• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Metode Penelitian

4. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui data sekunder berupa studi dokumen.

5. Analisis Data

Analisis data menggunakan tentang bagaimana memanfaatkan data yang terkumpul untuk dipergunakan dalam memecahkan permasalahan penelitian. Jenis analisis data terdiri dari analisis kuantitatif dan kualitatif. Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian hukum ini adalah dengan menggunakan analisis data kualitatif. Data kualitatif adalah data yang berbentuk kata-kata, bukan dalam bentuk angka. Data kualitatif diperoleh melalui berbagai macam teknik pengumpulan data misalnya wawancara, analisis dokumen, diskusi terfokus, atau observasi.

11

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang maka orang patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahan.

Konsepsi yang menempatkan kesalahan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana, juga dapat ditemukan dalam common law

system.Sejak abad kedua belas, dalam buku hukum pidana negara-negara common

law system berlaku maksim Latin: “actus non est reus, nisi mensd sit rea”. Menurut Wilson umumnya maksim ini diterjemahkan sebagai “an act is not

criminal in the absence of a guilty mind”. Suatu perbuatan tidak dapat dikatakan

bersifat kriminal jika tidak terdapat kehendak jahat didalamnya.4

Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dari segi masyarakat menunjukkan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan orang tersebut.

Perbuatan agar dapat dipertanggungjawabkan secara pidana harus mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa).

4

Chairul Huda. 2006. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada

1. Kesengajaan (opzet)

Sesuai dengan teori hukum pidana indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam yaitu sebagai berikut :5

a. Kesengajaan yang bersifat tujuan

Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana maka si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman.

b. Kesengajaan secara kepastian

Kesengajaan ini ada jika pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu. c. Kesengajaan secara kemungkinan

Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya.

5

Muhammad Ramadhan Kiro. Penerapan Umsur Delik Kesengajaan pada Kecelakaan Lalu Lintas yang Mengakibatkan Hilangnya Nyawa Orang Lain yang dilakukan Oleh orang Karena Pengaruh Alkohol. Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

13

2. Kelalaian (culpa)

Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan pengurangan pidana.

Delik culpa mengandung 2 (dua) macam yaitu delik kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat tetatpi yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan diantara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam dengan pidana. B. Pelaku Tindak Pidana

Rumusan tindak pidana didalam Buku Kedua dan Ketiga KUHP biasanya dimulai dengan kata barangsiapa. Ini mengandung arti bahwa yang dapat melakukan tindak pidana atau subjek tindak pidana pada umumnya adalah manusia. Juga dari ancaman pidana yang dapat dijatuhkan sesuai dengan Pasal 10 KUHP, seperti pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, denda dan pidana tambahan mengenai pencabutan hak dan sebagainya menunjukkan bahwa yang dpaat dikenai pada umumnya manusia atau person.

Sebagaimana diatur dalam pasal 55 KUHP (1) di atas, bahwa pelaku tindak pidana itu dapat dibagi dalam 5 (lima) golongan:

Orang yang melakukan (plegen) atau pelaku (pleger) adalah orang yang perbuatannya mencocoki semua unsur dari suatu rumusan tindak pidana.6Dari berbagai pendapat para ahli dan dengan pendekatan praktik dapat diketahui bahwa untuk menentukan seseorang sebagai yang melakukan (pleger)/pembuat pelaksana tindak pidana secara penyertaan adalah dengan 2 kriteria: perbuatannya adalah perbuatan yang menetukan terwujudnya tindak pidana dan perbuatannya tersebut memenuhi seluruh unsur tindak pidana.

2. Orang yang menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana

(doen pleger)

Orang lain yang disuruh melakukan sebagaimana memenuhi beberapa unsur dari jenis perbuatan:

1) Orang lain sebagai alat di dalam tangannya

Yang dimaksud dengan orang lain sebagai alat di dalam tangannya adalah apabila orang/pelaku tersebut memperalat orang lain untuk melakukan tindak pidana. Karena orang lain itu sebagai alat, maka secara praktis pembuat penyuruh tidak melakukan perbuatan aktif. Dalam doktrin hukum pidana orang yang diperalat disebut sebagai manus ministra sedangkan orang yang memperalat disebut sebagai manus domina juga disebut sebagai

middelijke dader (pembuat tidak langsung).

