• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alat inventarisasi hutan (pita ukur, tali rafia, clinometer, dan tally sheet)

Objek dan Data Kegiatan

1. Objek Kegiatan

Kegiatan ini melibatkan pihak yang terkait dengan pengelolaan dan hutan rakyat di wilayah studi, dengan objek penelitian :

1.1. Aparat desa, tokoh masyarakat, dan masyarakat setempat pengelola hutan rakyat

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

1.2. Kawasan hutan rakyat, kebun maupun ladang 2. Data Penelitian

Data penelitian yang diambil adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dikumpulkan antara lain adalah : kondisi umum lokasi penelitian atau data umum yang ada pada instansi pemerintahan desa dan kecamatan. Sedangkan data primer yang dikumpulkan antara lain adalah data sosial ekonomi masyarakat, bentuk pengelolaan dan hasil penelitian yang terkait dengan tujuan penelitian.

Pengumpulan Data

1. Pengambilan Sampel 1.1. Sampel Desa

Jumlah Sampel di ambil secara sensus. Menurut Arikunto (1996), apabila subyeknya kurang dari 100 lebih baik diambil semuanya sehingga penelitian merupakan penelitian populasi, namun jika subyeknya besar dapat diambil antara 10 sampai 15 % atau lebih.

1.2. Sampel Responden

Responden yang diambil dalam penelitian ini 11 KK karena dari hasil penelitian hanya 11 KK yang memiliki lahan hutan rakyat yang berada di lokasi penelitian.

1.3. Sampel Pohon

Sampel pohon diambil untuk memperoleh data potensi tegakan. Data potensi tegakan diperoleh dengan membuat 3 plot contoh berbentuk lingkaran dengan jari-jari 17,8 meter dan luas masing plot 0,1 ha pada

masing-Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

masing lahan pemilik hutan rakyat (responden). Lalu dihitung jumlah pohon dalam plot dan diukur diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang pohonnya.

2. Teknik dan Tahapan Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan secara langsung di lapangan sebagai berikut : (1) Identifikasi jenis dan inventarisasi tanaman hutan yang dibudidayakan

masyarakat di wilayah studi.

(2) Melakukan observasi dan analisis pengelolaan tanaman hutan rakyat yang ada di lapangan untuk memperoleh informasi mengenai proses pengelolaannya.

(3) Wawancara dan diskusi dengan menggunakan kuesioner terhadap para pelaku (aktor utama) yang mewakili dan para pihak pemangku kepentingan dalam pengelolaan tanaman hutan rakyat.

(4) Keseluruhan data, baik primer maupun sekunder selanjutnya diedit dan ditabulasikan sesuai dengan kebutuhan sebelum dilakukan pengolahan dan analisis data. Data primer yang bersifat kualitatif dianalisis secara deskriptif sesuai dengan tujuan penelitian, serta dilakukan analisis para pihak untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan hutan rakyat. Sedangkan data yang bersifat kuantitatif diolah secara tabulasi.

Teknik untuk memperoleh informasi dan data dari responden dilakukan dengan: a. Wawancara

Informasi yang diperoleh dari setiap responden meliputi : (a) Identifikasi diri responden.

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

(b) Luas lahan yang digunakan untuk tanaman hutan rakyat.

(c) Jenis kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan tanaman hutan rakyat atau teknis budidayanya (penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan) serta waktu kegiatan tersebut dilakukan.

(d) Kebutuhan input untuk kegiatan budidaya hutan rakyat dan harga input yang digunakan.

(e) Metode penjualan hasil kayu yang dilakukan petani dan harga jualnya

b. Pengukuran langsung di lapangan

Pengukuran potensi tanaman hutan rakyat yang dibudidayakan yang meliputi jenis, sebaran diameter, tinggi pohon, Tinggi bebas cabang, dan volume tegakan.

Analisis Data

1. Potensi Tanaman Hutan Rakyat

Potensi tegakan diukur dengan membuat 3 petak ukur contoh berbentuk lingkaran dengan diameter 17,8 meter dan luas 0,1 Ha pada masing-masing lahan responden. Lalu dihitung jumlah pohon yang ada dalam plot dan diukur diameter setinggi dada dan tinggi bebas cabang pohonnya. Alat yang digunakan antara lain adalah pita ukur, clinometer, tali rafia dan galah. Pendugaan potensi kayu tanaman hutan rakyat dimulai dengan perhitungan potensi tanaman hutan rakyat yang dimiliki oleh setiap responden pada desa kajian. Data dari hasil inventarisasi kayu di tanaman hutan rakyat kemudian dapat dihitung parameter-parameter

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

tegakannya yang meliputi jenis pohon, jumlah pohon, luas bidang dasar (lbds), dan volume per satuan luas.

