• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III BUDAYA AMAE DALAM POLA PENGASUHAN ANAK

3.3 Amae Pada Saat Remaja

Pada fase ini dapat dikatakan bahwa fase inilah yang menjadi titik balik dari perlakuan amae dari sang ibu kepada anaknya. Maksudnya adalah bahwa fase ini merupakan pembalasan amae dari si anak kepada sang ibu. Pada fase ini sang ibu ‘memetik hasil’ dari perlakuan-perlakuan amae terhadap si anak sejak bayi hingga

Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.

anak-anak. Pada fase remaja ini, kita dapat melihat dua sudut pandang yang berbeda mengenai perlakuan amae yang diterapkan kepada si anak. Sudut pandang yang pertama berasal dari orangtua yang memberi perlakuan amae. Dan sudut pandang yang kedua berasal dari si anak yang menerima perlakuan amae.

Jika dilihat dari sudut pandang orangtua, dalam fase ini si anak tetap bergantung kepada sang ibu walaupun dalam frekuensi yang relatif sedikit. Hal ini dikarenakan si anak dapat dikatakan sudah cukup sempurna dalam perkembangan. Perlakuan amae yang diterimanya sejak bayi membuatnya tidak meninggalkan kasih sayang yang mendalam terhadap ibunya bahkan ketika dia telah remaja, yang mana hal ini berlawanan dengan anak remaja Amerika yang beerjuang untuk mendapatkan kebebasan dari kedua orangtuanya (Lebra, 1976: 58).

Dikarenakan si anak telah cukup mengerti akan perlakuan amae terhadapnya, dia lambat laun mengerti bahwa ketergantungannya dengan sang ibu tidak bersifat unilateral. Tetapi sebaliknya sang ibu juga bergantung kepada anaknya. Di Jepang, para ibu saat mengorbankan dirinya bagi kepentingan anaknya, barangkali mengingatkan anaknya secara verbal atau melalui tingkah laku , terkadang secara eksklusif bahwa sang ibu bergantung kepada si anak untuk menopang hidupnya. Dia akan berkata, “ingatlah anakku, kamu adalah satu-satunya yang kupunya sebagai tempat bergantung, engkaulah tujuan hidupku”.

Jika dilihat dari sudut pandang si anak tersebut, dikarenakan perlakuan amae yang telah diterimanya sejak bayi yang membuatnya terlalu dekat dengan orangtuanya, remaja Jepang kesulitan dalam mencari identitas dirinya. Mereka menemukan ketidakpuasan. Bagi remaja Jepang, orangtua mereka layaknya seperti pria dan wanita tua dalam dongeng. Mereka menerima perlindungan dan kasih sayang dari orangtua

Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.

mereka tetapi tidak menerima nasehat bagaimana bertumbuh menuju arah kedewasaan. Mereka tidak mengetahui bahwa dalam cara bagaimana orangtua mereka menuju ke arah kedewasaan berbeda dengan diri mereka. Maksudnya adalah mereka ingin orangtua mereka mengerti bagaimana kehendak hati mereka yang ingin menjadi diri mereka sendiri tanpa berada di bawah bayang-bayang orangtua mereka karena orangtua mereka dulu juga pasti merasakan apa yang mereka rasakan.

Kisah yang terdapat dalam cerita Momotaro mengindikasikan perlakuan amae yang membuat kesulitan dalam mencari identitas diri ketika menginjak usia remaja. Momotaro adalah seorang anak yang sangat dikasihi oleh orangtuanya . Dibalik kedekatannya dengan orangtuanya, Momotaro tidak mengenal mereka. Dia menemukan suatu ketidakpuasaan mengenai orangtuanya yang telah mengasuh dan membesarkannya. Ketika dia bertumbuh, dia menemukan tujuan hidupnya yaitu dengan melakukan berbagai tindakan kriminal yang kejam yaitu sesuatu yang mana dia dapat mengarahkan perasaan yang dia tidak dapat tujukan kepada orangtuanya dan menyatakan terima kasih terhadap hal yang telah mengubahnya menjadi seorang dewasa. Seorang dewasa yang penuh percaya diri. Baginya, dengan melakukan kejahatan adalah suatu permulaan menju kedewasaan. Momotaro melakukan berbagai kejahatan juga untuk menghabiskan energi dan meluapkan semangat mudanya. Kisah Momotaro ini berakhir dengan bahagia dimana sang tokoh yaitu Momotaro mengakhiri “petualangan” kejahatannya dan kembali kepada orangtua yang telah mengasuhnya.