6

Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis Di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2013, halaman 215

15

Ada tiga konsekuensi logis, terhadap tindak pidana yang dilakukan dengan cara memperlalat orang lain:

a. Terwujudnya tindak pidana bukan disebabkan langsung oleh pembuat penyuruh, tetapi leh perbuatan orang lain

(manus ministra);

b. Orang lain tersebut tidak bertanggungjawab atas

perbuatannya yang pada kenyataannya telah melahirkan tindak pidana;

c. Manus ministra ini tidak boleh dijatuhi pidana, yang dipidana adalah pembuatan penyuruh.

2) Tanpa kesengajaan atau kealpaan

Yang dimaksud dengan tanpa kesengajaan atau tanpa kealpaan adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang disuruh (manus ministra) tidak dilandasi oleh kesengajaan untuk mewujudkan tindak pidana, juga terjadinya tindak pidana bukan karena adanya kealpaan, karena sesungguhnya inisiatif perbuatan datang dari pembuat penyuruh, demikian juga niat untuk mewujudkan tindak pidana itu hanya berada pada pembuat penyuruh(doen

pleger).

Yang dimaksud dengan tersesatkan disini adalah kekeliruan atau kesalahpahaman akan suatu unsur tindak pidana yang disebabaklan oleh pengaruh dari orang lain dengan cara yang isinya tidak benar, yang atas kesalahpahaman itu maka memutuskan kehendak untuk berbuat. Keadaan yang menyebabkan orang lain itu timbul kesalahpahaman itu adalah oleh sebab kesengajaan pembuat penyuruh sendiri. 4) Karena kekerasan

Yang dimaksud dengan kekerasan (geweld) di sini adalah perbuatan yang dengan menggunakan kekerasan fisik yang besar, yang in casu ditujukan pada orang, mengakibatkan orang itu tidak berdaya.

Dari apa yang telah diterangkan di atas maka jelaslah bahwa orang yang disuruh melakukan tidak dapat dipidana. Di dalam hukum orang yang disuruh melakukan ini dikategorikan sebgai manus ministra, sementara orang menyuruh melakukan dikategorikan manus domina.

Menurut Moeljatno, kemungkinan-kemungkinan tidak dipidananya orang yang disuruh, karena:

a. Tidak mempunyai kesengaaan, kealpaan ataupun kemampuan bertanggungjawab;

b. Berdasarkan Pasal 44 KUHP; c. Daya paksa Pasal 48 KUHP;

17

d. Berdasarkan Pasal 51 ayat 2 KUHP; dan

e. Orang yang disuruh tidak mempunyai sifat/kualitas yang disyaratkan dalam delik, misalnya Pasal 413-437 KUHP). 3. Orang yang turut melakukan tindak pidana (mede pleger)

Turut serta melakukan yaitu seorang pembuat turut serta mengambil prakarsa dengan berunding dengan orang lain dan sesuai dengan perundingan itu mereka bersama-sama melaksanakan delik.

KUHP tidak memberikan rumusan secara tegas siapa saja yang dikatakan turut melakukan tindak pidana, sehingga dalam hal ini menurut doktrin untuk dapat dikatakan turut melakukan tindak pidana haru memenuhi dua syarat ;

a. Harus adanya kerjasama secara fisik

b. Harus ada kesadaran bahwa mereka satu sama lain bekerjasama untuk melakukan tindak pidana

Pada pasal 56 KUHP dijelaskan orang “membantu melakukan” jika ia sengaja memberikan bantuan tersebut, pada waktu atau sebelum (jika tidak sesudahnya) kejahatan itu dilakukan. Bila bantuan itu diberikan sesudah kejahatan itu dilakukan maka orang tersebut melakukan perbuatan “sekongkol” atau “tadah” melanggar pasal 480 KUHP atau peristiwa pidana tersebut dalam pasal 221 KUHP.

Dari berbagai pandangan para ahli tentang bagaimana kategori untuk menentukan pembuat peserta (medepleger), maka dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk menentukan seseorang sebagai pembuat

peserta yaitu apabila perbuatan orang tersebut memang mengarah dalam mewujudkan tindak pidana dan memang telah terbentuk niat yang sama dengan pembuat pelaksana (pleger) untuk mewujudkan tindak pidana tersebut.

Perbuatan pembuat peserta tidak perlu memenuhi seluruh unsur tindak pidana, asalkan perbuatannya memiliki andil terhadap terwuudnya tindak pidana tersebut, serta di dalam diri pembuat peserta telah terbentuk niat yang sama dengan pembuat pelaksana untuk mewujudkan tindak pidana.

