• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dr Ali Mudzakkir, S.H., M.H A PEMBAHASAN

Dalam dokumen PUTUSAN Nomor 69 PUU X 2012 DEMI KEADILA (Halaman 50-57)

Ketentuan Pasal 197 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP.

1. Kedudukan Pasal 197 ayat (1) KUHAP adalah sebagai syarat yang harus dipenuhi dalam membuat surat putusan yang berisi pemidanaan yang berlaku untuk semua putusan yang berisi pemidanaan, baik putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Dalam hal pemberlakuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP terhadap putusan Mahkamah Agung, Ahli sependapat dengan argumen yang diajukan oleh Pemohon yang inti pokoknya:

a. Mengandung ketidakjelasan dan bersifat multitafsir;

b. Kewenangan jaksa selaku eksekutor menjadi gamang dalam mengeksekusi putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap karena jelas putusan pemidanaan tersebut batal demi hukum (Pasal 197 ayat (2) KUHAP);

c. Ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP bersifat imperatif dan mandatori berlaku untuk semua putusan pada semua tingkatan pengadilan;

d. Wewenang menahan tersangka/terdakwa oleh penyidik, penuntut umum, dan hakim dengan diktum mengenai status terdakwa/terpidana adalah berbeda.

Perlu Ahli tambahkan bahwa dalam ketentuan KUHAP tidak ada pasal yang secara khusus mengatur syarat pembuatan putusan Mahkamah Agung dalam memeriksa permohonan kasasi dan peninjauan kembali dalam perkara pidana;

Pembuatan putusan pengadilan dalam perkara pidana dibedakan menjadi dua jenis putusan, yaitu putusan yang berisi pemidanaan (pembuatannya diatur dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP) dan putusan yang berisi bukan pemidanaan (pembuatannya diatur dalam Pasal 199 KUHAP). Adapun ketentuan Pasal 199 KUHAP dikutip selengkapnya:

Pasal 199

(1) Surat putusan bukan pemidanaan memuat:

a. ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) kecuali huruf e, f dan h;

b. pernyataan bahwa terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan; c. perintah supaya terdakwa segera dibebaskan jika ia ditahan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (2) dan

ayat (3) berlaku juga bagi pasal ini.

Ketentuan Pasal 199 KUHAP tersebut berlaku terhadap imperatif terhadap semua putusan yang berisi bukan pemidanaan. Jika suatu putusan yang berisi bukan pemidanaan tidak dipenuhinya syarat-syarat dalam membuat putusan yang bukan pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 ayat (1) mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Tampak terang dan jelas bahwa ketentuan Pasal 197 ayat (1) dan Pasal 199 ayat (1) KUHAP merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam membuat putusan dalam perkara pidana dan apabila suatu putusan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) dan Pasal 199 ayat (1), kecuali huruf g, mengakibatkan putusan batal demi hukum.

2. Kedudukan masing-masing persyaratan materi yang harus dimuat dalam pembuatan surat putusan pemidanaan pada Pasal 197 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf l, kecuali huruf g, adalah sama atau

sederajat, sedangkan ketentuan pada huruf h, i, dan huruf k memuat subtansi yang berbeda, karena memuat materi diktum putusan yang dijadikan dasar untuk melakukan eksekusi oleh jaksa penuntut umum selaku eksekutor, karena sifat materinya yang dimuat dalam huruf h, i dan k tersebut memerlukan pelaksanaan/eksekusi.

Ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k kedudukannya dengan syarat pembuatan putusan yang berisi pemidanaan yang lainnya, oleh sebab itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP, tidak dipenuhinya syarat pembuatan putusan yang berisi pemidanaan sebagaimana dimuat dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP mengakibatkan putusan tersebut batal demi hukum.

3. Ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf l yang substansinya sebagai diktum putusan pengadilan yang perlu ditindaklanjuti dalam bentuk dieksekusi adalah ketentuan pada Pasal 197 ayat (1) huruf h, huruf i, dan huruf k, dikutip selengkapnya:

h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan; i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan

menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;

k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;

Persyaratan membuat diktum dalam putusan yang berisi memidana mengacu kepada ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf h, i, dan k, maka setiap diktum putusan pemidanaan harus memuat mengenai tiga hal, yaitu:

a. mengenai perbuatan terdakwa yang telah terbukti memenuhi unsur-unsur tindak pidana (dan kualifikasi tindak pidana, jika ada), perbuatan tersebut melawan hukum, dan kesalahan terdakwa, dan kemudian pemidanaan atau tindakan (bagi terdakwa yang tidak dijatuhi pidana);

c. mengenai status terdakwa, yakni perintah supaya ditahan (kalau pada saat pembacaan putusan tidak ditahan) atau tetap dalam tahanan (apabila terdakwa pada saat pembacaan putusan berstatus dalam tahanan) atau pembebasan (sesuai dengan materi diktum tentang pemidanaan atau tindakan).