Dalam cerita tersebut, tampak bahwa seperti apapun yang dilakukan oleh si anak untuk mencari jati diri, dia akan kembali kepada orangtua. Dapat ditarik kesimpulan bahwa anak tidak akan bisa terlepas dari orangtua dan akan tetap bersama

Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.

mereka. Hal ini didasari oleh perlakuan amae yang mereka terima sejak bayi hingga masa remaja membuat ikatan di antara mereka tidak dapat terlepas bagaimana pun caranya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa perilaku amae membuat hubungan si anak menjadi dekat dengan ibunya. Suatu hal yang memang umum dijumpai dalam budaya lainnya. Tetapi kedekatan ini memang sangat erat. Kedekatan dengan ibunya menjadi motivasi bagi si anak untuk semakin maju di masa dewasanya. Seperti yang dikatakan Yamamura dalam Lebra (1976: 154) dalam studi analisis dari program radio seri ‘haha o kataru ‘ (percakapan tentang ibu dimana seratus orang sohor berpartisipasi, meliputi aktor, komedian, penyanyi, penulis, penyair, dan pemain baseball yang mengatakan bahwa mereka dapat seperti sekarang karena didikan dan dorongan semangat dari ibunya. Hal tersebut membukt ikan bahwa hubungan tersebut tidak saja sangat erat tapi juga sangat intim.

Amae pada saat remaja lebih dominan menjadi hasil dari perlakuan amae yang telah diterima si anak semenjak dia bayi sampai anak-anak. Berkat amae, si anak menjadi terbawa-bawa dalam pergaulan dengan teman-temannya. Hal tersebut dikarenakan perlakuan amae yang diberikan kepadanya menjadi contoh baginya untuk berlaku amae kepada teman-temannya. Dapat dikatakan terjadi peralihan kebudayaan dari orangtua kepada anak. Perlakuan amae tidak berhenti dalam pola hubungan orangtua dengan anak sja. Tetapi juga akan diteruskan oleh si anak kepada teman-temannya sebagai skop kecil kelompoknya dalam masyarakat. Karena amae selalu ada dalam setiap hubungan sosial masyarakat Jepang sebagai “minyak kehidupan” yang melumasi hubungan antar sesama orang Jepang menjadi lebih harmonis.

Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.

3.4 Tinjauan Budaya amae dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang

Dari hasil tinjauan yang dilakukan terhadap teori ketergantungan yang dikemukakan oleh Takeo Doi, dapat dilihat bahwa budaya amae telah tertanam kuat dalam mentalitas orang-orang Jepang dan amae menjadi satu bagian terpenting dalam sisi kehidupan mereka dan hal ini direalisasikan pula dalam pola pengasuhan anak. Dari tinjauan yang didapat dapat dikatakan bahwa budaya amae memiliki pengaruh yang baik maupun yang buruk bagi si anak.

Pengaruh yang baik antara lain:

1. Amae membuat si anak menjadi lebih dekat dengan orangtuanya. Dapat dilihat ketika terjadi kontak tubuh terjadi antara orangtua dengan si anak. kontak tubuh yang terjadi disertai dengan komunikasi non verbal yang menciptakan perasaan yang sangat mendalam diantara mereka.

2. Pengasuhan menjadi lebih terarah karena si anak lebih bergantung kepada ibunya. Hal ini dikarenakan ibu pasti memberikan yang terbaik bagi anaknya. Terlihat dari kesiapsediaan sang ibu yang serta merta datang ketika anaknya menangis. Sang ibu dengan sigap menimang anaknya untuk meredakan anaknya.

