• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.9 Alih Kode

Para ahli linguistik telah memperhatikan peristiwa ujaran sebagai pokok ukur analisis komunikasi verbal. Faktor sosial dan faktor linguistik terdapat hubungan dalam peristiwa ujar. Kedua faktor itu, merupakan suatu fenomena yang tidak dapat dikesampingkan dalam masyarakat bahasa. Di samping itu, faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi pemilihan kode, yang termasuk di dalamnya alih kode dan campur kode. Oleh karena itu, alih kode merupakan suatu aspek yang sangat penting dalam kedwibahasaan. Dwibahasawan atau multibahasawan dalam ujarannya akan sering mengganti kode bahasa atau ragam bahasa. Pergantian kode itu disebabkan oleh situasi atau keperluan dalam berbahasa.

Tarigan (2009: 3) mengemukakan tentang perihal kedwibahasaan dan dwibahasawan. Menurutnya, kedwibahasaan adalah perihal pemakaian dua bahasa, dan dwibahasawan adalah orang yang dapat berbicara dalam dua bahasa. Dalam situasi kedwibahasaan, peristiwa alih kode bisa saja terjadi. Alih kode merupakan istilah yang umum untuk pergantian atau peralihan dalam pemakaian dua bahasa atau lebih. Chaer dan Leonie (2010: 107) mengemukakan pengertian alih kode. Mereka mengatakan bahwa alih kode adalah peristiwa pergantian

bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain, atau berubahnya dari ragam santai menjadi ragam resmi, atau juga ragam resmi ke ragam santai. Appel (Chaer dan Leonie, 2010: 107) mengemukakan alih kode itu sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi. Berdasarkan hal tersebut, alih kode merupakan peristiwa pergantian dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain karena berubahnya situasi.

Berbeda dengan Appel (Chaer dan Leonie, 2010: 107-108) yang mengatakan alih kode itu terjadi antar bahasa, maka Hymes (Chaer dan Leonie, 2010: 107) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antar bahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Berdasarkan hal tersebut, Aslinda dan Leni (2010: 85) mengungkapkan bahwa alih kode merupakan gejala peralihan pemakaian bahasa yang terjadi karena situasi dan terjadi antarbahasa serta antarragam dalam satu bahasa. Achmad dan Alek (2013: 159) mengemukakan bahwa alih kode adalah peralihan atau penggantian kode bahasa, baik antarragam bahasa maupun dialek (ragam resmi atau formal ke ragam santai atau dari suatu dialek ke dialek lainnya), juga peralihan antarbahasa (dari bahasa Indonesia ke bahasa daerah atau sebaliknya, juga ke dalam bahasa asing atau antarbahasa asing), dan dapat juga berupa klausa atau kalimat lengkap yang mempunyai kaidah gramatikal sendiri yang dilakukan secara sadar karena alasan-alasan tertentu.

Kridalaksana (2011: 9) mengungkapkan bahwa alih kode merupakan penggunaan variasi bahasa lain atau bahasa lain dalam satu peristiwa bahasa sebagai strategi

untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya partisipan lain. Kalau ditelusuri penyebab terjadinya alih kode tersebut, maka harus dikembalikan kepada pokok persoalan sosiolinguistik, yaitu siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa. Contoh peristiwa alih kode yang dikutip dari Soewito dalam Chaer dan Agustina, (2010: 110) berupa percakapan antara seorang sekretaris (S) dengan majikannya (M) dapat dikemukakan sebagai berikut.

S : Apakah Bapak sudah jadi membuat lampiran surat ini? M : O, ya, sudah. Inilah!

S : Terima kasih

M : Surat ini berisi permintaan borongan untuk memperbaiki kantor sebelah. Saya sudah kenal dia. Orangnya baik, banyak relasi, dan tidak banyak mencari untung. Lha saiki yen usahane pengin maju kudu wani ngono (... Sekarang jika usahanya ingin maju harus berani bertindak demikian...)

S : Panci ngaten, Pak (Memang begitu, Pak)

M : Panci ngaten priye? (Memang bagitu bagaiman?)

S : Tegesipun mbok modalipun kados menapa, menawi (Maksudnya, betapa pun besarnya modal kalau...)

M : Menawa ora akeh hubungane lan olehe mbathi kakehan, usahane ora bakal dadi. Ngono karepmu? (kalau tidak banyak hubungan, dan terlalu banyak mengambil untung usahanya tidak akan jadi. Begitu maksudmu?)

S : Lha inggih ngaten! ( Memang begitu, bukan?)

M : O, ya, apa surat untuk Jakarta kemarin sudah jadi dikirim?

