pengeluaran

sehemat mungkin agar dalam waktu yang tidak terlalu lama sudah dapat berdiri sendiri dalam usaha.

E. Alasan Budaya

Faktor budaya ini berkaitan dengan adat perkawainan dan kedudukan anak dalam keluarga Nias bahwa adat perkawinan di Nias dikenal dengan Bowo (Bride Price) yang tinggi. Dahulunya banyak suku bangsa Nias yang merantau dan mencari isteri dari suku bangsa yang bukan suku bangsa Nias, karena ingin menghindari diri dari adat perkawinan tersebut, tetapi seringnya hal tersebut untuk melakukan migrasi dengan alasan yang bukan lagi karena untuk menghindari diri dari adat tersebut, melainkan karena mengetahui migran terdahulu telah berhasil diperantauan. Mengenai kedudukan anak dalam keluarga suku bangsa Nias umumnya tidak mengakui adanya hubungan tersebut. Namun bila diamati lebih seksama para migran terutama mengenai keluarga mendorong beberapa penduduk usia produktif (remaja) untuk merantau dan mencoba untuk dapat mandiri di daerah orang lain. Jika menikahi perempuan Nias maka emas jujurannya berkisar antara 80 moboli babi hingga satu kurang 70 atau 69 batu emas seperti diistilahkan oleh suku bangsa Nias tingkat emas jujuran dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Emas jujuran bagi kaum budak atau bekas budak hanya 80 moboli babi 2. Emas jujuran bagi rakyat kebanyakan bisa, 9 (sembilan) batu emas

3. Emas jujuran bagi ”rakyat kebanyakan pimpinan” atau elite (leading

Istilah Emas Jujuran Banyaknya Dalam Emas Keterangan Soboto Sifelezara (sibaja) Si ono Taho dambai Taguso gana’a Balofulito 12 batu 6 batu 2 batu 4 batu 2 batu 1 batu

Untuk orang tua si gadis Untuk saudara si ibu si gadis Untuk saudara ibu dari ibu si gadis Untuk saudara si ayah si gadis Untuk ayah dari ayah si gadis Untuk ibu dari ibu si gadis

Jumlah 27 batu -

4. Emas jujuran untuk kaum bangsawan dapat dibagi atas dua bahagian :

a. Bagi kaum bangsawan yang telah meratifisir kebangsawanannya, emas jujurannya adalah 69 batu emas

b. Bagi kaum bangsawan yang belum meratifisir kebangsawanannya, emas jujurannya adalah 40 batu emas

Emas jujuran bagi kaum bangsawan yang telah meratifisir kebangsawanannya dapat diuraikan sebagai berikut :

Istilah Emas Jujuran Banyaknya Dalam Emas Keterangan 1. Fanendre mba wa ga haoasa

12 Emas di saat pihak pelamar pengantin wanita menginjakkan tumit di luar pintu rumah ayah si gadis.

2. Fanuani dalu’i 12 Emas di saat pengantin wanita

dilepaskan dari kain gendongan ibunya

3. Boli newo guro 12 Emas pengganti harga udang untuk

lauk pauk pengantin wanita.

4. Sou bagoa ba zino 12 Harga tudung pada waktu pengantin

wanita masuk ke sinar matahari

5. Bagolo ana’a 12 Emas untuk menembus ”dinding

emas” dari rumah pengantin wanita agar pengantin laki-laki bisa berhak melihatnya.

6. Daroma wanua 12 Emas untuk mengatakan selamat

berpisah kepada orang tuanya

Tetapi, 3 (tiga) batu emas akan diberikan kepada pengantin laki-laki sebagai hadiah, yang disebut ”boli nafo baewali” (untuk harga sirih di halaman). Jadi, jumlah yang 72 batu emas dikurangi 3 (tiga) batu emas sama dengan 69 batu emas. Dewasa ini emas jujuran sudah lebih mudah dibanding dengan masa-masa lampau seperti diuraikan di atas. Pengurangan jumlah emas jujuran tergambar dalam kata-kata: felezara mae sisara, sara mae si felezara yang berarti, sebelas dapat dihitung satu tetapi satu dapat dihitung sebelas batu emas.

Bila si calon menantu memahami cara berlaku sopan santun terhadap calon mertuanya atau terhadap kaum kerabat si gadis maka akan menyerahkan cukup satu batu emas. Tetapi bila si calon menantu seorang yang sangat sombong dan angkuh serta tidak memahami norma-norma penghormatan maka pada waktu dia menyerahkan satu batu emas, dia akan dituntut menyerahkan sebelas. Pertimbangan untuk menuntut emas jujuran antara lain adalah kebaikan, kesopanan dan latar belakang pendidikan calon pengantin laki-laki dan lain-lain. Oleh karena itu, tidak heran banyak suku bangsa Nias melakukan migrasi dan mencari isteri di pulau lain yang berbeda suku bangsa. Dengan mendapatkan suku bangsa yang lain maka dalam adat pun biasanya tidak semahal emas jujuran (mahar) yang diminta dari pihak wanita kepada pihak laki-laki. Jadi tidak heran juga di Kota besar suku bangsa Nias rata-rata mempunyai isteri yang bukan

Dokumen terkait