Lbds dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : Lbds = 0,25 x π x Di²

Dimana :

Lbds : luas bidang dasar tegakan (m²)

Di : diameter batang (tinggi pengukuran 1,3 m) untuk pohon jenis i (m)

Penghitungan volume tegakan berdiri tanaman hutan rakyat dapat dihitung dengan rumus berikut (Widayanti dan Riyanto, 2005) :

Vi = Lbds x ti x fi Dimana :

Vi : Volume pohon jenis i (m³) ti : Tinggi total pohon jenis i (m)

fi : Bilangan bentuk pohon i (jati : 0,6 dan jenis lainnya : 0,7)

Data yang diperoleh disusun dan diolah dalam bentuk tabulasi dan grafik. Analisa data dilakukan secara deskriptif berdasarkan tabulasi dan grafik yang di peroleh.

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Geografis

Kecamatan Biru-biru merupakan Kecamatan yang tediri dari 17 Desa, 18 dusun dengan luasnya 89,69 Km² atau sekitar 8.969 Ha. Ditinjau dari Topologinya Kecamatan Biru-biru merupakan Daerah Perladangan. Pada dasarnya pelaksanan tugas dibidang Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan di Kecamatan Biru-biru berpedoman pada Undang-Undang Nomor: 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan yang mengatur tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa yang susunan organisasi tiap Desa terdiri dari : Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kaur Pemerintahan, Kaur Pembangunan, Kaur Umum dan Kepala Dusun. Adapun lokasi penelitian yang dilaksanakan di 4 Desa dari 17 Desa yang ada di Kecamatan Biru-biru Kabupaten Deli Serdang meliputi; Desa Biru-biru, Rumah Gerat, Kuala Deka dan Sarilaba Jahe.

Letak dan Geografis

Kecamatan Biru-biru terletak pada ketinggian 75-160 mdpl dengan suhu rata-rata 24-35˚C,merupakan daerah dataran tinggi di Kecamatan Biru-biru yang luas wilayahnya ± 150 Ha dengan batas-batas sebagai berikut:

• Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Delitua • Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Patumbak • Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Namorambe • Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan STM Hilir

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

Penggunaan Tanah dari luas wilayah Kecamatan Biru-biru Keseluruhannya adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Pola Penggunaan Lahan Lokasi Penelitian (Kecamatan Biru-Biru)

No Pola Penggunaan Lahan Luas (km²)

1 Lahan Pertanian 862

2 Lahan Sawah 2.751

3 Lahan bukan sawah 4.979

4 Lahan bukan Pertanian 8.969

Total 17.561

Sumber: Data Potensi Kecamatan Biru-Biru 2008

Dengan luas keseluruhan wilayah yang digunakan 17.561 km² Dengan jarak orbitasi dari kecamatan Biru-Biru ke Ibukota:

• Kabupaten : 36 KM

• Propinsi : 18 KM

Keadaan Alam/Topografi dan Iklim

Secara umum Kecamatan Biru-biru beriklim sedang dipengaruhi oleh dua arah mata angina yang mempunyai dua iklim musim yaitu musim hujan dan musim kemarau yang dipengaruhi oleh angin laut dan angin pegunungan. Angin laut membawa hujan sedangkan udara pegunungan membawa udara panas dan lembab. Curah hujan pada umumnya pada bulan September s/d Desember, sedangkan musim kemarau pada bulan Januari s/d Agustus.

Demografi/Kependudukan

Jumlah keseluruhan Penduduk Kecamatan Biru-biru 33.601 jiwa, dengan kepadatan penduduk 375 jiwa. Laki-laki 16.926 orang, dan perempuan 16.675 orang. Banyaknya penduduk dewasa dan anak-anak berdasarkan jenis kelamin.

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

Untuk tingkat dewasa laki-laki 10.256 orang dan perempuan 10.489 orang, untuk tingkat anak-anak, laki-laki 5.596 orang, dan perempuan 5.185 orang, dengan perincian sebagai berikut: Desa Biru-biru 1.635 jiwa, terdiri dari 290 KK, laki-laki 822 orang, perempuan 813 orang; Desa Rumah Gerat 1.410 jiwa, terdiri dari 366 KK, laki-laki 717 orang, perempuan 693 orang; Desa Sarilaba Jahe 1.449 jiwa, terdiri dari 300 KK, laki-laki 732 orang, perempuan 717 orang; dan Desa Kuala Deka 792 jiwa terdiri dari 203 KK, laki-laki 412 orang, perempuan 380 orang.