3. Kontak fisik yang sering terjadi juga kontak tubuh yang tidak terpisahkan membuat si anak tidak serta merta melupakan kedekatannya dengan ibunya bahkan setelah dewasa. Hal tersebut terlihat bahwa setelah remajapun, si anak tidak serta merta meninggalkan kasih sayang ibunya. Jika dalam budaya lain, para remaja menginginkan kebebasan penuh dari orangtuanya, tidak demikian halnya dengan remaja Jepang. Mereka tetap bergantung kepada kasih sayang ibunya.

Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.

4. Kedekatan dengan ibunya menjadi motivasi bagi si anak untuk semakin maju di masa dewasanya. Seperti yang dikatakan Yamamura dalam Lebra (1976: 154) dalam studi analisis dari program radio seri ‘haha o kataru ‘ (percakapan tentang ibu dimana seratus orang sohor berpartisipasi, meliputi aktor, komedian, penyanyi, penulis, penyair, dan pemain baseball yang mengatakan bahwa mereka dapat seperti sekarang karena didikan dan dorongan semangat dari ibunya.

5. Penegakan disiplin juga dapat dilakukan dengan memanfatkan perlakuan amae. Dengan keadaan si anak yang bergantung kepada orangtuanya, orangtua dapat mengancam bahwa si anak akan kehilangan perlakuan amae dari kedua orangtuanya jika si anak tidak berlaku disiplin.

Adapun pengaruh yang buruk dari budaya amae yang diterapkan kepada si anak adalah :

1. Anak yang menjadi agak manja karena bergantung sepenuhnya kepada sang ibu. Karena si anak mengetahui bahwa segala kebutuhannya pasti akan dipenuhi oleh ibunya melalui perlakuan amae yang diterimanya, maka si anak akan bergantung mutlak kepada ibunya. Dan ini akan berdampak si anak berlaku manja kepada ibunya.

2. Si anak menjadi takut untuk bersosialisasi dengan lingkungan yang baru diakibatkan ketergantungannya kepada sang ibu. Telah dipaparkan sebelumnya bahwa ketika memasuki bangku TK, si anak menjadi peka dan takut akan ditinggalkan sendirian karena ketika dia telah bersekolah, ketergantungannya dengan sang ibu menjadi berkurang.

Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.

3. Si anak menggantungkan segalanya kebutuhan terhadap ibunya. Hal ini dikarenakan sang ibu pasti akan memenuhi segala kebutuhan anaknya karena sang ibu berperan sebagai amayakasu yaitu peran yang memberi perlakuan amae.

4. Pada fase remaja, si anak akan kesulitan menuju ke arah kedewasaan karena orangtua mereka tetap memberi perlakuan amae tanpa memberi petunjuk bagaimana mempersiapkan diri menuju arah kedewasaan karena mereka tetap diperlakukan layaknya seperti anak kecil.

Amae juga menjadi dasar bagi sang ibu untuk mengetahui kemauan dan kebutuhan si anak. Secara tidak langsung, amae menjadi dasar perekat hubungan yang harmonis antara sang ibu dengan si anak.

Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari tinjauan yang dilakukan terhadap teori yang dikemukakan oleh Takeo Doi dalam pola pengasuhan anak Jepang, dapat ditarik kesimpulan bahwa :

1. Istilah amae adalah suatu kosakata yang khas Jepang dan pada dasarnya umum didapatkan dalam kalangan umat manusia secara keseluruhan.

2. Amae dalam pola pengasuhan anak mendasari terjadinya amae dalam

hubungan sosial lainnya karena pola amae mengadopsi hubungan antara ibu dan anak.

3. Dalam masyarakat Jepang, anak diasuh bebas sekali, hampir terus menerus dalam kontak ibunya dan praktis tidak pernah ditinggalkan sendirian.

4. Adanya konsep amae membantu si ibu dalam memahami jalan pikiran si anak dan kemudian meladeni kebutuhannya. Dan dengan demikian ibu dan bayi mengecap suatu perpaduan yang harmonis.

Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.

5. Amae itu ada karena ada yang menanggapinya. Si anak dapat menggandalkan

ibunya karena sang ibu bersedia untuk diandalkan. Si anak dapat bermanja kepada ibunya karena sang ibu memanjakannya.

6. Secara tidak langsung pola amae yang diterapkan kepada anak membuat pengalihan kebudayaan dari sang ibu kepada si anak. Hal tersebut tampak dari perlakuan amae yang diterima si anak dari orangtuanya diterapkan juga ketika si anak bergaul dengan teman-temannya sebagai skop kecilnya dalam masyarakat.

7. Pola budaya amae selama fase bayi sampai remaja, perlakuan amae pada fase bayi adalah yang terbanyak dan semakin berkurang pada fase remaja. Hal ini disebabkan pada fase remaja, si anak sudah sempurna pertumbuhan fisik sehingga tidak terlalu tergantung kepada ibunya secara fisik, akan tetapi secara emosi tetap bergantung kepada ibunya.

8. Pada masa bayi, dengan perlakuan amae si anak belajar bahwa segala kebutuhannya akan kasih sayang dan keamanan akan selalu terpenuhi dengan kehadiran sang ibu yang selalu ada di sampingnya.

9. Pada masa anak-anak, orangtua juga menggunakan amae untuk mendisiplinkan anaknya. Perlakuan amae juga dapat membawa pengaruh yang buruk yaitu membuat si anak takut untuk bersosialisasi dengan lingkungan yang baru di luar rumah, contohnya ketika si anak memasuki masa sekolah. Hal ini terjadi karena si anak berpisah dengan ibunya walaupun dalam waktu yang singkat.

10. Pada masa remaja, dari sudut pandang orangtua, tidak serta merta meninggalkan kasih sayang orangtuanya karena orangtua mengharapkan

Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.

anaknya sebagai penopang hidupnya kelak. Dilihat dari sudut pandang si anak, si anak merasa kesulitan menemukan identitas dirinya karena perlakuan amae yang diterimanya membuatnya selalu berada di bawah baying-bayang kasih sayang dan perlindungan orangtuanya. Orangtua hanya memberi kasih sayang tanpa mengajarkan bagaimana mempersiapkan diri menuju ke arah kedewasaan.

11. Dengan pola budaya amae, si anak belajar bahwa kebutuhannya akan dipenuhi dengan seketika dan keamanannya bergantung sepenuhnya kepada ibunya.

4.2 Saran

Adapun saran yang disampaikan melalui skripsi ini adalah

1. Budaya amae dalam pola pengasuhan anak dapat diterapkan dalam pola pengasuhan anak tidak hanya di Jepang saja, melainkan dapat juga diterapkan di Indonesia karena budaya amae dalam pola pengasuhan memiliki sisi kebaikan yaitu membuat si anak tidak mudah melupakan kasih sayang yang telah ditanamkan oleh orangtua kepadanya sejak bayi. Hal ini menyebabkan si anak tidak akan melupakan tanggungjawabnya sebagai anak terhadap orangtua.

2. Budaya amae dalam pola pengasuhan anak Jepang hendaknya dapat dicontoh oleh orangtua di Indonesia. Karena dengan adanya perlakuan amae yang diterimanya, si anak termotivasi untuk semakin maju. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya orang terkenal di Jepang yang mengatakan keberhasilannya dikarenakan motivasi yang diberikan oleh ibunya melalui perlakuan amae yang diterimanya. Karena tidak sedikit orang berhasil yang melupakan jasa-

Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.

jasa orangtuanya. Mereka menganggap bahwa keberhasilannya semata-mata karena kerja kerasnya.

DAFTAR PUSTAKA

Balson, Maurice. 1996. Bagaimana Menjadi Orangtua Yang Baik. Jakarta : Bumi Aksara.

Benedict, Ruth. 1989. Pedang Samurai Dan Bunga Seruni. Boston : Houghton And Mifflin Company.

Doi, Takeo. 1988. The Anatomy of Dependence. Tokyo and New York : Kodansha International.