S : Sudah, pak. Bersamaan dengan surat pak Ridwan dengan kilat khusus.

Pada contoh percakapan antara sekretaris dan majikan di atas sudah dapat dilihat ketika topiknya tentang surat dinas, maka percakapan itu berlangsung dalam bahasa Indonesia. Tetapi ketika topiknya bergeser pada pribadi orang yang dikirimi surat, terjadilah alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa. Sebalikya, ketika topik kembali lagi tentang surat alih kode pun terjadi lagi dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia.

2.9.1 Bentuk-Bentuk Alih Kode

Terdapat dua macam alih kode, yaitu alih kode intern dan alih kode ekstern (Soewito dalam Chaer dan Agustina, 2010: 114). Berikut penjelasan bentuk- bentuk alih kode tersebut.

2.9.1.1 Alih Kode Intern

Alih kode intern adalah alih kode yang berlangsung antarbahasa sendiri, seperti dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa, Sunda, Lampung atau sebaliknya. Contoh alih kode intern dapat dilihat pada wacana berikut ini.

Topik : Pelajaran matematika Latar : Dalam kelas

Penutur : Guru dan Siswa Tuturan.

Guru : Satu puluhan isinya berapa? Siswa : Sepuluh satuan.

Guru : Coro jowone priye? Iki siji sebaris enek sepuluh biji. Ngerti satuan? „Cara jawanya bagaimana? Ini satu baris ada sepuluh biji. Tahu satuan?‟ Siswa : Ngerti. „Tahu‟

Peristiwa tutur tersebut terjadi ketika pelajaran matematika. Dalam peristiwa tutur tersebut terlihat peralihan dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa. awalnya guru bertanya kepada siswa dengan menggunakan bahasa Indonesia “satu puluhan

isinya berapa?” kemudian saat menjelaskan bahwa sebaris ada sepuluh biji, guru

beralih kode menggunakan bahasa Jawa “Coro jowone priye? Iki siji sebaris enek sepuluh biji. Ngerti satuan?” „Cara jawanya bagaimana? Ini satu baris ada sepuluh biji. Tahu satuan?‟. Tuturan “Coro jowone priye? Iki siji sebaris enek sepuluh biji. Ngerti satuan?” merupakan contoh alih kode yang dilakukan guru.

1) Alih Kode Intern dari Bahasa Indonesia Ragam Baku ke Bahasa Indonesia Ragam Nonbaku

Arifin dan Tassai (2008, 21) mengemukakan bahwa ragam baku merupakan ragam yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian besar warga masyarakat pemakainya sebagai bahasa resmi dan sebagai kerangka rujukan norma bahasa dalam penggunaannya, sedangkan ragam nonbaku merupakan ragam yang tidak dilembagakan dan ditandai oleh ciri-ciri yang menympang dari norma ragam baku. Chaer dan Leoni (2010, 190) mengemukakan bahwa bahasa baku merupakan salah satu variasi bahasa yang diangkat dan disepakati sebagai ragam bahasa yang akan dijadikan tolak ukur sebagai bahasa yang baik dan benar dalam komunikasi yang bersifat resmi, baik secara lisan maupun tulisan. Dengan demikian, alih kode intern dari bahasa Indonesia baku ke bahasa Indonesia nonbaku merupakan alih kode yang terjadi dari bahasa Indonesia baku beralih ke bahasa Indonesia nonbaku. Contoh alih kode intern dari bahasa Indonesia baku ke bahasa Indonesia nonbaku dapat dilhlihat dalam peristiwa tutur berikut.

Topik : Angka mata Uang Latar : di dalam kelas Penutur : Guru dan Siswa Tuturan.

Guru : Kalau dua puluh, puluhan ada berapa? Siswa : Dua.

Guru : Satuannya ada berapa? Siswa : Empat.

Guru : Bisakah kamu ngisi? “Bisakan kamu mengisi?”

Dalam peristiwa tutur tersebut terjadi ketika pelajaran matematika. Awalnya guru bertanya kepada siswa menggunakan bahasa Indonesia baku pada tuturan

“satuannya ada berapa?”, namun saat guru menjelaskan maksud apakah siswa

melakukan alih kode ke bahasa Indonesia nonbaku pada tuturan “bisakah kamu

ngisi?”. Hal ini dilakukan agar siswa mengerti apa yang disampaikan oleh guru.

Dalam peristiwa tutur tersebut sangat jelas bahwa adanya penggunaan bahasa Indonesia baku yang dilakukan guru kemudian beralih ke bahasa Indonesia nonbaku merupakan alih kode intern dari bahasa Indonesia baku ke bahasa Indonesia nonbaku.

Dokumen terkait