Mata Pencaharian

Sebagian besar penduduk di lokasi penelitian bermata pencaharian sebagai petani, sebagian kecil lainnya bermata pencaharian sebagai PNS, Pedagang, ABRI, Swasta dan lain-lain. Untuk lebih jelas mengenai mata pencaharian penduduk dapat dilihat pada table 2.

Tabel 2. Jumlah Penduduk MenuruT Tingkat Mata Pencaharian di Lokasi Penelitian Tahun 2007

No Mata Pencaharian Jumlah (jiwa)

1 Pertanian 13.500

2 Pedagang 629

3 Pegawai Negeri Sipil (PNS) 349

4 ABRI 721

5 Swasta 2.882

6 Lain-lain 586

Total 18.667

Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk

Tata guna lahan di Kecamatan Biru-biru didominasi oleh perladangan, yaitu tanaman-tanaman pertanian (tanaman pangan semusim) seperti padi, duku,

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

jagung, dan tanaman hortikultura lainnya. Selain itu ditanami juga dengan tanaman coklat dan sebagian besar penduduk di desa ini memiliki kebun coklat. Selebihnya tata guna lahan di desa ini digunakan untuk pekarangan, Perkebunan, dan hutan rakyat. Pekarangan ini biasanya ditanami dengan berbagai komposisi jenis tanaman, seperti tanaman pangan semusim, coklat, perkebunan ditanami jenis karet, dan sawit dan sedikit tanaman keras (Mindi, Mahoni, Jati, dan Kapas) (Sumber: Kepala Desa).

Penduduk di Kecamatan Biru-biru mayoritas adalah pemeluk agama Kristen Protestan (80%) dan sisanya adalah pemeluk agama Islam (20 %). Pada umumnya di daerah-daerah pedesaan, masyarakat di Kecamatan Biru-biru mayoritas mata pencahariannya adalah bertani. Tingkat pendidikan penduduk di Kecamatan Biru-biru pada usia produktif (18–35 thn) sebagian besar adalah tamat SLTA, selebihnya adalah tamat SLTP, tamat SD. Dan juga ada yang sampai ke jenjang Perguruan tinggi tamat D1 (Diploma 1), D2 (Diploma 2), D3 (Diploma 3), S1 (Strata 1), dan tamat S2 (Strata 2). Kondisi demikian menunjukkan masyarakat di Kecamatan ini berusaha dan berjuang menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang perguruan tinggi atau akademi, minimal sampai ke tingkat Sekolah Lanjutan Atas (SLTA) (Sumber: Profil (exspose) Kecamatan Biru-Biru, 2008).

Sarana dan Prasarana

Beberapa sarana dan prasarana umum yang terdapat di Kecamatan Biru-biru antara lain adalah sarana ekonomi, pelayanan masyarakat dan transportasi Untuk sarana produksi terdiri dari industri kecil kerajinan tangan dan industri

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

kecil non-kerajinan tangan yang memproduksi peti mati, lemari, pintu dan jendela dari bahan-bahan kayu gergajian atau papan.

Gambar 1. Sarana Produksi di Kecamatan Biru-Biru

Prasarana perhubungan berupa jalan darat atau jalan utama (beraspal) yang menghubungkan antar Desa. Jalan utama ini biasa disebut dengan jalan protokol. Sebagian besar jalan-jalan ini masih jalan berbatu.

Kecamatan Biru-biru memiliki sarana perhubungan angkutan darat misalnya mobil angkutan umum yang melalui jalan utama. Jalan utama ini merupakan suatu aksesibilitas penting yang memperlancar kegiatan ekonomi maupun sosial-budaya di Kecamatan Biru-biru, Kabupaten Deli Serdang. Sarana kesehatan terdiri dari Puskesmas dan Posyandu, dan sarana ibadah seperti Gereja dan Mesjid dan Kuil juga tersedia di desa ini.

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kegiatan dan Bentuk Pengelolaan Hutan Rakyat

Kegiatan pengelolaan hutan rakyat di Kecamatan Biru-biru dimulai dengan kegiatan persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran. 1. Persiapan lahan

Teknis di lapangan yang dilakukan masyarakat (pemilik lahan) selama kegiatan berlangsung mulai dari cara pembuatan larikan, jarak tanam, piringan, lubang tanam, dan penanaman.