Gunarsa, D. Singgih.1997. Dasar Dan Teori Perkembangan Anak. Jakarta : BPK Gunung Mulia.

Koentjaraningrat. 1976. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia.

Lebra, Takie Sugiyama. 1998. Japanese Pattern of Behavior. USA : University of Hawaii Press.

Maran, Rafael Raga. 2000. Manusia Dan Kebudayaan (Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar). Jakarta : Rineka Cipta.

Nakane, Chie. 1981. Masyarakat Jepang. Jakarta: Sinar Harapan. Nasution, M. Arief. 2001. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.

Sibiyan, Faisal. 2005. Skripsi : Budaya Amae Dalam Novel “ Sembazuru” Karya Yasunari Kawabata. Medan : Universitas Sumatera Utara.

Tim Peneliti Dan Penulis Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. 1989. Pola Pengasuhan Anak Secara Tradisional. Jakarta : Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

Vogel, Ezra F. 1966. Jepang Jempol. Jakarta: Sinar Harapan.

Februari 2009.

http: //en.wikipedia.org/wiki/amae/. Diakses pada tanggal 16 Mei 2009.

28 Oktober 2009

ABSTRAK

Dalam kehidupan masyarakat Jepang, terdapat budaya yang sampai sekarang tetap berkembang dan direalisasikan dalam segala hubungan sosial. Hubungan sosial tersebut dapat terjadi di antara atasan dengan bawahan, guru dengan murid, pemimpin dengan pengikut, senior dengan junior, orangtua dengan anak, dan sebagainya. Budaya tersebut adalah budaya amae. Budaya amae ini dilontarkan oleh Takeo Doi pada tahun 1971.

Doi memakai istilah amae no kozo atau struktur dependensi sebagai ciri khas masyarakat Jepang.Istilah amae ini dijadikan alasan kuat adanya struktur dependensi di Jepang. Kata sifat amae adalah amai .Tidak saja dalam arti “manis” yang dirasakan oleh lidah, tetapi juga mengungkapkan sifat seseorang. Kata amae secara

Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.

leksikal mempunyai arti “kebaikan”, hasil perlindungan seorang ibu terhadap bayinya. Sekaligus ketergantungan yang manis antara si bayi dengan ibunya.

Amae juga mempunyai arti “minyak kehidupan” dan merupakan salah satu tonggak dasar pada kepribadian manusia. Orang Jepang tidak merasa nyaman apabila hubungan antar pribadinya tidak diliputi dengan amae. Mereka bisa memperoleh kasih sayang yang tulus dari orang lain.

Penerapan budaya amae juga direalisasikan dalam hubungan orangtua dan anak dalam pola pengasuhan. Peran amaeru adalah si anak sedangkan peran amayakasu dilakoni oleh sang ibu. Dalam pola pengasuhan yang berlatarbelakangkan amae terdapat pola keterikatan antara anak dan orangtua, khususnya terhadap ibu yang berlebih. Keterikatan berlebih ini dapat disebut dengan ketergantungan. Si anak secara total sangat bergantung kepada ibunya.

Amae merupakan pengalaman seorang anak untuk merasakan ketergantungan dari ibu.

Hubungan ketergantungan antara ibu dan anak memiliki suatu bentuk ideal menurut kebiasaan orang Jepang. Terdapat hubungan ketergantungan yang manis antara orangtua dengan anak dalam pola pengasuhan yang berlatarbelakangkan budaya amae ini. Para ibu Jepang akan menyalahkan dirinya sendiri jika tidak memberikan cukup cinta kepada anak-anak mereka.

Para ibu Jepang akan menikmati pengalaman dan kepuasan melalui ketidakdewasaan si anak. Pola budaya amae memberikan jawaban atas keresahan batin yang dialami oleh para ibu Jepang. Melalui pola amae ini, mereka dapat memberikan perhatian, cinta, dan perlindungan yang berlebih kepada anak mereka.

Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.