Dengan demikian, ketiga materi diktum tersebut harus ada (tidak boleh ditiadakan) dalam setiap putusan pengadilan yang berisi pemidanaan (aspek formal putusan pemidanaan), sedangkan materi atau isi diktum bisa berbeda-beda sesuai dengan materi putusan dan perkara pidana yang diputus (aspek substansi).

Karena masalah status terdakwa menjadi penting sebagai subjek yang dikenai sanksi pidana, maka ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k menjadi penting untuk dimuat dalam putusan yang berisi pemidanaan, di samping akan memberi jaminan ditegakkannya hukum dan kepastian hukum dalam melaksanakan putusan pengadilan (eksekusi), juga sebagai bentuk perlindungan terhadap hak hukum bagi setiap orang yang dijadikan terdakwa yang telah diputus terbukti dan dipidana. Hal yang lebih penting lagi, pemuatan status terdakwa tersebut untuk menghindari penyalahgunaan wewenang oleh aparat eksekutor dalam melaksanakan eksekusi putusan yang berisi memidana.

Potensi terjadinya penyalahgunaan wewenang tersebut, karena pada saat putusan dibacakan, jaksa penuntut umum yang menjadi eksekutor putusan pengadilan yang berisi pemidanaan tidak lagi memiliki wewenang untuk menahan terdakwa dan hakim/pengadilan tidak lagi memiliki wewenang untuk menahan, karena wewenang untuk menahan telah habis masa berlakunya sejak saat pemeriksaan sidang pengadilan telah selesai yang ditandai dengan diterbitkannya putusan pengadilan. Karena status terdakwa dimuat dalam diktum menjadi keharusan menurut KUHAP. Persoalan status terdakwa terjadi beberapa kemungkinan:

a. Status terdakwa ditahan:

1) Masa waktu tahanan belum habis:

Dengan dalih, maka penahanannya belum habis, eksekutor tetap melanjutkan penahanan sampai batas waktu penahanan

oleh pengadilan habis. Jika selama proses tersebut berkas putusan pemidanaan lengkap atau berkas eksekusi selesai, kemudian dilaksanakan eksekusi. Berarti eksekusi dilaksanakan masih dalam masa waktu tahanan.

2) Masa waktu tahan sudah habis sebelum eksekusi:

Jika sebelum berkas putusan pemidanaan lengkap atau berkas eksekusi lengkap, masa penahanan sudah habis, maka terdakwa harus dibebaskan. Berarti pihak eksekutor melaksanakan putusan pemidanaan status terdakwa tidak ditahan.

Masa penahanan sejak putusan pengadilan sampai dengan pelaksanaan eksekusi menjadi tidak sah, karena jaksa penuntut umum/eksekutor tidak lagi memiliki wewenang untuk menahan dan masa penahan pengadilan harus dinyatakan telah selesai/berakhir, karena proses pemeriksaan sidang pengadilan sudah dinyatakan selesai pada saat diterbitkannya putusan pengadilan, sedang hakim/pengadilan tidak memuat diktum tentang status terdakwa. b. Status terdakwa tidak ditahan:

Setelah putusan pemidanaan dibacakan, terdakwa tidak bisa langsung ditahan, karena tidak ada diktum putusan pengadilan yang memerintahkan atau memberi wewenang khusus kepada eksekutor untuk menahan terdakwa. Setelah berkas putusan pemidanaan lengkap atau berkas eksekusi selesai, terdakwa dieksekusi dalam status tidak ditahan. Jaksa selaku eksekutor dan pengadilan tidak memiliki wewenang hukum untuk menahan terdakwa.

Jika terdakwa ditahan sejak putusan pengadilan sampai dengan pelaksanaan eksekusi, maka penahanan terdakwa menjadi tidak sah, karena jaksa penuntut umum/eksekutor tidak lagi memiliki wewenang untuk menahan dan masa penahan pengadilan harus dinyatakan telah selesai/berakhir karena proses pemeriksaan sidang pengadilan sudah dinyatakan selesai pada saat diterbitkannya putusan pengadilan, sedang hakim/pengadilan tidak memuat diktum tentang status terdakwa.