2. Penanaman

Sebelum penanaman dilakukan, kegiatan yang harus dipersiapkan terlebih dahulu oleh pemilik lahan di lokasi penanaman adalah pembuatan larikan, kemudian pembuatan piringan tanaman dengan diameter 1 meter. Setelah itu dilakukan pembuatan lubang tanaman, lalu dibiarkan selama 1-2 minggu dengan tujuan supaya tanahnya gembur, selain itu ada sebagian masyarakat khususnya pemilik hutan rakyat yang tidak melakukan kegiatan tersebut melainkan langsung melakukan kegiatan penanaman.

Pada pelaksanaan pembuatan hutan rakyat, penanamannya dapat dilaksanakan dengan berbagai cara tergantung dari jenis tanaman yang akan dikembangkan. Pada umumnya setiap jenis tanaman mempunyai persyaratan tumbuh, hal ini tergantung pada kondisi tempat tumbuhnya. mindi (Mellia azedara) merupakan salah satu tanaman yang dipilih dalam pengelolaan hutan rakyat di desa ini dan

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

sangat mendominasi. Sebab sistem pemeliharaannya tidak sulit, tidak mudah terserang penyakit, kondisi alamnya mendukung dan masa panennya relatif cepat.

Beberapa tanaman lain yang dipilih dalam pengelolaan hutan rakyat ini yakni mahoni (Switenia mahagoni), kemiri (Aleurite molucana), kapas dan gmelina (Gmelina arborea) .Namun, dalam pengelolaan hutan rakyat ini juga dilakukan pengkombinasian dengan tanaman pertanian dan perkebunan sebagai tanaman penyela. Tanaman tersebut antara lain; coklat, duku, sawo, padi, pisang, sawit, durian dan karet .

Penanaman mindi dilakukan ke dalam lubang-lubang yang telah dibuat dengan jarak tanam yang bervariasi. Umumnya petani menanam dengan jarak 5 x 5 m sehingga per hektarnya terdapat 400 pohon. Pada pelaksanaan pembuatan tanaman, teknik penanaman dapat dilaksanakan dengan berbagai cara tergantung dari jenis tanaman yang akan dikembangkan. Teknik penanaman mindi dapat dilaksanakan dengan cara bumbung. Dimana pada waktu menanam hendaknya bumbung dilepas/disobek supaya tidak mengganggu pertumbuhan selanjutnya (Ginting, Komunikasi Pribadi 2009).

3. Pemeliharaan

Kegiatan pemeliharaan tanaman meliputi : a. Penyiangan, pendangiran, dan penyulaman.

Penyiangan dan pendangiran adalah upaya untuk membebaskan tanaman dari jenis-jenis tanaman pengganggu (rumput liar). Penyiangan adalah upaya pembebasan tanaman dari jenis-jenis pengganggu atau gulma seperti rumput-rumputan dan semak. Pendangiran adalah upaya penggemburan tanah disekeliling

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

tanaman dengan maksud memperbaiki kondisi fisik tanah. Sedangkan penyulaman adalah upaya atau usaha penanaman untuk mengganti tanaman yang rusak/mati.

b. Pemupukan dan pemberantasan hama penyakit

Kegiatan pemupukan dilakukan oleh pemilik hutan rakyat ini dilakukan sebanyak 2 kali pemupukan dalam 1 tahun, yaitu pada awal penanaman dan 6 bulan setelah penanaman. Sedangkan untuk pemberantasan hama penyakit ini dilakukan pada saat tanaman tersebut mengalami serangan hama atau sakit. Pemberantasan ini dilakukan oleh pemilik lahan dengan cara tersendiri dan menurut pengelola lahan lebih praktis agar pertumbuhan tanaman dapat tumbuh dengan baik.

Cara mengatasinya dengan melakukan penyemprotan pestisida atau air tembakau yang dicampur kapur. Pemberantasan penyakit dengan menggunakan campuran tembakau dan kapur pada tanaman Mahoni seperti yang dilakuan ibu Rasli Sitepu, dengan menyemprotkan air tembakau pada bagian batang tanaman yang mengalami sakit untuk mengatasi terjadinya kerusakan pada tanaman mahoni tersebut. Hal ini dilakukan mutu dan kualitas serta harga jual kayu tersebut tidak berkurang. Karena semakin baik kualitas kayu maka semakin tinggi nilai jualnya.