Menurut Prodjodikoro, Hoge Raad pernah memutuskan bahwa terdapat 2 syarat bagi adanya turut melakukan tindak pidana, yaitu: a. kerja sama yang disadari antara para turut pelaku, hal mana

merupakan suatu kehendak bersama antara mereka b. mereka harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu.7

4. Orang yang dengan sengaja membujuk atau menggerakan orang lain untuk melakukan tindak pidana (uit lokken)

Kata “uitlokken”, selain diterjemahkan sebagai “menganjurkan:, sebagaimana yang dilakukan oleh Tim Penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional, juga dapat diterjemahkan sebagai “membujuk” sebagaimana yang dilakukan oleh Wirjono Prodjodikoro.

Ada perbuatan “uitlokken” (menganjurkan, membujuk) apabila si “uitlokker: (penganjur, pembujuk) menggunakan upaya-upaya yang

7

19

telah disebutkan dalam Pasal 56 ayat 1 butir 2 KUHP. Hal ini merupakan salah satu pembeda antara bentuk menyuruh melakukan (doen plegen) dan menganjurkan melakukan (uitlokken).8 Syarat-syarat uit lokken :

a. Harus adanya seseorang yang mempunyai kehendak untuk melakukan tindak pidana

b. Harus ada orang lain yang digerakkan untuk melakukan tindak pidana

c. Cara menggerakan harus menggunakan salah satu daya upaya yang tersebut didalam pasal 55(1) sub 2e (pemberian,perjanjian, ancaman, dan lain sebagainya) d. Orang yang digerakan harus benar-benar melakkan tindak

pidana sesuai dengan keinginan orang yang menggerakan Cara-cara yang digunakan dalam perbuatan menganjurkan/ membujuk yaitu:9

a. Memberi atau menjanjikan sesuatu

b. Dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat c. Dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan

d. Dengan meberi kesempatan, sarana atau keterangan.

Ditinjau dari sudut pertanggung jawabannya maka pasal 55(1) KUHP tersebut di atas kesemua mereka adalah sebagai penanggung

8

Ibid, halaman 218

9

jawab penuh, yang artinya mereka semua diancam dengan hukuman maksimum pidana pokok dari tindak pidana yang dilakukan.

Secara hukum dampak yang dirasakan oleh pelaku adalah diberi sanksi pidana. Penjatuhan pidana tersebut menyebabkan pelaku akan hidup terpisah dengan keluarganya, dan tidak dapat melakukan beberapa hal yang sebelumnya biasa dilakukannya.

Kemudian sanksi sosial juga akan dirasakan pelaku dan tidak hanya pelaku yang merasakan tetapi keluarganya juga. Pada keluarga pelaku akan menimbulkan perasaan malu bahkan penderitaan psikis yang berkepanjangan karena memiliki anggota keluarga yang disebut sebagai penjahat atau mantan penjahat.10

5. Pembantu Kejahatan (Medeplichtige)

Dalam pasal 56 KUHPidana dirinci dua macam pembantu melakukan kejahatan, yaitu:

a. Membantu pada waktu kejahatan dilakukan

b. Melakukan kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.

Hal “membantu pada waktu kejahatan dilakukan” memiliki kemiripan tertentu deengan turut melakukan (medeplegen). Oleh Wirjono Projodikoro dikatakan bahwa disinipun ada perbedaan antara teori subjektif disatu pihak dengan teori objektif di lain pihak.

10

Nursariani Simatupang. 2017. Kriminologi Suatu Pengantar. Medan: Pustaka Prima. halaman 136.

21

Dalam pandangan teori subjektif, perbedaan antara keduanya harus dilihat dari wujud kesengajaan yang ada pada si pelaku. Ukurannya kesengajaannya adalah:

a. Apakah kehendak si pelaku benar-benar untuk turut melakukan tindak pidana, ataukah si pelaku hanya untuk memberi bantuan saja

b. Apakah si pelaku ada kehendak untuk benar-benar mencapai akibar, yang merupakan unsur dari tindak pidana, ataukah hanya turut membantu saja apabila pelaku utama menghendaki.

Dalam pandangan teori objektif, ukurannya adalah wujud dari perbuatan itu dapat mengakibatkan hal yang menjadi unsur dari tindak pidana, ataukah hanya merupakan syarat, bukan sebab, dari akibat tersebut.11

C. Tindak Pidana Menggunakan Surat Palsu

Kejahatan mengenai pemalsuan adalah suatu tindak kejahatan yang didalamnya mengandung unsur suatu keadaan ketidakbenaran atau palsu atas suatu objek yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya padahal sebenarnya bertentangan dengan yang sebenarnya, sedangkan perbuatan memalsu adalah perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lain atau berbeda dengan isi surat tersebut.