Sebagai perbandingan, jika putusan pengadilan memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, maka pihak jaksa selaku eksekutor memiliki wewenang untuk melakukan penahanan terhadap terdakwa sebagai bagian dari pelaksanaan/eksekusi diktum putusan pengadilan yang berisi perintah untuk menahan sampai dengan berkas putusan pemidanaan selesai atau sampai berkas eksekusi selesai dan pelaksanaan eksekusi.

Atas permasalahan hukum mengenai status terdakwa/terpidana tersebut, KUHAP (dalam hal ini penyusun KUHAP) telah secara bijaksana mencatumkan norma dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k dan Pasal 197 ayat (2) KUHAP sebagai penegasan status terdakwa/ terpidana pada saat dibacakan putusan pengadilan yang berisi pemidanaan. Jika norma Pasal 197 ayat (1) huruf k tersebut diinterpretasi berbeda dengan struktur logik pengunaan wewenang aparat penegak hukum dan hakim yang intinya Putusan Mahkamah Agung tidak perlu ada diktum status terdakwa/terpidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP dan jika benar bahwa Mahkamah Agung sering membuat putusan pemidanaan yang tidak memuat status terdakwa/terpidana dan jaksa selaku eksekutor juga sering melaksanakan eksekusi putusan pemidanaan yang tidak mencantumkan diktum status terdakwa/terpidana tidak bisa dinilai sebagai “penciptaan hukum baru dalam praktek penegakan hukum”. Praktek penegakan hukum tersebut termasuk kategori praktek yang menyimpang yang mendasarkan kepada “illat” hukum yang tepat dan benar dari norma hukum acara pidana (atau melawan hukum), dengan alasan hukum:

a. telah secara sengaja membuat putusan pemidanaan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang diketahui mengakibatkan batal demi hukum (Pasal 197 ayat (2) KUHAP);

b. telah melaksanakan putusan pengadilan yang jelas diketahui statusnya adalah batal demi hukum; dan

c. telah menahan atau merampas kemerdekaan terdakwa/terpidana yang tidak lagi memiliki wewenang menahan terhadap terdakwa/terpidana.

4. Suatu putusan yang berisi pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf l (kecuali huruf g), konsekuensi hukumnya, menurut Pasal 197 ayat (2) KUHAP “mengakibatkan putusan batal demi hukum”.

• Putusan menjadi batal demi hukum merupakan konsekuensi hukum secara logik karena hakim dalam membuat suatu putusan yang berisi pemidanaan tidak mentaati atau memenuhi persyaratan dalam membuat suatu putusan yang berisi pemidanaan;

• Kesalahan dalam membuat surat putusan yang berisi pemidanaan yang tidak memuat persyaratan formil yang dimuat dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP tersebut sepenuhnya menjadi diatribusikan kepada majelis hakim yang membuat putusan tersebut. Kesalahan dalam membuat surat putusan pemidanaan yang tidak memenuhi aspek formil dan substantif tersebut tidak dapat dibenarkan dengan dalih kebebasan interpretasi hukum. Interpretasi terhadap norma hukum harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip interpretasi terhadap hukum yang sesuai dengan kaedah ilmiah dalam ilmu hukum pidana;

• Siapa yang menyatakan bahwa putusan pengadilan yang berisi pemidanaan tersebut batal demi hukum? Sesuai dengan kompetensi pengadilan, terhadap putusan pengadilan negeri yang menetapkan adalah pengadilan tinggi, terhadap putusan pengadilan tinggi yang menetapkan Mahkamah Agung. Sedangkan terhadap Putusan Mahkamah Agung yang menetapkan adalah Mahkamah Agung dengan ditetapkan oleh hakim lain yang bukan hakim yang mengambil keputusan;

• Mengenai status hukum terdakwa, terhadap putusan yang dinyatakan batal demi hukum adalah berlaku terhadap putusan pengadilan sebelumnya.

PENGERTIAN “MENGAKIBATKAN PUTUSAN BATAL DEMI HUKUM”

Dalam dokumen PUTUSAN Nomor 69 PUU X 2012 DEMI KEADILA (Halaman 50-57)