4. Pemanenan

Mindi dapat dipanen pada umur ± 5 tahun. Kayu mindi ditebang ketika dibutuhkan saja, baik untuk keperluan kebutuhan hidup sehari-hari maupun untuk dijual guna mendapatkan uang tunai. Para pemilik maupun sekaligus

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

pengelolanya akan memanen atau menjual kayu mindi tersebut di lahan miliknya masing-masing disaat mereka memang benar-benar membutuhkannya (untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak). Salah satu kebutuhan yang mendesak itu adalah keperluan sehari-hari dan untuk biaya melanjutkan pendidikan/sekolah anak-anaknya.

Sistem penebangan di desa ini dilakukan dengan sistem tebang pilih. Biasanya di desa ini, petani menjual kayu mindi kepada pembeli (pengusaha) dalam keadaan pohon berdiri dan diborongkan. Pemanenan kayu gelondongan ini biasanya dilakukan oleh pembeli, karena mereka telah mempunyai modal dan peralatan yang lebih memadai seperti gergaji mesin (chain saw) dan sarana pengangkutan.

5. Pemasaran

a. Tanaman Kehutanan

Kayu yang dijual oleh masyarakat/pemilik hutan rakyat di empat desa di Kecamatan Biru-biru ini biasanya melalui agen kayu terlebih dahulu. Agen kayu adalah seseorang yang profesinya/pekerjaannya adalah mencari dan menyediakan kayu (dalam hal ini kayu mindi, jati dan mahoni) dari lahan-lahan petani/pemilik hutan rakyat kepada pengusaha-pengusaha kayu rakyat (pembeli kayu), baik pengusaha industri kecil maupun besar untuk keperluan sumber bahan baku bagi industri-industri tersebut. Agen kayu di desa ini dalam hal ini adalah seorang penduduk yang berdomisi di desa tersebut.

Agen kayu ini memiliki keahlian dalam mencari kayu dan menaksir/menghitung berapa kira-kira volume kayu yang dapat dihasilkan dari suatu lahan hutan rakyat yang benar-benar layak untuk dipasarkan, dengan

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

demikian, agen kayu ini dapat memberikan keterangan/informasi kepada pengusaha kayu mindi, jati dan mahoni yang sedang mencari kayu, yaitu berapa jumlah pohon dan volume kayu yang dapat dihasilkan di pabrik/kilang kayu. Agen kayu ini dapat dikatakan sebagai perpanjangan tangan dari pengusaha kayu atau dengan perkataan lain agen kayu merupakan penyedia jasa bagi para pengusaha kayu yang memang benar–benar membutuhkan jasanya. Tentu saja pengusaha kayu harus membayar jasa kepada agen kayu tersebut, dan besarnya nilai/nominal jasa yang harus dibayarkan tersebut adalah tergantung kesepakatan dan negosiasi diantara mereka.

Sistem penjualan kayu mindi, jati dan mahoni di empat desa Kecamatan Biru-biru ini melalui sistem borongan. Sistem ini dikatakan sistem borong bila pengusaha (pembeli) melalui agen kayu datang dan berminat membeli kayu-kayu tersebut kepada pemilik kayu, kemudian agen kayu akan menaksir/memperkirakan berapa kira-kira kubikasi kayu yang dapat dihasilkan dari kayu–kayu tersebut. Pembeli kayu membeli kayu-kayu tersebut dalam keadaan pohon berdiri lalu dihitung jumlahnya dan dikalikan dengan harga per pohonnya sesuai dengan kesepakatan antara pembeli dan pemilik, kemudian transaksipun dilakukan antara pembeli kayu dengan pemilik kayu. Cara penjualan seperti ini banyak dilakukan petani karena dianggap mudah dan praktis, sehingga tidak menyusahkan petani sekaligus pemilik hutan rakyat.

Bila kesepakatan harga sudah didapat, maka pemanenanpun segera dilaksanakan. Biasanya di desa ini, pemilik lahan hanya tinggal terima bersih, yang berarti pengusaha/pembeli yang mengurus semua kegiatan operasional dan mengeluarkan biaya yang diperlukan dalam kegiatan penebangan, pengangkutan,

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

pemasaran, dan termasuk perijinan. Perijinan dalam menebang pohon, mengangkut, dan memasarkan kayu dari hutan tanah milik harus dimiliki. Perijinan yang dimaksud adalah Ijin Pemanfaatan Kayu pada Tanah Milik (IPKTM).