11

Dalam berbagai jenis perbuatan pemalsuan yang terdapat dalam KUHP dianut:

1. Disamping pengakuan terhadap azas hak atas jaminan kebenaran/ keaslian data, surat/tulisan, perbuatan pemalsuan terhadap data/surat/tulisan tersebut harus dilakukan dengan tujuan jahat.

2. Berhubung perbuatan jahat dianggap terlalu luas, harus diisyaratkan bahwa pelaku harus mempunyai niat/maksud untuk menciptakan anggapan atau sesuatu yang dipalsukan sebagai yang asli dan benar. Surat adalah lembaran kertas yang diatasnya terdapat tulisan kata, frasa dan/atau kalimat yang terdiri dari huruf-huruf dan/atau angka dalam bentuk apapun dan dibuat dengan cara apapun yang tulisan mana mengandung arti dan/atau makna buah pikiran manusia.12

Kebenaran mengenai arti dan/atau makna tersebut harus mendapat perlindungan hukum. Sebagai suatu pengungkapan dari buah pikiran tertentu yang terdapat didalam surat harus mendapat kepercayaan masyarakat.

Perbuatan menggunakan surat palsu, menggunakan disini bukan unsur perbuatan yang dilarang,tetapi menggunakan arah yang dituju oleh kehendak atau maksud dalam melakukan perbuatan membuat surat palsu atau memalsu surat.

Menggunakan surat adalah perbuatan memnfaatkan kegunaan surat sebagaimana maksud dibuatnya surat itu. Memakai dirumuskan dalam bentuknya yang abstrak dan oleh karena itu wujud konkret dari memanfaatkan kegunaan surat bisa bermacam-macam. Misalnya menyerahkan, memperlihatkan atau

12

Adami Chazawi. 2014. Tindak Pidana Pemalsuan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Halaman 135

23

menunjukkan, mengirimkan, membacakan, menjual,menjadikan jaminan, dan lain sebgaainya. Wujud wujud konkret perbuatan memakai surat tersebut harus sudah terjadi/selesai agar tindak pidana memakai surat palsu atau dipalsu selesai sempurna.

Surat palsu atau yang dipalsu seolah-olah asli. Seolah-olah asli menandakan bahwa surat yang digunakan itu bukanlah surat yang isinya benar. Tidak benarnya bisa oleh sebab isinya palsu atau isinya dipalsukan. Dan tidak benarnya isi yang digunakan harus dibuktikan.

Tidak semua surat dapat menjadi objek pemalsuan surat melainkan terbatas pada 4 surat, yakni:

1. Surat yang menimbulkan suatu hak 2. Surat menimbukan suatu perikatan

3. Surat yang menimbulkan pembebasan hutang 4. Surat yang diperuntukkan bukti mengenai suatu hal.

24

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaar feit”, didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri. Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata “Delictum”13.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tercantum sebagai berikut : “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelangggaran terhadap undang-undang tindak pidana”. Berdasarkan rumusan yang ada maka delik (strafbaar feit) memuat beberapa unsur yakni:

1. Suatu perbuatan manusia

2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-undang.

3. Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan.

Menurut Teguh Prasetyo dalam bukunya berjudul Hukum Pidana bahwa Prof. Mulyatno S.H. menerjemahkan istilah strafbaar feit dengan perbuatan pidana. Menurut pendapat beliau istilah “perbuatan pidana” menunjuk kepada makna adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang dilarang hukum dimana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Dapat diartikan

13

25

demikian karena kata “perbuatan” tidak mungkin berupa kelakuan alam., karena yang dapat berbuat dan hasilnya disebut perbuatan itu adalah hanya manusia.14

Selain itu, kata “perbuatan” lebih menunjukkan pada arti sikap yang diperlihatkan seseorang yang bersifat aktif (yaitu melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang hukum), tetapi dapat juga bersifat pasif (yaitu tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).

Istilah tindak pidana menunjukkan gerak gerik tingkah laku dan gerak-gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidka berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana.