Perlakuan amae yang diterima oleh si anak dari ibunya terbagi dalam 3 fase, yaitu masa bayi, masa anak-anak, dan masa remaja. Dalam masyarakat Jepang, anak- anak diasuh bebas sekali dan praktis tidak pernah ditinggalkan sendirian. Masyarakat Jepang sejak kelahiran memang diarahkan untuk saling bergantung kepada pihak lain. Dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti asing seringkali memuji kedekatan fisik antara ibu Jepang dengan anaknya. Bukan hanya dalam kedekatan fisik tetapi juga kontak badan dalam arti yang sebenarnya. Hal ini terutama sekali ditemukan pada pengasuhan bayi.

Pada masa bayi, perlakuan amae yang diterima oleh bayi didapat melalui memberi susu kepada si bayi, memandikannya, menggendongnya, dan menidurkan si bayi.

Di Jepang pemberian susu tidak hanya berlangsung sebagai alasan untuk memenuhi kebutuhan gizi saja tetapi juga merupakan kesenangan fisiologis terbesar bagi seorang ibu.

Dada ibunya bukan hanya sebagai sumber makanan, tetapi juga sebagai kesenangan dan hiburan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sang ibu dan si bayi tidak dapat terpisahkan. Sang ibu memberikan perhatian yang berlebih pada sang bayi.

Si bayi juga sangat dimanjakan karena sang ibu tidak pernah membiarkan si bayi sendirian ketika tidur.

Anak-anak Jepang dengan cepat belajar untuk menemukan kesenangan dan keamanan jika berada dekat dengan ibunya. Baik bagi anak laki-laki maupun perempuan, sang ibu adalah sumber kepuasan yang besar dan tak putus-putusnya. Perlakuan amae dari ibu kepada anaknya dapat dilihat ketika sewaktu tamu orangtuanya berkunjung. Betapa istimewanya mereka bahkan pada pembicaraan

Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.

orangtua pun mereka boleh ikut. Bahkan dalam kesempatan ini, orangtua si anak mendorongnya untuk memamerkan beberapa keahlian dan kepandaian si anak kepada tamunya. Si tamu menikmati pertunjukan tersebut. Si tamu memberikan kebaikan hati dengan bersedia menonton pertunjukan si anak. Hal ini juga menunjukkan si tamu berlaku amae terhadap si anak.

Perilaku amae juga dapat digunakan orangtua untuk mendisiplinkan anak mereka. Dengan memanfaatkan ketergantungan antara si anak kepada orangtuanya, orangtua berusaha menumbuhkan disiplin dalam diri anak mereka. Orangtua akan mengancam bahwa mereka akan memberikan si anak kepada orang lain jika si anak berbuat nakal. Hal tersebut mengindikasikan bahwa perlakuan amae yang diterima si anak, tidak hanya menimbulkan ketergantungan kepada orangtua tetapi juga dapat menumbuhkan kedisiplinan dalam diri anak mereka.

Fase remaja merupakan titik balik perlakuan amae dari sang ibu kepada si anak.

Pada fase remaja ini, perlakuan amae dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda.

Yang pertama adalah adalah sudut pandang orangtua dan yang kedua adalah sudut pandang si anak dalam fase remaja.

Jika dilihat dari sudut pandang orangtua, dalam fase ini anak tetap bergantung kepada orangtua walaupun dalam frekuensi yang relatif sedikit. Perlakuan amae yang diterimanya sejak kecil membuatnya tidak meninggalkan kasih sayang yang mendalam terhadap ibunya. Hal ini berlawanan dengan anak remaja manapun yang berjuang untuk mendapatkan kebebasan dari kedua orangtuanya. Sang ibu secara verbal maupun melalui tingkah laku mengingatkan anaknya bahwa sang ibu

Desy Julita Ambarita : Tinjauan Budaya Amae Dalam Pola Pengasuhan Anak Jepang Menurut Teori Takeo Doi, 2010.

bergantung kepada si anak untuk menopang hidupnya karena si anak adalah tujuan hidupnya.

Jika dilihat dari sudut pandang si remaja, perlakuan amae yang diterimanya

Dokumen terkait