IPKTM merupakan surat ijin atau wewenang tertulis untuk kegiatan penebangan pohon, pengumpulan, pengangkutan dan pemasaran kayu yang menjadi suatu bukti kelegalitasan kayunya, atau surat keterangan yang menyatakan sahnya pengangkutan, penguasaan, atau kepemilikan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat. IPKTM dapat diberikan pada setiap orang atau badan hukum atau koperasi yang melakukan kegiatan pemanfaatan kayu pada tanah milik yang tumbuh hasil tanaman.

Adapun prosedur penjualan dan sekaligus perijinan (IPKTM) yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1) Seseorang yang memiliki kayu dan mau menjualnya, harus terlebih dahulu mengurus Surat Keterangan Tanah (SKT) (Lampiran 5) dari Kepala Desa (Penghulu). SKT ini berisikan bahwa si pemilik benar memiliki suatu tanah/lahan yang disertai dengan luasnya, dan di atasnya ditumbuhi jenis pohon yang disertai dengan jumlahnya.

2) Kemudian kepala desa meninjau ke lokasi untuk mengecek kebenaran keberadaan lahan dan kayu (pohon) di lahan pemilik tersebut.

3) Setelah SKT selesai diurus dan sudah diperoleh si pemilik, lalu diurus akte tanah dari camat setempat.

4) Setelah akte tanah selesai diurus, maka SKT diserahkan kepada si pembeli/pengusaha, lalu si pembeli mengusulkan permohonan penebangan

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009.

kayu ke Dinas Kehutanan dengan menyertakan SKT, surat jual beli yang sudah ditandatangani oleh si pemilik lahan dan si pembeli dilengkapi dengan kopi KTP.

5) Setelah itu, Dinas Kehutanan akan datang ke lokasi/lahan hutan rakyat yang bersangkutan untuk melakukan cruising (peninjauan resmi ke lokasi).

6) Setelah cruising, maka IPKTM dapat dikeluarkan lalu penebangan kayu bisa dikerjakan. Biaya yang dikenakan dalam IPKTM ini adalah sebesar Rp 100.000 per meter kubik.

Pengusaha kayu rakyat menjual kayu (mindi, jati dan mahoni) dari hasil hutan rakyat ke panglong (usaha dagang kayu) maupun industri pengolahan kayu skala kecil dan menengah, (misal industri kayu gergajian, industri meubel lokal, dan lain-lain) yang berada di Kecamatan Biru-biru Kabupaten Deli Serdang dan sebagainya.

Kayu dari hutan rakyat diolah untuk berbagai kegunaan seperti bahan pertukangan, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Harga kayu yang dijual oleh pengusaha mindi rakyat di pabrik/industri pengolahan kayu adalah Rp 150.000 per meter kubik. Industri kayu gergajian misalnya, akan mengolah kayu mindi, jati dan mahoni itu menjadi menjadi kayu– kayu gergajian, kemudian kayu-kayu gergajian ini akan dibeli oleh industri– industri meubel lokal sebagai bahan baku.

Jalur pemasaran hasil hutan rakyat di Kecamatan Biru-biru disajikan pada Gambar 2

Elmira Safitri : Identifikasi Dan Inventarisasi Pengelolaan Hutan Rakyat Di Kecamatan Biru-Biru, 2009. H asil H utanR akyat P engusaha K ayu P anglong Industri P enggergajian Industri M eubel L okal A gen K ayu

Gambar 2. Jalur Pemasaran Hasil Hutan Rakyat Kecamatan Biru-biru.

b. Tanaman Pertanian

1) Duku (Lancium domesticum)

Petani menjual duku langsung kepada pedagang pengumpul (penadah). Petani biasanya hanya mengeluarkan biaya berupa upah panjat sebesar Rp. 50.000 per orang. Biasanya tenaga kerja yang dibutuhkan 4-5 orang. Untuk pengangkutan buah duku ditanggung oleh pedagang pengumpul sekitar Rp. 4.000 u/kg. Rantai pemasaran buah duku, dilokasi peneliti disajikan pada Gambar 3.

P etani D uku P edagang

P engum pul K onsum en

Gambar 3. Rantai Pemasaran Buah Duku di Kecamatan Biru-Biru

2) Coklat (Theobroma cacao)

Coklat yang dijual merupakan coklat yang sudah dikeringkan. Pengeringan

Dokumen terkait