Menurut Prof. Sudarto didalam Buku Hukum Pidana, tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, dimana pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).15

Setelah mengetahui defenisi dan pengertian yang lebih mendalam dari tindak pidana itu sendiri, maka didalam tindak pidana tersebut terdapat unsur-unsur tindakan pidana, yaitu:

a. Unsur Objektif

Unsur yang terdapat diluar si pelaku. Unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan dimana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Terdiri dari:

14

Ibid. Halaman 48

15

1. Sifat melanggar hukum 2. Kualitas si pelaku

3. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

b. Unsur Subjektif

Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku atau yang dihubungkan dengan si pelaku dan teramsuk didalamnya segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya. Unsur ini terdiri dari:

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa) 2. Maksud pada suatu percobaan

3. Macam-macam maksud 4. Merencanakan terlebih dahulu 5. Perasaan takut

Pengertian perbuatan ternyata yang dimaksudkan bukan hanya yang berbentuk positif, artinya melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu yang dilarang dan berbentuk negatif artinya tidak berbuat sesuatu yang diharuskan. Untuk ini pun terdapat berbagai pendapat para pakar hukum, Simons mengatakan bahwa dalam arti sesungguhnya berbuat (handelen) mengandung sifat aktif, yaitu tiap gerak otot yang dikehendaki atau dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan akibat.

Menurut Pompe, ia tidak menyetujui rumusan tersebut, karena gerakan otot tidak selalu ada pada setiap tindak pidana, juga mengenai kehendak tidak selalu ada. Ia mengatakan perbuatan (gedraging) itu dapat ditetapkan sebagai

27

suatu kejadian yang berasal dari manusia yang dapat dilihat dari luar dan diarahkan kepada tujuan yang menjadi sasaran norma.

Menurut Drs. C.S.T Kansil S.H dalam Bukunya Buku Saku Hukum, dalam pergaulan hidup manusia, tiap-tiap hari manusia itu selalu melakukan perbuatan-perbuatan untuk memenuhi kepentingannya. Segala perbuatan-perbuatan manusia yang secara sengaja dilakukan oleh seseorang untuk menimbulkan hak dan kewajiban-kewajiban maka dinamakan perbuatan. Perbuatan hukum itu terdiri dari:

1. Perbuatan hukum sepihak

Yaitu perbuatan hukum yang dilakukan poleh satu pihak saja dan menimbukan hak dan kewajiban pada satu pihak.

2. Perbuatan hukum dua pihak

Yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak dan menimbulkan hak-hak dan kewajiban bagi kedua pihak (timbal-balik).16

Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan setidak-tidaknya dari dua sudut pandang, yakni: sudut pandang teoritis dan sudut pandang Undang-undang. Teoritis artinya berdasarkan pendapat para ahli hukum yang tercermin pada bunyi rumusannya. Sementara itu sudut Undang-undang adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada.17

Unsur tindak pidana adalah melihat bagaimana bunyi rumusan yang dibuatnya. Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah:

16

C.S.T. Kansil. 1992. Buku Saku Hukum. Jakarta: Erlangga. Halaman 53

17

Adami Chazawi. 2018. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Halaman 74

1. Perbuatan

2. Yang dilarang (oleh aturan hukum)

3. Ancaman pidana (bagi yang melanggar hukum)

Sedangkan menurut Schravendijk, unsur-unsur tindak pidana adalah sebagai berikut:

1. Kelakuan (orang yang)

2. Bertentangan dengan keinsyafan hukum 3. Diancam dengan hukuman

4. Dilakukan oleh orang (yang dapat) 5. Dipersalahkan/ kesalahan.

Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu yang masuk dalam kelompok kejahatan dan Buku III memuat pelanggaran. Ternyata ada unsur yang selalu disebutkan dalam setiap rumusan, yaitu mengenai tingkah laku/perbuatan walaupun ada perkecualian. Unsur kesalahan dan melawan hukum kadang-kadang dicantumkan dan seringkali juga tidak dicantumkan, sama sekali tidak dicantumkan mengenai unsur kemampuan bertanggungjawab. Disamping itu, banyak mencantumkan unsur-unsur lain baik sekitar/mengenai objek kejahatan maupun perbuatan secara khusus untuk rumusan tertentu.

Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu dapat diketahui adanya 11 unsur tindak pidana, yaitu:

1. Unsur tingkah laku 2. Unsur melawan hukum 3. Unsur kesalahan

29

4. Unsur akibat konstitutif

5. Unsur keadaan yang menyertai

6. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana 7. Unsur syarat tambahan memperberat pidana

8. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana 9. Unsur objek hukum tindak pidana

10. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana

11. Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana.

Unsur-unsur itu dapat dilakukan oleh yang namanya “Pelaku” tindak pidana. Pelaku adalah orang yang melakukan kejahatan. Dalam hukum pidana ada beberapa pihak yang dapat dikategorikan sebagai pelaku:

1. Orang yang melakukan (plegen)

2. Orang yang turut melakukan (medeplegen) 3. Orang yang menyuruh melakukan (doen plegen) 4. Orang yang membujuk melakukan (uitlokken)

Dokumen terkait